Sketsa Kekerasan Dalam Perspektif Sains Baru
Sketsa Kekerasan Dalam Perspektif Sains Baru
Pada Hukum Thermodinamika kedua yang dipelopori oleh Sadi Carnot (1824) [9]
diuraikan dengan jelas bahwa dalam melakukan suatu proses, kita tidak pernah untung,
efisiensi proses, yaitu perbandingan energi sesudah dengan sebelum proses thermodinamika,
selalu kurang dari 100 %. Inilah yang disebut Carnot bahwa arah proses selalu memperbesar
entropi (angka ketidakteraturan). Dalam setiap proses kita selalu merusak keteraturan alam.
Demikianlah salah satu gambaran watak relasi yang jauh dari ide harmoni atau mutualis.
Dengan pengandaian bahwa manusia adalah materi semata, sains lama mencari
analogi-analogi antara tingkah laku manusia dengan cara kerja mesin.. Sebagaimana mesin
mempunyai daya penggerak, misalnya dalam rupa uap air, listrik maupun proses
pembakaran, dalam diri manusia juga terdapat insting-insting (instincts) dan hasrat-hasrat
(passions) yang merupakan pusat tindakan manusia. Pikiran tidak mampu mengambil
peranan untuk mengatur semuanya tadi karena pikiran pada hakekatnya adalah produk dari
materi. Maka satu-satunya kunci untuk memahami psikologi manusia adalah insting dan
hasrat sebagai sumber kekuatan pengatur manusia yang utama. Dalam sains lama tidak
diakui adanya insting yang paling dasar (most basic instinct). Mereka hanya menyebut
sebagai takut akan kematian (Hobbes), kelaparan (Malthus), ataupun insting seks
(Freud) [10].
Hobbes, yang sangat dipengaruhi oleh Galileo Galilei (1564-1642), sangat
mengagumi ilmu-ilmu eksperimental dan ingin menerapkan meterialisme pada manusia
dengan harapan mampu memperoleh suatu pemahaman baru mengenai manusia yang
dianggap sebagai materi belaka. Konsep Leviathan, pada dasarnya merupakan upaya yang
secara eksplisit hendak membuat analogi antara manusia dengan mesin, dan lebih jauh,
antara bagian-bagian dari masyarakat dengan bagian-bagian dari mesin. Ia menganggap
unsur hasrat dalam diri manusia mengambil peranan yang fundamental. Seseorang yang
tidak memiliki hasrat pada hakekatnya akan mengalami kelumpuhan dalam gairah kerjanya,
jauh dari sebagai manusia baik, tanpa memiliki cita-cita yang tinggi. Orang yang tidak
punya hasrat tidak ubahnya sudah mati, dan hasrat lemah merupakan manifestasi sebuah
kebodohan.
Menurut Hobbes bentuk negara haruslah totaliter. Ini berdasarkan pada kenyataan
bahwa hasrat kodrat dalam diri manusia akan menimbulkan berbagai konflik yang tidak
dapat terhindarkan. Adanya saingan untuk mengejar kekuasaan dan kekayaan akan
menimbulkan nafsu untuk memenangkan perang, dan membunuh. Dalam kondisi macam
itu, jika tidak ada kendali dari pemerintah, maka masyarakat yang beradab tidak akan
terwujud dalam hidup ini. Selain sifat totaliter, tidak ada kekuatan lain yang mampu
menaklukkan hasrat dari manusia.
Salah satu pengikut Hobbes yang melihat manusia sebagai model yang mekanis
adalah Sigmund Freud. Freud juga menganggap manusia pada dasarnya adalah materi
belaka. Ia menganggap bahwa insting seks merupakan kekuatan dalam diri manusia, dan
persetubuhan merupakan puncak kenikmatan pengalaman manusia. Dengan pandangan
Freud yang melihat bahwa tujuan hidup merupakan prinsip untuk mengejar kesenangan,
konflik-konflik manusia satu dengan lainnya pun menjadi tak terhindarkan.
Dalam masyarakat, manusia tidak pernah mengalami kebahagiaan. Hal ini
mengingat insting-insting dari manusia akan bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku
dan ingin dikejar dalam masyarakat. Untuk mejaga ketentraman dalam masyarakat
dibutuhkan suatu penaklukan dan pemaksaaan hasrat-hasrat dalam diri manusia. Situasi ini
telah membuat manusia secara individu menderita, karena kecenderungan-kecenderungan
alamiahnya ditentang. Pada dasarnya, menurut Freud, masyarakat primitif lebih bahagia
karena tidak ada pembatasan-pembatasan insting [11].
Paradigma di bidang Biologi, diawali dengan sebuah pendirian bahwa alam pada
hakekatnya adalah kejam, penuh dengan adu kekuatan. Seperti yang dikatakan oleh Charles
Darwin bahwa alam selalu dalam keadaan perang antara satu organisme dengan lainnya,
maupun organisme dengan alam yang melingkupinya. Bahkan dengan begitu pesimis
Darwin memandang konflik dari makhluk hidup menjadi tidak terkendali lagi
Jika kehendak manusia merupakan sesuatu yang non-material, maka bukanlah sesuatu yang
omong-kosong saja bila kita berbicara mengenai suatu pilihan bebas manusia. Kebebasan
kehendak merupakan sebuah argumentasi ilmiah [16]. Relativitas Einstein dan mekanika
kuantum jelas-jelas memberi pendasaran yang mantap bahwa realitas fisik-pun ditentukan
dengan pikiran, kesadaran dan oleh karenanya: pilihan bebas manusia. Kekerasan,
selanjutnya bukan watak relasi dominan yang mau tak mau selalu melekat pada dunia
material-deterministik. Kesadaran adalah kenyataan, selanjutnya akal budi yang secara asali
telah memiliki kehendak bebas.
Alam yang dianggap sebagai wahana konflik yang mendominasi sejak zaman Darwin justru
berdampingan dengan kenyataan lain secara paradoksal. Keyakinan tadi ternyata lebih
ditemukan secara artifisial dalam laboratorium, dan sebaliknya dengan mudah kita dapat
menunjukkan bahwa spesies satu dengan lainnya saling mengganggu lebih disebabkan
karena adanya tangan usil dari manusia.
Dan kalau kita observasi lebih mendalam, maka dapat kita buktikan bahwa alam mempunyai
cara-cara yang alamiah untuk menghindari kompetisi [17]. Pertama, isolasi geografis.
Banyak spesies yang sebenarnya berkecenderungan memangsa spesies lainnya, tetapi hal ini
tidak terjadi karena hidup dalam daerah yang terpisah satu dengan yang lainnya. Kedua, pun
apabila organisme-organisme hidup dalam habitat yang sama serta persediaan makanan
sangat minimum, mereka masih dapat bertahan dengan hidup dalam sebuah niche [18].
Ketiga, alam membuat suatu spesialisasi makanan yang memungkinkan spesies satu dengan
lainnya terhindar dari permusuhan. Keempat, dengan dilakukannya pemisahan ruang dalam
suatu habitat terkadang sudah cukup mencegah adanya permusuhan. dan masih banyak lagi
cara-cara alam maupun dari makhluk itu sendiri yang secara jelas menunjukkan bahwa
permusuhan maupun kompetisi itu tidak sebegitu mudah terjadi seperti yang digambarkan
oleh Darwin dengan istilah survival of the fittest dan struggle for life.
Paradigma dalam biologi baru juga menggambarkan keharmonisan hubungan antara hewan,
tumbuhan dan benda mati. Salah satu contoh persamaan reaksi kimia berikut [19]:
Pada Tumbuhan:
6CO2 + 6H2O + Energi C6H12O6 + 6O2
dari
dari
dari
gula
dikembalikan
udara tanah matahari
ke udara
Pada Hewan:
C6H12O6 + 6O2 Energi + 6CO2 + 6H2O
gula dimandari
untuk
dihembus dikembalikan
faatkan dan udara tenaga dari paru- ke udara
dimakan
hewan paru heoleh hewan
wan
Dari skema diatas kita dapat melihat bagaimana tiap unsur saling membutuhkan. Tumbuhan
membutuhkan karbondioksida dari udara dan air dari tanah serta energi dari sinar matahari.
Semuanya itu diproses tumbuhan sehingga menghasilkan gula dan oksigen. Hewan akan
mengkonsumsi gula dan menghirup oksigen dari udara. Energi yang didapat dipakai untuk
tenaga dan sekaligus menghasilkan karbondioksida serta air.
Tanpa siklus yang padu dan sempurna tersebut maka kandungan karbondioksida di atmosfer
(kira-kira 3,5 x 10-4 persen) akan habis dan hanya menopang kehidupan tumbuhan selama
40 tahun saja.
Melawan anggapan Darwin bahwa alam ini pada galibnya tidak harmonis dan neraka bagi
makhluk hidup disangkal oleh biologi baru dengan beberapa bukti biasa.
Sebagai contoh serigala kutub. Dengan suatu struktur morfologi berupa bulu tebal,
kemampuan menarik peredaran darah dari permukaan kulit, dan cara berjalan dengan
menghimpitkan kaki-kakinya cukup bagi serigala untuk mencegah menguapnya panas
tubuh. Dengan cara seperti ini, Kutub Utara yang tidak bisa ditempati mamalia bisa dihuni
oleh serigala kutub. Serigala kutub mampu untuk mengatasi temperatur kutub sampai suhu
-51oC.
Masih banyak contoh lagi, namun tidak setiap binatang membuat cara dan
mekanisme yang sama; ada yang dengan cara meningkatkan metabolisme, sementara yang
lain beremigrasi sebelum musim dingin tiba, dan sebagainya.
Prinsip yang bisa kita tarik adalah bahwa organisme tidak berjuang mati-matian melawan
alam melainkan bekerjasama atau paling tidak menghindari alam yang ganas. Beberapa
hewan menghindari kekeringan, sementara lainnya membuat suatu persiapan bila
kekeringan datang, sebaliknya tidak ada yang membuat konfrontasi secara frontal dengan
kekeringan itu.
Jauh dari adanya pertentangan dengan habitatnya, setiap makhluk hidup justru dengan
sangat harmonis mampu menyesuaikan dengan lingkungannya. Upaya menghadapi
tantangan alam tidak maksimal melainkan sangat minimal, dilakukan dengan efisien dan
hemat, karena baik tumbuhan maupun hewan mempunyai bentuk yang dirancang
sedemikian serasi.
Hingga pertengahan abad ke-20 ini, khususnya setelah perang dunia kedua, banyak ahli
psikologi yang melihat bahwa dua aliran psikologi yang sedang berkembang saat itu amat
mengurangi makna dan nilai yang ada dalam diri manusia [20]. Yang pertama, psikoanalisis
menganggap bahwa pikiran tidaklah lebih dari hasrat, dan pikiran selalu dikendalikan oleh
hasrat. Sedangkan yang kedua, aliran behavioris yang telah mencampakkan begitu saja
keberadaan pikiran dalam diri manusia.
Dalam suasana tidak puas terhadap aliran psikologi yang ada seperti itu lahirlah sebuah
psikologi gelombang ketiga yang disebut sebagai psikologi humanistik. Sebuah
psikologi yang tak lain berada di kubu Sains Baru yang dimotori Irvin L Child (Yale
University), Roll O May, Carl Roger, Abraham Maslow, R. Sperry, dan V Frankl.
Dalam Psikologi Baru hidup manusia tidak lagi diartikan sebagai sekumpulan tindakan
mekanistis yang refleks, ditentukan oleh hasrat dan mekanisme fisik belaka. Segala bentuk
mekanisme dan materialisme dari sains lama jelas sudah ketinggalan, demikian ditegaskan
oleh Roll O May.
Psikologi Baru yang menganggap pikiran bukan sesuatu yang material melainkan
nonmaterial, memberikan implikasi bahwa disana terdapat juga potensi spiritual seperti
halnya potensi material. Yang dimaksud dengan potensi spiritual adalah moral, intelektual,
dan nilai-nilai estetik. Kita bisa membedakan kemampuan kemampuan rohani dari manusia
tersebut ke dalam dua kategori. Pertama, intelektual, yang meliputi pengetahuan intelektual,
tidak hanya sains tetpi juga ketrampilan seni, kemampuan pengambilan keputusan praktis,
serta kebijaksanaan. Kedua, watak, merupakan sikap-sikap yang pantas dipuji, misalnya
murah hati, keberanian, dan kejujuran. Satu hal yang amat penting untuk kita perhatikan
adalah bahwa semua potensi spiritual itu merupakan hasil pilihan bebas.
Berbeda dengan sains lama yang hanya melihat manusia sebagai makhluk berkonflik
semata, maka sains baru melihat bahwa keharmonisan dari manusia itu mungkin (seperti
yang dinyatakan Sperry dan Maslow). Sains lama yang hanya menekankan materi tentu saja
akan melihat satu dengan lainnya akan berkompetisi. Tetapi Psikologi baru melihat adanya
kemampuan rohani yang tidak mempunyai hukum-hukum seperti pada sains lama. Nilainilai rohani seperti kebenaran, keindahan dan kebaikan itulah yang memungkinkan adanya
kerjasama, karena tidak ada seorang pun yang membagi-bagikan nilai-nilai tadi menjadi
berkurang nilai-nilai yang dimilikinya.
Catatan akhir:
1. Lih. Bakker, Anton., 1995, Kosmologi & Ekologi, Kanisius, Yogyakarta, hal. 27 - 32
2. Toulmin, Stephen, 1982, The Return to Cosmology, Postmodern Science and the
Theology of Nature, dalam Soetomo, Greg., 1995, Sains dan Problem Ketuhanan, Penerbit
Kanisius, Yogyakarta, hal. 14.
3. Augros, R.M/Stanciu, G.N., The New Story of Science. Mind and the Universe, 1985
dalam Soetomo, Greg., op. cit., hal. 24. Untuk selanjutnya tulisan Augros-Stanciu dan
dengan sistematika Soetomo banyak dipakai dalam tulisan ini.
4. Kuhn, T., 1962, The Structure of Scientific Revolution, dalam Soetomo, Greg., op cit, hal.
21.