Sisi Menarik Sebuah Buku
Sisi Menarik Sebuah Buku
10
11
12
13
14
15
16
17
bagian dalamnya telah ditambahi semacam ornamenornamen kecil yang "meringankan". Inilah beberapa contoh
untuk memberikan kekhasan "bentuk" dan membawanya
menerbangi "langit". Bentuk-bentuk yang saya contohkan di
sini memang hanya memanfaatkan unsur-unsur sederhana
yang ada dalam sebuah buku. Keluwesan pemanfaatan
menjadi titik perhatian penting.
Ini adalah sebagian contoh saja dari pemanfaatan "bentuk".
Tentu saja, masih banyak unsur sebuah buku yang dapat
di-"bentuk".
Bandung, 5 Juni 1999
18
19
20
untuk mengarungi hidupdalam keadaan yang terusmenerus menanjakdi luar lingkaran sekolah. Pernyataan
Drucker dan Covey tak berbeda jauh dengan pernyataan
Cynthia. Rupanya, keadaan seperti ini mendorong para
peneliti, terutama para ahli psikologi yang bertahun-tahun
berkutat dengan potensi diri seorang manusia, untuk
menemukan metode baru dalam memahami "diri" manusia
dan sekaligus memberikan alternatif untuk mendidiknya atau
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya agar potensi
diri, yang dicerminkan dengan pelbagai macam tingkat
kecerdasan itu, mampu mengungkapkan wataknya secara
amat lapang dan leluasa.
Selain Dr. Gardner, tercatat banyak pakar yang telah
menemukan metode baru tersebut. Cynthia, yang menyebut
metode baru itu dengan "lima model gaya belajar", dengan
bagus meringkaskannya sebagaimana akan saya kutipkan di
sini. Pertama, temuan Dr. Anthony F. Gregorc yang berupaya
menunjukkan kepada kita bagaimana pikiran bekerja.
Menurut Gregorc, gaya belajar seseorang ditentukan oleh
caranya dalam menerima atau memandang informasi. Cara
memandang atau menerima informasi ini disebut persepsi.
Ada dua kualitas persepsi yang dimiliki setiap pikiran, yaitu
persepsi konkret dan persepsi abstrak.
Persepsi konkret membuat kita menyimpan informasi secara
langsung melalui kelima indra kita, yaitu penglihatan,
penciuman, peraba, perasa, dan pendengaran. Sewaktu kita
menggunakan persepsi ini, kita berurusan dengan apa yang
ada di sini dan kini, yang nyata dan yang jelas. Kita tidak
berusaha mencari arti tersembunyi atau mencoba untuk
menghubungkan suatu gagasan atau konsep dengan sesuatu
yang lain. Kunci ungkapan sederhana mengenai kualitas
persepsi ini berbunyi, "Sesuatu adalah seperti apa adanya."
Sebaliknya, persepsi abstrak memungkinkan kita untuk
memvisualkan, melahirkan ide, dan memahami atau
meyakini sesuatu yang tidak dapat kita lihat secara apa
adanya. Sewaktu kita menjalankan persepsi ini, kita
menggunakan intuisi, daya-daya intelektual, dan imajinasi
kita. Kita mampu melampaui hal-hal yang kita lihat secara
apa adanya hingga mencapai yang lebih detail, lebih lembut.
Kunci ungkapan mengenai kualitas ini berbunyi, "Sesuatu
tidaklah selalu seperti apa yang terlihat."
Dari dua jenis kualitas persepsi tersebut, Dr. Gregorc
kemudian menentukan dua ciri mekanisme persepsi dalam
mengatur informasi, yaitu sekuensial (lurus, teratur, dan
21
22
23
24
bukunya, telah membangunkan "macan" (salah satu potensidiri terdahsyat manusia abad ini) tidur. "Macan" itu kemudian
jadi mode sekaligus merangsang para pakar potensi diri
untuk menemukan pelbagai metode belajar, terutama
metode untuk hidup secara lebih bermakna.
Nah, dari penelitian Goleman ini pulalah kemudian dikenal
satu bagian yang berada di dalam diri seseorang (inner self)
yang mampu digunakan untuk lebih memperhatikan
"hubungan" atau "keadaan" (khususnya: penderitaan) yang
sedang dialami oleh manusia-manusia lain. Bagian tersebut
dikenal dengan nama empati. Secara amat sederhana,
empati dapat diartikan sebagai upaya seseorang untuk
memahami keadaan psikis orang lain dan, setelah
memahami dan kemudian peduli, si pemaham secara
perlahan dan sungguh-sungguh menerobos masuk ke ruangruang batin seseorang untuk ikut berkelana dan merasai apa
yang dirasakan oleh orang lain itu. Empati, secara amat
khusus, ingin saya angkat sebagai satu kemampuan yang
harus dimiliki oleh seseorang yang ingin membuat buku. Dari
sinilah lahir "daya pikat" kelima.
Daya Pikat (5): Gambar yang Menyentuh dan
Mengutuhkan
Apabila kita renungkan sejenak uraian di atas, sesungguhnya
semua itu telah ada dan telah kita kenal sejak kita dilahirkan
di bumi. Hanya sayangnya, "peta" keadaan seperti di atas,
atau pelbagai potensi diri yang dimiliki seseorang, tidak
dijelaskan dan dipahamkan sejak dini secara sistematis dan
kemudian dilatihkan secara konsisten. Akibatnya, kita,
manusia-manusia ini, bergerak secara serabutan, dan kalau
toh kemudian kita "belajar" untuk meningkatkan potensi diri
kita, belajarnya itu menjadi "menyempit" (konvergen) dan
tidak malah "melebar" (divergen). Sekolah seolah-olah telah
membuat kita masuk ke dalam kotak yang kian lama kotak
itu kian sempit dan sesak.
Sebagai gambaran sederhana, kita dapat bertanya.
Bukankah hanya otak kiri yang senantiasa kita latih, yang
memperoleh porsi pelatihan paling banyak, di sekolah?
Bukankah lingkungan kita juga miskin akan pelbagai ajang
untuk melatih fungsi otak kanan secara amat optimal?
Adakah buku yang mampu menghadirkan suatu suasana
belajar yang benar-benar menyamankan dan melatih
bekerjanya otak kanan dan otak kiri secara serempak?
Adakah kreasi manusia di lingkungan kita yang secara utuh
dan padu tidak memilah-milahkan secara khusus dua jenis
25
potensi diri kita yang diwakili dengan jelas oleh belahan otak
kita? Bagaimana sikap kita setelah mengetahui "peta potensi
diri" yang kemungkinan besar masih merupakan puncak
gunung es dari gunung keseluruhan potensi diri kita yang
sesungguhnya?
Cynthia Ulrich Tobias, secara arif, memang berpesan kepada
para pembacanya agar tidak terjebak pada "peta" dan
"klasifikasi" yang dibuat oleh para ahli. Manusia itu unik.
Setiap diri membawa seabrek potensi yang bila diekspresikan
akan membuahkan satu lukisan yang beraneka warna.
Apabila toh kemudian ada kesamaan antara satu-dua atau
lebih lukisan hasil ekspresi diri setiap orang, bila diamati
secara detail, akan tampak bahwa setiap lukisan memiliki
"karakter" yang amat berbeda, meskipun secara visual
tampak sama. Cynthia menuliskan sesuatu---yang pantas kita
cermati---saat kita masing-masing, mungkin, kepengin
mengenali gaya belajar kita lewat tes-tes yang disediakan
oleh setiap peneliti yang telah disebutkan di atas, "Walaupun
Anda mendapat jumlah lebih tinggi di satu kolom, ingatlah
bahwa tidak ada gaya yang murni. Kita semua adalah
campuran dari banyak karakteristik gaya."
Jadi, setelah mengetahui "peta" dan "gaya", kita tetap bebas
untuk menentukan diri kita atau menyampaikan sesuatu
kepada sahabat kita tentang yang kita inginkan. Batasannya
hanya satu: berempati. Artinya, kalau kita mau membuat
sebuah buku, buku yang akan kita buat itu perlu ditimbang
dan dikaji dari pelbagai sisi lebih dahulu, meskipun kita
lantas tidak harus dipusingkan dengan hasil timbangan dan
kajian yang muncul. Rasa empati yang tampaknya amat
perlu ditekankan pada saat sekarang ini adalah
memperhatikan secara serius pembaca yang memiliki
"bakat" memahami gagasan lewat gambar atau yang saya
rumuskan sebagai sisi "tampilan visual". Bagi saya hal ini
menjadi amat penting mengingat bahwa para pembaca yang
tertradisi dalam gaya yang "ngauditorial" sudah pula jenuh
untuk memamah gagasan lewat teks melulu. Teks terlalu
membebani. Teks terlalu kaku. Teks terlalu kering. Teks
kurang "familiar"-lah, kurang menyentuh, kurang
berempati---meskipun teks itu ditujukan untuk orang-orang
auditorial.
Inilah persoalan penting dalam kaitannya dengan
memunculkan secara lebih "menggigit" daya pikat kelima.
Daya pikat kelima ini ukurannya adalah bagaimana
mengefektifkan sebuah buku agar gagasan yang ada di
26
27
28
29