perkembangan
berikutnya,
konsepsi
perkawinan
mengikuti
bersama. Sementara itu ada pendapat lain yang mengatakan bahwa hubungan
seksual tidak mesti ada dalam suatu perkawinan. Penyelidikan Kethlen Gough
(dalam Afrizal, 1997), pada masyarakat Nayar ditemukan perkawinan antara
perempuan dengan perempuan. Ini berarti tidak terdapat hubungan seksual di
dalam perkawinan mereka. Terjadi perkawinan dalam masyarakat itu dikarenakan
pembayar mahar dari pihak perempuan. Dengan pembayaran mahar otomatis
perempuan itu
masyarakat.
Sebagai
konsekuensinya
terlihat
pada
bentuk-bentuk
perkawinan yang berkembang dan persyaratan kawin yang harus dipenuhi dalam
pelaksanaan perkawinan.
Bentuk perkawinan yang pertama dalam sejarah kehidupan manusia
adalah kawin penculikan (kawin rampok) 1. Perkawinan ini dilakukan dengan
merampas anak dara. Perkawinan ini dapat menimbulkan permusuhan, yang
disebabkan oleh penculikan itu. Sebenarnya penculikan terjadi dalam rangka
untuk menentukan tempat perkawinan patrilokal (sebenarnya virilokal). Bentuk
perkawinan ini merupakan suatu permulaan dan tertua dari tata tertib perkawinan.
Bentuk perkawinan ini ada dalam tahap peralihan, akan tetapi hanya sebagai
bentuk setara yang lebih sering terdapat pada bentuk-bentuk penculikan
konvensional yang dapat diterima (Ball, 1987; Koentjaraningrat, 1980).
1
Lihat Bachofen (1861) dalam Van Ball. 1987. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi
Budaya (Hingga dekade 1970). Penerbit Gramedia dan lihat Tylor dalam Koentjaraningrat, 1980.
Sejarah Teori Antropologi I. Penerbit Universitas Indonesia.
10
keluar atau
11
ayahnya (Pintu, 2000). Karena dalam struktur adat Minang, kedudukan suami
sebagai orang datang (sumando) sangat lemah. Bila terjadi sesuatu di rumah
tangganya sendiri, ia tidak memiliki tempat tinggal (Amir, 2006).
Sebagai orang datang, seorang suami (sumando) diharuskan untuk
bersikap hati-hati karena selalu mendapatkan sorotan dari keluarga istri. Berbagai
istilah diberikan oleh orang Minang sebagai penilaian atas perangai dan tingkah
laku sumando (Amir, 2006; Navis, 1984). Pertama, sumando ninik mamak adalah
sumando sumando yang mempunyai tingkah-laku dan adat-istiadatnya yang
menyenangkan pihak keluarga isteri. Kedua, sumando langau hijau atau sumando
lalat hijau adalah sumando yang kerjanya hanya kawin cerai disetiap kampung
dan meninggalkan anak di mana-mana. Ketiga, sumando kacang miang adalah
sumando yang kerjanya selalu menganggu ketentraman tetangga karena
menghasut, dan memfitnah, atau memelihara binatang ternak yang dapat
menganggu lingkungan seperti itik, ayam, kambing, dan lainnya. Keempat,
sumando lapiak buruak adalah sumando yang tingkah lakunya menguras harta
istrinya. Sumando ini diibaratkan sama dengan dengan tikar pandan yang lusuh
dan menjadi orang pandie di rumah isterinya. Kelima, sumando apak paja adalah
sumando yang kurang memperhatikan kewajiban terhadap anak-anaknya sendiri
dan hanya berfungsi sebagai pejantan (Amir, 2006; 1987).
Meski berbagai macam penilaian terhadap sumando, adat Minangkabau
menetapkan sumando banyak gunanya (Navis, 1984) antara lain :
1. Urang sumando itu merupakan bibit yang baik dan kampung halaman
menjadi ramai dan berseri.
2. Urang sumando akan menjadi tempat kepercayaan dalam rumah tangga.
3. Urang sumando menjadi pagaran yang teguh untuk menjaga kampung
halaman, dan penolong ninik mamak
4. Jika orangnya cerdas pandai akan menjadi tempat bertanya bagi orang
kampung.
5. Jika ia orang kaya akan dapat melapangkan kita dan anak kemenakan
dalam kesempitan.
Sekalipun dalam perkawinan seorang laki-laki terikat dengan kehidupan
rumah tangganya dan di manapun ia berada, tidaklah terlepas dari suatu
12
tanggungjawab pada sanak-famili dan kaumnya (Hakimy, 1984). Hal ini berarti,
seorang laki-laki yang telah menikah otomatis akan mempunyai anak, disamping
kemenakan dari saudara perempuannya. Jadi seorang laki-laki yang telah menikah
berkewajiban memelihara anak-anak dan juga harus membimbing kemenakan
serta membina kampung halaman agar sejahtera dan adatpun berjalan dengan
baik.
Sementara itu untuk mendapatkan seorang sumando, memiliki persyaratan
tertentu tergantung kepada nilai-nilai budaya yang dimiliki. Oleh sebab itu ada
bermacam-macam sebutan untuk persyaratan kawin antara lain;
mas kawin
13
14
dalam
perkawinan
tersebut.
Kemudian
setelah
itu,
dalam
berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan dan bukan nilai harfiahnya dari
barang pemberian itu. Prestasi yang dipertukarkan adalah prestasi yang
menyeluruh karena tukar-menukar itu melibatkan keseluruhan aspek kehidupan
dan berlaku di antara kelompok-kelompok dan bukan di antara individu-individu
secara pribadi. Selanjutnya menurut Mauss, kondisi ini akan berbeda dengan
masyarakat yang telah mengenal perdagangan pemberian di antara kelompok
tidak lagi mencakup aspek-aspek estetika, keagamaan, moral dan hukum legal.
Yang tertinggal dalam tukar menukar itu tersebut hanyalah aspek ekonominya
saja, terwujud dalam bentuk tukar-menukar antara uang, benda dan jasa dan
berlaku hanya di antara individu-individu dan bukan di antara kelompokkelompok.
Adapun tukar-menukar pemberian prestasi itu mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut:
2
15
16
17
18
Generasi
Nenek
Generasi
Ibu
Generasi
Anak
Gambar 1 Anggota Saparuik dalam Satu Rumah Gadang (Sumber: (Kato, 1982)
19
20
gadang katirisan, bila rumah gadang yang menjadi milik bersama mengalami
kerusakan/perlu diperbaiki dan butuh dana untuk memperbaikinya, maka
diperbolehkan menggadaikan harta pusaka (Manggis dan Panghoelu, 1971; Amir,
1987; Backmann, 2000).
Gambaran mengenai keutuhan keluarga nan saparuik yang menempati
satu rumah gadang dengan harta bersama, menurut beberapa analis seperti
Josselin de Jong (1951), Schreike (1955), Oki (1977), Benda-Beckmann (2000)
telah mengalami perubahan. Perubahan itu adalah akibat penetrasi perekonomian
kapitalis yang masuk ke dalam masyarakat, sehingga mengakibatkan lemahnya
sistem kekerabatan Minangkabau. Lebih jauh dikatakan oleh para analis ini,
keluarga batih dalam kondisi seperti ini cenderung mempunyai hubungan yang
lemah dengan anggota kerabatnya yang lain. Sebagai implementasi dari adanya
kecenderungan dari anggota saparuik untuk memiliki rumah sendiri, sehingga
terpisah dalam melakukan aktifitas-aktifitas ekonomi dan konsumsi dengan
anggota-anggota saparuik yang lainnya (Afrizal 1997).
Meski secara eksplisit, ikatan kekerabatan mengalami perubahan, tetapi
hubungan antara sesama anggota saparuik di luar keluarga batih masih kuat
ikatan kekerabatan menyediakan jaringan kepada induvidu-induvidu sebagai
tempat untuk mencari bantuan ekonomi dan sosial ketika mereka membutuhkan
(Litwak dan Szelenyi, 1969; Sussman dan Burchinal, 1979). Bantuan ekonomi
dan sosial yang diperoleh antara lain penyediaan akomodasi bagi kerabat, bantuan
finansial, konsultasi untuk memecahkan persoalan yang dihadapi (lihat Young dan
Willmot, 1951; Sussman dan Burchinal, 1979). Mobilitas geografis tidak menjadi
penghalang untuk berfungsinya ikatan kekerabatan sebagai sebuah jaringan
(Litwak dan Szelenyi, 1969).
Adapun bantuan itu menurut Sussmann dan Burchinal, (1979), di rangkum
sebagai berikut: Pertama, pola bantuan meliputi banyak bentuk, di antaranya
pertukaran jasa, hadiah, advis dan bantuan finansial. Bantuan finansial langsung
diberikan kepada pasangan muda yang melakukan pernikahan. Kedua, hanya
sedikit sekali keluarga yang tidak memberikan atau menerima bantuan dari
saudara mereka. Meskipun hingga saat ini bantuan itu tidak sepenuhnya diberikan
kepada anggota yang membutuhkannya. Ketiga, Pertukaran bantuan di antara
21
anggota tersebut meliputi; antara orang tua dengan anak, di antara saudara, dan
dalam frekuensi yang lebih rendah di antara saudara jauh. Akan tetapi untuk
bantuan finansial umumnya terdapat antara orang tua dan anak. Keempat,
walaupun terdapat perbedaan jumlah bantuan finansial yang diterima oleh kelas
menengah dan kelas pekerja, akan tetapi tidak terdapat perbedaan yang signifikan
dalam proporsi bantuan yang diberikan atau diterima dari kedua strata keluarga
ini. Kelima, bantuan finansial umumnya diterima selama tahun awal perkawinan.
Orang tua tampak lebih membantu secara finansial perkawinan yang direstui
ketimbang perkawinan yang tidak direstui misalnya kawin lari, perkawinan
antar agama atau antar ras. Bantuan dapat berupa uang dalam jumlah yang cukup
besar atau memberikan hadiah dalam bentuk barang-barang berharga pada saat
perkawinan, kelahiran anak, dan dilanjutkan pada saat lebaran (Islam) atau ulang
tahun. Bantuan yang besar diberikan orang tua dilakukan pada saat anak
melangkah ke jenjang perkawinan, terutama status anak masih bergantung
terutama bagi anak yang masih dalam pendidikan. Keenam, data hasil penelitian
kurang memadai
membutuhkan.
Bahkan
mamak
masih
terlibat
dalam
22
akibat perkawinan itu. Perkawinan bukan menjadi urusan sepasang insan yang
hendak membentuk keluarga atau membentuk rumah tangga baru.
Pentingnya keterlibatan kaum kerabat itu dalam perkawinan itu menurut
Radjab, 1969; Amir 2006, dikarenakan terkait dengan fungsi perkawinan sebagai
berikut:
1. Sebagai sarana legalisasi hubungan seksual antara seorang pria dengan
seorang wanita dipandang dari sudut adat dan agama serta undang-undang
negara.
2. Penentuan hak dan kewajiban serta perlindungan atas suami-isteri dan
anak-anak.
3. Memenuhi kebutuhan manusia akan hidup dan status sosial, terutama
untuk memperoleh ketentraman batin.
4. Memelihara kelangsungan hidup kekerabatan dan menghindari dari
kepunahan.
Kehadiran seorang anak terutama perempuan sangat didambakan oleh keluarga
Minangkabau. Anak perempuan merupakan penyambung keturunan agar tidak
putus. Hal ini berhubungan juga dengan harta pusaka dan laki-laki sebagai mamak
hanya memelihara dan jika perlu menambah. Jika di dalam suatu keluarga tidak
ada anak perempuan, maka yang menjadi ujung keturunan anak laki-laki, maka
keluarga itu dianggap punah (Amir, 2006; Latief, 2002).
Untuk itu perkawinan yang ideal menurut adat Minangkabau adalah
antara keluarga dekat seperti perkawinan antar anak dengan kemenakan.
Perkawinan seperti ini disebut dengan pulang ke mamak atau pulang ke bako.
Pulang ka mamak berarti mengawini anak mamak (anak saudara laki-laki ibu),
sedangkan pulang ke bako berarti mengawini kemenakan ayah. (Navis, 1984).
Perkawinan dengan orang luar terutama mengawini perempuan luar, dipandang
sebagai perkawinan yang akan merusak struktur adat mereka (Kato, 1989).
Karena anak yang dilahirkan dari perkawinan itu bukanlah suku bangsa
Minangkabau. Disamping itu kehidupan isteri akan menjadi beban bagi suaminya,
padahal setiap laki-laki tugas utamanya untuk kepentingan sanak saudaranya,
kaumnya dan nagarinya. Kehadiran seorang isteri yang berasal dari luar
dipandang sebagi beban bagi seluruh keluarga pula. Bahkan bisa pula laki-laki itu
akan menjadi anak hilang dari kaum kerabatnya karena perempuan itu pandai
merayu suaminya. Sebaliknya perkawinan perempuan minang dengan laki-laki
23
luar, tidak akan merubah struktur adat, karena anak yang lahir tetap menjadi suku
bangsa Minangkabau.
Begitu pentingnya perkawinan dalam masyarakat Minangkabau, maka
perkawinan yang dilakukan harus berusaha memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan (Amir, 2006). Berikut Sukmasari (1983) mengemukakan syarat-syarat
perkawinan Minangkabau antara lain;
1. Kedua calon mempelai harus beragama Islam.
2. Kedua calon mempelai tidak sedarah dan tidak berasal dari suku yang
sama, kecuali pesukuan itu berasal dari nagari dan luhak yang lain.
3. Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai orang
tua dan keluarga kedua belah pihak.
4. Calon suami (marapulai) harus sudah mempunyai sumber penghasilan
untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya.
Perkawinan yang dilakukan tanpa memenuhi syarat itu dapat dianggap
perkawinan sumbang atau perkawinan yang tidak memenuhi syarat menurut adat
Minang. Atas dasar itu pula perkawinan di Pariaman memperhatikan pekerjaan
seorang laki-laki yang akan diterima sebagai menantu. Seorang laki-laki yang
tidak mempunyai pekerjaan kurang dipandang atau diminati oleh pihak keluarga
perempuan.
2.4. Perubahan Sosial Budaya
Pada dasarnya setiap masyarakat dalam kehidupannya akan mengalami
perubahan-perubahan, demikian juga dengan kehidupan bersama manusia.
Perubahan itu akan dapat diketahui, apabila dilakukan perbandingan, artinya
adalah menelaah keadaan suatu masyarakat pada waktu tertentu dan kemudian
membandingkannya dengan keadaan masyarakat itu pada masa yang lalu.
Perubahan dalam masyarakat pada prinsipnya merupakan suatu proses yang terusmenerus, artinya bahwa setiap masyarakat pada kenyataan akan mengalami
perubahan itu, akan tetapi perubahan antara masyarakat yang satu dengan
masyarakat yang lain tidak selalu sama, ada masyarakat yang mengalaminya lebih
cepat bila dibandingkan dengan masyarakat yang lainnya. Simanjuntak (1981),
perubahan sosial merupakan ciri khas semua masyarakat dan semua kebudayaan,
baik masyarakat tradisional maupun masyarakat modern. Tetapi bedanya, dalam
24
masyarakat modern perubahan itu sangat cepat, dan dalam masyarakat tradisional
sangat lambat.
Perubahan-perubahan dalam masyarakat menyangkut hal yang kompleks.
Moore (dalam Lauer, 1989) misalnya perubahan sosial adalah perubahan yang
berkaitan dengan struktur sosial. Struktur sosial merupakan pola-pola prilaku dan
interaksi sosial. Selain itu Moore juga memasukan perubahan sosial sebagai
ekspresi mengenai struktur seperti norma, nilai dan fenomena kultural. Pendapat
yang sama juga dikemukakan oleh Soekanto (1990), perubahan-perubahan yang
terdapat di dalam masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma
sosial, pola-pola prilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisanlapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan
sebagainya. Kemudian Sills seperti yang dikutip Sastramiharja (1987), perubahan
sosial adalah perubahan yang signifikan dari struktur sosial, yang di dalamnya
termasuk pola-pola tindakan sosial dan interaksi sebagai akibat dan manifestasi
dari struktur yang berisikan norma-norma, nilai-nilai, hasil-hasil kebudayaan dan
berbagai simbol. Berikut tingkat analisis perubahan sosial dalam tabel 1 berikut.
Tabel 1. Tingkat Analisis Perubahan Sosial
Tingkat
Analisis
Global
Peradaban
Kebudayaan
Masyarakat
Komunitas
Institusi
Organisasi
Interaksi
Individu
Sikap
25
Kesempurnaan
menurut
Comte dalam
26
perlu
menempatkan
dalam
konteks
historis
yang
lebih
luas,
yakni
memperlakukannya sebagai salah satu fase saja dari perjalanan panjang sejarah
umat manusia. Masyarakat kapitalis, industri tidak muncul secara kebetulan, tetapi
merupakan hasil wajar dari proses terdahulu (Lauer, 1985; Turner, 1998;
Sztompka, 2004). Jadi, mustahil untuk memberikan penjelasan, memprediksi dan
menentukan
perkembangan
fenomena
modern
secara
memadai
tanpa
27
secara empirik. Menurut Comte, pada tahap inilah ilmu pengetahuan mulai
berkembang, dan merupakan suatu titik tolak menuju masyarakat yang ideal.
Selanjutnya Comte mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi manusia
melangkah untuk mencapai tujuan akhir sebagai berikut; 1) rasa bosan; 2) umur
manusia dan 3) demografi.
Mengikuti pemikiran Comte di atas, perkembangan pola berfikir dari suatu
masyarakat memberikan kekuatan pendorong perubahan dalam pikiran atau
semangat manusia. Dengan semangat itulah manusia memahami realitas,
berasumsi dan membuat metoda yang diterapkan dalam upaya menjelaskan,
memprediksikan dan mengendalikan kehidupan masyarakat. Kualitas dan
kuantitas pengetahuan yang dikuasai masyarakat terus berkembang. Derajat
pengetahuan yang dimiliki masyarakat mempengaruhi atau menentukan semua
aspek kehidupan masyarakat lainnya: ekonomi, politik, dan militer (Johnson;
1986; Sztompka (2004).
Untuk memperoleh gambaran gagasan Comte tentang perubahan sosial
masyarakat dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Perubahan Masyarakat dalam Perspektif Evolusi
Kategori
Landasan Pemikiran
Sifat Perubahan
Arah Perkembangan
Konsepsi
Bentuk Perubahan
Perkembangan Organisme
Kumulatif
Linear/positif
Optimis
Dengan demikian suatu yang digaris bawahi dari pemikiran di atas adalah
bahwa Comte tidak hanya mampu menjelaskan basis aktif struktur masyarakat
tetapi juga mampu menjelaskan rangkaian perkembangan manusia. Memberikan
perspektif baru bahwa perubahan adalah sesuatu yang normal, wajar, bahwa
perubahan yang beraneka ragam terbuka bagi semua masyarakat, karena pada
dasarnya semua masyarakat memiliki pola perubahan yang sama.
Mengikuti pemikiran Comte di atas, maka perubahan yang terjadi dalam
tradisi bajapuik terjadi sesuai dengan pekembangan masyarakat (evolusi) dengan
tidak menghilangkan unsur-unsur yang terdapat dalam tradisi bajapuik. Gelar
kebangsawanan tetap mempunyai nilai dalam tradisi bajapuik, namun nilainya
telah mulai berkurang jika dibandingkan dengan oleh status sosial ekonomi
sebagai pertimbangan dalam memilih menantu. Karena keuntungan yang lebih
28
besar terdapat pada status sosial ekonomi (pekerjaan) yang dimiliki oleh seorang
laki-laki. Jadi adanya peralihan pemikiran masyarakat itu merupakan suatu bentuk
perkembangan pola berfikir menuju kesempurnaan masyarakat.
Kalau ditelusuri lebih jauh proses perubahan sosial yang melanda berbagai
bidang kehidupan sosial masyarakat saat ini, pada dasarnya merupakan proses
yang berasal dari dalam dan luar masyarakat itu sendiri. Perubahan sosial budaya
akan mengubah adat, kebiasaan, cara pandang, bahkan ideologi suatu masyarakat.
Bahkan perubahan sosial budaya dapat mengarah pada hal-hal positif (kemajuan)
dan hal-hal negatif (kemunduran). Hal ini tentu saja mempengaruhi pola dan
perilaku masyarakatnya (Soekanto, 1990).
Selanjutnya,
faktor-faktor
yang
menyebabkan
perubahan
dalam
masyarakat antara lain: 1) ketidak puasan terhadap situasi yang ada; 2) adanya
tekanan tentang perbedaan antara yang ada dan yang seharusnya (Margono dalam
Taneko, 1993). Kemudian Adiwikarta (1988), perubahan juga dapat diakibatkan
oleh pendidikan karena pendidikan dalam kehidupan manusia mempunyai dua
peranan penting yaitu; sebagai pelestarian kebudayaan dan sistem sosial (agent of
conservation) di samping sebagai pembawa atau pelaku perubahan (agent of
change). Sebagai pelestarian kebudayaan pendidikan telah mewariskan suatu
sistem nilai, kepercayaan, pengetahuan, norma dan adat-istiadat serta berbagai
perilaku tradisional yang telah membudaya dari satu generasi ke generasi lainnya,
sedangkan sebagai pelaku perubahan pendidikan mengkonstruksi bentuk-bentuk
baru akibat bentuk lama yang sudah tidak cocok lagi.
Terkait dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat di Minangkabau
dan Pariaman khususnya, menurut Abdullah (1992), disebabkan oleh jumlah dan
komposisi penduduk, perluasan dan spesialisasi dan diferensiasi kerja. Selain itu
juga disebabkan oleh pendidikanpendidikan mengakibatkan terbukanya
kominikasi dan berkembangnya pengetahuan (Navis, 1983). Dengan demikian
faktor-faktor yang menyebabkan terjadi perubahan adalah faktor intern dan
ekstern. Kedua faktor ini merubah pilihan masyarakat dalam tradisi bajapuik.
2.5. Pertukaran Sosial Dalam Perkawinan
Pada dasarnya perkawinan berlangsung seperti sistem pasar dalam
ekonomi (Goode, 2007). Ini berarti di dalam proses perkawinan terdapat sumber-
29
sumber yang ditawarkan baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan.
Proses ini tentunya melibatkan pihak-pihak yang syarat dengan perilaku dan
interaksi sosial. Dalam sosiologi keluarga, proses pertukaran yang terjadi antara
pihak laki-laki kepada pihak perempuan atau sebaliknya disebut dengan pasar
perkawinan (marriage market).
Untuk memahami perkawinan sebagai sebuah proses pertukaran yang
terjadi dalam pasar perkawinan (marriage market) dapat didekati dengan
perspektif teori pertukaran (exchange theory) dari Homans, meskipun dalam ilmu
sosiologi Blau juga termasuk dalam pengembangan teori ini. Secara umum teori
pertukaran mempunyai asumsi bahwa interaksi sosial mirip dengan transaksi
ekonomi. Akan tetapi para ahli teori pertukaran mengakui bahwa pertukaran sosial
tidak selalu dapat diukur dengan nilai uang, sebab dalam berbagai transaksi sosial
dipertukarkan juga hal-hal yang nyata dan tidak nyata (Poloma, 2000). Ini sejalan
dengan pandangan Skidmore (1979), bahwa pertukaran (exchange) tidak selalu
dimaksudkan untuk menukarkan sesuatu yang nyata, tetapi pertukaran juga
meliputi sesuatu yang tidak nyata seperti harga diri atau penghargaan, saling
keterkaitan, bantuan dan dalam bentuk persetujuan. Pertukaran juga dimaksudkan
untuk menghindari sesuatu seperti penderitaan, biaya keadaan yang memalukan
lainnya dan pertukaran juga meliputi kesempatan, keuntungan dan aspek-aspek
komparatif dari hubungan kemanusiaan (human relation). 3 Dari pernyataan
Skidmore tersebut, maka jelaslah bahwa gagasan pertukaran (exchange)
mempunyai pengertian yang sangat luas dan tidak terbatas pada pemberi dan
penerima yang bersifat konkrit. Pandangan yang sama, juga dikemukakan
Malinowski bahwa pertukaran tidak hanya dalam bentuk materil tetapi juga dalam
bentuk non materil (Turner, 1998; Anderson, 1995).
Secara spesifik teori pertukaran yang dikembangkan oleh Homans, melihat
semua perilaku sosialtidak hanya perilaku ekonomis, tetapi menyediakan
ganjaran ekstrinsik dan intrinsik. Lebih jauh Homans menjelaskan, di mana aktor
dalam berperilaku mempertimbangkan keuntungan dan memperkecil biaya yang
Lebih jauh lihat William Skidmore. 1979. Theoritical Thinking in Sociology. Cambrige
University Press. London. J.H. Anderson. 1995: 80-98. Retorical Objectivity in Malinowskys
Argonnaouts, University of Illinois Press. Urbana and Chicago.
30
seseorang
akan
memilih
sesuatu
itu
seperti
31
orang lain adalah yang mempunyai nilai yang lebih rendah menurut penilaian
aktor, tetapi mempunyai nilai lebih bagi orang yang diberi.
Pertukaran (exchange) tidak akan terjadi kalau nilai sesuatu yang
ditukarkan itu sama, karena itu exchange hanya terjadi bila cost yang diberikan
akan menghasilkan benefit yang lebih besar dan kedua belah pihak sama-sama
mendapat untung, dan keuntungan itu mengandung unsur psikilogis (Turner,
1998; Ritzer, 1985). Artinya pertukaran di sini termasuk pada pertukaran yang
melebihi pertimbangan ekonomi.
Mengacu pada persoalan perkawinan maka yang dipertukarkan menurut
Lamanna dan Riedmann (1991), meliputi latar belakang dan keahlian individu
yang dimiliki, seperti; posisi ekonomi (status sosial), pendidikan, umur,
kecantikan dan sebagainya. Lebih jauh Lamanna dan Riedmann menjelaskan,
pertukaran itu akan berbeda antara masyarakat tradisional dengan masyarakat
modern. Pada masyarakat tradisional pertukaran berkaitan dengan peranan seks.
Artinya wanita menukar dengan kemampuannya untuk melahirkan dan
membesarkan anak sebagai bentuk tugas domestik. Pada masyarakat modern,
lebih di dasarkan pada sumber-sumber ekonomi, expresiv, efektif, seksual dan
pengenalan kedua pasangan. Seorang wanita mempunyai ekonomi dan pekerjaan
yang
sama
dengan
laki-laki,
maka
pertukarannya
menjadi
simetris
32
33
dipertimbangkan
ada
komponen-komponen
penting
antaralain:
1)
34
maker).
mempertimbangkan
Dengan
pilihan
demikian
sabjektif
dapat
(individu),
memperhatikan
dan
atau
mempertimbangkan
35
Awareness of
alternatives
Behavior (I do
or I act )
Decision
maker
Awareness of
social pressures
Decision (I will
or I wont )
Willingness to accept
consequences of a
decision
Awareness of personal values
(I feel)
Considering
consequences of
Considering consequences of
each alternative
Considering consequences of
each alternative
36
Batak. Semua bentuk tradisi atau sistem perkawinan itu mempunyai persamaan
dan perbedaan. Persamaanya adalah sama-sama memberikan sesuatu benda atau
barang sebagai mahar (bridewealth) dalam pelaksanaan perkawinan, sedangkan
perbedaannya terletak pada dari mana benda yang diberikan dan siapa aktor yang
bertanggung jawab pada benda yang diberikan dalam pelaksanaan perkawinan dan
kapan dilakukan pemberian itu.
Sistem dowry di Cina, menurut Croll (1984) diberikan oleh pihak laki-laki
kepada pihak perempuan, untuk menjemput perempuan yang hendak dijadikan
istri/menantu oleh pihak laki-laki. Sistem dowry terjadi dalam perkawinan ini
menurut Croll disebabkan tenaga kerja wanita yang sangat dibutuhkan. Wanita
disamping bekerja dalam sektor domestik juga bekerja disektor publik (pekerjaan
kolektif) dan di sinilah posisi perempuan sangat penting. Oleh sebab itu
pertukaran
perempuan
melalui
lembaga
perkawinan
merupakan
sebuah
kepentingan sebagai sarana rekruitmen tenaga kerja. Selain itu Croll juga
menemukan, bahwa sistem kekerabatan yang dianut di Cina menganut sistem
patrilineal. Dengan sistem ini pola menetap (residance pattern), perempuan yang
menjadi isteri/menantu setelah pernikahan dilangsungkan, tinggal dalam
lingkungan keluarga laki-laki. Di sini perempuan sebagai istri/menantu tidak
hanya bekerja untuk kepentingan rumah tangganya tetapi juga sebagai asset
tenaga kerja pertanian bagi keluarga suaminya. Oleh karena pentingnya tenaga
kerja perempuan, maka sebagai kompensasi atas hilangnya anak perempuan, maka
keluarga pihak perempuan meminta ganti rugi dalam bentuk hadiah perkawinan
yang dengan sistem dowry.
Sistem dowry di India, menurut Shanna (1980) adalah harta bawaan yang
dibawa oleh pengantin perempuan dalam perkawinannya yang secara sosial
berfungsi memberi jaminan ekonomi, status, dan kemandirian yang lebih besar
pada perempuan terutama setelah menikah. Namun dalam kenyataannya harta
bawaan yang berbentuk uang dari wanita itu menjadi berpindah kepada orang tua
laki-laki dan wanita tidak bisa menguasai dan mengontrol hak miliknya sendiri
yang diberikan pada saat pernikahan. Hal ini disebabkan oleh dowry yang
diterima oleh wanita pada saat pernikahan dipindah tangankan kepada orang tua
laki-laki (suami) dan kemudian didistribusi lagi kepada kerabat lainnya.
37
38
dalam rumah tangga tetap berdasarkan suara bersama antara suami dan isteri.
Dengan demikian memberi uang japuik kepada pihak keluarga laki-laki (sebagai
syarat untuk mendapatkan calon suami), tidak berpengaruh terhadap kuatnya
posisi perempuan di rumahtangganya.
Studi tentang tradisi bajapuik tidak banyak dilakukan. Azwar (2001), yang
temannya pada Sistem Matrilokal dan status perempuan dalam tradisi bajapuik.
Dalam hal ini fokus kajiannya pada latar belakang sosio kultural lahirnya tradisi
bajapuik dalam sistem matrilineal dan konsekuensinya terhadap perempuan. Hasil
studinya menunjukkan bahwa hal ini disebabkan oleh sistem nilai yang diberikan
makna secara kultural. Artinya perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan
membawa pemahaman tentang perbedaan peran, tugas, dan fungsi sosial laki-laki
dan perempuan. Berangkat dari sini lahir anggapan yang pantas bertanggungjawab
terhadap ekonomi keluarga adalah laki-laki, yang pada akhirnya melahirkan
distingsi pada wilayah pekerjaan domestik dan publik dan konsekuensi lebih
lanjut pada terbentuknya spesialisasi kerja. Akibatnya laki-laki semakin eksis
dalam dunia sosial, bisnis, industri dan juga dalam kehidupan keluarga, sehingga
ia dapat mengekspresikan dirinya dalam keempat bidang ini. Sementara
perempuan semakin terkurung dalam sangkas emas keluarga.
Oleh karena surplus ekonomi yang dihasilkan oleh laki-laki yang membuat
laki-laki
semakin
berkuasa,
maka
perempuan
semakin
terpinggirkan,
kajian
lain
pada
faktor-faktor
yang
melatar
belakangi
39
pihaknya dituding sebagai mamak yang tidak punya otoritas terhadap kemenakan,
karena otoritas jemputan seorang anak laki-laki sangat erat kaitannya dengan
kebijakan mamak kaum. Jadi wajar, mamak kaum mereka mendapat tudingan
yang miring dari masyarakat, jika kemenakan laki-lakinya tidak dijemput dalam
pernikahan.
Studi lain dari tradisi bajapuik dilakukan oleh Utama (2002), dengan
temanya pada Uang Hilang dalam Perkawinan Adat Masyarakat Pariaman
Sumatera Barat. Adapun fokus kajiannya pada penentuan uang hilang dalam
tradisi bajapuik. Hasilnya yang diperoleh adalah uang hilang ditentukan oleh
pihak laki-laki, terutama oleh orang tuanya. Selain itu fokus kajian berikutnya,
mengidentifikasi proses-proses perkawinan bajapuik. Proses pekawinan bajapuik
ada dua tahap; tahap pertama meliputi peminangan dan kedua pelaksanaan
perkawinan. Termasuk pada tahap pertama yakni ma-antaan asok, mengantar
tanda
pertunangan,
bakampuang-kampuangan,
mengundang
malam
40
mendapatkan suami. Untuk itu orang tua yang perempuan mencarikan orang yang
bersedia mengawini anaknya, dengan memberikan imbalan sejumlah uang yang
diminta oleh pihak keluarga laki-laki. Uang yang diberikan dapat digunakan
sepenuhnya oleh pihak laki-laki. Konsekuensi yang muncul akibat adanya uang
hilang dalam tradisi bajapuik, muncul berbagai upaya yang dilakukan oleh pihak
perempuan agar perkawinan terhadap anaknya tetap terwujud. Perkawinan yang
dilakukan dengan orang luar dari Pariaman menempuh jalur yang disesuaikan dan
perkawinan dengan menggunakan uang hilang ini menimbulkan persepsi negatif
terhadap laki-laki Pariaman.
2.8. Kerangka Pemikiran
Perkawinan dalam masyarakat Minangkabau dan Pariaman khususnya
tidak hanya sebagai penglegitimasian hubungan seksual, pengesahan anak yang
dilahirkan dari seorang laki-laki dengan seorang perempuan tetapi juga memberi
makna pada status dan martabat yang lebih tinggi pada seseorang (Radjab, 1969),
dan menyambung keturunan (Amir, 2006).
Adanya perkawinan yang dilakukan dalam masyarakat menandakan bahwa
institusi ini penting. Namun Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri, terjadinya
suatu perkawinan banyak faktor yang menentu, baik dari individu yang terlibat
maupun sejumlah faktor lingkungan baik secara langsung maupun tidak langsung,
di antaranya: kepercayaan, sosial budaya, ekonomi, pendidikan, pertumbuhan
penduduk, merantau, dan modernisasi. Semua faktor tersebut jelas akan
mempengaruhi perkembangan dan eksistensi tradisi bajapuik. Seiring dengan
perjalanan waktu perkawinan bajapuik yang pada awalnya mengutamakan nilainilai sosial berubah menjadi nilai ekonomi, sehingga menimbulkan pro dan kontra
di dalam masyarakat. Meskipun demikian tradisi bajapuik dengan uang japuik
masih eksis dalam masyarakat. Dengan demikian berarti semakin besar kekuatan
ekonomi (faktor ekonomi) memasuki kehidupan masyarakat dan semakin jauh
moneteisme mempengaruhi individu, sehingga berpengaruh terhadap aktivitas
individu dalam pelaksanaan perkawinan bajapuik.
Mengacu pada proposisi Homans, khususnya nilai, pertukaran sosial
yang dilakukan oleh aktor (individu) dalam pelaksanaan tradisi bajapuik akan
41
-Ekonomi
-Pertumbuhan
Penduduk
-Pendidikan
- Merantau
- Modernisasi
Bentuk-bentuk
Pertukaran
Perubahan
Kinship
Pilihan
Dipertimbangkan
Lingkungan
Sosial
Eksistensi
Tradisi
Bajapuik