Anda di halaman 1dari 29

Sisi Menarik Sebuah Buku

Gamelan tidak pernah bersorak-sorai; sekalipun di dalam


pesta yang paling gila pun, dia terdengar sayu dalam
nyanyinya, mungkin begitulah seharusnya. Kesayuan itulah
hidup, bukan nyanyi bersorak-sorai.
.....
Malam waktu itu; jendela dan pintu-pintu terbuka; bunga
cempaka berkembang ditentang kamar kami dan bersama
dengan puputan angin segar, berdesah dengan dedaunannya
serta mengirimkan kepada kami ucapan salamnya dalam
bentuk bau harumnya---aku duduk di lantai, sebagaimana
halnya sekarang ini, pada sebuah meja rendah, di kiriku dik
Rukmini, juga sedang menulis, di kananku Annie Glaser, juga
di lantai sedang menjahit, dan di hadapanku seorang wanita,
yang menyanyikan kami sebuah cerita dari buku. Betapa
indahnya! Suatu impian yang mengalun dalam suara-suara
yang indah, kudus, jernih dan bening, yang mengangkat roh
kami yang menggeletar ke atas ke dalam kerajaan makhlukmakhluk berbahagia.
Tulisan R.A. Kartini dalam PRAMOEDYA ANANTA TOER, Panggil
Aku Kartini Saja (Hasta Mitra, 1997)
"Apakah yang menggerakkan orang untuk berbuat sesuatu?"
Demikian kalimat tanya-menyengat Taufik Abdullah saat
mengawali "Kata Pengantar" untuk buku hasil suntingannya,
Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi (LP3ES,
1993, cetakan kelima). Kalimat Taufik Abdullah tersebut
secara amat jelas menyimpan segumpal misteri yang, hingga
kini, masih akan terus menarik untuk diperbincangkan.
Apakah gagasan dapat menggerakkan seseorang untuk
berbuat sesuatu?
"Pertanyaan ini," kata Taufik dalam "Kata Pengantar",
"sesungguhnya telah banyak yang menjawab, tetapi jawaban
itu umumnya bersifat normatif, kurang berdasarkan
penelitian yang empiris. Salah satu aspek dari pertanyaan
tersebut yang pernah dijawab ialah pengaruh ajaran agama
terhadap kegiatan ekonomi. Ada yang mengatakan bahwa
pengaruhnya langsung dan positif, tetapi ada pula yang
mengatakan bahwa antara keduanya tak ada hubungan
sama sekali." Menurut Taufik Abdullah, ada pendapat yang
mengatakan bahwa ajaran agama dapat mempengaruhi
seseorang untuk melakukan sesuatu, misalnya dalam
kegiatan ekonomimeskipun, tentunya, perlu ditambah
dengan beberapa catatan.

"Tesis Max Weber tentang apa yang disebutnya Etika


Protestan (Protestant Ethic, die protestantische Ethik) dan
hubungannya dengan semangat kapitalisme," katanya lebih
jauh dalam Bab Pertama "Tesis Weber dan Islam di Indonesia"
dalam buku hasil suntingannya itu, "sampai sekarang
merupakan salah satu teori yang paling menarik perhatian.
Sejak ia memperkenalkannya pada tahun 1905 dan
kemudian dengan tambahan catatan kaki yang lebih lengkap,
tesis yang memperlihatkan kemungkinan adanya hubungan
antara ajaran agama dengan perilaku ekonomi, sampai
sekarang masih merangsang berbagai perdebatan dan
penelitian empiris. Tesisnya dipertentangkan dengan teori
Karl Marx tentang kapitalisme, dasar asumsinya dipersoalkan
dan ketepatan interpretasi sejarahnya digugat. Samuelsson,
ahli sejarah ekonomi Swedia, tanpa segan-segan menolak
dengan keras keseluruhan tesis Weber. Pokoknya, katanya,
dari penelitian sejarah tak bisa ditemukan dukungan untuk
teori Weber tentang kesejajaran doktrin protestanisme
dengan kapitalisme dan konsep tentang korelasi antara
agama dan tingkah laku ekonomis. Hampir semua bukti
membantahnya, katanya."
Tulisan Taufik Abdullah di atas sungguh menarik perhatian
saya. Di dalam tulisan tersebut ada gagasan. Sebagaimana,
tulisan saya minggu lalu, sebuah buku akan menjadi menarik
bila menyimpan gagasan. Lebih-lebih lagi bila gagasan itu
dapat menggerakkan pikiran, memunculkan dan kemudian
mempersegar gagasan baru. Saya, sebagaimana
Samuelsson, hingga saat ini masih tidak setuju dengan tesis
Weber, namun hal-hal yang ditulis oleh Taufik Abdullah, bila
diletakkan dalam konteks teks yang perlu dikritisi, tetap
memikat daya nalar saya. Hal ini sama persis bila secara
saksama kita memperhatikan tulisan Kartini yang saya
jadikan "spirit" tulisan saya ini. Dalam setting berbeda, saya
merasakan sekali bahwa Kartini berhasil menghadirkan
"suasana" masa lalu, lewat teks, yang sungguh menarik.
Selain merangsang nalar, tulisan Kartini juga amat indah.
Inilah dua contoh tulisan yang mengubah buku menjadi
sesuatu yang lain.
Saya tak hendak mengajak Anda untuk memasuki substansi
dua tulisan tersebut. Saya hanya ingin menunjukkan sisi
menarik sebuah buku yang dapat memikat orang untuk
membacanya. Dan sisi menarik itu lebih saya tekankan pada
cara para penulis tersebut mengomunikasikan gagasangagasannya lewat teks. Saya tertarik mengangkat persoalan

ini karena saya menjumpai banyak buku yang telah ditulis


oleh para tokoh berabad-abad lalu, namun hingga kini masih
memiliki pengaruh besar untuk menarik orang agar
membaca buku-buku karya mereka itu. Mengapa buku-buku
tersebut seperti "hidup" dan terus-menerus menebarkan
manfaat pada setiap zaman? Daya pikat apa yang dimiliki
oleh buku-buku tersebut sehingga mampu "menyihir" para
cendekiawan untuk bertekun-tekun menyimak dan
mendiskusikannya?
Di samping tulisan Kartini yang "meninju langit" di atas,
cobalah tengok salah satu buku hasil kreasi Imam Al-Ghazali
berjudul Ihya Ulumiddin (Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama).
Ulama hebat, yang memiliki nama panjang Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Abu Hamid Al-Thusi,
ini hidup pada abad kesebelas Masehi. Beliau amat produktif
menulis buku. Salah satu karyanya, yang telah saya sebutkan
judulnya di atas, begitu memukau banyak tokoh hebat
sehingga para tokoh tersebut terilhami untuk melahirkan
karya-karya hebat pula. Annemarie Schimmel, dalam Dan
Muhammad adalah Utusan Allah: Penghormatan terhadap
Nabi Saw. dalam Islam (Mizan, 1991), menunjukkan kepada
kita soal ini. Dalam buku tersebut, Schimmel menuliskan satu
bab untuk membahas sosok-menarik penyair dan filosof abad
ini, Muhammad Iqbal. Judul bab itu "Nabi Muhammad dalam
Karya Iqbal" diletakkan oleh Schimmel di paling ujung
karyanya, setelah secara panjang lebar dia membahas
kekayaan melimpah hasil kreasi para sufi agung yang
melantunkan puja-puji nan indah terhadap tokoh panutan
mereka, Muhammad Rasulullah Saw.
"Karya-karya Iqbal merupakan suatu pintalan berbagai
nuansa yang menarik yang berkisar dari fundamentalisme
Islam sampai teori-teori ilmiah paling mutakhir dari Barat,
dari penerbangan-penerbangan mistikal ke dalam Hadirat
Tuhan sampai analisis-analisis rasional tentang fenomena
spiritual," tulis Schimmel di awal pembahasannya.
"Kepelbagaimacaman ini nyata sekali di dalam karya
prosanya yang berbahasa Inggris, The Reconstruction of
Religious Thought in Islam (yang hampir pasti diilhami oleh
judul karya Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin)."
Perhatikan tulisan Schimmel paling akhir yang diberi tanda
kurung. Dia begitu yakin bahwa judul karya Iqbal diilhami
oleh judul buku (lebih tepat gagasan) Al-Ghazali. Iqbal hidup
di abad kedua puluh. Jadi, kalau pernyataan Schimmel kita
ikuti, maka pengaruh Al-Ghazali masih begitu terasa

meskipun gagasannya sudah lama terbang di benak para


cendekiawan selama kurang lebih sembilan abad! Luar biasa,
Ihya Ulumiddin "hidup" dan "menghidupi" gagasan selama
itu. Mengapa buku karya Al-Ghazali dapat bertahan sekian
abad? Daya pikat apa yang dimiliki buku tersebut sehingga
mampu menarik orang untuk membacanya? Apakah Ihya
Ulumiddn akan mampu "hidup" lebih lama lagi berabadabad kemudian? Inilah sebuah keadaan yang menggoda saya
untuk membahasnya. Saya, terutama, akan mencoba
menemukan "ukuran" daya pikat sebuah buku berdasarkan
fenomena buku karya Imam Al-Ghazali.
Menurut saya, setidaknya ada empat faktor yang membuat
sebuah buku memiliki daya pikat. Saya menyebutnya
faktor---yang secara bahasa dimaknai sebagai "hal (keadaan,
peristiwa) yang ikut menyebabkan (mempengaruhi)
terjadinya sesuatu"---karena "hal" itu harus dibangun oleh
penulisnya. Jadi, bila faktor-faktor yang akan saya sebutkan
nanti dapat dimunculkan, insya Allah, sebuah buku dapat
mempengaruhi pembacanya. Pengaruh itu bisa berupa (1)
menggerakkan pikiran, (2) mengilhami untuk berkarya atau
merangsang inovasi baru dalam tataran konsep, dan (3)
menggerakkan perbuatan, meskipun untuk soal yang ketiga
itu saya masih merasa belum yakin. Saya akan mencoba
menguraikan empat faktor tersebut beserta argumentasi
saya dalam sub-subbab berikut.
Daya Pikat (1): Konstruksi Gagasan
Secara bahasa, gagasan adalah "hasil pemikiran". Aktivitas
menulis dapat dikatakan sebagai sebuah proses untuk
melahirkan gagasan. Menulis, secara bahasa, selain diartikan
sebagai "membuat huruf (angka, dan sebagainya) dengan
pena (pensil, kapur, dan sebagainya)" juga dapat diartikan
sebagai "melahirkan pikiran atau perasaan (seperti
mengarang, membuat surat) dengan tulisan". Apabila, pada
tulisan lalu, saya memaknai "membaca" dalam konteks yang
lebih dalam, tidak sekadar membaca huruf, tetapi
"menghimpun makna", dalam soal ini, menulis juga ingin
saya maknai sebagai tidak sekadar menuliskan huruf-huruf di
selembar kertas, tetapi sebagai upaya untuk "melahirkan
pikiran sekaligus perasaan". Menulis yang kemudian
memberikan makna, atau memberikan manfaat, bagi si
penulis tak lain adalah sebuah contoh berpikir yang serius.
Bila berpikir tidak disertai, atau tidak ditindaklanjuti, dengan
menulis, maka keberpikiran tersebut, mungkin, tidak dapat
dikatakan serius.

"Ikatlah ilmu dengan menuliskannya," demikian sabda Imam


Ali bin Abi Thalib. Apabila kita merujuk kepada sabda ini,
menuliskan sesuatu itu bagaikan mengikatkan sesuatu.
Seolah-olah seorang penulis, saat tulisannya lahir dan dapat
dibaca oleh diri sendirinya atau orang lain, melakukan
semacam akad atau perjanjian. Si penulis berjanji bahwa halhal yang dituliskan itu benar menurut pemahamannya dan
dia terikat dengan hal-hal yang dituliskan. Apabila di dalam
selembar kertas dia menyatakan bahwa kejujuran itu penting
bagi terselenggaranya transaksi yang sehat, dalam sikap dan
tindakannya dia harus berusaha keras menghadirkan
kejujuran secara real, tidak cukup hanya menghadirkan
kejujuran di atas kertas atau di dalam benaknya. Dengan
kata lain, dia harus sungguh-sungguh mencontohkan sikap
jujur, sebuah sikap yang "lurus hati", tidak curang, dan tidak
berbohong.
Inilah, selayaknya, konsekuensi menuliskan sesuatu.
Selanjutnya, seorang penulis perlu memperhatikan secara
saksama bahwa penyampaian gagasan lewat sebuah tulisan
itu amat berbeda dengan penyampaian lewat mulut (sekadar
bersuara atau berbicara). Kadang-kadang, karena lidah tidak
bertulang, tidak ada konsekuensi apa pun yang timbul dari
penyampaian gagasan lewat suara. Seorang orator tidak
"terikat" dengan suara-suara membubung tinggi yang
dilengkingkannya, kecuali bila suara-suara itu kemudian
direkam dalam bentuk tulisan atau sebelum dia
melengkingkan gagasannya lewat mulut dia menuliskan lebih
dahulu dan kemudian membacakannya dengan merujuk teks
yang dituliskannya.
Selain perbedaan dalam hal konsekuensi, menulis juga perlu
ketertataan; sementara berbicara, kadang-kadang, tidak
dituntut untuk benar-benar tertata. Menata teks lebih berat
daripada menata suara. Menata teks perlu kaidah, perlu
aturan yang ketat (lihat rumusan Anton M. Moeliono dan
Meithy Djiwatampu sebelum ini). Untuk memenuhi kaidah
ketat tersebut, seorang penulis perlu berlatih secara kontinu,
konsisten, dan sungguh-sungguh. Untuk menyampaikan
gagasan lewat mulut juga perlu berlatih agar orang yang
mendengarkan dapat secara benar memahami. Namun, bila
seorang orator mampu menulis dengan baik dan benar,
secara otomatis, dia tentu dapat menyampaikan gagasannya
lewat mulut secara tertata.
Saya akan mulai memusatkan pembahasan pada pentingnya
bangunan atau konstruksi gagasan dalam konteks

melahirkan daya pikat sebuah buku. Pembahasan ini, tentu


saja, akan mudah diikuti apabila Anda benar-benar telah
memahami makna-terdalam menulis. Dan saya akan
mengartikan manfaat gagasan dalam perspektif yang,
mungkin, berbeda. Merujuk kepada tulisan sebelum ini, telah
jelas terbaca bahwa saya berusaha menunjukkan "gizi" buku
terletak pada keberhasilan sebuah gagasan yang dikandung
oleh buku dalam menggerakkan pikiran orang yang
membacanya. Lalu, bagaimanakah agar seorang penulis
mampu membangun gagasannya secara memikat? Apa sih
yang disebut gagasan dalam konteks yang lebih luas?
Gagasan itu sesungguhnya merupakan himpunan makna
yang menyadarkan kita. Gagasan yang bagus, kadang,
belum mampu menggerakkan seseorang untuk melakukan
sesuatu. Mengapa? Karena tindakan manusia tidak dilandasi
oleh sebuah gagasan. Apalagi kalau tindakan itu merupakan
suatu amal saleh, sebuah atau serangkaian tindakan yang
memerlukan pengurbanan, penderitaan, dan empati.
Gagasan kadang hanya berkawan dengan nalar dan bukan
hati. Agar sampai ke hati, gagasan memerlukan waktu yang
cukup panjang. Perlu analisis baik-buruk. Perlu biaya. Perlu
macam-macam. Dan yang menganalisis itu nalar. Kadang
sudah dekat sekali ke hati, dan hati tinggal bilang, "Ya,
segera kerjakan!" eh tiba-tiba nalar membatalkan
komitmennya. Tak terciptalah kemudian amal manusia.
Gagasan tinggallah jadi gagasan.
Bagaimana gagasan itu muncul dan dengan apa sebuah
gagasan bisa dikenali? Gagasan itu muncul lewat
serangkaian proses "kemanusiaan" yang rumit dan kadang
berbelit-belit. Makna "kemanusiaan" di sini saya artikan
sebagai sebuah mekanisme yang sudah sewajarnya
ditempuh oleh seorang manusia yang disebut intelektual.
Gagasan harus lahir dari seorang intelektual karena seorang
intelektual sudah terbiasa melatih inteleknya untuk
bertarung dengan makna. Pertarungan yang kadang habishabisan atau mati-matian inilah yang akhirnya
merangkumkan semua makna dan lahirlah gagasan.
Akan tetapi, tak semua intelektual dapat melahirkan gagasan
yang cemerlang. Hanya intelektual-khusus saja yang mampu
melahirkan gagasan-cemerlang. Mengapa tak semua
intelektual mampu melahirkan gagasan cemerlang? Karena
banyak intelektual yang terjebak pada makna-makna
teoretis, makna yang tidak mengacu kepada realitas sejati.
Lalu siapa intelektual-khusus itu? Salah seorang yang dapat

disebut intelektual-khusus, bernama Ali Syari`ati,


menyebutnya sebagai rausyanfikr. Intelektual-khusus ini
kadang tidak harus dilahirkan dari sekolah formal. Atau bisa
saja dia bersekolah formal, dapat gelar berderet, tetapi di
dalam sanubarinya sesungguhnya dia antiteori. Artinya, dia
lebih mengacu ke realitas atau pengalaman yang digelutinya
dalam berproses dan melahirkan rumusan-rumusan
kehidupan.
Mengapa gagasan cemerlang lahir dari intelektual-khusus
ini? Karena dia revolusioner, senantiasa ingin melihat
perubahan besar dan amat mendasar. Intelektual-khusus ini
percaya bahwa masyarakat atau keadaan harus berevolusi
setiap saat ke arah yang lebih baik, lebih sempurna. Dia lalu
memasukkan pengalaman yang diperolehnya di masyarakat
ke dalam hati, bukan akalnya. Pengalaman atau realitas tidak
perlu dianalisis terlalu njlimet. Mekanisme seperti inilah,
yaitu hati yang begitu siap menerima hidayah, yang lalu
mampu mengeluarkan gagasan cemerlang.
Ingat, setiap gagasan hanya bisa disampaikan lewat katakata. Tidak bisa---atau tidak akan efektif bila---menggunakan
medium lain, sebagaimana telah disinggung di atas. Ini juga
problem karena gagasan yang dituangkan dalam tulisan,
rata-rata akan kehilangan sekitar lima puluh persen dari
aslinya. Persentase kehilangan itu akan bertambah banyak
bila si penggagas tidak terlatih menulis. Dan akan kehilangan
tambah banyak lagi, kalau si penggagas tidak terbiasa
berpikir eksak (lewat angka atau gambar [perspektif]).
Jadi, kembali ke soal kaitan antara gagasan dan buku, maka
buku akan memiliki daya pikat bila ada gagasan cemerlang
yang dibangun lewat bahasa yang logis dan terstruktur, serta
gamblang disimpulkan (meskipun dalam proses penyimpulan
itu diperlukan perjuangan hebat untuk menemukan maknamakna tersembunyi yang bersarang di dalam miskinnya
bahasa manusia). Sebagai panduan ringkas, gagasan yang
baik, sebagaimana yang ada di sebagian besar buku Penerbit
Mizan, itu dituliskan atau dirumuskan lewat bahasa yang
anggun atau elegan, kemudian "menggigit", dan kadang
"memukul".
Bahasa yang elegan, "menggigit", dan "memukul" ini
merupakan unsur-unsur sebuah intelektualitas bahasa.
Elegan dalam arti tidak jorok dan ceroboh, lalu sopan, serta
indah. Bahasa dikatakan mampu "menggigit" bila bahasa itu
tak sekadar punya "gigi", tetapi juga "taring". Bila ia tak
punya taring, tak ada guna ia menyeringai. Maksud saya,

dalam saat-saat tertentu, bahasa harus dapat menampakkan


kemarahan dan menggentarkan seorang pembaca. Dalam
maknanya yang lain, "menggigit" dapat pula diidentikkan
dengan impresif, mengesankan. Lalu "memukul" diperlukan
bila bahasa digunakan untuk melawan sekaligus menolak
argumentasi yang keras kepala, tetapi sebenarnya keliru.
Paduan ketiga unsur ini akan membuahkan seperangkat
kalimat, alinea, bab, dan bagian buku yang merangsang
intelek untuk terus-menerus melahirkan gagasan-gagasan
segar dan baru.
Di mana, di dalam sebuah buku, kita dapat menemukan
konstruksi dan kelogisan gagasan yang baik? Pertama, dalam
paduan judul, sinopsis, dan mungkin desain sampulnya.
Kedua, dalam paduan Pengantar Penulis atau Editor atau
Penerbit, halaman awal, sistematisasi isi, dan catatan kaki.
Ketiga, paduan sempurna antara yang pertama dan yang
kedua.
Daya Pikat (2): Visi Penulis
Secara amat mengesankan, Katon Bagaskara, pentolan grup
musik KLa Project, memadankan visi dengan "saujana". Hal
ini dilakukan saat dia bersama grupnya menjelaskan latar
belakang penciptaan lagu "Saujana" yang ada di album
musik terakhirnya, Sintesa. Saya lalu mengecek di Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Memang ada kata "saujana", namun
kata tersebut diberi tanda panah ke arah kata "yojana". Saya
lalu melacak kata "yojana". Ternyata arti "yojana" adalah
"jarak". Saya lalu setuju dengan pernyataan Katon.
Visi itu sebuah kata yang megah, elegan, dan luxurious.
Merujuk kepada pendapat Katon, kalau kata visi kita tarik ke
dalam lingkup budaya kita, diperolehlah suatu keadaan yang
tidak meleset jauh dengan yang dimaksudkan oleh orang
sono. Orang yang mempunyai visi berarti orang yang
mempunyai potensi untuk---secara prigel---"mengukur jarak".
Contoh mudahnya adalah sebagai berikut. Suatu saat Anda
ditanya oleh seseorang, yang bukan penduduk Jawa Barat,
"Berapa sih jarak antara Bandung-Garut?" Bila Anda dapat
menjawab sekian kilometer dengan tepat, maka Anda
termasuk orang yang memiliki visi dalam tingkatan terendah.
Kemudian, orang tersebut bertanya lagi, "Berapakah waktu
tempuh jarak Bandung-Garut bila memakai bus?" Bila Anda,
sekali lagi, dapat menjawab sekian jam dengan tepat, Anda
sudah menaikkan kemampuan visioner Anda. Begitu
seterusnya hingga pertanyaan orang yang akan ke Garut itu
tiba pada wilayah yang lebih abstrak, yang lebih sulit dijawab

secara sederhana. Misalnya, "Kapan saat yang tepat untuk


pergi ke Garut agar bus saya terhindar macet?" Atau, "Kalau
saya mampir dulu di Cipadung, lalu menyerahkan hasil
cetakan ke Rancaekek dan baru ke Garut, rute mana yang
pantas saya tempuh agar perjalanan saya dapat seefisien
dan seefektif mungkin?" Ini tentu memerlukan detail-detail
perhitungan tersendiri dan juga pengumpulan pengalaman
yang mencukupi agar prediksi-prediksi jawaban tidak
menyimpang jauh.
Menurut John P. Kotter, dalam Leading Change (Gramedia,
1997), visi adalah gambaran realitas masa depan yang
menarik dan logis (rasional). Seseorang yang mampu
melukiskan perjalanan Bandung-Garut itu seperti apa--secara menarik dan penuh detail---akan menyemangati plus
menggairahkan orang-orang yang akan pergi ke Garut.
Apalagi bila rumusan gambaran itu ditambah dengan imingiming tentang apa saja yang bisa dicapai di Garut yang
membuat seseorang yang akan pergi ke Garut itu dapat
memuasi tujuan yang hendak diraihnya.
Nah, gagasan yang baik biasanya lahir dari seorang penulis
yang berkarakter. Ini tidak bisa dibalik. Secara bahasa,
karakter diartikan sebagai "sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau
budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang
lain". Namun, seorang penulis yang berkarakter dan memiliki
visi yang jauh ke depan, bisa dibantu editor atau penerbit
untuk menghasilkan gagasan yang baik. Ini sudah lazim
dilakukan di Barat. Banyak buku yang ditulis oleh dua, atau
bahkan tiga, orang. Bagaimana menemukan karakter
seorang penulis? Bagaimana pula mendeteksi bahwa penulis
A punya visi, sementara penulis B tidak memiliki visi? Atau,
sebelum sampai ke pertanyaan tersebut, tampaknya, kita
perlu bertanya dulu, mengapa daya pikat itu terletak pada
karakter dan visi seorang penulis?
Jawaban untuk pertanyaan paling akhir bisa ditanyakan balik.
Apa yang membuat seseorang itu memiliki karisma atau
suatu hal istimewa sehingga dia pantas diperhatikan dan
dipelajari kiprah kehidupannya? Biasanya bukan kualitas sisi
luar (seperti kekayaan, kecantikan atau kegantengan,
pangkat, gelar, ataupun embel-embel yang semacam itu)
yang membuat seseorang berkarisma. Yang membuat
seseorang berkarisma adalah kualitas sisi dalamnya (seperti
bobot yang dihasilkan akal dan hatinya, atau lebih tepat
disebut jati dirinya). Sisi dalam ini akan kentara sekali bila
seseorang mampu menulis sebuah buku. Karakter akan

muncul dalam gaya ungkapnya: lugas atau berputar-putar,


konsisten atau plin-plan, penganut mazhab teoretisi atau
praktisi, kuat dalam argumentasi atau tidak, dan
semacamnya. Karakter dapat dimaknai sebagai pembiasaanpembiasaan yang dilakukan oleh seseorang secara terusmenerus dan konsisten sehingga dalam berkehidupan, orang
yang berkarakter itu tampil amat beda (dan menonjol)
dibandingkan dengan orang-orang di sekelilingnya.
Sementara itu, visi akan muncul dalam caranya memilih
tema unik-menarik atau mengulas sebuah tema yang biasa.
Visi yang kuat dan tajam biasanya akan melahirkan metode
pembahasan yang canggih. Visi yang luas dan jauh juga akan
memperkaya wawasan dan perspektif seorang penulis.
Dalam konteks seperti ini, visi menjadi penting karena visi
berkaitan dengan waktu. Kalau berpijak pada definisi bahasa,
visi diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam melihat
inti persoalan, sebagaimana sempat dijelaskan panjang-lebar
di atas. Kalau berpijak pada pandangan Iqbal, visi---dalam
rumusan saya---berarti suatu kemampuan menyatukan atau
merajut masa lalu yang jauh (apakah itu sejarah Rasulullah
Saw. atau pengalaman hidupnya yang amat berkesan)
dengan kekinian dan kedisinian yang sedang dilakoninya
untuk kemudian "menengok", secara amat menukik, pelbagai
kemungkinan yang akan terjadi di masa depan.
Bagaimana mengetahui semua itu tertanam dalam di dalam
diri seorang penulis? Pertama, kita bisa mengetahuinya lewat
kehidupan sehari-harinya, baik dalam interaksinya dengan
keluarga, tetangga, atau masyarakat yang lebih luas. Kedua,
kita bisa mempelajari lewat biografi akademis atau kisahkisah tepercaya para sahabat dekatnya. Ketiga, kita bisa
mendeteksi lewat kekayaan dan keluasan bacaannya. Dan
keempat, lewat akhlaknya. Untuk menemukan seorang
penulis yang berkarakter dan memiliki visi yang kuat,
keempat data yang kita peroleh itu harus saling mendukung
dan memperkukuh sosoknya.
Bagaimana kalau keempatnya tidak padu? Usahakan
menemukan salah satu di antara keempat hal di atas yang
sangat kuat merepresentasikan diri seorang penulis. Artinya,
bisa jadi sangat sulit kita menemukan kebaikan-kebaikan di
keempat hal tersebut. Bila teralami hal yang demikian, dari
keempat hal itu harus ada yang sangat baik, sangat kuat,
dan amat menonjol yang tidak dapat ditandingi oleh orangorang yang berada di sekitarnya. Biasanya salah satu hal
yang amat menonjol ini menjadi karakternya.

10

Wow, sudah terlalu jauh kita berjalan. Lelahkah Anda?


Bosankah Anda dengan kicauan saya? Saya memohon maaf
bila saya terlalu ngebut sehingga "jalan" yang seharusnya
dapat begitu pendek kita tapaki ternyata jadi panjang dan
seperti tanpa arah. Kita juga, saya terutama, lupa untuk
membahas dua daya pikat yang lain. Oke, sekali lagi saya
memohon maaf, dan dua yang lain itu akan kita bahas pada
edisi berikutnya.
Terima kasih atas kesediaan Anda membaca teks ini, dan
senang sekali saya dapat membantu Anda ataupun
menghadirkan secuil manfaat yang mungkin mampu Anda
rasakan di lubuk sanubari Anda. Sampai jumpa!
Bandung, 31 Mei 1999

11

Sisi Menarik Sebuah Buku (2)


Di balik yang tampak, masih banyak hal menarik yang pantas
diketahui. Di dalam yang tak tampak, apabila kita benarbenar mampu memahaminya secara total, kadang-kadang
yang kita peroleh dari yang tak tampak itu dapat lebih efektif
memberitahukan kepada kita tentang manfaat atau makna
sesuatu yang tampak itu.
SUARA DARI DALAM

Tulisan sebelum ini telah memberitahukan kepada kita


adanya empat faktor yang dapat membuat buku menjadi
menarik untuk dibaca dan dipahami. Faktor, atau yang
kemudian saya sebut "daya pikat", tersebut telah tertemukan
dua macam. Yang pertama berkaitan dengan konstruksi
gagasan dan yang kedua tentang visi pengarang. Dua
macam "daya pikat" ini jelas berasal dari, atau melekat sejak
awalnya dengan, sosok pengarangnya. Meskipun pernah
saya katakan pula bahwa membangun dan menyajikan
gagasan secara baik itu dapat dibantu oleh penerbit atau
seorang editor, tetap kecemerlangan gagasan bergantung
mutlak pada kehendak dan kepiawaian seorang pengarang.
Lebih-lebih "daya pikat" yang berkaitan dengan visi, dan
karakter, pengarang. Ini harus lahir "dari dalam", bukan "dari
luar" pengarang.
Nah, masih ada dua "daya pikat" lain yang dapat membuat
sebuah buku tampil menarik. Dan "daya pikat" yang dua lagi
ini, keberhasilannya bergantung sekali pada kepiawaian
penerbit dalam mengolah dan mengemasnya. Namun,
sebelum melangkah lebih jauh, perlu disadari bahwa dua
"daya pikat" ini akan amat powerful bila konstruksi gagasan
dan visi pengarang, sejak asalnya, memang sudah bermutu.
Apa faktor ketiga dan keempat yang menjadikan sebuah
buku menjadi menarik? Pertama adalah, saya simbolkan,
dengan "sosok" buku. "Sosok yang menyejarah" adalah
identitas sebuah buku yang menarik. Kedua adalah "bentuk"
buku. "Sosok yang melangit" adalah identitas lain sebuah
buku yang dapat dikategorikan menarik.

12

Sebelum menjelaskan lebih jauh mengenai "sosok yang


menyejarah" dan "bentuk yang melangit", saya akan
membahas soal "sosok" dan "bentuk" terlebih dahulu.
"Sosok" dan bentuk" itu dapat berkaitan dengan hal-hal yang
material ataupun yang nonmaterial. "Sosok" yang saya
maksudkan dalam konteks tulisan ini adalah sistem
menyeluruh tampilan sebuah buku. Jadi, paduan antara
desain sampul, judul, pilihan tipografi, dan lain-lainyang
berkaitan dengan unsur pembangun tampilan fisikal sebuah
bukuitu benar-benar mencerminkan kekompakan,
kesolidan, dan keutuhan buku. Bahkan, lebih jauh, apabila
sebuah buku diamati secara saksama, tampilan visualnya
ada yang mampu memberikan satu kekhasan atau karakter
yang menonjol buku tersebut. Kalau buku itu membahas
tema politik, terlihat bahwa ada salah satu unsur atau
paduannya yang mencerminkan secara khas identitas
kepolitikannya; demikian juga bila buku tersebut
menampilkan tema hukum, misalnya.
Lalu, "bentuk" yang saya maksudkan adalah bagian kecil
(part) sebuah sistem yang dapat ditonjolkan dan yang
mencerminkan salah satu kelebihan atau "daya pikat" buku
tersebut. Misalnya, nama pengarang yang mewakili otoritas
di bidang tema yang sedang dibahasnya. Atau, tema yang
diangkat mampu menunjukkan bahwa buku tersebut menjadi
penting karena sesuai dengan keadaan yang tengah terjadi.
Atau juga, pilihan warna yang khas yang tecermin dari desain
sampul memberikan daya tarik tersendiri dan menjadikan
buku tersebut khas. Perbedaannya dengan "sosok", "bentuk"
ini mencuatkan satu atau dua "daya pikat" yang khusus
setelah "sosok", secara keseluruhan, memberitahukan segi
menarik sebuah buku secara total.
Saya menggunakan istilah "sosok yang menyejarah" karena
saya ingin, sebuah buku yang menarik itu memiliki waktu
edar "abadi", sebagaimana buku Ihya `Ulumiddin, yang
mampu menaburkan gagasan segar dan baru di setiap
zaman, dan, pada gilirannya, berhasil menggerakkan pikiran
para tokoh di setiap zaman untuk menemukan gagasangagasan yang lebih baru dan lebih segar. Sebaliknya, saya
menggunakan "bentuk yang melangit" karena langit itu
menyimbolkan keluasan, hampir-hampir keluasan itu tidak
ada batasnya. Nah, buku yang bentuknya melangit, menurut
saya, akan mampu merangsang imajinasi si penikmat atau
pembacanya untuk melayang-layang bersama buku tersebut
ke tempat-tempat yang jauh dan, mungkin, amat panjang.

13

Daya Pikat (3): Sosok yang Menyejarah


Al-Quran, kitab suci orang Islam, adalah "buku" yang amat
menyejarah. Kitab suci umat beragama selain Islam, ratarata, memiliki sifat seperti itu juga. Sosoknya jelas dan tegas:
kompak, canggih, perkasa, dan memiliki "energi hidup" yang
tak terukur oleh zaman. "Buku" macam ini bagaikan mutiara.
Dari sudut mana pun kita memandang, cahaya senantiasa
terpancar dari sisi-sisi sosoknya. Ia sumber inspirasi. Ia,
secara kuat, memberikan motivasi. Ia bagaikan tak mengenal
waktu. Ia dirujuk oleh berjenis-jenis manusia. Ia senantiasa
memuncratkan madu yang darinya banyak orang berhasil
mencicipi manfaat.
Sisi lahiriah Al-Quran itu begitu indah. Substansi wahyu yang
digoreskan oleh para ahli yang prigel menuliskan khat, dalam
bentuknya yang beraneka ragam, demikian tampak kukuh
dan liat. Al-Quran tampil dalam beragam cara, baik secara
fisikal maupun nonfisikal. Bahkan, secara menakjubkan, AlQuran mampu berdialog dengan banyak kalangan, kadangkadang pelbagai kalangan itu tak terbatasi usia, dan
memberikan manfaat yang bertingkat-tingkat sesuai dengan
kemampuan setiap orang yang menyerap Al-Quran.
Buku yang memiliki sosok memikat, selayaknyalah, memang,
mencontoh Al-Quran. Sistem penampilan Al-Quran demikian
total dan jenial. Dalam hal buku, kepaduan dan kelogisan
tata warna sampul depan dengan tipografi judul ataupun
"makna-makna" yang ditampilkan oleh judul, kemudian
dipandu oleh sinopsis yang memperkaya dan memperkuat
makna judul, ditambah uborampe lain di dalam seluruh muka
sampul, akan menunjukkan apakah buku itu memiliki daya
pikat atau tidak. Apabila sebuah buku kita pandang lewat
indra mata, dan mata mampu merangsang pikiran dan
perasaan, lalu setelah proses sekian detik tampillah persepsi
mengenai komposisi seluruh unsur buku yang ada, dan kita
terpikat, buku tersebut memang menarik.
Buku yang indah dan memikat adalah buku yang mampu
memadukan unsur-unsur visual, yaitu seluruh unsur yang
harus terdapat di sampul buku yang dimilikinya menjadi
sesosok atau sebuah sistem yang selaras dan setara. Apa
pun yang "disuarakan", apa pun yang "disampaikan", dan
apa pun yang ingin "dipesankan", biasanya harus melewati
tampilan visual yang memikat dan memberikan rangsangan
tertentu. Buku yang memendam pengetahuan menarik dan
penting untuk dibaca, kadang-kadang gagal dan tidak sampai

14

dibaca oleh konsumen yang dituju, gara-gara komunikasi


visualnya payah.
Bagaimana membuat buku yang memiliki "sosok yang
menyejarah"?
Pertama, perlu mematuhi hukum berikut, "adalah mustahil
dapat menampilkan sosok memikat sebuah buku bila daya
pikat pertama dan daya pikat kedua tidak ada alias nilainya
nol". Jadi, konstruksi gagasan yang baik dan visi penulisnya
perlu ada dulu. Kalau dua "daya pikat" ini tidak ada, upaya
menampilkan "sosok yang menyejarah", betapapun upaya ini
dilakukan secara mati-matian, ini ibarat me-make up
seseorang yang secara lahiriah dan batiniah, pada dasarnya,
tidak menarik. Mungkin saja upaya mati-matian me-make up
buku ini secara visual berhasil, namun keberhasilan tersebut
tentu tidak akan tahan lama. Buku itu, ringkasnya, tidak akan
menyejarah. Buku itu, bisa jadi, jatuh pada slogan "hanya
memberikan janji dan bukan bukti".
Kedua, "pengemas" perlu menguasai anatomi sebuah buku.
Tanpa penguasaan atas materi penting ini, bisa jadi si
"pengemas" buku mengoleskan "maskara" tidak pada
tempatnya. Atau bisa jadi, yang seharusnya dioleskan di atas
judul itu warna pink, eh ini malah warna merah menyala.
Mari, sejenak, kita kembali ke soal me-make up wajah.
Sebelum seseorang menghabiskan seluruh alis yang ada di
wajahnya, dan kemudian menggantinya dengan warna hitam
pekat, tentulah dia akan menghasilkan make up yang baik
bila dia mempelajari terlebih dahulu komposisi bentuk wajah
orang yang akan di-make up. Atau sebelum seseorang
mengoleskan gincu warna ungu di bibir seseorang, tentulah
dia telah menyesuaikan warna tersebut dengan unsur lain
yang akan tampil. Jadi, bila seseorang akan me-make up
"sosok" buku, dia harus memahami benar anatomi sebuah
buku.
Ketiga, penampilan "sosok" sebuah buku ternyata amat
bergantung pada bahasa. Maksud saya, selain aspek visual,
sisi menarik sebuah buku ini hanya dapat diungkapkan, atau
diketahui hebat-tidaknya, lewat medium bahasa. Di tulisan
sebelum ini, saya sempat menyinggung soal kehebatan
bahasa yang mampu "menggigit" dan "memukul",
sebagaimana yang digunakan oleh Penerbit Mizan. Agar kita
dapat menampilkan kehebatan "sosok" sebuah buku secara
hebat, kita harus menguasai beberapa hal berikut ini.
Pertama, kita harus memiliki kekayaan kosakata. Kedua,
kita harus piawai memainkan "komposisi" diksi. Ketiga, kita

15

terlatih berpikir secara logis dan amat tertata. Dan


keempat, telah prigel (mahir) menulis.
Daya Pikat (4): Bentuk yang Melangit
Sebagaimana sudah disinggung selintas di atas, "langit"
dipakai sebagai simbol dalam konteks daya pikat keempat ini
untuk menunjukkan keluasan dan "ketakterbatasan" yang
dapat ditangkap oleh indra mata. Buku yang memiliki
"bentuk yang melangit" adalah buku yang dapat
"menerbangkan" pikiran pembacanya ke wilayah terjauh
atau memungkinkannya untuk menafsirkan judul, komposisi
warna, dan apa pun saja yang tercantum jelas di sampul
buku secara amat bervariasi. Apresiasi terhadap buku
"melangit" ini kadang membuahkan hal-hal yang tak terduga.
Misalnya, hanya karena judul, seseorang dapat tertarik dan
kemudian membahas buku tersebut bertingkat-tingkat dan
melayang sampai jauh. Hanya karena karakter yang dibawa
oleh seorang pengaranglah sebuah buku dapat memiliki
"daya sihir" yang mampu mengubah "loyang" jadi "emas
murni". Dan, mungkin, hanya karena paduan warna yang
serasi dan "mencekam", sebuah buku jadi penuh misteri.
Bagaimana cara mengeksplorasi dan kemudian
mengeksploitasi "bentuk" yang dimiliki sebuah buku
sehingga buku tersebut dapat dilejitkan lewat salah satu
unsurnya yang memiliki potensi memikat konsumennya?
Pertama, seseorang harus mengetahui lebih dahulu, secara
mendasar, perbedaan antara "sosok" dan "bentuk".
Sederhananya, "sosok" itu mewakili sistem sebuah buku
yang tiap-tiap unsurnya harus dipadukan supaya kompak dan
harmonis, sementara "bentuk" mewakili bagian-bagian
(part)-nya. Mengenai "sosok" telah dibahas di atas. Mengenai
"bentuk", dapat dikatakan bahwa unsur-unsur yang ada di
dalam "bentuk" sebuah buku dapat diapresiasi dan kemudian
dieksploitasi secara mandiri tanpa ada kaitan dengan "sosok"
(sistem)-nya. Sebagai contoh, Gus Ballon, desainer bukubuku Mizan, pernah mengeksploitasi nama pengarang
sebuah buku secara amat menonjol dan keluar dari batasbatas yang selazimnya.
Kedua, "bentuk" itu harus sederhana. Untuk kasus ini, paling
tepat adalah mengambil contoh bentuk-melangit Ka`bah.
Seorang penulis-"petualang" dari Barat, yang telah bernamaMuslim, Muhammad Asad, dalam salah satu bukumemikatnya, Jalan ke Makkah (Mizan, 1985), menuliskan
pengalamannya saat bertemu dan bertatap-muka dengan
Ka`bah. Dia mengatakan bahwa daya pikat Ka`bah tecermin

16

dari kesederhanaan bentuknya. Penulis tafsir Al-Quran


modern yang berpengaruh, The Message of the Quran, dan
buku menarik berjudul Islam at the Crossroads, ini
melukiskan perasaannya saat menatap Ka`bah dalam
balutan kata-kata indah yang sungguh menggetarkan (h.
432):
di depan Ka`bah, terkesan bahwa tangan
seorang pembangun demikian dekatnya
dengan konsepsi agamanya. Justru dalam
kesederhanaan kubus itu, yang menyangkal
segala keindahan garis dan bentuk, berkatalah
pikiran ini, "Betapapun indahnya segala apa
yang mampu dibuat oleh tangan-tangan
manusia, adalah congkak jika dibandingkan
dengan kebesaran Tuhan. Oleh karena itu,
semakin sederhana yang dapat disombongkan
manusia, merupakan hal terbaik yang dapat
dibuatnya untuk menyatakan kebesaran
Tuhan."
Semakin sederhana sebuah bentuk, semakin mampu bentuk
itu memberikan sayap kepada para pengapresiasinya.
Kesederhanaan yang mecapai puncak tidaklah
mencerminkan perbuatan asal-asalan. Ia malah
mencerminkan perilaku sebaliknya, yaitu kesungguhan yang
tanpa kompromi. Sampul yang mengambil tiga hingga empat
tipe huruf akan membingungkan dan merancukan
pemahaman. Juga "lembar pemisah" sebuah buku, akan
tampak anggun bila tidak memakai banyak ornamen. Dan
seterusnya hingga aturan kesederhanaan ini dibawa keliling
ke unsur masing-masing yang membangun "bentuk" sebuah
buku.
Ketiga, "bentuk" itu harus luwes. Untuk kasus ini, paling tepat
adalah mengambil contoh format atau ukuran sebuah buku.
Jenis buku novel akan amat cocok bila dibentuk sebagai buku
saku. Kesan ringan, simpel, dan cair bila dibaca tampak dari
"bentuk"-nya. Buku anak-anak usia di bawah lima tahun akan
memberikan kenyamanan bila "bentuk"-nya diluaskan atau
bidang-bidang bagian dalam itu memiliki "teras" (margin)
yang cukup lebar. Anak-anak masih ingin mengungkapkan
dan menerbangkan imajinasinya sejauh dan seluas mungkin.
Kemudian, beberapa buku ilmiah, yang memerlukan
konsentrasi penuh untuk memahaminya, kini "bentuk"

17

bagian dalamnya telah ditambahi semacam ornamenornamen kecil yang "meringankan". Inilah beberapa contoh
untuk memberikan kekhasan "bentuk" dan membawanya
menerbangi "langit". Bentuk-bentuk yang saya contohkan di
sini memang hanya memanfaatkan unsur-unsur sederhana
yang ada dalam sebuah buku. Keluwesan pemanfaatan
menjadi titik perhatian penting.
Ini adalah sebagian contoh saja dari pemanfaatan "bentuk".
Tentu saja, masih banyak unsur sebuah buku yang dapat
di-"bentuk".
Bandung, 5 Juni 1999

18

Sisi Menarik Sebuah Buku (3)


Ternyata, yang "di luar", yang gampang tertangkap oleh
indra, terutama mata, itu kadang lebih "membuai", lebih
indah daripada yang "di dalam". Mengapa? Hal ini karena
untuk mengetahui "yang di dalam" diperlukan upaya keras,
sebagaimana untuk mengunyah dengan nikmat rasa kelapa
muda (degan) kita perlu memecah tempurung kelapa lebih
dahulu; sementara untuk sekadar menikmati "yang di luar"
cukuplah mata sarananya, tanpa upaya memecah apa pun.
SUARA DARI DALAM
Saya sesungguhnya ingin menghentikan perjalanan
menyusuri tepian sisi menarik sebuah buku pada "daya
pikat" keempat. Namun, rupanya, keadaan, atau lebih tepat
"zaman", menuntut agar "daya pikat" itu ditambah satu lagi
agar kontekstual dan tidak ketinggalan kereta. Apakah "daya
pikat" kelima itu? Saya ingin menyebutnya "tampilan visual".
Untuk membedakan dengan keempat "daya pikat"
sebelumnya, katakanlah gerombolan "daya pikat" pertama
hingga keempat itu sebagai "tampilan auditorial" atau
tampilan yang didukung oleh kekuatan teks, kekuatan
bahasa.
Dalam menjelaskan "daya pikat" kelima, tulisan ini harus
didahului oleh semacam "prolog" untuk menunjukkan
pentingnya "tampilan visual" pada zaman sekarang. Di sini
saya akan berusaha mengajukan pelbagai argumentasi yang
kontekstual, yang, setidaknya, dapat dirasakan bahwa, lebih
dari zaman-zaman sebelumnya, zaman sekarang dan masa
mendatang itu perlu diisi dengan pelbagai penjelasan yang
bersifat gambar. Lalu, setelah sedikit menjelaskan soal
tersebut, saya baru akan mengajak para pembaca untuk
masuk ke wilayah yang di dalamnya terdapat rumusanrumusan, atau kalau mungkin berupa "ukuran-ukuran",
tentang apa sesungguhnya yang dimaksud dengan "tampilan
visual" pada sebuah buku.
Mengapa harus "tampilan visual"? Tidakkah "tampilan visual"
sebuah buku sudah diwakili oleh penggarapan sampulnya?
Apakah kemudian buku yang memiliki "daya pikat" kelima ini
lalu tidak jatuh pada buku berjenis komik? Apakah yang
dimaksud dengan "tampilan visual" itu adalah adanya fotofoto atau gambar-gambar yang, secara khusus, dicantumkan

19

di dalam buku yang sebagian besar berisi teks? Bukankah


sudah ada buku yang menyertakan "tampilan visual" berupa
foto dan gambar, bahkan juga sederetan tabel dan bagan?
Apakah "tampilan visual" yang dimaksud tidak sebatas foto
dan gambar, tetapi juga ilustrasi, sketsa, vinget, lukisan
abstrak, ornamen yang "meruang", dan sejenisnya? Atau
apakah yang dimaksud dengan "tampilan visual" adalah hasil
rekayasa, atau kasarnya "manipulasi" dari, kemampuan
mesin komputer? Atau apa?
Sebagian pertanyaan yang terlontar, sebagaimana
dicontohkan di atas, akan dicoba dijawab lewat tulisan ini.
Tentu saja, tulisan kali ini tidak terlalu "menjanjikan" bahwa
topik yang akan dibahas menjadi sesuatu yang memang
menarik untuk dikunyah dan dinikmati. Saya ingin, tulisan
kali ini dianggap sebuah eksperimen belaka untuk
menunjukkan bahwa buku, di zaman sekarang, dapat
disajikan dalam wujud yang kaya, indah, "menyimpang", dan
tidak dalam bentuk yang itu-itu saja.
Seribu Wajah Potensi Pengolah Informasi
Adalah Howard Gardner, seorang peneliti ternama di
Harvard, yang disebut-sebut telah memberikan wawasan
baru kepada kita tentang adanya pelbagai jenis kecerdasan.
Saat ini, sebagaimana dilaporkan oleh Cynthia Ulrich Tobias
dalam Cara Mereka Belajar (Fokus Keluarga, 1996), Dr.
Gardner telah berhasil mengidentifikasi tujuh macam
kecerdasan, dan dia kini masih melakukan penelitian untuk
menemukan jenis lain kecerdasan.
"Tidak seperti ciri khas gaya belajar lain yang sudah kita
diskusikan," tulis Cynthia, "penelitian Gardner menyatakan
bahwa inteligensia tidak ditentukan sejak dari lahir, juga
tidak tetap konsisten sepanjang kehidupan. Inteligensia
bertumbuh, berubah, dan berkembang dengan berlalunya
waktu dan dengan kesempatan yang diusahakan seseorang.
Orangtua dan pendidik perlu mengenali dan menghargai
sebanyak mungkin area inteligensia yang berbeda dalam diri
setiap anak. Tes IQ standar bisa mengukur seberapa baiknya
seseorang mungkin berprestasi di sistem sekolah tradisional
saat ini, tetapi tes itu bahkan tidak mendekati untuk
memperkirakan potensi seorang anak untuk meraih
kesuksesan dalam hidup setelah dia meninggalkan sekolah."
Sebagaimana dalam tulisan-tulisan awal, saya telah
mengutipkan pernyataan Peter F. Drucker dan Stephen R.
Covey untuk menunjukkan "sebagian" ketidakmampuan
sekolah dalam memberikan metode kepada anak didiknya

20

untuk mengarungi hidupdalam keadaan yang terusmenerus menanjakdi luar lingkaran sekolah. Pernyataan
Drucker dan Covey tak berbeda jauh dengan pernyataan
Cynthia. Rupanya, keadaan seperti ini mendorong para
peneliti, terutama para ahli psikologi yang bertahun-tahun
berkutat dengan potensi diri seorang manusia, untuk
menemukan metode baru dalam memahami "diri" manusia
dan sekaligus memberikan alternatif untuk mendidiknya atau
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya agar potensi
diri, yang dicerminkan dengan pelbagai macam tingkat
kecerdasan itu, mampu mengungkapkan wataknya secara
amat lapang dan leluasa.
Selain Dr. Gardner, tercatat banyak pakar yang telah
menemukan metode baru tersebut. Cynthia, yang menyebut
metode baru itu dengan "lima model gaya belajar", dengan
bagus meringkaskannya sebagaimana akan saya kutipkan di
sini. Pertama, temuan Dr. Anthony F. Gregorc yang berupaya
menunjukkan kepada kita bagaimana pikiran bekerja.
Menurut Gregorc, gaya belajar seseorang ditentukan oleh
caranya dalam menerima atau memandang informasi. Cara
memandang atau menerima informasi ini disebut persepsi.
Ada dua kualitas persepsi yang dimiliki setiap pikiran, yaitu
persepsi konkret dan persepsi abstrak.
Persepsi konkret membuat kita menyimpan informasi secara
langsung melalui kelima indra kita, yaitu penglihatan,
penciuman, peraba, perasa, dan pendengaran. Sewaktu kita
menggunakan persepsi ini, kita berurusan dengan apa yang
ada di sini dan kini, yang nyata dan yang jelas. Kita tidak
berusaha mencari arti tersembunyi atau mencoba untuk
menghubungkan suatu gagasan atau konsep dengan sesuatu
yang lain. Kunci ungkapan sederhana mengenai kualitas
persepsi ini berbunyi, "Sesuatu adalah seperti apa adanya."
Sebaliknya, persepsi abstrak memungkinkan kita untuk
memvisualkan, melahirkan ide, dan memahami atau
meyakini sesuatu yang tidak dapat kita lihat secara apa
adanya. Sewaktu kita menjalankan persepsi ini, kita
menggunakan intuisi, daya-daya intelektual, dan imajinasi
kita. Kita mampu melampaui hal-hal yang kita lihat secara
apa adanya hingga mencapai yang lebih detail, lebih lembut.
Kunci ungkapan mengenai kualitas ini berbunyi, "Sesuatu
tidaklah selalu seperti apa yang terlihat."
Dari dua jenis kualitas persepsi tersebut, Dr. Gregorc
kemudian menentukan dua ciri mekanisme persepsi dalam
mengatur informasi, yaitu sekuensial (lurus, teratur, dan

21

memenuhi tahapan-tahapan yang logis) dan random


(bengkok, acak, dan terserah yang mana saja). Dari sini
lahirlah empat macam kombinasi gaya belajar: (1) sekuensial
konkret atau SK (cirinya, antara lain: akurat, stabil,
berdasarkan fakta, dan terorganisasi); (2) sekuensial abstrak
atau SA (analitis, objektif, teliti, logis, dan sistematis); (3)
random abstrak atau RA (sensitif, imajinatif, spontan, dan
fleksibel); dan (4) random konkret atau RK (intuitif, realistis,
inovatif, dan mengikuti naluri).
Setelah memahami metode baru yang menentukan gaya
belajar yang ditawarkan Dr. Gregorc, kita memasuki metode
baru kedua yang ditawarkan oleh Rita Dunn, seorang pelopor
di bidang gaya belajar pula. Menurut Rita, cara belajar
seseorang itu dipengaruhi oleh banyak variabel. Varibel itu
mencakup faktor-faktor fisikal, emosional, sosiologis, dan
lingkungan. Sebagian orang, misalnya, dapat belajar paling
baik dengan cahaya yang terang, sedangkan sebagian yang
lain dengan pencahayaan yang suram. Ada orang yang suka
belajar secara berkelompok, dan ada yang memilih belajar
secara sendirian karena lebih efektif. Sebagian orang ada
yang memerlukan iringan musik sebagai latar belakang,
sementara sebagian yang lain lebih dapat berkonsentrasi bila
berada di dalam ruangan yang sepi. Ada juga orang yang
memerlukan lingkungan kerja yang teratur dan rapi, tetapi
ada juga yang lebih suka menggelar segala sesuatunya agar
semuanya dapat terlihat jelas.
Dari wilayah yang dikangkangi oleh Gregorc dan Dunn,
marilah kita berpindah tempat untuk menemui Walter Barbe
dan Raymond Swassing, perumus gaya belajar ketiga. Kedua
peneliti gaya belajar ini memperkenalkan istilah "modalitas"
untuk menunjukkan adanya tiga mode persepsi indra (cara
mengingat) atau "cara termudah untuk menyerap informasi".
Menurut Barbe dan Swassing, modalitas yang paling mudah
dikenali adalah auditorial, visual, dan kinestetikal. Manusia
auditorial adalah orang yang belajar dengan cara
mendengarkan instruksi verbal atau mengingat dengan
melantangkan suara yang terbangun dari kata-kata. Manusia
visual adalah orang yang belajar dengan melihat dan
mengamati tampilan-tampilan bergambar. Manusia
kinestetikal adalah orang yang belajar dengan menyentuh
hal-hal yang hendak dipahaminya atau terlibat secara fisikal
dengan objek.
Kemudian ada seorang peneliti bernama Herman Witkin.
Witkin adalah perumus gaya belajar keempat. "Karena setiap

22

orang melihat dunia dari kerangka referensialnya sendiri,


yaitu secara global atau analitik," tulis Cynthia saat mengutip
hasil penelitian Witkin, "maka ini memungkinkan
terbentuknya berbagai versi tentang apa yang terjadi dari
sebuah peristiwa yang sama yang dilihat oleh banyak orang."
Menurut Witkin, orang yang termasuk kategori analitik secara
otomatis memecahkan informasi yang diterimanya menjadi
beberapa bagian dan kemudian memusatkan pada hal-hal
yang lebih teperinci. Sementara yang termasuk kategori
global, cenderung mendapat gambaran menyeluruh atau
intisari informasi yang diterimanya, dan tidak terlalu
menghiraukan banyak perincian. Penelitian Witkin
menunjukkan kepada kita bahwa pemprosesan informasi oleh
setiap orang untuk satu sumber informasi yang sama dapat
menghasilkan kesan berbeda.
Dalam buku Quantum Learning, sebagaimana sempat saya
singgung pula di tulisan sebelumnya, ada banyak hal
menarik yang dapat kita rujuk untuk memahami pelbagai
tipe orang yang memiliki gaya belajar khas miliknya. Namun,
saya tidak akan menuju ke pembahasan soal ini lebih jauh.
Saya tertarik untuk mengutipkan satu hal saja berkaitan
dengan struktur otak kita. Otak, seperti kita ketahui, adalah
salah satu pusat pengolah informasi yang kita terima dari
luar lewat persepsi indra ataupun bukan indra. Kita juga tahu
benar bahwa struktur otak kita itu amat rumit. Saya tidak
akan mengambil yang rumit-rumit. Saya ingin menunjukkan
adanya dua belahan otak yang berfungsi secara berbeda
saat digunakan untuk mengolah informasi.
Kedua belahan otak tersebut biasa dikenal dengan sebutan
"otak kanan" dan "otak kiri". "Eksperimen terhadap dua
belahan otak tersebut," demikian bisa kita baca di Quantum
Learning, "telah menunjukkan bahwa masing-masing belahan
bertanggung jawab terhadap cara berpikir, dan masingmasing mempunyai spesialisasi dalam kemampuan tertentu,
walaupun ada beberapa persilangan dan interaksi antara
kedua sisinya." Lebih jauh dijelaskan: Proses berpikir otak kiri
bersifat logis, sekuensial, linear, dan rasional. Sisi ini sangat
teratur. Walaupun berdasarkan realitas, ia mampu melakukan
penafsiran abstrak dan simbolis. Cara berpikirnya sesuai
untuk tugas-tugas teratur ekspresi verbal, menulis,
membaca, asosiasi auditorial, menempatkan detail dan fakta,
fonetik, serta simbolisme. Sementara itu, cara berpikir otak
kanan bersifat acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik. Cara
berpikirnya sesuai dengan cara-cara untuk mengetahui hal

23

yang bersifat nonverbal, seperti perasaan dan emosi,


kesadaran yang berkenaan dengan perasaan (merasakan
kehadiran suatu benda atau orang), kesadaran spasial,
pengenalan bentuk dan pola, musik, seni, kepekaan warna,
kreativitas, dan visualisasi.
Nah, setelah melakukan penjelajahan "ke dalam diri", lewat
bantuan temuan-temuan para pakar, saya ingin mengajak
Anda untuk kembali ke pandangan Dr. Howard Gardner,
perumus gaya belajar kelima. Seperti disebutkan di atas, Dr.
Gardner menemukan tujuh macam kecerdasan atau
inteligensia. Apa kira-kira tujuh macam kecerdasan itu?
Pertama, kecerdasan linguistik, yaitu kecerdasan yang
berhubungan dengan kemampuan verbal. Orang yang
memiliki kecerdasan linguistik cenderung piawai dalam
menulis, membaca, berbicara, dan juga berdebat. Kedua,
kecerdasan logika matematik, yaitu kecerdasan yang
berhubungan dengan kemampuan seseorang dalam
perangkaan, pengenalan pola, dan bermain dengan
argumentasi yang logis. Ketiga, kecerdasan spasial, yaitu
kecerdasan yang berhubungan dengan kemampuan untuk
berpikir secara "meruang" atau menciptakan dan menyusun
kembali suatu citra atau situasi tertentu. Orang yang
memiliki kecerdasan ini akan piawai dalam menggambar,
misalnya. Keempat, kecerdasan musikal, yaitu kecerdasan
yang berhubungan dengan kemampuan seseorang
menciptakan irama. Kelima, kecerdasan kinestetikal, yaitu
kecerdasan yang berhubungan dengan kemampuan
seseorang menggerakkan tubuh atau hal-hal yang berkaitan
dengan aktivitas fisik. Keenam, kecerdasan interpersonal,
yaitu kecerdasan yang berhubungan dengan kemampuan
seseorang dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Dan
ketujuh, kecerdasan intrapersonal, yaitu kecerdasan yang
berhubungan dengan kemampuan seseorang dalam
memahami dirinya. Orang yang memiliki kecerdasan ini
mampu merenungkan dirinya dan kemudian
mengekspresikan dirinya secara kuat.
Dan, seperti kita tahu, temuan tujuh kecerdasan Dr. Gardner
ini secara "cerdas" ditangkap oleh Dr. Daniel Goleman.
Uniknya, Dr. Goleman hanya menangkap satu saja
(seharusnya dua) dari tujuh kecerdasan Dr. Gardner dan
kemudian "mengemas" kecerdasan tersebut dalam bahasa
yang menawan serta cocok dengan situasi saat ini. Lahirlah
dari tangan Dr. Goleman buku yang menggemparkan:
Emotional Intelligence! Menurut saya, Goleman, lewat

24

bukunya, telah membangunkan "macan" (salah satu potensidiri terdahsyat manusia abad ini) tidur. "Macan" itu kemudian
jadi mode sekaligus merangsang para pakar potensi diri
untuk menemukan pelbagai metode belajar, terutama
metode untuk hidup secara lebih bermakna.
Nah, dari penelitian Goleman ini pulalah kemudian dikenal
satu bagian yang berada di dalam diri seseorang (inner self)
yang mampu digunakan untuk lebih memperhatikan
"hubungan" atau "keadaan" (khususnya: penderitaan) yang
sedang dialami oleh manusia-manusia lain. Bagian tersebut
dikenal dengan nama empati. Secara amat sederhana,
empati dapat diartikan sebagai upaya seseorang untuk
memahami keadaan psikis orang lain dan, setelah
memahami dan kemudian peduli, si pemaham secara
perlahan dan sungguh-sungguh menerobos masuk ke ruangruang batin seseorang untuk ikut berkelana dan merasai apa
yang dirasakan oleh orang lain itu. Empati, secara amat
khusus, ingin saya angkat sebagai satu kemampuan yang
harus dimiliki oleh seseorang yang ingin membuat buku. Dari
sinilah lahir "daya pikat" kelima.
Daya Pikat (5): Gambar yang Menyentuh dan
Mengutuhkan
Apabila kita renungkan sejenak uraian di atas, sesungguhnya
semua itu telah ada dan telah kita kenal sejak kita dilahirkan
di bumi. Hanya sayangnya, "peta" keadaan seperti di atas,
atau pelbagai potensi diri yang dimiliki seseorang, tidak
dijelaskan dan dipahamkan sejak dini secara sistematis dan
kemudian dilatihkan secara konsisten. Akibatnya, kita,
manusia-manusia ini, bergerak secara serabutan, dan kalau
toh kemudian kita "belajar" untuk meningkatkan potensi diri
kita, belajarnya itu menjadi "menyempit" (konvergen) dan
tidak malah "melebar" (divergen). Sekolah seolah-olah telah
membuat kita masuk ke dalam kotak yang kian lama kotak
itu kian sempit dan sesak.
Sebagai gambaran sederhana, kita dapat bertanya.
Bukankah hanya otak kiri yang senantiasa kita latih, yang
memperoleh porsi pelatihan paling banyak, di sekolah?
Bukankah lingkungan kita juga miskin akan pelbagai ajang
untuk melatih fungsi otak kanan secara amat optimal?
Adakah buku yang mampu menghadirkan suatu suasana
belajar yang benar-benar menyamankan dan melatih
bekerjanya otak kanan dan otak kiri secara serempak?
Adakah kreasi manusia di lingkungan kita yang secara utuh
dan padu tidak memilah-milahkan secara khusus dua jenis

25

potensi diri kita yang diwakili dengan jelas oleh belahan otak
kita? Bagaimana sikap kita setelah mengetahui "peta potensi
diri" yang kemungkinan besar masih merupakan puncak
gunung es dari gunung keseluruhan potensi diri kita yang
sesungguhnya?
Cynthia Ulrich Tobias, secara arif, memang berpesan kepada
para pembacanya agar tidak terjebak pada "peta" dan
"klasifikasi" yang dibuat oleh para ahli. Manusia itu unik.
Setiap diri membawa seabrek potensi yang bila diekspresikan
akan membuahkan satu lukisan yang beraneka warna.
Apabila toh kemudian ada kesamaan antara satu-dua atau
lebih lukisan hasil ekspresi diri setiap orang, bila diamati
secara detail, akan tampak bahwa setiap lukisan memiliki
"karakter" yang amat berbeda, meskipun secara visual
tampak sama. Cynthia menuliskan sesuatu---yang pantas kita
cermati---saat kita masing-masing, mungkin, kepengin
mengenali gaya belajar kita lewat tes-tes yang disediakan
oleh setiap peneliti yang telah disebutkan di atas, "Walaupun
Anda mendapat jumlah lebih tinggi di satu kolom, ingatlah
bahwa tidak ada gaya yang murni. Kita semua adalah
campuran dari banyak karakteristik gaya."
Jadi, setelah mengetahui "peta" dan "gaya", kita tetap bebas
untuk menentukan diri kita atau menyampaikan sesuatu
kepada sahabat kita tentang yang kita inginkan. Batasannya
hanya satu: berempati. Artinya, kalau kita mau membuat
sebuah buku, buku yang akan kita buat itu perlu ditimbang
dan dikaji dari pelbagai sisi lebih dahulu, meskipun kita
lantas tidak harus dipusingkan dengan hasil timbangan dan
kajian yang muncul. Rasa empati yang tampaknya amat
perlu ditekankan pada saat sekarang ini adalah
memperhatikan secara serius pembaca yang memiliki
"bakat" memahami gagasan lewat gambar atau yang saya
rumuskan sebagai sisi "tampilan visual". Bagi saya hal ini
menjadi amat penting mengingat bahwa para pembaca yang
tertradisi dalam gaya yang "ngauditorial" sudah pula jenuh
untuk memamah gagasan lewat teks melulu. Teks terlalu
membebani. Teks terlalu kaku. Teks terlalu kering. Teks
kurang "familiar"-lah, kurang menyentuh, kurang
berempati---meskipun teks itu ditujukan untuk orang-orang
auditorial.
Inilah persoalan penting dalam kaitannya dengan
memunculkan secara lebih "menggigit" daya pikat kelima.
Daya pikat kelima ini ukurannya adalah bagaimana
mengefektifkan sebuah buku agar gagasan yang ada di

26

dalamnya mampu diserap oleh banyak kalangan pembaca


yang datang dari pojok-pojok sejarah yang tidak pernah
diperhitungkan sama sekali oleh seorang penulis. Efektivitas
adalah kunci dari daya pikat ini. Secara lebih khusus, daya
pikat kelima sebuah buku ini ingin sekali menampung
pelbagai jenis kecerdasan manusia, terutama yang berkaitan
dengan pemaduan tiga potensi auditorial (teks), visual
(gambar), dan kinestetikal (pergerakan), atau, setidaknya,
paduan antara teks dan gambar yang membuat fungsi otak
kanan dan otak kiri muncul secara serentak dan saling
mendukung dalam memahami sebuah gagasan. Bagaimana
cara pemaduan ini dimanifestasikan di lapangan?
Mengarang sebuah buku pada zaman sekarang memang
tidak dapat dimonopoli oleh seorang penulis. Setidaknya
perlu co-author. Meskipun gagasan utama datang dari satu
orang, tetaplah diperlukan bantuan, minimal, satu orang lagi
yang memampukan gagasan tersebut secara efektif dapat
dilahap oleh pembaca yang dituju oleh buku tersebut. Inilah
konsep empati yang saya maksud untuk diterapkan dalam
pembuatan buku. Beberapa buku yang ditulis oleh para pakar
dari Barat, terutama di bidang bisnis atau organisasi dan
manajemen, telah menuju ke arah ini. Kenneth Blanchard,
misalnya, menulis beberapa bukunya dengan bantuan
seorang penulis lain yang menguasai "gaya menulis" secara
cair atau berkisah. Lalu, kalau kita cermati secara amat
khusus beberapa lembar buku dari Barat, misalnya di
"Ucapan Terima Kasih" atau "Kata Pengantar", akan dapat
ditemui suatu lontaran pujian yang dilakukan oleh si penulis
buku untuk banyak orang yang telah membantunya dalam
"mengemas" buku menjadi lebih "hidup" ketimbang
dikerjakan sendiri.
Hal itu menandakan bahwa membuat buku merupakan kerja
tim, meskipun hanya dua orang: penulis utama dan
seseorang yang membantu. Setelah kita tahu keadaan baru
ini, kita bisa lebih jauh masuk ke dalam detail sebuah buku.
Misalnya, di awal-awal setiap bab kini telah tampak sebuah
pola "tampilan visual" yang menambah "manis" sebuah
buku. Tampaknya, sudah tidak zamannya lagi halamanhalaman buku, terutama lembaran pertama sebuah bab,
hanya diisi oleh huruf dan angka. Di situ kini sudah
dimungkinkan adanya, atau bahkan sudah merupakan
keharusan upaya penambahan, ornamen-ornamen kecil
pemanis atau bahkan sebuah "karakter visual" yang diulangulang secara dinamis ataupun, mungkin, statis. Kalau buku

27

itu membahas soal keperempuanan, misalnya, ornamen


abstrak yang mengesankan femininitas dapat ditambahkan.
Kalau buku itu bernuansa teknologis, kesan visual yang
"merobot" dapat ditempelkan di halaman-halaman penting
dan khusus. Ini jelas cara baru dalam menampilkan buku
lewat paduan sisi auditorial dan visual, serta, mungkin,
kinestetikal.
Perkembangan lebih lanjut adalah membagi secara amat
tegas dua cara menyampaikan gagasan lewat buku dengan
menyesuaikan keadaan otak manusia, yang memiliki dua
belahan itu. Ini, tampaknya, secara total diterapkan oleh
buku Quantum Learning. Buku ini tidak hanya berisi teks dan
gambar yang disusun secara proporsional, namun ia secara
atraktif dan komunikatif membantu pembacanya dengan
meringkas atau merangkum gagasan-gagasan inti dan
menyampaikannya kembali secara lebih terfokus. Efektivitas
penyampaian gagasan model ini sepertinya menemukan
bentuknya. Namun, yang perlu dipertanyakan lebih jauh
adalah apakah hanya materi buku sebagaimana contoh
Quantum Learning yang bersifat "how to"-kah yang bisa
ditampilkan lewat model ini? Atau materi lebih berat, seperti
buku-buku filsafat, bisa juga ditampilkan dengan model
penampilan Quantum Learning? Ini jelas perlu studi lebih
lanjut.
Bagaimana pula cara menyampaikan data, misalnya data
penelitian, yang tidak kaku dan melelahkan serta mudah
dibaca? Grafik, tabulasi, dan bagan biasanya tampil
seadanya dan kurang menarik dinikmati secara visual.
Memang, untuk foto dan ilustrasi ringan, saat ini tampilannya
sudah dibantu secara amat kuat oleh kemampuan mesin
komputer. Variasi latar dan juga bentuk-bentuk gradasi raster
mampu menyentuh sensitivitas keindahan yang disimpan
oleh sanubari terdalam manusia. Kadang-kadang, keindahan
tersebut didampingi oleh daya kejut yang tak terduga akibat
efek kekuatan manipulasi sang mesin, meskipun kadang
rekayasa model ini bisa terjebak pada ketidakmurnian
gambar. Nah, apakah grafik dan tabel dapat juga disentuh
oleh mesin komputer? Saya rasa bisa, apalagi bila dibantu
oleh pengomunikasi visual yang memahami seni. Hal yang
satu ini, bila dapat diwujudkan secara konkret, akan sangat
membantu buku-buku yang diangkat dari hasil penelitian,
yang dari segi gagasan yang ditampilkan secara auditorial
amat penting, namun kadang kepentingan itu lenyap ditelan
oleh "tampilan visual" yang disajikan seadanya.

28

Tentu saja, bila kita mendasarkan pemikiran kita dalam


mencari peluang menampilkan secara visual sebuah buku,
atau memadukan potensi visual dengan auditorial, yang lebih
"menggigit" dengan temuan-temuan para peneliti di atas,
kita tentu memperoleh pelbagai variasi tampilan yang luar
biasa dan melebihi hal-hal yang secara selintas telah saya
singgung di atas. Dengan amat terpaksa, perjalanan
menemukan peluang itu akan saya hentikan hingga di sini.
Saya berharap, Anda dapat melanjutkan sendiri, dan kalau
toh Anda tidak ingin melanjutkan, sisi menarik sebuah buku
yang sudah saya jelaskan ini semoga dapat menggairahkan
Anda untuk menikmati buku dalam keadaan yang baru dan
tidak seperti biasanya. Dengan cara begitu, saya yakin
bahwa kini buku tidak hanya dibaca, tetapi bisa juga
dipelajari secara lebih cermat sisi yang terkandung di
dalamnya. Anda berhak untuk mengkritik atau menggugat
cara penyampaian gagasan yang dilakukan oleh seorang
penulis dalam sebuah buku yang menurut Anda kurang
tepat. Kritik dan gugatan Anda penting dan perlu untuk
seorang penulis agar penulis tersebut dapat memperbaiki
cara-cara menyampaikan gagasannya di masa mendatang.
Tidak akan ada gunanya sebuah buku bila seorang
pembacanya gagal menyerap gagasan yang ingin
disampaikan oleh pengarangnya, atau bila buku itu kaku,
beku, dan hanya memberikan peluang kepada pembacanya
masuk ke buku tersebut lewat satu pintu. Buku
selayaknyalah memperkaya. Buku sebaiknyalah
memperlebar. Buku, tampaknya, harus dijadikan sejenis
makanan yang, memang, amat lezat untuk dimakan setiap
hari, dan memiliki gizi tinggi dalam segala tampilan yang,
pada gilirannya, memungkinkan untuk, secara kuat,
mengilik-ngilik benak dan menggulirkan gagasan
pembacanya. Bukankah hal-hal seperti ini yang diasakan oleh
seorang penulis buku yang sudah berpayah-payah memeras
otaknya?
Bandung, 15 Juni 1999

29

Anda mungkin juga menyukai