Anda di halaman 1dari 126

SKRIPSI

PENGEMBANGAN PRODUK PANGAN BERBAHAN DASAR JAGUNG


QUALITY PROTEIN MAIZE (Zea mays L.) DENGAN MENGGUNAKAN
TEKNOLOGI EKSTRUSI

Oleh
GUMILAR SANTIKA ATMADJA
F24102032

2006
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

Gumilar Santika Atmadja. F24102032. Pengembangan Produk Pangan


Berbasis Jagung Quality Protein Maize (Zea mays L.) dengan Menggunakan
Teknologi Ekstrusi. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir Deddy Muchtadi, MS dan
Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc.

RINGKASAN
Tujuan penelitian ini adalah menentukan formula produk ekstrusi
berbahan dasar jagung Quality Protein Maize dengan faktor perlakuan suhu
pemansan awal alat ekstruder dan komposisi formula bahan, sehingga
menciptakan produk ekstrusi dengan karakteristik organoleptik yang optimal serta
dapat diterima oleh konsumen.
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap. Pertama persiapan bahan
baku yang dilakukan sebelum proses ekstruksi. Kedua penentuan formula
dilakukan dengan menggunakan software statistik yaitu Design Expert version 7.
Penentuan karakteristik produk yang dihasilkan pada penelitian ini yaitu
berdasarkan uji fisik produk yang terdiri dari uji kekerasan, derajat pengembangan
dan uji organoleptik, kemudian dianalisis statistik dengan menggunakan SPSS 12
serta Design Expert version 7. Formula terpilih ditentukan oleh proses optimasi
dengan mengunakan program Design Expert version 7. Setelah mendapatkan
produk terpilih, produk dianalisis proksimat, derajat gelatinisasi dan uji fisik
(kekerasan dan derajat pengembangan) pada produk terpilih. Bahan yang utama
pada penelitian ini adalah jagung Quality Protein Maize, dengan bahan campuran
kacang hijau varietas betet yang berasal dari Balai Penelitian Biji-Bijian dan
Umbi, Malang.
Beberapa perlakuan yang diujikan pada pembuatan produk ekstrusi yaitu
memformulasikan produk dengan menggunakan software statistik DX7 (version 7
of Design-Expert software). Faktor perlakuan pada penelitian ini adalah komposisi
dari bahan jagung dan kacang hijau dengan komposisi 0% 100% serta suhu
yang digunakan pada mesin ekstruder 60 C - 70 C. Selanjutnya menentukan
respon atau parameter kualitas produk seperti fisik, kimia dan organoleptik dari
produk tersebut.
Hasil analisis sidik ragam oleh SPSS12 menunjukkan bahwa uji hedonik
dari tekstur, hedonik kelengketan, kekerasan produk dan derajat pengembangan
signifikan (p< 0.05) artinya bahwa semua parameter produk berbengaruh nyata
terhadap formula yang dibuat. Sementara analisis sidik ragam yang dilakukan
program Design Expert version 7 dari respon hedonik tekstur, hedonik kekerasan
dan derajat pengembangan yaitu berbeda nyata (p<0.05) artinya bahwa formula
yang dibuat berpengaruh nyata terhadap ketiga respon tersebut kecuali kekerasan
produk tidak berpengaruh nyata (p>0.05), sehingga ketiga respon tersebut dapat
digunakan untuk proses optimasi.
Hasil optimasi didapatkan produk dengan komposisi 50% jagung dan 50%
kacang hijau dengan pemanasan awal pada suhu 60 C yang diolah pada putaran
ulir 1400 rpm sebagai produk terpilih. Dengan memiliki karakteristik skor
hedonik untuk tekstur 6 (suka) skor hedonik untuk kelengketan 5 (agak suka)
kekerasannya 0.231 Kgf dan mempunyai derajat pengembangan 487%. Semua
karakteristik tersebut mempunyai tingkat desirability 0.811, artinya produk

tersebut dapat mencapai nilai skor tekstur 5.53, skor kelengketan 4.9 dan derajat
pengembangan 487.028% sebesar 80.1% terhadap seluruh respon tersebut dapat
dilaksanakan. Hasil analisis proksimat dan nilai energi pada produk ekstrusi
terpilih pada formula jagung : kacang hijau = 50: 50 adalah; protein: 15.50%;
lemak: 1.00%; karbohidrat : 76.61%; abu : 2.54%, air : 4.35% dan memiliki nilai
energi sebesar 391.49 kkal/g. Analisis fisik meliputi kekerasan, derajat
pengembangan dan derajat gelatinisasi berturut-turut adalah 2.13 Kgf, 500% dan
67.22%.

PENGEMBANGAN PRODUK PANGAN BERBAHAN DASAR JAGUNG


QUALITY PROTEIN MAIZE (Zea mays L.) DENGAN MENGGUNAKAN
TEKNOLOGI EKSTRUSI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh
GUMILAR SANTIKA ATMADJA
F24102032

2006
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PENGEMBANGAN PRODUK PANGAN BERBAHAN DASAR JAGUNG


QUALITY PROTEIN MAIZE (Zea mays L.) DENGAN MENGGUNAKAN
TEKNOLOGI EKSTRUSI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh
GUMILAR SANTIKA ATMADJA
F24102032

Dilahirkan pada tanggal 22 Januari 1983 di Ciamis


Tanggal Lulus : November 2006
Menyetujui,
Bogor, November 2006

Dr. Ir Feri Kusnandar M.Sc


Pembimbing II

Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi M.S


Pembimbing I
Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc


Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 22 Januari


1983. Penulis merupakan putra pertama dari pasangan
Hermana dan N Kartiah. Penulis memulai pendidikannya
pada tahun 1987 di TK Al Hidayah kemudian pada tahun
1989 melanjutkan pendidikan di SDN Imbanagara 1 dan
menyelesaikan studinya di SMPN 1 Cimaragas.
Pada tahun 1995-1998 penulis melanjutkan pendidikan di SMPN 1
Cimaragas dan pada rentang waktu tahun 1998-2002 penulis menamatkan
pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Banjar. Tahun 2002 penulis
diterima sebagai mahasiswa jurusan Ilmu Teknologi Pangan Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor, melalui jalur USMI. Selain itu penulis juga
ikut mengenyam pendidikan non formal di Lembaga Bahasa Inggris LIA BBS
selama 1 semester.
Selama menjalani pendidikan, penulis ikut terlibat aktif dalam berbagai
kegiatan organisasi. Penulis pernah menjadi anggota PASKIBRA selama di SMP.
Selama di SMU penulis aktif dikegiatan kerohanian, menjadi anggota Ikatan
Remaja Mesjid. Selama kuliah penulis pernah terlibat aktif di beberapa kegiatan
organisasi diantaranya : IAAS, Food Processing Club (FPC), Brigade Santri Al
Inayah 2, Organisasi Mahasiswa Daerah dan aktif di kegiatan kepanitiaan serta
menjadi peserta pada berbagai seminar, baik seminar nasional maupun
Internasional.
Dan sebagai salah satu syarat kelulusan kuliah dan memperoleh gelar
sarjana Ilmu dan Teknologi Pangan, penulis melakukan penelitian yang tertuang
dalam skripsi ini.

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat


Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq, hidayah dan karunia-Nya
kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang
berjudul Pengembangan Produk Pangan Berbasis Jagung Quality Protein
Maize (Zea mays L.) dengan Menggunakan Teknologi Ekstrusi. Penelitian
ini dilaksanakan atas kerjasama antara Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
dengan Departemen Pertanian dalam rangka Riset Unggul Nasional. Adapun
kegiatan ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA
TEKNOLOGI PERTANIAN pada departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada berbagai pihak, karena penulis sadar bahwa dalam
menyelesaikan studi ini penulis banyak mendapat bantuan dan dorongan, terutama
pada :
1. Ibu dan Bapak tercinta atas ketegaran dan dukungannya mendidik penulis
hingga saat ini, juga kepada seluruh keluarga besar dan adik tercinta Nenden
Srinadanti mudah-mudahan Allah mengaruniakan kebarokahan bagi kita.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS, atas bimbingan dan motivasinya
yang diberikan, baik selama menjadi pembimbing saya maupun ketika dalam
menyelesaikan tugas akhir.
3. Bapak Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc, atas bimbingan dan motivasinya serta
kesempatan yang diberikan selama penulis menyelesaikan penelitian ini.
4. Ibu Dr. Ir. Dede R. Adawiyah M.Si sebagai dosen penguji dan masukkannya
dalam skripsi saya.
5. Bapak Juanedi, Bapak Deni, Mbak Febri, Mbak Rinrin, Mbak Emi, dan seluruh
karyawan PT.Fits Mandiri serta seluruh staf SEAFAST atas segala bantuan dan
kemudahan yang diberikan selama melakukan kegiatan penelitian.
6. Bapak Sobirin, Bapak Rojak, Bapak Wahid, Bapak Sidik, Bapak Koko, Bapak
Edi, Ibu Rubiah dan Teh Ida seluruh karyawan Departemen Ilmu dan

Teknologi Pangan atas segala bantuan dan kemudahan yang diberikan selama
melakukan kegiatan penelitian.
7. Ust Jaenuri doa, serta Dandan, Khasbi, Arip, dan teman-teman seperjuangan di
Alinayah 2 sekarang Assalam dorongan dan nasihatnya selama mencari ilmu di
gudang ilmu (IPB) ini.
8. Rekan-rekan ITP angkatan 39 pada umumnya, khususnya Eko, Fahrul, Iqbal,
Heru, Fajar, Samsul yang selalu memotivasi saya dan temen-temen
sebimbingan Tina, Nui, dan Risna, juga buat sahabat-sahabatku kelompok B1
Evrin, Fatimah dan Alina atas nasihat-nasihat merekalah saya menjadi
termotivasi untuk selalu memperbaiki diri dan anak-anak golongan B terima
kasih atas kebersamaannya.
9. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan namanya, mudah-mudahan Allah
membalas semua kebaikan yang telah diberikan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Namun
mudah-mudahan keterbatasan ini tidak mengurangi hakikat kebenaran ilmiah
laporan ini, dan dapat berguna bagi pihak-pihak yang memerlukan.

Bogor, 21 November 2006

Penulis

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................

DAFTAR ISI .................................................................................................

iii

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................

DAFTAR TABEL ........................................................................................

vii

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................

viii

I.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................

B. Tujuan ...............................................................................................

C. Manfaat Penelitian .............................................................................

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Jagung ................................................................................................

B. Kacang Hijau .................................................................................... 12


C. Pati ....................................................................................................

14

D. Ekstrusi .............................................................................................. 19
E. Perubahan Bahan Selama Proses Ekstrusi ......................................... 24
F. Makanan Snack .................................................................................. 27
G. Design Expert Version 7 .................................................................... 27
H. Reponse Surface Methodology 28
III. BAHAN DAN METODE
A. Bahan dan Alat .................................................................................. 30
B. Metodologi Penelitian ........................................................................ 31
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan Bahan ................................................................................ 43
B. Penentuan Komposisi Bahan dan Suhu Awal Proses ......................... 43
C. Penentuan Formula Awal ...................................... ............................. 44
D. Pembuatan Produk Ekstrusi................................................................. 46
E. Analisis Uji Organoleptik ................................................................... 47
F. Analisis Uji Fisik................................................................................. 59
G. Analisis Produk Terbaik dengan Design Expert V.7.......................... 67

iii

H. Analisis Derajat Gelatinisasi .............................................................. 70


I.

Analisis Kimia ................................................................................... 71

V. KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan ....................................................................................... 74
B. Saran ................................................................................................. 74
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 75
LAMPIRAN ................................................................................................... 82

iv

DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Bentuk jagung dari beberapa jenis jagung: kiri ke kanan: flint,
dent, dan yellow flour.................................................................. 4
Gambar 2. Penampang melintang dan penampang membujur biji jagung .. 7
Gambar 3. Bagian-Bagian
Penting
Alat
Ekstruder
Tunggal....................................................................................... 23
Gambar 4. Single Extruder...........................................................................

31

Gambar 5. Skema alur metode penelitian ..................................................

32

Gambar 6. Jagung Quality Protein Maize ..

33

Gambar 7. Skema alur pembuatan produk ekstrusi ....................................

35

Gambar 8. Produk ekstrusi dengan formula 100% jagung QPM dan 0%


kacang hijau...............................................................................

48

Gambar 9. Kurva Skor Tekstur Terhadap Produk......................................

53

Gambar 10. Kurva Skor Kelengketan Terhadap Produk .............................

57

Gambar 11. Kurva Derajat Pengembangan Terhadap Produk.............

67

Gambar 12. Kurva Desirebility Produk Terhadap Formulasi ....................

68

Gambar 13. Produk Terpilih Formula Jagung : Kacang Hijau = 50 : 50 ...

69

Gambar14. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 100 : 0, dengan


suhu pemanas 60 C .................................................................

105

Gambar 15. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 50 : 50, dengan


suhu pemanas 60 C .............................................................. 105
Gambar 16. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 100 : 0, dengan
suhu pemanas 62.5 C ..........................................................

106

Gambar 17. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 75 : 25, dengan suhu
106
pemanas 67.5 C .....................................................................
Gambar 18. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 100 : 0, dengan suhu
107
pemanas 65 C ........................................................................

Gambar 19. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 50 : 50, dengan suhu
pemanas 65 C ........................................................................

107

Gambar 20. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 75 : 25, dengan suhu
pemanas 67.5 C ......................................................................... 108
Gambar 21. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 100 : 0, dengan suhu
pemanas 70 C............................................................................. 108
Gambar 22. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 50 : 50, dengan suhu
pemanas 70 C ...........................................................................

109

Gambar 23. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 0 : 100, dengan suhu
pemanas 60 C ...........................................................................

109

Gambar 24. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 25 : 75, dengan suhu
pemanas 62.5 C ........................................................................... 110
Gambar 25. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 0 : 100, dengan suhu
pemanas 65 C .......................................................................

110

Gambar 26. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 25 : 75, dengan suhu
pemanas 67.5 C .......................................................................... 111
Gambar 27. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 0 : 100, dengan suhu
pemanas 70 C ..........................................................................

111

vi

DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Jenis atau Tipe Jagung dan Sifat-sifatnya ......................................

Tabel 2. Bagian-bagian anatomi biji jagung ................................................

Tabel 3. Komposisi kimia rata-rata biji jagung dan bagian-bagiannya


....................................................................................................

Tabel 4 Deskripsi singkat varietas unggul jagung Srikandi Putih-1 dan Srikandi Kuning-1, dilepas tahun 2004..............................................

11

Tabel 5. Klasifikasi Ekstruder Ulir Tunggal ..............................................

22

Tabel 6. Spesifikasi Alat Ekstruder.............................................................

30

Tabel 7.Formula Awal Produk Ekstrusi......................................................

45

Tabel 8. Hasil uji hedonik tekstur..............................................................

49

Tabel 9. Hasil uji hedonik kelengketan.....................................................

56

Tabel 10. Hasil uji kekerasan ...................................................................

67

Tabel 11. Hasil uji derajat pengembangan produk ...................................

64

Tabel 12. Analisis Proksimat Bahan Baku dan Pati ................................

71

Tabel 13. Analisis Proksimat Produk Terpilih.........................................

71

vii

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Worksheet uji organoleptik ..................................................... 75
Lampiran 2. Form uji organoleptik snack (1)................................................

84

Lampiran 3. Form uji organoleptik snack (2)................................................

85

Lampiran 4. Data hasil penilaian tekstur.......................................................

86

Lampiran 5. Data hasil penilaian kelengketan...............................................

87

Lampiran 6. Prosedur pengujian organoleptik .............................................

88

Lampiran 7. Hasil Analisis Sidik Ragam Untuk Tekstur ....

89

Lampiran 8. Hasil Analisis Sidik Ragam Untuk Kelengketan

70

Lampiran 9. Hasil Analisis Sidik Ragam Untuk Kekerasan.

91

Lampiran 10. Hasil Analisis Sidik Ragam Untuk Derajat Pengembangan..

92

Lampiran 11. Ringkasan penelitian ...............................................................

94

Lampiran 12. Hasil ringkasan model analisis DX 7 skor tekstur ..................

95

Lampiran 13. Hasil annova analisis DX 7 skor tekstur .................................

96

Lampiran 14. Model matematika dari skor tekstur .......................................

97

Lampiran 15. Hasil ringkasan model analisis DX 7 skor kelengketan ......

98

Lampiran 16. Hasil analisis annova DX 7 skor kelengketan dengan ftware


DX 7.......................................................................................
.
Lampiran 17. Model matematika dari skor kelengketan.............................

99
99

Lampiran 18. Hasil ringkasan model analisis DX 7 kekerasan...................

101

Lampiran 19. Hasil annova analisis DX 7 kekerasan (tekstur) ..................

92

Lampiran 20. Hasil Analisis Respon Derajat Pengembangan ...............

102

Lampiran 21. Model matematika dari derajat pengembangan.....................

103

viii

Lampiran 22. Hasil proses optimalisasi ............................... .....................

104

Lampiran 23. Gambar produk formula 100 : 0, suhu 62.5 C dan formula 50 : 50, suhu 60 C ......................................................

105

Lampiran 24. Gambar produk formula 100 : 0, suhu 62.5 C dan formula 75 : 25, suhu 67.5 C ......................................................

106

Lampiran 25. Gambar produk formula 100 : 0, suhu 65 C dan formula 50 : 50, suhu 65 C ........................................................

107

Lampiran 26. Gambar produk formula 75 : 25, suhu 67.5 C dan formula 100 : 0, suhu 70 C .......................................................

108

Lampiran 27. Gambar produk formula 50 : 50, suhu 70 C dan formula 0 : 100, suhu 60 C ......................................................

109

Lampiran 28. Gambar produk formula 25 : 75, suhu 62.5 C dan formula 0 : 100, suhu 65 C ......................................................

110

Lampiran 29. Gambar produk formula 25 : 75, suhu 67.5 C dan formula 0 : 100, suhu 70 C ........................................................

111

ix

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki ketahanan
pangan kurang stabil, dimana persediaan bahan pangan di Indonesia
khususnya beras jumlahnya tidak tetap. Ketika jumlah produksi beras turun
dan

ketergantungan bangsa Indonesia terhadap beras begitu tinggi, maka

pemerintah Indonesia harus mengimpornya dari luar negeri. Untuk mengatasi


masalah tersebut, diperlukan upaya untuk mengurangi ketergantungan
terhadap beras dan bahan pangan impor lainnya dengan mencari alternatif
bahan pangan lainnya yang dapat tumbuh di Indonesia. Kegiatan tersebut
dikenal dengan usaha diversifikasi pangan.
Salah satu bahan pangan alternatif yang berpotensi dikembangkan
adalah jagung.

Jagung memiliki nilai gizi yang cukup memadai dan di

beberapa daerah di Indonesia digunakan sebagai makanan pokok. Selain itu


jagung juga dapat dimanfaatkan sebagai tepung komposit, bahan utama bagi
industri produk ekstruksi. Bahkan pada saat ini ada varietas jagung yang
mempunyai kandungan protein yang tinggi, sehingga berpotensi untuk
dijadikan sumber protein selain kacang-kacangan.
Pengembangan produk berbasis jagung merupakan salah satu upaya
dalam

pelaksanaan

diversifikasi

pangan.

Namun

dalam

upaya

pengembangannya terdapat beberapa kendala, antara lain akses transportasi ke


beberapa sentra produksi jagung yang sulit dan kendala cuaca yang sering
menyebabkan pengeringan jagung terhambat terutama di musim hujan
(Hardinsyah et al., 2002). Untuk mengatasi masalah ini dibutuhkan teknologi
pengolahan yang cepat dan tepat.
Teknologi pengolahan yang cepat, efisien serta mempunyai hasil
samping produk yang kecil adalah teknologi ekstrusi. Melalui teknologi
ekstrusi tersebut diharapkan produk yang dihasilkan menjadi salah satu
produk pangan yang memiliki kualitas protein yang baik, sehingga dapat
menjadikan sebagai sumber protein.

Beberapa jenis pangan telah yang dikembangankan yaitu pangan yang


siap saji atau ready to serve, pangan siap masak (ready to cook), dan pangan
siap makan (ready to eat). Pada dasarnya kata cereal identik dengan produk
yang diolah dan cocok dikonsumsi oleh manusia dengan atau tanpa
pemasakan dahulu di rumah dan juga biasanya dimakan pada saat sarapan pagi
(Fast, 1990).
Dengan adanya teknologi ekstrusi, para peneliti di dalam bidang ilmu
dan teknologi pangan yang berada di Indonesia melakukan suatu penelitian
tentang pangan ready to eat untuk bahan pangan dan jenis makanan yang
cocok

dan

sesuai

dengan

kebudayaan

Indonesia

sendiri.

Melalui

pengembangan produk ekstrusi berbahan dasar jagung Quality Protein Maize


diharapkan dapat dihasilkan produk yang bermutu, aman, relatif murah, serta
dapat berkontribusi pada pengembangan bahan pangan yang ada di dalam
negeri, sehingga dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat Indonesia.
B. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan formulasi produk ekstrusi
berbahan dasar jagung Quality Protein Maize dengan faktor perlakuan suhu
dan komposisi formula bahan, sehingga menciptakan produk ekstrusi dengan
karakteristik produk ekatrusi yang optimal serta dapat diterima oleh
konsumen.
C. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini bermanfaat dalam mendorong pengembangan dan
penerapan teknologi ekstrusi dalam upaya diversifikasi pangan berbasis
jagung Quality Protein Maize.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. JAGUNG
1. Tanaman Jagung
Tanaman jagung (Zea mays L) adalah salah satu jenis tanaman bijibijian dari keluarga rumput-rumputan (Graminaceae) yang sudah populer
di seluruh dunia. Menurut sejarahnya tanaman jagung berasal dari
Amerika dan menyebar ke daerah subtropis dan tropis termasuk Indonesia
(Warisno, 1998). Berdasarkan bentuk biji dan kandungan endospermanya,
jagung dibedakan atas dent, flint, pop, flour, sweet, pod. Bentuk beberapa
jagung tersebut dapat dilihat pada Gambar 1. Jenis-jenis jagung dan sifatsifatnya disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Jenis atau tipe jagung dan sifat-sifatnya
Jenis jagung
Sifat-sifat
Biji berbentuk gigi, pati yang keras menyelubungi
Jagung gigi kuda
pati yang lunak sepanjang tepi biji tetapi tidak
(Zea mays
sampai ke ujung.
identata)
Biji sangat keras, pati yang lunak sepenuhnya
Jagung mutiara
diselubungi pati yang keras, tahan terhadap
(Zea mays
serangan hama gudang.
indurata)
Jagung bertepung Endosperm hampir seluruhnya berisi pati yang
lunak, biji mudah dibuat tepung, biji yang sudah
(Zea mays
kering permukaannya berkerut.
amylacea)
Jagung berondong Butir biji sangat kecil, keras seperti pada tipe
(Zea mays evertia) mutiara, proporsi pati lunak lebih kecil
dibandingkan pada tipe mutiara
Endosperm berwarna bening, kulit biji tipis,
Jagung manis
kandungan pati sedikit, pada waktu masak biji
(Zea mays
berkerut
saccharata)
Biji berwarna buram, endosperm lunak, pati
Jagung berlilin
mengandung amilopektin, merupakan sumber
(Zea mays
energi terbaik untuk makanan ternak
ceratina)
Tiap butiran biji diselubungi oleh kelobot,
Jagung polong
membentuk tongkol yang juga diselubungi
(Zea mays
kelobot, merupakan keajaiban genetik, dan jagung
tunicata)
ini tidak digunakan untuk produksi
Sumber: Jugenheimer (1976)

Gambar 1. Bentuk jagung dari beberapa jenis jagung: kiri ke kanan: flint, dent,
dan yellow flour. (Anonima, 2006)
Menurut Suprapto (1992), jagung yang banyak yang ditanam di
Indonesia adalah tipe mutiara (flint) dan setengah mutiara (semiflint),
seperti Jagung Arjuna (mutiara), Jagung Harapan (setengah mutiara),
Pioneer-2 (setengah mutiara), Hibrida C-1 (setengah mutiara), dan lainlain. Selain jagung tipe mutiara dan setengah mutiara, di Indonesia
terdapat juga jagung tipe berondong (pop corn), jagung gigi kuda (dent
corn), dan jagung manis (sweet corn).
Klasifikasi botani tanaman Jagung adalah sebagai berikut:
Divisi

: Spermatophyta

Sub divisi

: Angiospermae

Kelas

: Monocotyledonae

Keluarga

: Grasminales (Graminaeae)

Genus

: Zea

Spesies

: Zea mays L

2. Sejarah dan Perkembangan Jagung Di Indonesia


Jagung dikenal oleh masyarakat Indonesia pada waktu awal abad
ke 16 yang dibawa dari benua Amerika khususnya daerah tropis, oleh
Portugis dan Spanyol berlayar melalui Eropa, India dan Cina. Sejak itulah

produksi jagung mengalami peningkatan sampai pertengahan abad 20


(Sarono, Subiyanti dan Cherng-liang , 2001).
Produksi jagung nasional meningkat setiap tahun, namun hingga
kini belum mampu memenuhi kebutuhan domestik sekitar 11 juta ton per
tahun, sehingga masih mengimpor dalam jumlah besar yaitu hingga 1 juta
ton (Subandi et al., 2003). Sebagian besar kebutuhan jagung domestik
untuk pakan atau industri pakan (57%), sisanya sekitar 34% untuk pangan,
dan 9% untuk kebutuhan industri lainnya. Selain untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri, produksi jagung nasional juga berpeluang besar
untuk memasok sebagian pasar jagung dunia yang mencapai sekitar 80
juta ton per tahun (Mejaya, Marsum dan Marcia, 2005).
Di Indonesia, jagung dibudidayakan pada lingkungan yang
beragam. Kini dalam setahun luas areal panen jagung sekitar 3,3 juta ha.
Hasil survei yang dilakukan tahun 1999, sekitar 80% dari areal pertanaman
jagung di Indonesia ditanami varietas unggul yang terdiri atas jagung
bersari bebas (komposit) dan hibrida masing-masing 56% dan 24%,
sedang sisanya 20% varietas lokal (Mejaya et al., 2006). Pada tahun 2000,
sekitar 75% dari areal pertanaman jagung di Indonesia telah ditanami
varietas unggul terdiri atas 28% jenis hibrida dan 47% jenis komposit,
sisanya 25% varietas komposit lokal (Mejaya et al., 2006).
Daerah-daerah di Indonesia yang menjadi penghasil utama
tanaman jagung yaitu di pulau Jawa, Madura, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan
Maluku. Khusus untuk Jawa Timur dan Madura, tanaman jagung
dibudidayakan cukup intensif karena selain tanah dan iklimnya sangat
mendukung untuk pertumbuhan tanaman jagung, di daerah tersebut,
jagung banyak dimanfaatkan sebagai makanan pokok (Warisno, 1998).
3. Morfologi Jagung
Jagung tongkol lengkap terdiri dari kelobot, tongkol jagung, biji
jagung, dan rambut. Kelobot merupakan kelopak atau daun buah yang
berguna sebagai pembungkus dan pelindung biji jagung. Jumlah kelobot

dalam satu tongkol jagung pada umumnya 12-15 lembar. Semakin tua
umur jagung, semakin kering kelobotnya. Tongkol jagung merupakan
simpanan makanan untuk pertumbuhan biji jagung selama melekat pada
tongkol. Panjang tongkol jagung bervariasi antara 8-12 cm (Effendi dan
Sulistiati, 1991).
Pada umumnya satu tongkol jagung mengandung 300-600 biji
jagung. Biji jagung berbentuk bulat dan melekat pada tongkol jagung.
Susunan biji jagung pada tongkolnya berbentuk spiral. Biji jagung selalu
terdapat berpasangan, sehingga jumlah baris atau deret biji selalu genap.
Warna biji jagung bervariasi dari putih, kuning, merah, dan ungu sampai
hitam. Rambut merupakan tangkai putik yang sangat panjang yang keluar
ke ujung kelobot melalui sela-sela deret biji. Rambut mempunyai cabangcabang yang halus, sehingga dapat menangkap tepung sari pada saat
pembuahan (Effendi dan Sulistiati, 1991).
4. Anatomi Biji Jagung
Menurut Hoseney (1998), jagung terdiri dari empat bagian pokok
yaitu embrio, endosperma, aleuron, dan kulit (perikarp) dapat dilihat pada
(Gambar 2). Bagian-bagian anatomi jagung dapat dilihat pada Tabel 2.
Perikarp merupakan lapisan pembungkus seluruh biji (kernel) dan
berfungsi sebagai pelindung bagi bagian dalam biji. Bagian terakhir ini
terdiri dari dua lapis sel yaitu spermoderm dan periperm yang
mengandung lemak.
Tabel 2. Bagian-bagian anatomi biji jagung
Bagian anatomi
Jumlah (%)
Pericarp

Endosperma

82

Lembaga

12

Tipcap

Sumber: Inglett (1970)

Bagian terbesar dari biji jagung yaitu endosperma. Lapisan pertama


dari endosperma yaitu lapisan aleuron yang merupakan pembatas antara
endosperma dengan kulit (perikarp). Lapisan aleuron merupakan lapisan
yang menyelubungi endosperma dan lembaga. Lapisan aleuron terdiri dari
1-7 lapis sel sedangkan untuk jagung hanya terdiri dari satu lapis sel,
demikian juga untuk gandum.

Gambar 2. Penampang melintang dan penampang membujur biji jagung


(Hoseney, 1998)
Endosperma jagung terdiri dari dua bagian yaitu endosperma keras
(horny endosperm) dan endosperma lunak (floury endosperm). Bagian
keras tersusun dari sel-sel yang lebih kecil dan tersusun rapat, demikian
juga susunan granula pati yang ada di dalamnya. Bagian endosperma lunak

mengandung pati yang lebih banyak dan susunan pati tersebut tidak
serapat pada bagian keras (Muchtadi dan Sugiyono, 1990).
Lembaga terletak pada bagian dasar sebelah bawah dan
berhubungan erat dengan endosperma. Lembaga tersusun atas dua bagian
yaitu skutelum dan poros embrio. Skutelum berfungsi sebagai tempat
penyimpanan zat-zat gizi selama perkecambahan biji (Muchtadi dan
Sugiyono, 1990). Tudung pangkal biji (tip cap) merupakan bekas tempat
melekatnya biji jagung pada tongkol jagung. Tip cap dapat tetap ada atau
terlepas dari biji selama proses pemipilan jagung (Hoseney, 1998).
5. Komposisi Kimia Biji Jagung
Jagung mengandung lemak dan protein yang jumlahnya tergantung
umur dan varietas jagung tersebut. Pada jagung muda, kandungan lemak
dan proteinnya lebih rendah bila dibandingkan dengan jagung yang tua.
Selain itu, jagung juga mengandung karbohidrat yang terdiri dari pati,
serat kasar, dan pentosan (Muchtadi dan Sugiyono, 1990).
Pati jagung terdiri atas amilosa dan amilopektin sedangkan
gulanya berupa sukrosa. Lemak jagung sebagian besar terdapat pada
lembaganya. Asam lemak penyusunnya terdiri atas lemak jenuh yang
berupa palmitat dan stearat serta asam lemak tak jenuh seperti oleat,
linoleat dan linolenat. Kandungan asam lemak terbanyak pada jagung
adalah asam lemak tidak jenuh yaitu linoleat dengan jumlah 59.7% dari
total asam lemak. Kemudian asam lemak terbanyak ke dua adalah asam
lemak jenuh yaitu oleat dengan jumlah 25.2 % (White dan Lawrence,
2003). Vitamin yang terkandung dalam jagung terdiri atas tiamin, niasin,
riboflavin, dan piridoksin. Komposisi kimia dari biji jagung dapat dilihat
pada Tabel 3.
Protein terbanyak dalam jagung adalah zein dan glutelin. Zein
diekstrak dari gluten jagung. Zein merupakan prolamin yang tak larut
dalam air. Ketidaklarutan dalam air disebabkan karena adanya asam amino
hidrofobik seperti leusin, prolin, dan alanin. Ketidaklarutan dalam air juga
disebabkan karena tingginya proporsi dari sisi rantai grup hidrokarbon dan

tingginya persentase grup amida yang ada dengan jumlah grup asam
karboksilat bebas yang relatif rendah (Lorenz dan Karel, 1991).
Zein merupakan protein dengan BM rendah yang larut pada
etilalkohol dan alkohol-alkohol tertentu seperti isopropanol. Walaupun
tidak umum digunakan, zein juga larut dalam pelarut organik seperti asam
asetat glasial, fenol, dan dietilen glikol. Zein memiliki dua jenis komponen
yaitu -zein (larut pada 95% etanol) dan -zein (larut dalam 60% etanol).
Pada -zein, kandungan asam amino histidin, arginin, proline, dan
metionin lebih banyak dibandingkan yang terkandung pada -zein
(Laztity, 1986).
Tabel 3. Komposisi kimia rata-rata biji jagung dan bagian-bagiannya
Jumlah (%)
Komponen

Pati

Protein

Lemak

Serat

Lain-lain

Endosperma

86.4

8.0

0.8

3.2

0.4

Lembaga

8.0

18.4

33.2

14.0

26.4

Kulit

7.3

3.7

1.0

83.6

4.4

Tip cap

5.3

9.1

3.8

77.7

4.1

Lorenz dan Karel (1991)


Glutelin merupakan protein berberat molekul tinggi yang larut
dalam alkali. Fraksi glutelin adalah protein endosperma yang tersisa
setelah ekstraksi protein larut garam dan alkohol (zein). Fraksi glutelin
juga terdiri dari beberapa protein struktural seperti protein membran atau
protein komplek dinding sel. Glutelin memiliki jumlah asam amino lisin,
arginin, histidin, dan triptofan yang lebih tinggi daripada zein tetapi
kandungan asam glutamatnya lebih rendah (Laztity, 1986).
Selain

dua

protein

utama

tersebut,

protein

jagung

juga

mengandung protein sitoplasma yang berperan dalam metabolisme aktif.


Protein tersebut yaitu albumin, globulin, dan beberapa enzim. Protein ini
merupakan protein yang larut air atau larutan garam. Protein yang
termasuk dalam kelompok ini antara lain nukleoprotein, glikoprotein,
protein membran, dan lain-lain (Laztity, 1986). Pemakaian jagung sebagai

bahan dalam pembuatan ekstruksi bertujuan agar diperoleh tekstur produk


yang baik, dimana sebagian besar produk ekstruksi dari jagung
mempunyai tekstur yang renyah atau mudah mengalami puffing
(Muchtadi, Haryadi dan Basuki, 1988).
6. Jagung Jenis Quality Protein Maize
Balai Penelitian Tanaman Serealia telah menyeleksi dua jagung
berprotein tinggi atau lebih populer disebut jagung QPM, masing-masing
dilepas dengan nama Srikandi Kuning-1 dan Srikandi Putih-1. Hasilnya
berkisar antara 7,9-8,1 ton per hektar, setara dengan hasil jagung hibrida.
Selain untuk pangan, jagung juga banyak digunakan untuk pakan. Data
menunjukkan sekitar 60% jagung di Indonesia digunakan sebagai bahan
baku industri, 57% di antaranya untuk pakan. (Anonima, 2004).
Hal ini merupakan tantangan dan sekaligus peluang bagi
pengembangan jagung di dalam negeri. Departemen Pertanian terus
mendorong upaya peningkatan produksi jagung, baik melalui program
intensifikasi maupun perluasan areal tanam. Badan Litbang Pertanian terus
pula

berupaya

menghasilkan

teknologi

yang

diperlukan

untuk

meningkatkan produksi jagung, sebagaimana halnya teknologi produksi


untuk komoditas pertanian lainnya (Anonima, 2004).
Badan Litbang Pertanian senantiasa berupaya menghasilkan
varietas unggul jagung yang sesuai dengan permintaan, baik dari segi
produksi maupun nutrisi. Jenis jagung yang telah berkembang di petani
selama ini sebenarnya masih memiliki beberapa kelemahan, terutama dari
segi nutrisi. Padahal aspek nutrisi juga perlu mendapat perhatian yang
lebih besar bila dikaitkan dengan upaya perbaikan gizi masyarakat.
Kandungan lisin dan triptofan jagung umumnya rendah, masing-masing
hanya 0,28% dan 0,06% dari total protein biji. Angka ini kurang dari
separuh konsentrasi yang disarankan oleh Badan Kesehatan se-Dunia
(WHO) dan Badan Pangan dan Pertanian se-Dunia (FAO) (Anonima,
2004).

10

Jika jagung berkadar lisin dan triptofan rendah digunakan untuk


pakan maka protein ternak juga akan kekurangan kedua zat yang penting
bagi perbaikan gizi. Melalui kerja sama dengan Pusat Penelitian Jagung
Internasional, Centro Internacional de Mejoramiento de Maiz Yiel Trigo
(CIMMYT), Badan Litbang Pertanian mengintroduksi bahan genetik
jagung berprotein tinggi atau lebih populer disebut jagung QPM (Quality
Protein Maize). Setelah melalui serangkaian penelitian oleh Balitsereal
yang berkedudukan di Maros, Sulawesi Selatan, dua di antara sejumlah
galur jagung QPM yang diintroduksi itu telah dilepas oleh Departemen
Pertanian pada tahun 2004 ini, masing-masing dengan nama Srikandi
Kuning-1 dan Srikandi Putih-1 (Anonima, 2004).
Tabel 4. Deskripsi singkat varietas unggul jagung Srikandi Putih-1 dan
Srikandi Kuning-1, dilepas tahun 2004.
Kakteristik
Sri Kandi Kuning 1 Sri Kandi Putih 1
Tinggi Tanaman (cm)

185

195

Umur panen (hari)

105 110

105 110

Bobot 1000 biji (g)

275

325

Kuning

Putih

7.9

8.1

Warna Biji
Potensi Hasil (ton/ ha)
(Anonimb, 2004).

Varietas Srikandi Kuning-1 berdaya hasil 7,9 ton per hektar dan
bijinya berwarna kuning, sesuai dengan namanya. Berbiji putih, varietas
Srikandi Putih-1 mampu berproduksi 8,1 ton per hektar. Kedua varietas
unggul ini tahan penyakit hawar daun, karat, dan hama penggerek batang.
Deskripsi singkat dari kedua jagung tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.
Dibandingkan dengan Srikandi Kuning-1, biji Srikandi Putih-1 lebih besar
masing-masing dengan bobot 275 g dan 325 g per 1.000 biji. Kadar
protein biji Srikandi Kuning-1 dan Srikandi Putih-1 masing-masing 10,3%
dan 7,8% dengan kandungan lisin dan triptofan 0,46% dan 0,09% untuk
Srikandi Kuning-1 serta 0,36% dan 0,07% untuk Srikandi Putih-1
(Anonima, 2004). Jagung QPM juga mempunyai kandungan amilosa
29.52% (b/k) dari kadar pati jagung QPM sebesar 77.95%. Sementara

11

kandungnan amilosa 54.94% (Tabel 12). Dari kandungan amilosa dan


amilopektin tersebut dapat dinyatakan bahwa jagung QPM dapat
digunakan sebagi produk ekstrusi. Postur tanaman jagung Srikandi
Kuning-1 relatif lebih pendek dari Srikandi Putih-1 dan keduanya dapat
dipanen pada umur 105-110 hari yaitu mulai dari penanaman benih jagung
sampai bulir jagung pada tongkol jagung dalam keadaan matang. Srikandi
Kuning-1 dapat dikembangkan di dataran rendah maupun dataran tinggi
(1.000 m dpl), sedangkan Srikandi Putih-1 sesuai untuk dataran rendah
dan medium dengan ketinggian tempat kurang dari 700 m dpl (Anonima,
2004).
Sementara jagung varietas hibrida adalah suatu turunan F1 dari
persilangan dua varietas. Varietas dengan galur atau galur dengan galur.
Hal tersebut bertujuan untuk menghasilkan varietas jagung yang
mempunyai hasil panen yang lebih tinggi dari varietas awal (Baco et al.,
2000).
B. KACANG HIJAU
Kacang hijau (Vigna radiata (L). Wilezek) termasuk dalam famili
Leguminoceae, sub famili Papilionidae, dan genus Vigna (Allen dan Allen,
1981). Kacang hijau merupakan salah satu tanaman yang cukup penting di
Indonesia. Posisi kacang hijau menduduki tempat ketiga setelah kedelai dan
kacang tanah. Klasifikasi botani tanaman kacang hijau adalah sebagai berikut:
Divisi

: Spermatophyta

Sub divisi

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledonae

Keluarga

: Leguminoceae (Fabaceae)

Genus

: Vigna

Spesies

: Vigna radiatus

Perhatian masyarakat di Indonesia terhadap kacang hijau masih


kurang, karena disebabkan oleh hasil yang dicapai per hektarnya masih
rendah. Kebanyakan petani menanam kacang hijau memiliki produktivitas
panen yang rendah yaitu 500 kg per Ha (Suprapto, 1998). Di samping itu,

12

panen kacang ini harus dikerjakan beberapa kali. Biji kacang hijau berukuran
2.5 5 x 3 4 mm2, berbentuk elips sampai bulat. Warna biji hijau, coklat,
abu-abu, dan hijau kehitaman. Dua jenis kacang hijau yang terkenal adalah
Golden Gram dan Green Gram (Kay, 1979). Kacang hijau merupakan salah
satu jenis kacang-kacangan yang dapat dijadikan sebagai sumber protein yang
cukup baik dan memiliki kandungan karbohidrat yang cukup tinggi.
Komposisi gizi kacang hijau terdiri dari karbohidrat (56,7%), protein
(24%), lemak (1.3%), mineral (3.5%), serat (4.1%), Ca (124 mg), P (326 mg)
dan Fe (7.3 mg) per 100 gram. Kandungan karbohidrat kacang hijau terdiri
dari 38.8% pati yang tersusun atas 28.8% amilopektin dan 71.2% amilosa
(Kay, 1979). Menurut Kay (1979), tepung kacang hijau sangat kaya akan
protein terutama lisin, sehingga cocok untuk sumber protein. Asam amino
terbanyak adalah leusin yang diikuti arginin dan lisin.
Varietas yang digunakan pada penelitian ini adalah varietas betet
merupakan verietas yang termasuk varietas kacang hijau dengan produktivitas
yang cukup tinggi yaitu sekitar 1200-1600 kg/ha. Karakteristik yang lain yaitu
batangnya berwarna hijau dengan tinggi 45 cm. Varietas ini berbunga pada
umur 35 hari dan dapat dipanen pada umur 60 hari yang terhitung mulai dari
penanaman benih (Suprapto, 1998).
Proses penyosohan yang bisa dilakukan pada kacang hijau adalah
dengan melembabkan biji terlebih dahulu dengan perendaman pada air.
Selanjutnya digiling basah dengan Grinder lalu dikeringkan pada oven.
Perlakuan penyosohan menyebabkan penurunan kadar lemak, serat kasar,
kalsium dan karoten namun menaikkan kadar karbohidrat dan protein
(Thirumaran dan Sralthan, 1987).
Kacang-kacangan pada umumya mengandung zat toksik seperti
flavonoid, alkaloid dan asam amino non protein. Zat tersebut dapat
mengganggu pencernaan protein dengan cara menghambat kerja enzim
pencernaan protein (inhibitor enzim), membentuk kompleks dengan protein
yang sulit dicerna atau pun menghambat pencernaan asam-asam amino pada
usus. Namuan zat tersebut dapat dinetralkan dengan perlakuan perendaman,

13

pemanasan, fermentasi dan dengan zat kimia seperti asam, basa atau sodium
bikarbonat (Anonim, 1973).
Penambahan kacang hijau pada pembuatan produk ekstruksi
diharapkan dapat meningkatkan kandungan protein produk ekstruksi.
Suplementasi kacang hijau dan jagung dapat meningkatkan kandungan lisin,
sehingga tujuan perbaikan mutu dapat tercapai (Muchtadi et al., 1988). Selain
itu kacang hijau dapat dijadikan pangan alternatif selain kacang kedelai karena
kandungan proteinnya mendekati kedelai dan juga mempunyai kandungan
lisin yang lebih tinggi. Pertimbangan lain yaitu kacang hijau termasuk bahan
pangan domestik yang sebagian besar produksinya masih diproduksi di dalam
negeri.
C. PATI
a. Karakteristik Pati
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan -glikosidik,
yang banyak terdapat pada tumbuhan terutama pada biji-bijian, dan
umbi-umbian. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari
panjang rantai atom karbonnya, serta lurus atau bercabang. Dalam
bentuk aslinya secara alami pati merupakan butiran-butiran kecil yang
sering disebut granula. Bentuk ukuran granula merupakan karakteristik
setiap jenis pati, karena itu digunakan untuk identifikasi. Selain ukuran
granula karakteristik lain adalah bentuk, keseragaman granula, lokasi
hilum, serta permukaan granulanya (Hodge dan Osman, 1976).
Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama yaitu
amilosa, amilopektin, dan protein serta lemak (Banks dan Greenwood,
1975). Umumnya pati mengandung 12 30% amilosa, 75 80%
amilopektin dan 5 10% meliputi lemak dan protein. Struktur dan jenis
material antara tiap sumber pati berbeda tergantung sifat-sifat botani
sumber pati tersebut. Secara umum dapat dikatakan pati biji-bijian
mengandung protein yang lebih besar dibandingkan pati batang dan pati
umbi (Greenwood, 1979). Kandungan amilosa pada umumnya untuk
jagung adalah 24% dan jumlah amilopektin 76%. Sementara kandungan

14

amilosa dan amilopektin pada kacang hijau berturut-turut adalah 28.2%


dan 71.8% (Muchtadi dan Sugiono, 1973).
Pati mempunyai sifat dapat merefleksikan cahaya terpolarisasi,
sehingga dibawah mikroskop akan terlihat hitam putih. Sifat ini disebut
sifat birefringence. Pada waktu granula mulai pecah sifat birefrengence
ini akan hilang. Kisaran suhu yang menyebabkan 90% butir pati dalam
air panas membengkak sedemikian rupa, sehingga tidak kembali ke
bentuk normalnya disebut birefrengence end point temperature atau
disingkat BEPT (Winarno, 1997).
Dalam keadaan murni granula pati berwarna putih, mengkilat,
tidak berbau dan tidak berasa. Secara mikroskopik terlihat granula pati
dibentuk oleh molekul-molekul yang membentuk lapisan tipis yang
tersusun terpusat. Granula pati bervariasi dalam bentuk tidak beraturan
demikian juga umurnya, mulai kurang dari 1 mikron sampai 150 mikron
ini tergantung sumber patinya. Untuk pati jagung memiliki diameter
berkisar antara 21 96 m, kentang 15 10 m, ubi jalar 15 55 m,
tapioka 6 36 m, gandum 3 38 m, dan beras 3 9 m (Fennnema,
1976). Sementara untuk diameter pati kacang hijau berkisar antara 6
16 m (Muchtadi dan Sugiono, 1973).
b. Granula Pati
Pati dalam jaringan tanaman mempunyai bentuk granula (butiran)
yang berbeda-beda. Penampakan mikroskopik dari granula pati seperti
bentuk, ukuran, keseragaman letak hilum seperti bersifat khas untuk
setiap jenis pati, oleh karena itu dapat digunakan untuk identifikasi, dan
demikian juga sifat birefringencenya masing-masing pati berbeda.
Secara mikroskopik, dalam granula pati campuran molekul
berstruktur linier dan bercabang tersusun membentuk lapisan-lapisan
tipis yang berbentuk cincin atau lamela, dimana lamela tersebut tersusun
terpusat mengelilingi titik awal yang disebut hilus atau hilum
(Bouwkamp, 1985). Penampakan cincin atau lamela pada granula pati
adalah akibat dari pengendapan lapisan molekul pati yang terjadi pada

15

waktu yang berlainan dan tidak sama kadarnya (Hodge et al., 1976).
Menurut Hodge et al., (1976) ikatan paralel yang terbentuk antara
molekul linier yang berdekatan atau dengan cabang yang terluar dari
molekul bercabang. Ikatan ini dihubungkan dengan ikatan hidrogen,
menghasilkan daerah kristalisasi atau misela. Daerah yang kurang padat
yang disebut daerah amorf yang mudah dimasuki air.

Misela

menyebabkan granula pati memiliki sifat birefringence, yaitu sifat yang


dapat merefleksikan atau memantulkan cahaya terpolarisasi, sehingga
akan tampak seperti susunan kristal hitam putih di bawah mikroskop
(Whistler et al., 1984).
Letak hilum dalam granula pati ada yang ditengah dan ada yang
ditepi. Granula pati dari golongan tanaman Graminae (beras, jagung, dan
gandum) mempunyai hilum yang terletak ditengah, sedangkan pada
granula pati kentang dan sagu mempunyai letak hilum di tepi. Bentuk
butir pati secara fisik berupa semikristalin yang terdiri dari unit kristal
dan unit amorf (Banks dan Greenwood, 1975). Unit kristal lebih tahan
terhadap perlakuan asam kuat dan enzim sedangkan amorf sifatnya labil
terhadap asam kuat dan enzim. Bagian amorf dapat menyerap air dingin
sampai 30% tanpa merusak struktur pati secara keseluruhan (Hodge dan
Osman, 1976). Sampai saat ini diduga amilopektin merupakan
komponen yang bertanggung jawab terhadap sifat-sifat kristal dari
granula pati (Banks et al., 1975).
c. Amilosa
Amilosa merupakan homoglikan D-glukosa dengan ikatan -(1,4)
dari struktur cincin piranosa, yang membentuk rantai lurus umumnya
dikatakan sebagai linier dari pati. Meskipun sebenarnnya jika amilosa
dihidrolisa dengan -amilase pada beberapa jenis pati tidak diperoleh
hasil hidrolisis yang sempurna (Banks et al., 1975). -amilase
menghidrolisa amilosa menjadi unit-unit residu glukosa dengan
memutuskan ikatan -(1,4) dari ujung non pereduksi rantai amilosa
menghasilkan maltosa (Muchtadi at al., 1988).

16

Suatu karakteristik dari amilosa dalam suatu larutan adalah


kecenderungan membentuk struktuk koil yang sangat panjang dan
fleksibel yang selalu bergerak melingkar. Struktur ini yang mendasari
terjadinya interaksi iod-amilosa membentuk warna biru, dan ini dapat
ditentukan kadarnya dengan mengunakan spektrofotometer pada panjang
gelombang 625 660 nm (Manner, 1979 di dalam La Ega, 2002).
d. Amilopektin
Amilopektin seperti amilosa juga mempunyai ikatan -(1,4) pada
rantai lurusnya, serta ikatan -(1,6) pada titik percabangannya. Ikatan
percabangan tersebut berjumlah sekitar 4% 5% dari seluruh ikatan
yang ada pada amilopektin (Hodge dan Osman, 1976 ; Fennema, 1976).
Biasanya amilopektin mengandung 1000 atau lebih unit molekul
glukosa untuk setiap rantai. Berat molekul bervariasi tergantung
sumbernya. Amilopektin pada pati umbi-umbian mengandung sejumlah
kecil ester fosfat yang terikat pada atom karbon yang ke 6 dari cincin
glukosa (Greenwood dan Munro, 1979).
Dalam

produk

makanan

amilopektin

bersifat

merangsang

terjadinya proses mekar (puffing) dimana produk makanan yang berasal


dari pati yang kandungan amilopektinnya tinggi akan bersifat ringan,
porus, garing dan renyah. Kebalikannya pati yang mengandung amilosa
yang tinggi, cenderung menghasilkan produk yang keras, pejal karena
proses mekarnya terjadi secara terbatas (Muchtadi at al., 1988).
e. Gelatinisasi
Menurut Winarno (1995) peningkatan volume granula pati yang
terjadi di dalam air pada suhu 55 C 65 C merupakan pembengkakan
yang sesungguhnya dan setelah pembengkakan ini granula pati dapat
kembali pada kondisi semula. Granula pati dapat dibuat membengkak
luar biasa tetapi bersifat tidak dapat kembali pada kondisi semula.
Perubahan tersebut dinamakan gelatinisasi. Suhu pada saat granula pati
pecah disebut suhu gelatinisasi.

17

Pada proses gelatinisasi terjadi pengrusakan ikatan hidrogen


intramolekuler. Ikatan hidrogen ini berfungsi untuk mempertahankan
struktur integritas granula. Terdapatnya gugus hidroksil yang bebas akan
menyerap molekul air, sehingga selanjutnya terjadi pembengkakan
granula pati (Greenwood dan Murno, 1979). Winarno (1995)
menambahkan karena jumlah gugus hidroksil dari molekul pati sangat
besar maka kemampuan menyerap air juga sangat besar. Terjadinya
peningkatan viskositas disebabkan oleh air yang sebelumnya berada di
luar granula pati dan bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan, kini
berada dalam granula dan tidak dapat bergerak bebas lagi. Kenaikan dan
penurunan

viskositas

selama

gelatinisasi

dapat

diikuti

dengan

menggunakan Brabender amilograph.


Mekanisme gelatinisasi terdiri dari tiga tahap (Fennema, 1996).
Tahap pertama air berpenetrasi secara bolak-balik ke dalam granula,
kemudian pada suhu 60 85 C granula akan mengembangkan dengan
cepat dan polimer yang lebih pendek akan larut, sehingga pati
kehilangan sifat birefrigentnya. Keperluan air pada suhu awal
gelatinisasi tergantung pada jenis patinya. Proses pembengkakan granula
oleh pemanasan akan menyebabkan perubahan yang nyata dalam
viskositas dan sifat reologi dari pasta. Hal tersebut merupakan
karakteristik dari masing-masing jenis pati (Damardjati, 1987).
Sedangkan pada pati mentah, jika dimasukan ke dalam air dingin,
granula pati akan menyerap air dan membengkak. Namun demikian
jumlah air yang terserap dan pembengkakannya terbatas. Pembengkakan
granula tersebut dapat kembali ke pada kondisi semula (Winarno, 1997).
Pada tahap kedua, jika suhu tetap naik, maka molekul-molekul pati
akan terdifusi keluar granula (Fennema, 1996). Selama gelatinisasi
suspensi yang tadinya menyerupai susu menjadi berkurang daya tembus
sinarnya dan berubah menjadi transparan. Pembengkakan menyebabkan
hilangnya birfringence dan menstimulasi terbentuknya larutan yang
kental. Meskipun pati telah kehilangan birefringence dan telah terjadi

18

pembengkakan maksimum, tetapi tingkat pengentalan belum sempurna,


karena penambahan panas akan meningkatkan kekentalan.
Pada tahap ketiga pengembangan granula-granula terjadi secara
cepat akibat dari molekul-molekul pati yang terdispersi keluar granula
(McCormick et al., 1991). Suhu gelatinisasi tergantung pada konsentrasi
pati. Semakin kental larutan, suhu tersebut semakin lambat tercapai,
sampai suhu tertentu kekentalan tidak bertambah, bahkan kadang-kadang
turun (Winarno, 1997). Schoch (1969) mengemukakan mekanisme
pembentukan gel dan retrogradasi diakibatkan oleh terbentuknya ikatan
hidrogen antara gugus OH terutama pada rantai amilosa dengan molekul
amilosa yang lain. Pada proses oksidasi gugus OH ini mencegah ikatan
hidrogen mengisi rantai polimer dan gel yang dihasilkan mempunyai
konsistensi lembek dan tekstur yang lunak dibandingkan pati alami.
Pati dengan amilopektin yang tinggi akan lebih sukar membentuk
gel, karena percabangan amilopektin akan mencegah terjadinya ikatan
antar molekul yang dibutuhkan utuk pembentukan gel, sedangkan pati
dengan amilosa tinggi pembentukan ikatan antar molekul lebih mudah,,
sehingga terbentuklah struktur dua dimensi yang disebut gel (Osmon,
1972). Terjadinya struktur dua dimensi akan mengakibatkan air bebas
akan terperangkap dalam jaringan tersebut.
Selain konsentrasi, pembentukan gel dipengaruhi oleh pH larutan.
Pembentukan gel optimum pada pH 4 7. pada pH yang terlalu tinggi
pembentukan gel berlangsung dengan cepat tetapi juga cepat menurun.
Sedangkan bila pH terlalu rendah, gel terbentuk secara lambat dan
apabila pemanasan diteruskan viskositas akan kembali turun.
D. EKSTRUSI
1. Proses Ekstrusi
Ekstrusi bahan pangan adalah suatu proses dimana bahan pangan
dipaksa mengalir di bawah pengaruh suatu lebih kondisi operasi seperti
pencampuran (mixing), pemanasan dengan suhu tinggi dan pemotongan
(shear) melalui suatu cetakan yang dirancang untuk membentuk hasil

19

ekstrusi yang bergelembung kering (puff dry) dalam waktu singkat. Fungsi
pengekstrusi meliputi gelatinisasi atau pemasakan, pemotongan molekuler,
pencampuran, sterilisasi, pembentukan dan penggelembungan atau
pengeringan (puffing atau drying) (Muchtadi et al., 1988).
Sementara fungsi dari ekstrusi meliputi gelatinisasi/pemasakan,
pemotongan molekuler, pencampuran, sterilisasi, pembentukan, dan
pengembungan (puffing atau drying). Kombinasi satu atau lebih fungsifungsi tersebut di atas merupakan hal yang tidak terpisahkan dalam proses
ekstrusi. Proses keseluruhan pada ekstrusi tidak dapat dipisahkan karena
adanya sejumlah interaksi yang saling berkaitan antara kondisi yang akan
terjadi sebelum dan sesudah ekstrusi (Muchtadi et al., 1988).
Alat pemasak ekstruder umumnya terdiri atas tiga bagian yaitu
bagian pengisian, kompresi dan pengemasan. Mekanisme alat tersebut
sangat sederhana dimana bahan dimasukan ke dalam bagian pengisi, pada
tahap ini udara didorong keluar dan bahan dimampatkan hingga masif, dan
mengisi seluruh ruangan screw dan barrel. Kemudian bahan didorong ke
dalam bagian kompresi. Di tempat ini bahan mendapat tekanan cukup
tinggi. Tekanan timbul karena terjadi penyempitan ruangan, sehingga
energi mekanis dan gaya geser terhadap bahan meningkat. Keadaan
demikian berakibat pada suhu bahan mulai naik. Di bagian dalam alat
pemanasan, kecepatan geser (shear rate) sangat tinggi yang disertai
kenaikan suhu yang cepat. Suhu mencapai maksimum sebelum bahan
disemprotkan melalui lubang kecil atau lubang pelepas di ujung selubung
(die). Kenaikan suhu yang cukup tinggi dapat menyebabkan bahan
mengalami perubahan fisiko kimia (Dixon, 1981).
Bahan yang telah mengalami pemasakan didorong keluar melalui
die. Pada saat terlepasnya bahan di ujung die, bahan mengalami perubahan
tekanan yang demikian besar dalam waktu yang singkat. Keadaan
demikian menyebabkan bahan menjadi mekar, kering dengan tekstur
produk yang berongga. Pemotongan dan pembentukan makanan dilakukan
segera pada saat bahan keluar dari ujung die (Muchtadi et al, 1988).

20

Dalam proses ekstrusi, adanya aliran adonan adalah karena


pengaruh tekanan shear. Tekanan shear tersebut tergantung pada
kecepatan shear dan viskositas bahan. Pada bahan pangan, karena
mengandung senyawa-senyawa biopolimer seperti pati dan protein, sifat
alirannya mengikuti kaedah non-newtonian (Harper, 1981). Selanjutnya
disebutkan ekstrusi biopolimer sangat dipengaruhi oleh komposisi dan
jenis biopolimernya.
Menurut

Harper

(1981),

agar

diperoleh

kerenyahan

dan

pengembangan produk yang relatif lebih baik, ekstrusi bahan yang berasal
dari pati-patian dilakukan pada suhu optimum 170C dengan tekanan 438
kPa (70 psi) sampai 5516 kPa (800 psi). Kecepatan ulir digunakan
sebaiknya 300 rpm dalam waktu sekitar 10 detik. Tekanan pada proses
ekstrusi bervariasi antara 70-800 psi atau lebih, sesuai dengan keperluan.
Tekanan ini dipengaruhi oleh bentuk ulir pada ekstruder, jumlah dan tipe
kepala ekstruder, kecepatan berputarnya ulir dan arus listrik (Smith, 1981).
Bahan yang digunakan pada proses ekstrusi berbentuk butiran kecil
yang berukuran 1-3 mm. untuk bahan yang berbentuk tepung, hasilnya
kurang memuaskan karena jika ukuran partikel terlalu halus produk yang
dihasilkan hangus dan partikel bahan tidak mengalami pemadatan yang
sempurna serta kurang mengembang (Ang et al., 1980). Hasil pemasakan
proses ekstrusi adalah gelatinisasi pati, denaturasi protein, serta inaktivasi
enzim yang terdapat pada bahan mentah (Harper, 1981). Proses ini diikuti
oleh pengembangan eksotermik yang dibentuk pada cetakan (Smith,
1981).
Kadar air bahan baku memegang peranan penting pada proses
ekstrusi, karena menentukan sifat plastisitas dan elastisitas produk, yang
merupakan ukuran mutu hasil olahan. Biasanya kadar air bahan baku
berkisar antara 10% - 40% (Harper, 1981).
2. Ekstruder
Ekstruder adalah alat untuk melakukan proses ekstrusi (Harper,
1981). Alat ekstrusi dapat digolongkan menurut penggunaannya yang

21

umum seperti pengekstrusi pasta dan collet (snack, makanan kecil). Jenis
alat ekstrusi dapat digolongkan menurut kelembaban selama processing.
Ekstrusi dapat dibagi menjadi tiga golongkan berdasarkan kadar air bahan
yang dimasukan. Ketiga jenis ekstruder tersebut adalah low ekstruder
dengan kadar air bahan sampai 20%, intermediet ekstruder dengan kadar
air bahan 20-30%, dan high ekstruder dengan kadar air bahan 30-40%
(Muchtadi et al., 1988). berdasarkan jumlah ulirnya, ekstruder terbagi atas
ekstruder berulir tunggal dan ekstruder berulir ganda.
Ekstruder berulir tunggal banyak digunakan dalam pengembangan
produk baru seperti makanan ringan, makanan bayi, makanan ternak,
breakfast cereal, atau produk modifikasi pati (Mercier dan Feillet, 1975).
Selain itu, juga digunakan untuk menghasilkan produk pasta, cookies, atau
permen (Linko et al., 1981).
Harper (1981) membagi ekstruder berulir tunggal yang biasa
digunakan dalam industri pangan ke dalam lima kelompok, yaitu : (1)
ekstruder pasta yang biasa digunakan dalam pembuatan macaroni ; (2)
ekstruder pembentuk dengan tekanan dengan tekanan tinggi untuk
membentuk adonan dan memadatkan adonan yang telah digelatinisasi ; (3)
ekstruder pemasak dengan shear rendah untuk adonan dengan kadar air
tinggi ; (4) ekstruder collet untuk membuat pangan berbentuk butiran yang
bergelembung kering ; (5) ekstruder pemasak dengan shear tinggi serupa
dengan ekstruder collet, hanya pemakaiannya lebih luas untuk cereal
bergelembung, dan pakan ternak.
Menurut Smith (1981) ekstruder berulir tunggal dibagi atas tiga
bagian yaitu Low Shear, Medium Shear, High Shear. Jenis-jenis ekstruder
tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.

22

Tabel 5. Klasifikasi Ekstruder Ulir Tunggal


Kategori

Low Shear

Medium Shear

High Shear

Kadar Air Produk (%)


Densitas produk (g/ 100ml)
Suhu barrel maksimum (C)
Tekanan barrel maksimum
(kg / cm2)
Kecepatan ulir (rpm)
Produk khas

25 75
32 80
20 65
6 63

15 30
16 51
55 145
21 42

58
3.2 20
110 180
42 84

100
Produk pasta
daging

200
Roti, makanan
ternak

200
Snack,
breakfast
cereal

(Smith, 1980)
Ekstruder ulir tunggal tidak memiliki sumber panas berupa steam
(uap panas) untuk memanaskan jaket pemanas, dan semua produk
dipanaskan dengan gaya friksi secara mekanik atau gaya gesek (Harper,
1981). Ekstruder tunggal ini bisa memproses bahan-bahan baku yang
mempunyai kadar airnya 10% - 40%, tergantung pada campuran dari
formula bahan.

Gambar 3. Bagian-Bagian Penting Alat Ekstruder Ulir Tunggal


Gambar 3. Bagian-Bagian Penting Alat Ekstruder Tunggal
(Muchtadi et al., 1988)
Ekstruder kering adalah salah satu ekstruder single screw (dengan
ulir tunggal) yang tidak memperhatikan pengkondisian pada bahan awal.
Semua panas yang dihasilkan pada ekstruder kering adalah berasal dari

23

energi mekanik yang disalurkan kepada bahan mentah melalui ulir, panas
yang terperangkap di dalam barrel dan dinding barrel ekstruder (Buhler,
2006).
Pada bagian ulir yang bertekanan masuk ke dalam tengah barrel
terdapat besi yang menekan dan mengisi ruangan pada barrel. Hal tersebut
akan meningkatkan gesekan sepanjang ulir dan menyebabkan berputarnya
produk ke bawah saluran pada barrel. Perputaran tersebut dikombinasikan
dengan gesekan yang dibentuk antara bahan yang melewati daerah celah
yang kosong diantara besi (plate) yang menekan dan permukaan dalam
pada barrel, hal tersebut akan meningkatkan suhu di dalam barrel. Selama
proses ekstrusi selama 20 sampai 30 detik, bahan dimasak dengan suhu
yang tinggi dan gesekan yang kuat, sehingga struktur biopolimer pada
bahan terdenaturasi membentuk pasta kental yang bergerak keluar menuju
die (Buhler, 2006).
Ketika bahan keluar pada die ekstruder, tekanan secara langsung
muncul di dalam produk, menyebabkan air dalam produk berubah menjadi
steam (udara panas) dan membuat produk mengembang. Ekstruder yang
digunakan pada penelitian kali ini dapat dilihat pada Gambar 3.
E. PERUBAHAN BAHAN SELAMA PROSES EKSTRUSI
Selama proses ekstrusi berlangsung, terjadi perubahan-perubahan sifat
bahan baku, seperti perubahan fisiko kimia, nilai gizi dan organoleptiknya,
khususnya pada karbohidrat dan protein. Perubahan sifatsifat lemak kurang
mendapat perhatian karena kadar lemak bahan baku yang diolah ekstrusi
umumnya sangat kecil. Namun, pengaruh lemak terhadap hasil ekstrusi sangat
besar (Faubion et al., 1982). Perubahan struktur akibat pengolahan secara
ekstrusi dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti suhu, kadar air, amilosa dan
lemak dalam butiran pati.
a. Ekstrusi Pati
Dalam pengolahan produk-produk ekstrusi sering dilakukan
penambahan pati dalam bentuk tepung, baik itu pati segar maupun pati

24

yang telah mengalami berbagai modifikasi. Pati yang masih segar


cenderung untuk mengembang atau mekar dengan mudah, sehingga
menghasilkan produk ekstrusi yang mempunyai struktur lebih terbuka,
porus dan bestruktur garing (Muchtadi et al., 1988).
Pada proses ekstrusi, komponen pati mengalami gelatinisasi.
Tingkat gelatinisasinya tergantung pada sumber bahan baku dan kondisi
proses ekstrusi. Gelatinisasi pati disebabkan oleh suhu, tekanan dan
gesekan. Tingkat gelatinisasi meningkat pada kadar air bahan yang rendah,
dan gesekan yang semakin tinggi serta waktu dan suhu proses yang
semakin tinggi (Smith, 1981). Pati yang mengalami gelatinisasi akan
mudah cepat terdekstrusi akibat tekanan dan gaya geser yang cukup tinggi
(Williams, 1977).
Pati mempunyai peranan penting bagi produk-produk ekstrusi,
selain karena berpengaruh pada tekstur juga pada daya awetnya. Pengaruh
itu terutama disebabkan rasio amilosa dengan amilopektin dalam pati.
Amilopektin diketahui bersifat merangsang terjadinya proses mekar
(puffing), sehingga produk ekstrusi yang berasal dari pati-patian dengan
kandungan amilopektin yang tinggi akan berifat ringan, porus, garing, dan
renyah. Sedangkan pati dengan amilosa tinggi seperti pati yang berasal
dari umbi-umbian cenderung menghasilkan produk yang keras dan pejal
karena proses pengembangan terbatas (Muchtadi et al., 1988).
Tekstur garing atau renyah pada produk ekstrusi dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Jika kita ibaratkan ekstruder merupakan suatu reaktor
dengan aliran tidak terputus (kontinyu) serta mempunyai kelembaban yang
rendah. Molekul-molekul makanan yang besar seperti karbohidrat dan
protein mengalami denaturasi dan menyusun diri sepanjang aliran laminar
yang terjadi di dalam ulir pengekstrusi dan cetakan. Pada suhu semakin
tinggi, molekul-molekul ini membentuk ikatan silang menjadi struktur
yang telah berubah yang dapat mengembang bila dikeluarkan dari cetakan.
Suatu

sifat

molekul

terdenaturasi

yang

linier

akan

menambah

kemampuannya untuk disusun dan dibentuk menjadi struktur yang berlapis


(Muchtadi et al., 1988).

25

Pengikatan silang antara molekul-molekul yang berdapingan


mempengaruhi daya tahan strukrtur yang telah dibentuk degradasi lainnya
selama proses atau bila produk tersebut dikonsumsi. Ikatan hidrogen dan
hidrofobik yang lemah dapat pecah dengan mudah oleh air, sedangkan
ikatan kovalen dan ionik yang lebih kuat mengebabkan produk lebih tahan
terhadap perpecahan, sehingga mampu mempertahankan teksturnya.
Kerusakan

molekul-molekul

makan yang besar disebabkan oleh

pemotongan dapat mengurangi kemampuan untuk mengembang, menaikan


kelarutannya dalam air dan membentuk tekstur yang lebih lunak. Tekstur
yang dibentuk dari proses ekstrusi dipengaruhi oleh kondisi pemotongan
di dalam ulir pengekstrusi dan di dalam cetakan, jenis bahan mentah juga
membutuhkan waktu dan suhu untuk menyusun molekul-molekul dengan
ikatan-ikatan kimia yang saling bersilang (Muchtadi et al., 1988).
b. Protein
Proses ekstrusi dengan suhu tinggi dapat menyebabkan denaturasi
protein. Akibat denaturasi, ikatan peptide lebih mudah dihidrolisis oleh
proteolitik, sehingga kelarutan protein akan tinggi (Smith, 1981). Setelah
proses ekstrusi protein tidak berbentuk butiran lagi karena pecah dan
berdifusi dengan pati selama pemanasan. Dari hasil pengamatan
mikroskopis

terlihat

protein

mempengaruhi

kerenyahan

karena

terbentuknya matriks protein. Dari hasil penelitian Faubion dan Hoseney


(1982), terlihat dengan pengembangan produk menjadi rendah. Namun
demikian pengaruh protein tergantung pada tipe dan konsentrasinya.
Semakin besar ukuran diameter cetakan, indeks kelarutan protein
meningkat sedangkan nilai nutrisi protein menurun (Linko et al., 1981).
Menurut Bjorck dan Asp (1982) faktor yang dapat menurunkan kandungan
protein adalah semakin tinggi suhu pemasakan dan akibat dari penurunan
kadar air pada saat pemasakan (proses ekstrusi).
Perubahan nilai gizi melalui proses ekstrusi mendapat perhatian para
ahli karena nilai gizi protein nabati dapat ditingkatkan melalui proses
ekstrusi. Zat-zat anti gizi seperti tripsin inhibitor, saponim dan urease

26

dapat dihilangkan jika diproses dengan ekstrusi (Smith, 1981). Protein


yang menyususn enzim dari inhibitor tersebut akan mengalami denaturasi
selama pemanasan.
c. Lemak
Umumnya peranan lemak dalam proses ekstrusi kurang dapat
perhatian para peneliti. Hal ini mungkin disebabkan karena bahan baku
makanan ekstrusi pada umumnya memiliki kadar lemak yang rendah.
Kandungan lemak yang tinggi dapat mempengaruhi pengembangan
produk yang dihasilkan. Lemak akan berikatan dengan molekul amilosa
atau amilopektin, sehingga dapat mengambat pengembangan (puffing) dan
mengurangi sifat renyah dari produk (Muchtadi et al., 1988). Namun
lemak akan berkurang pada proses pemasakan karena adanya peningkatan
suhu pemasakan.
d. Vitamin
Penurunan kadar vitamin terutama vitamin B dan vitamin C yang
peka terhadap pemanasan pasti terjadi pada proses ekstrusi (Winarno,
1997). Salah satu metode yang baik untuk memproduksi produk ekstruder
dengan kaya vitamin adalah dengan cara fortifikasi vitamin setelah produk
ekstrusi tersebut selesai dibuat (Bjorck dan Asp, 1982).
F. MAKANAN SNACK
Nama dari snack adalah nama lain dari produk makanan ringan yang
sering dikonsumsi pada saat waktu luang. Sedangkan makanan ringan menurut
SNI 01-2886-2000 adalah produk pangan yang dibuat melalui proses ekstrusi
dari bahan baku tepung dan atau pati produk pangan dengan penambahan
bahan makanan lain serta bahan tambahan makanan lain yang diizinkan
dengan atau tanpa melalui proses penggorengan. Berbagai jenis snack yang
berkembang yaitu snack manis (Sweet Snacks), snack asin (Salted Snacks),
Snack yang dikenal menyehatkan (Trends in Healthy Snacking) , Snack yang

27

dikenal oleh anak-anak dan remaja (Trends in Kids and Teen Snacks)
(Anonimd, 2006).
G. DESIGN EXPERT VESRSION 7 (Design of Experiment Softwarwe)
Program ini adalah suatu program rancangan penelitian yang bertujuan
untuk membantu dalam suatu rancangan penelitian. Program ini sering
digunakan untuk mengolah data statistik sekaligus mempermudah rancangan
metodologi atau perlakuan pada penelitian, sehingga menemukan suatu
produk atau kondisi proses yang optimal.
Program Design Expert version 7 ini adalah suatu program yang
mempunyai berbagai metode rancangan percobaan dan analisis untuk data
statistik. Metode rancangan penelitian tersebut terdiri dari desain faktorial,
Response surface Methods (RSM), Mixture design techniques, dan Combined
designs. Desain faktorial merupakan suatu rancangan percobaan untuk
mengidentifikasi faktor perlakuan yang penting sekali dan berpengaruh pada
suatu penelitian. Response surface Methods (RSM) yaitu suatu metode
rancangan percobaan untuk menemukan rancangan proses yang ideal.
Mixture design techniques yaitu untuk mencari formulasi yang optimal pada
berbagai formula yang dibuat, D-optimal Combine design yaitu suatu metode
pada program DX 7 yang bertujuan untuk menggabungkan (combine)
variabel-variabel proses, campuran komponen dan faktor yang berpengaruh
dalam satu desain, sehingga dapat menghasilkan suatu kondisi proses dan
formula yang optimal (Anonim c, 2005).
Metode rancangan percobaan D-Optimal Combine yaitu gabungan
antara RSM (Response Surface Methodology) dengan Optimal Combine. Pada
rancangan RSM D-Optimal Cobine ini berfungsi untuk menemukan kondisi
proses ideal dan formula yang optimal. Untuk mecapai kondisi tersebut harus
memperkirakan respon produk atau parameter produk yang menjadi ciri yang
penting serta dapat meningkatkan mutu produk. Respon yang dipilih tersebut
akan dijadikan input data yang selanjutnya diproses oleh program rancangan
RSM D-Optimal Cobine, sehingga membentuk gambaran dan kodisi proses
yang optimal (Anonim c, 2005).

28

H. RESPONSE SURFACE METHODOLOGY


Response Surface Methodology (RSM) adalah suatu metode statistik
yang digunakan oleh peneliti untuk membantu dalam memecahkan beberapa
masalah yang berhubungan dengan proses yang ilmiah atau ketehnikan.
Aplikasi RSM telah banyak digunakan dalam berbagai penelitian di dunia
industri. RSM juga digunakan dalam berbagai bidang penelitian seperti dalam
bidang kimia, tehnik, biologi, agronomi, tekstil, industri pangan, pendidikan,
psikologi dan lain sebagainya (Myers, 1971).
Pada racangan penelitian yang menggunakan metode RSM faktor
perlakuan pada penelitian dibuat menjadi variabel yang dapat mempengaruhi
karakteristik hasil penelitian. Semua karakteristik yang dapat menentukan
keberhasilan penelitian disebut respon. Prinsip dari RSM adalah penggunaan
perhitungan matrik matematika untuk menenetukan persamaan matematika
setiap respon (Myers, 1971).

29

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT


1. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jagung
jenis QPM (Quality Protein Maize) varietas Srikandi Putih 1 dengan umur
panen 105 110 hari dan kacang hijau varietas betet dengan umur panen 60
hari yang diperoleh dari Balai Penelitian Biji-bijian dan Umbi-umbian
Malang serta jagung hibrida varietas A4 sebagai pembanding. Bahan-bahan
yang digunakan untuk analisis kimia produk diperoleh dari stok
laboratorium di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB dan toko
kimia di sekitar Bogor.
2. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Mesin
Ekstruder buatan lokal dengan spesifikasi alat pada Tabel 7 dan dilihat pada
Gambar 4, baskom, oven, hammer mill, cawan alumunium, plastik
Polypropilene tebal dengan ketebalan 2.8 10-2 mm, silica gel, cawan
porselen, desikator, neraca analitik, labu kjeldahl, pipet mohr, pipet tetes,
botol akuades, batu didih, tissue, petroleum eter, kertas saring, kapas bebas
lemak, alat sokhlet, labu lemak, gelas ukur, gelas pengaduk, tabung reaksi,
spektrofotometer UV-Vis, Texture Analyzer, sentrifus dan alat-alat untuk uji
organoleptik.
Tabel 6. Spesifikasi Alat Ekstruder
Jenis Ekstruder
Barrel material
Motor
Vema
Baldor 0.25 HP
Kapasitas
Elemen pemanas
Panel
Putaran Ulir

Single extruder
Stainless less
Teco 25 HP for Screw
1 HP for knife
for material feeding
65 sampai 75 kg/jam
Heater 1250 watt (60 C - 80 C)
SS 430 automatic
1400 rpm

30

Gambar.5 Single Ekstruder

Gambar 4. Single Extruder


B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini terdiri dari enam tahap, yaitu tahap persiapan bahan,
penentuan rancangan penelitian, formulasi (penentuan formula awal),
pembuatan produk awal, analisis mutu produk awal, pengujian statistik dengan
menggunakan uji Anova, Duncan, dan Response Surfase Methodology DOptimal Combine, pemilihan produk yang terbaik dan tahap analisis fisik serta
kimia produk terbaik. Tahapan penelitian tersebut dapat dilihat pada Gambar
5.
Tahap persiapan bahan baku meliputi persiapan bahan baku utama
yaitu jagung Quality Protein Maize dan kacang hijau varietas betet. Persiapan
bahan baku utama yaitu jagung kering dengan kadar air 12% digiling,
sehingga menjadi grits sedangkan untuk kacang hijau dilakukan perendaman,
penyosohan, pengeringan dan penggilingan.

31

Persiapan Bahan Baku

Ditentukan faktor perlakuan penelitian

Penentuan formula awal (formulasi) menggunakan


Design Expert V.7
Dibuat produk ekstrusi hasil formula yang direkomendasikan oleh
program Design Expert V.7
Diuji organoleptik (uji hedonik skor tekstur dan kelengketan)
dan fisik (uji tekstur dan derajat pengembangan)
Data diuji statistik dengan uji Anova,
dan uji Duncan

Data diuji Anova untuk proses optimasi


oleh program Design Expert V.7
Dianalisis hasil (Out put) data analisis
dari program Design Expert V.7
Dioptimasi dengan program Design Expert V.7
dan pemilihan formula optimal

Produk terpilih

Dianalisis kimia, fisik dan derajat pengembangan pada


produk yang terpilih (optimal)
Gambar 5. Skema alur metode penelitian

32

a. Proses Persiapan Bahan Baku


Tahap persiapan bahan meliputi sortasi dari bahan utama yaitu
jagung dan kacang hijau, kemudian penggilingan bahan utama, sehingga
bahan berbentuk grits dengan menggunakan alat hammer mill. Jagung
digiling dengan menggunakan hammer mill, sehingga berbentuk grits.
Sementara kacang hijau sebelum dihancurkan oleh hammer mill, terlebih
dahulu direndam dengan air selama satu malam, sehingga aleuronnya
mudah terkelupas, kemudian digiling basah menggunakan alat penggiling
grinder. Setelah itu dilakukan pemisahan kulit ari. Untuk kacang hijau
yang sudah terpisah dengan kulit ari dilanjutkan kepada proses
pengeringan menggunakan oven dengan suhu 50 C selama 6 jam. Kacang
hijau kering digiling dengan Hammer mill, sehingga didapatkan butiran
(grits) kacang hijau. Jagung Quality Protein Maize yang digunakan pada
penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Jagung Quality Protein Maize


b. Penentuan Komposisi Formula dan Suhu Awal Proses
Faktor utama yang menjadi dasar serta sekaligus menjadi faktor
perlakuan dan menjadi kendala (batasan) pada penelitian ini adalah
komposisi bahan atau formula bahan yang dicampur dan suhu awal proses.
Komposisi bahan untuk jagung yang dilakukan yaitu mulai 0% sampai
100%, begitu juga kacang hijau yaitu sebesar 0% sampai 100%. Setiap

33

formula dibuat dalam satu kilogram. Sedangkan untuk faktor pengaturan


suhu pemanas atau heater ekstruder dibatasi yaitu berkisar antara 60 C
70 C.
c. Penentuan Formula Awal (Formulasi)
Proses formulasi yaitu menggunakan program Design Expert
version 7 dengan metode rancangan percobaan RSM (Response Surface
Methodology) D-optimal combined. Metode ini akan diperoleh suatu
formula optimal yang sesuai dengan optimasi yang diinginkan pada
penelitian kali ini. Sebelum mendapatkan formula terpilih atau optimal
program DX 7 ini secara otomatis memformulasikan formula awal yang
digunakan sebagai dasar dari proses optimasi, maka dihasilkan empat
belas formula. Rentang atau jarak antar formula awal yang dihasilkan
yaitu disesuaikan secara otomatis dengan batasan yang diberikan pada
saat input variabel yang tersedia pada pada program Design Expert
version 7.
Kempat belas formula tersebut dipilih oleh program Design Expert
version 7 secara acak sesuai dengan metode statistik atau rancangan
penelitian yang digunakan pada penelitian ini. Rancangan penelitian ini
menggunakan metode RSM D-Optimal Combine.
d. Pembuatan Produk Ekstrusi
Pertama kali semua bahan baik jagung dan kacang hijau ditimbang
sesuai dengan hasil formulasi awal yang dilakukan oleh program Design
Expert 7. Di samping itu mempersiapkan mesin ekstruder yaitu dengan
mengatur suhu aktual pada pemanas ekstruder sesuai dengan suhu setiap
formula yang disarankan yaitu antara 60 C 70 C. Setelah suhu mesin
untuk proses sesuai dengan diharapkan, adonan dimasukan ke dalam
hoper (tempat masuknya bahan) lalu bahan atau adonan diproses di
dalam ulir ekstruder.
Berikut Gambar alur proses pembuatan produk ekstrusi pada
penelitian ini.

34

Kacang Hijau var betet


Jagung QPM kering dengan
kadar air 12% (d/b)
Direndam dengan air
(satu malam)
Digiling dengan
grinder

Dibersihkan

Dipisahkan kulit
kacang hijau
Dikeringkan kacang
hijau tanpa kulit

Digiling dengan
hammer mill 10 mesh

FORMULASI
Proses Ekstrusi
Produk
Analisis fisik dan kimia
Gambar 7. Skema alur pembuatan produk ekstrusi
e. Pengujian Pada Setiap Produk Hasil dari Formulasi
Parameter mutu produk sekaligus menjadi respon data bagi data
statistik

yang

digunakan

untuk

menentukan

rancangan

model

matematika. Juga sekaligus memilih produk yang optimal. Respon atau


parameter mutu produk yang diujikan pada penelitian ini adalah nilai
hedonik terhadap tekstur dan kelengketan, kekerasan produk, dan derajat
pengembangan.

35

1. Uji Hedonik Tekstur dan Uji Hedonik Kelengketan Produk


Produk-produk yang dihasilkan setelah proses produksi pada
formulasi awal sejumlah 14 formula tanpa ulangan yang dapat dilihat
pada Tabel 7, dilanjutkan dengan uji organoleptik. Formula yang
dibuat dan diuji organoleptik sejumlah 14 formula. Uji organolepik
dilakukan dengan menggunakan uji hedonik tekstur dan hedonik
kelengketan dengan menggunakan taraf kesukaan 7, mulai dari
sangat tidak suka (1) sampai dengan sangat suka (7) dan dilakukan
oleh 32 orang panelis semi terlatih, work sheet yang digunakan dapat
dilihat pada Lampiran 1 dan Sheet yang dipakai untuk organoleptik
dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Lampiran 3. Contoh yang diuji
adalah produk ekstrusi dengan tidak ditambahi bumbu atau flavour.
2. Uji Kekerasan Produk
Uji Kekerasan produk dilakukan dengan menggunakan
Texture Analyzer dengan 3 kali ulangan, pada setiap sampel produk.
Salah satu sampel diletakkan di bawah lengan penekan dengan berat
beban 25 kg. Produk berbentuk silinder, dan diletakkan pada posisi
horizontal dengan posisi produk tepat pada tengah-tengah probe
(ujung penekan) dengan probe berbentuk spherical dan ditekan
secara vertikal. Ketika bahan ditekan selama beberapa saat, sehingga
terbentuk grafik pada layar komputer. Melalui grafik selanjutnya
dilakukan

perhitungan

tingkat

kekerasan

bahan.

Tingkat

kekerasan/tekstur produk dinyatakan dalam kg/mm/g atau kgf.


Texture Analayzer (TA.X2i) untuk pengukuran kekerasan
produk ekstrusi dengan pengaturan alat :
Pre Test Speed

: 1 mm/s

Test Speed

: 1 mm/s

Post Speed

: 10 mm/s

Distance

: 7.5 mm

Force

: 100 g, Time = 5 s.

36

3. Derajat Pengembangan (Zullichem, 1975, dalam Linko et al.,


1981)
Pertama-tama diukur diameter dari die yang digunakan pada
mesin ekstruder, lalu diukur diameter produk yang dihasilkan.
Berikutnya data dimasukan ke dalam formula rumus yang ditentukan
dengan rumus :
Derajat pengembangan (%) = diameter produk (mm) x 100%
Diameter cetakan/die ekstruder (mm)
f. Optimasi Produk
Optimasi produk dilakukan setelah mendapatkan hasil analisis
awal yang diproses oleh program Design Expert 7 dengan rancangan
statistik RSM-D Optimal Combine. Hasil dari proses tersebut adalah
model matematika pada setiap respon. Model matematika tersebut akan
dijadikan dasar untuk optimasi poduk yang diinginkan.
Proses optimasi produk pada penelitian ini dilakukan dengan
melihat kecenderungan data hasil analisis awal dari mutu produk.
Namun, sebelum melihat data hasil analisis awal tersebut. Setiap respon
harus diseleksi dari terlebih dahulu melalui hasil analisis dari uji anova
oleh program DX7. Apakah berbeda nyata atau tidak, jika berbeda nyata
respon tersebut dapat dijadikan sebagai respon untuk optimasi. Nilai
komposisi bahan, suhu pada proses pengolahan, nilai hedonik dari
tekstur dan kelengketan, kekerasan dan derajat pengembangan produk
adalah sebagai dasar optimasi.
Sesuai dengan tema dari penelitian ini adalah pengembangan
produk berbasis jagung Quality Protein Maize. Maka kriteria produk
untuk penelitian ini adalah komposisi Jagung target minimal 50% dan
maksimal 100% dengan peringkat optimasi 5, komposisi kacang hijau
pada rentangan 0% sampai 50% dengan peringkat optimasi 3, suhu
proses 60 C sampai 70 C dengan peringkat optimasi 3, skor tekstur
maksimal pada rentang 3 untuk batas bawah dan nilai 6 untuk batas atas
dengan peringkat optimasi 5, skor kelengketan maksimal pada rentang 4

37

untuk batas bawah dan nilai 6 untuk batas atas dengan peringkat
optimasi 5, kekerasan dalam rentang 1523.7 kgf sampai 2500 kgf dengan
peringkat optimasi 5, dan derajat pengembangan 367.3% sampai 541%
dengan peringkat optimasi 3.
g. Analisis Sifat Fisik dan Kimia Produk Terbaik
Satu produk atau sampel terbaik yang ditentukan dari hasil
optimasi. Analisis yang dilakukan meliputi analisis proksimat (kadar air,
protein, lemak, abu, karbohidrat), derajat pengembangan dan derajat
gelatinisasi.
1. Kadar Air Metode Oven (AOAC, 1995)
Cawan alumunium dikeringkan dalam oven pada suhu 100 C
selama 15 menit. Kemudian dinginkan dalam desikator selama 10
menit. Setelah didinginkan timbang dengan timbangan analitik, catat
beratnya (a gram). Sampel ditimbang 5 gram (x gram), lalu
dimasukan ke dalam cawan dan keringkan dalam oven pada suhu
1000C selama 3 jam, kemudian dinginkan (desikator) dan timbang
sampai beratnya tetap (y gram).
Kadar air (basis basah) = x (y a) x 100%
x
Kadar air (basis kering) = x (y a) x 100%
ya
2. Kadar Abu Metode Pengabuan Kering (AOAC, 1995)
Cawan porselin dikeringkan pada temperatur 500 C selama 1
jam dalam tanur, dinginkan dalam desikator kemudian timbang
secara analitik (w gram) dimasukan dalam cawan, panaskan / bakar
dengan pemanas listrik dalam ruang asap sampai dengan sampel
tidak berasap dan menjadi arang, Kemudian arang diabukan dalam
tanur sampai menjadi abu berwarna putih 500 C selama 3 jam,

38

dinginkan dalam desikator selama 10 15 menit, timbang (x gram).


Pekerjaan dilakukan duplo.
Kadar abu (% basis basah)

(x a) x 100%
w

3. Kadar Protein Metode Mikro-Kjedahl (AOAC, 1995)


Mula-mula bahan ditimbang dalam labu Kjedahl kemudian
ditambahkan 1.9 0.1 g K2SO4, 40 10 mg HgO, 2.0 0.1 ml
H2SO4. Selanjutnya dengan penambahan batu didih, larutan
didihkan 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Setelah larutan
didinginkan dan diencerkan dengan akuades, sampel didestilasi
dengan penambahan 8-10 ml larutan NaOH-Na2S2O3. Hasil
destilasi ditampung dengan erlenmeyer yang telah berisi 5 ml
H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (merah metil dan alkohol dengan
perbandingan 2 : 1). Destilat yang diperoleh kemudian dititrasi
dengan larutan HCl 0.02 N hingga terjadi perubahan warna dari
hijau menjadi abu-abu. Hasil yang diperoleh adalah dalam total N,
yang kemudian dinyatakan dalam faktor konversi 6.25.
% Protein = (ml HCl x ml Blanko )N HCl x 14,007 x 100 x 6.25
mg sampel
4. Kadar Lemak Metode Soxhlet (AOAC, 1995)
Prosedur kerja yaitu menggunakan 5 g sampel yang sudah
dibungkus dengan kertas saring di alat Soxhlet, kemudian dietil
eter dituang ke dalam labu lemak. Selanjutnya direfluks selama 5
jam sampai pelarut yang turun kembali ke dalam labu lemak
berwarna jernih. Pelarut yang ada pada labu lemak didestilasi, labu
yang berisi hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 100
C sampai pelarut menguap semua (biasanya 1 jam). Setelah
didinginkan dalam desikator, labu lemak tersebut ditimbang
sampai memperoleh berat yang konstan. Berat lemak dapat
dihitung dengan rumus :

39

% Lemak = Bobot lemak (g) x 100%


Bobot sampel
5. Kadar Karbohidrat (by difference)
Penentuan kadar karbohidarat dilakukan secara by difference,
yaitu berat total produk dikurangi kadar air, kadar abu, kadar
protein dan kadar lemak
Kadar karbohidrat (%) = 100 % - (air + protein + abu + Lemak) %
6. Kadar Pati Metode Hidrolisis Asam (Apriyantono et al., 1989)
Prosedur penentuan kadar pati pertama 2 5 g sampel
(berupa bahan padat yang telah dihaluskan atau bahan cair) dalam
gelas piala 250 ml. Tambahkan 50 ml akohol 80% dan aduk selama
1 jam. Saring suspensi tersebut dengan kertas saring dan cuci
dengan air sampai volume filtrat 250 ml. Filtrat ini mengandung
karbohidrat yang terlarut dan dibuang.
Untuk bahan yang mengandung lemak, pati yang terdapat
sebagai residu pada kertas saring dicuci 5 kali dengan 10 ml eter.
Biarkan eter menguap dari residu, kemudian cuci kembali dengan
150 ml alkohol 10% untuk membebaskan lebih lanjut karbohidrat
yang terlarut.
Pindahkan residu secara kuantitatif dari kertas saring ke
dalam erlemeyer dengan cara pencucian dengan 200 ml air dan
tambahkan 20 ml HCl 25%. Tutup dengan pendingin balik dan
panaskan di atas penangas air sampai mendidih selama 2.5 jam.
Biarkan dingin dan netralkan dengan larutan NaOH 45% dan
encerkan sampai volume 500 ml. Saring kembali campuran di atas
pada kertas saring. Tentukan kadar gula yang dinyatakan sebagai
glukosa dan filtrat yang diperoleh. Penentuan glukosa seperti pada
penetapan atau penentuan pada gula pereduksi.

40

7. Derajat Gelatinisasi (Wooton et al., 1971)


Derajat gelatinisasi didefinisikan sebagai rasio antar pati
tergelatinisasi dengan total pati dari produk yang dihitung dengan
metode spektrofotometri dengan total pati dari produk yang
dihitung dengan metode spektrofotometri dengan mengukur
kompleks pati-iodin yang terbentuk dari suspensi contoh sebelum
dan sesudah dilarutkan dalam alkali.
Persiapan contoh dilakukan dengan menghaluskan produk
sampai 60 mesh, ditimbang sebanyak 1 gram dan didispersikan
dalam 100 ml air dalam waring blender selama 1 menit. Suspensi
ini kemudian disentrifus pada suhu ruang selama 15 menit dengan
kecepatan 3500 rpm. Supernatan diambil 0.5 ml secara duplo, lalu
masing-masing ditambah 0.5 HCl 0.5 M dan dijadikan 10 ml
aquades. Pada salah satu tabung duplo tersebut ditambahkan 0.1 ml
larutan iodium. Kemudian contoh diukur dengan spektrofotometer
pada panjang gelombang 600 nm.
Suspensi lain disiapkan dengan cara mendispersikan 1 gram
produk yang sudah dihaluskan pada 95 ml air dan ditambah 5 ml
NaOH 10 M. Suspensi dikocok selama 5 menit kemudian
disentrifus pada suhu ruang selama 15 menit dengan kecepatan
3500 rpm. Supernatan diambil 0.5 ml secara duplo, lalu masingmasing ditambah 0.5 ml HCl 0.5 M dan dijadikan 10 ml oleh
aquades. Pada salah satu tabung duplo tersebut ditambahkan 0.1 ml
larutan iodium. Kemudian contoh diukur dengan spektrofotometer
pada panjang gelombang 600 nm. Sampel dibuat dua kontrol
sebagai perbandingan yaitu jagung QPM yang dijadikan sebagai
perbandingan dengan pati yang tergelatinisasi dengan pati bahan
yang tidak tergelatinisasi.
Pengamatan dilakukan sebagai berikut : (1) larutan bahan
yang ditambah HCl digunakan sebagai blanko untuk pati yang
tergelatinisasi; (2) Larutan bahan yang ditambah HCl dan larutan
iodium, digunakan sebagai larutan pati yang tergelatinisasi ; (3)

41

Larutan bahan yang ditambah KOH dan HCl sebagai blangko


untuk larutan total pati ; (4) Larutan yang ditambah KOH, HCl dan
Iodium sebagai larutan total pati.
Derajat gelatinisasi dapat dihitung dengan menggunakan
rumus :
X(%) = nilai absorbansi pati tergelatinisasi x 100 %
Nilai absorbansi total pati
Jadi derajat gelatinisasi adalah X%.

8. Analisis Nilai Energi (Almatsier dan Lisdiana, 2001)


Penentuan nilai energi maksimum melalui perhitungan
dapat dilakukan dengan menggunakan faktor Atwater (faktor
koreksi) menurut komposisi karbohidrat, lemak, protein, serta
nilai energi faal makanan tersebut.
Nilai energi = faktor Atwater kandungan gizi bahan pangan
Energi = (4 kkal/g kandungan karbohidrat) + (9 kkal/g
kandungan lemak ) + (4 kkal/g kandungan
protein)

h. Uji Statistik
Uji data statistik dilakukan dengan pengujian anova beserta uji
lanjut Duncan mengunakan SPSS 12 dan uji RSM (response surface
methodology) D-Optimal Combine beserta optimasi menggunakan
program Design Expert version 7.

42

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PERSIAPAN BAHAN
Persiapan bahan yang baik untuk proses pembuatan ekstrusi merupakan
salah satu tahapan penelitian yang penting sekali. Jagung dan kacang hijau
digiling menjadi grits dengan menggunakan hammer mill, sehingga
menghasilkan bahan dalam bentuk butiran dengan ukuran 1 5 mm. Pada
proses ekstrusi, bahan yang digunakan berbentuk butiran kecil dengan
diameter 1 5 mm. Sementara bahan yang berbentuk tepung, hasilnya kurang
mengembang dibandingkan dengan bahan berbentuk grits. Ukuran partikel
yang terlalu halus seperti tepung dengan ukuran 60 mesh, menyebabkan
produk yang dihasilkan akan hangus dan partikel bahan tidak mengalami
proses pemadatan yang sempurna sehingga kurang mengembang (Ang et al.,
1980). Sementara perendaman pada kacang hijau dengan air bertujuan untuk
memudahkan dalam mengupas kulit ari dari kacang hijau tersebut. Proses alur
pembuatan produk dapat dilihat pada Gambar 7.
B. PENENTUAN FAKTOR PERLAKUAN PENELITIAN
Perlakuan yang menjadi dasar pembuatan produk ekstrusi pada
penelitian ini adalah komposisi campuran kedua bahan yaitu bahan utama
jagung QPM (Quality Protein Maize) dan kacang hijau varietas betet serta
kondisi proses atau suhu pemanas dari ekstruder (Heater Electric). Proses
formulasi dilakukan sesuai dengan tujuan dari penelitian ini yaitu
mendapatkan suatu produk ekstrusi campuran dari bahan jagung dan kacang
hijau dengan memiliki karakteristik organoleptik yang dapat diterima oleh
konsumen. Perlakuan proses formulasi pada penelitian ini salah satunya yaitu
formula produk dicampur dengan kacang hijau. Pencampuran tersebut
dikarenakan kacang hijau mempunyai kandungan pati yang cukup tinggi
dibandingkan kacang-kacang lainnya (Muchtadi dan Sugiyono, 1989),
sehingga dapat membantu pada proses karakterisasi produk ekstrusi atau

43

memberikan sifat puffing pada produk serta dapat menambah kerenyahan


(Muchtadi et al., 1988).
C. PENENTUAN FORMULA AWAL (FORMULASI)
Rancangan formulasi dibuat menurut rancangan metode penelitian yang
disarankan oleh metode RSM D-optimal combine. Pada program tersebut
dibutuhkan suatu batasan atau kendala yang menjadi dasar pembuatan formula
yang mewakili seluruh formula yang harus dibuat. Adapun kendala yang
digunakan pada penelitian ini disebut juga sebagai faktor perlakuan. Kendala
yang terdiri dari komposisi bahan dan suhu awal proses diduga dapat
mempengaruhi karakteristik produk yang diinginkan serta juga mempengaruhi
nilai dari semua respon (karakteristik) yang diujikan pada produk, sehingga
dapat mencapai nilai dari semua respon yang optimum (desirability yang
optimum).
Kendala tersebut juga akan menjadi variabel dari persamaan model
matematika yang didapat dari analisis anova atau uji sidik ragam serta
diharapkan semua model matematika dari semua uji respon yang dilakukan
dapat berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap formula yang dibuat, sehingga
dapat menentukan nilai salah satu respon atau parameter tertentu pada produk
terpilih.
Faktor perlakuan yang digunakan pada penelitian ini adalah formula
bahan yang terdiri dari bahan utama yaitu jagung Quality Protein Maize dan
kacang hijau varietas betet serta pengaturan suhu pemanas ekstruder atau suhu
awal proses pemasakan. Semua faktor perlakuan tersebut dibuat dalam
variabel tertentu yang disesuaikan secara otomatis oleh program Design
Expert version 7. Untuk komposisi jagung digunakan variabel A, kacang hijau
digunakan variabel B dan suhu digunakan variabel suhu atau C.
Gambaran dan hasil evaluasi rancangan formulasi dari desain rancangan
penelitian dengan menggunakan program Design Expert 7 dapat dilihat pada
Lampiran 11. Menunjukkan jenis rancangan statistik yang digunakan adalah
Combined dan menggunakan rancangan penelitian D-optimal. Proses ekstrusi

44

yang harus dilakukan 14 kali proses dengan 14 formula dan diatur pada suhu
awal pemanasan ekstruder antara 60 C - 70 C.
Ke empat belas formula tersebut digunakan sebagai wakil dari
keseluruhan formula yang harus dibuat, dimana jumlah formula tersebut
merupakan jumlah formula paling minimum yang digunakan untuk
mendapatkan satu formula produk ekstrusi yang optimum. Hasil rancangan
formula dapat dilihat pada Tabel 7. Sesuai dari tujuan penelitian ini adalah
untuk menghasilkan formula yang optimum dari produk ekstrusi di dalam
aspek skor tekstur, skor kelengketan, kekerasan (tekstur), dan derajat
pengembangan, sehingga dapat diterima oleh konsumen.
Hasil dari semua respon yang berpengaruh nyata terhadap formua awal
yang dibuat dan yang diujikan pada produk ekstrusi tersebut selanjutnya
dioptimasi, sehingga menghasilkan formula optimal. Hal tersebut karena
respon yang diujikan merupakan karakteristik yang terdapat pada produk
ekstrusi. Menurut Guy (2001) karakteristik produk ekstrusi dari snack adalah
tekstur yaitu renyah. Karakteristik produk ekstrusi tersebut akan memberikan
gambaran seberapa besar tingkat penerimaan konsumen.
Tabel 7. Formula Awal Produk Ekstrusi

Formula

Jagung
(%)

Kacang
Hijau
(%)

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.

100
50
100
75
100
50
75
100
50
0
25
0
25
0

0
50
0
25
0
50
25
0
50
100
75
100
75
100

Suhu Awal
Pemanasan
Ekstruder
(Heater
Electric)
( C)
60
60
62.5
62.5
65
65
67.5
70
70
60
62.5
65
67.5
70

45

Out put dari proses analisis untuk uji organoleptik dan uji fisik produk
yang diolah oleh rancangan statistik RSM D-Optimal Combine adalah suatu
model matematika berbentuk polinomial yang menunjukkan hasil analisis
respon produk. Gambaran model persamaan matematika yang didapatkan oleh
setiap respon dengan ditunjukkan dengan variabel tertentu. Variabel tersebut
menjadi penentu suatu rancangan model matematika, yang digunakan untuk
faktor perlakuan pada penelitian, sehingga didapatkan respon yang
mendukung terciptanya produk optimal (produk terpilih) (Anonimc, 2005).
D. PEMBUATAN PRODUK EKSTRUSI
Penentuan formula yang terbaik pada penelitian ini dibuat sesuai dengan
rancangan penelitian yang ditentukan oleh Design Expert Version 7. Alat
ekstruder yang digunakan pada penelitian ini tidak dilengkapi dengan unit-unit
injeksi air maupun uap. Oleh karena itu, pengaturan alat ekstruder yang
dilakukan sebelum proses pemasakan, pertama kali dilakukan yaitu
pengaturan suhu pemanasan awal.
Kecepatan dan bentuk ulir sangat mempengaruhi spesifikasi produk
ekstrusi yang dihasilkan. Putaran ulir yang relatif lebih cepat menyebabkan
produk yang dibuat relatif mekar. Putaran ulir untuk mesin single extruder
yang digunakan pada penelitian ini yaitu 1400 rpm. Bentuk cetakan yang
digunakan akan mempengaruhi tekstur dan bentuk potongan produk akhir.
Cetakan yang dipakai pada proses pembuatan ekstruder pada penelitian ini
berbentuk silinder dengan diameter 3 mm, sehingga produk yang dihasilkan
berbentuk silinder atau tabung. Menurut Muchtadi et al., (1988) lubang
cetakan yang runcing akan mengurangi kebutuhan tekanan balik dan
menghasilkan permukaan produk yang licin
Suhu pengaturan pemanas pada alat ekstruder yang dilakukan pada
penelitian ini yaitu berkisar 60 C 70 C. Suhu tersebut akan memanaskan
barrel cepat dan secara otomatis ulir akan menekan bahan (Guy, 2001). Selain
itu juga pengaturan suhu dari pemanas ekstruder tunggal tersebut yaitu
maksimal pada suhu 80 C. Menurut Muchtadi et al (1988), proses teksturisasi
atau pemasakan di dalam alat pengekstrusi dibutuhkan panas yang tinggi yaitu

46

lebih dari 150 C. Suhu tersebut dapat dihasilkan oleh pelepasan energi
mekanik yang dipakai oleh pemutar ulir. Suhu akan naik dengan cepat ketika
putaran ulir yang digerakan oleh pemutar ulir pertama kali. Suhu meningkat
antara 80 150 C (Guy, 2001).
E. ANALISIS UJI ORGANOLEPTIK
Uji organoleptik yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji hedonik
dari atribut tekstur dan kelengketan. Hal tersebut bermaksud untuk menilai
seberapa jauh preferensi atau kesukaan konsumen terhadap atribut tekstur dan
kelengketan dari produk tersebut. Karakteristik produk pangan yang
dikehendaki dari produk ekstrusi khususnya snack adalah tekstur yang renyah,
mempunyai derajat pengembangan yang tinggi, mengembang dengan densitas
yang rendah (ringan), dan tekstur rapat (Baik, Joseph dan Linhda, 2004).
Menurut Guy (2001) salah satu aspek yang utama dalam memasarkan produk
snack ke pasar adalah aspek tekstur dan flavor yang digunakan dalam produk
akhir. Berbagai atribut tekstur yang ada dalam penilaian organoleptik terhadap
produk pangan.
Setiap produk pangan memiliki jenis atau atribut tekstur yang berbedabeda. Tekstur pada produk pangan menurut International Organization for
Standardization adalah sebagai suatu aspek keseluruhan atribut dari sifat
reologi dan struktural (geometrik dan permukaan) produk pangan yang dapat
digambarkan dengan jelas secara mekanik, tactile (dapat dirasakan atau
diraba), dengan visual dan suara (auditory texture) (ISO, 1981).
Menurut Gimeno, Moraru dan Kokini (2004), sifat yang dimiliki oleh
produk ekstruder khususnya snack adalah renyah dan memiliki sifat
crunchiness (sifat garing) serta mempunyai sifat mengembang, sehingga akan
menimbulkan sifat crisp (renyah). Volume pengembangan adalah parameter
kualitas yang utama yang mempengaruhi kerenyahan dan sifat crunchiness
(Ali et al., 1996). Pengembangan produk tergantung pada komposisi bahan,
kualitas pemasakan dan laju bahan yang meleleh pada saat keluar dari die
(Desrumaux et al., 1998) pengembangan produk juga yang paling utama
tergantung pada kadar air bahan dan suhu proses ekstrusi (Ilo et al., 1996).

47

Contoh produk ekstrusi hasil dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar
berikut.

Gambar 8. Produk ekstrusi dengan formula 100% jagung QPM


dan 0% kacang hijau
a. Uji Hedonik
1. Tekstur Produk
Hasil analisis sidik ragam atau uji anova dapat dilihat pada
Lampiran 7 menunjukkan formula yang dibuat berpengaruh nyata
(p<0.05) terhadap skor tekstur yang diuji pada uji hedonik dengan
selang 95%. Analisis sidik ragam yang dilakukan oleh program Design
Expert version 7 pada nilai respon hedonik tekstur terhadap formula
yang dibuat, menunjukkan model yang dibuat adalah signifikan
(p<0,05), pada selang kepercayaan 95% dengan nilai p = 0.0036 dapat
dilihat pada Lampiran 12, artinya formula yang dibuat berpengaruh
nyata terhadap respon uji skor tekstur, sehingga nilai respon tersebut
dapat digunakan untuk proses optimasi yaitu untuk mendapatkan
produk dengan karakteristik yang optimum.
Kandungan amilopektin dan amilosa berpengaruh besar dalam
menentukan sifat atau karakteristik produk ekstuder. Menurut Wang

48

(1997) amilopektin dapat meningkatkan sifat pengembangan produk


dan kerenyahan (crispness), sedangkan amilosa dapat meningkatkan
sifat kering (crunchiness) dan kekuatan tekstur produk.
Tabel 8. Hasil uji hedonik tekstur
Formula
Komposisi Formula
1
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 100 : 0, suhu 60
2
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 50 : 50, suhu 60
3
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 100 : 0, suhu 62.5
4
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 75 : 25, suhu 62.5
5
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 100 : 0, suhu 65
6
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 50 : 50, suhu 65
7
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 75 : 25, suhu 67.5
8
Snack dengan komposisi jagung
hijau =100 : 0, suhu 70
9
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 50 : 50, suhu 70
10
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 0 : 100, suhu 60
11
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 25 : 75, suhu 62.5
12
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 0 : 100, suhu 65
13
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 25 : 75, suhu 67.5
14
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 0 : 100, suhu 70

: Kacang

Rata-rata
5.0

: Kacang

5.5

: Kacang

4.8

: Kacang

5.1

: Kacang

3.7

: Kacang

5.1

: Kacang

4.4

: Kacang

3.2

: Kacang

4.9

: Kacang

5.8

: Kacang

2.3

: Kacang

5.3

: Kacang

5.6

: Kacang

3.7

Hasil uji Duncan terhadap uji hedonik tekstur dengan selang


kepercayaan 95% (Lampiran 7), menunjukkan subset 1 dengan
formula 8, 5 dan 14 berbeda nyata dengan formula yang lainnya,
karena formula tersebut memiliki perbedaan yang signifikan pada suhu
awal pemanasan, sehingga menimbulkan pengaruh tekstur yang
berbeda. Pada subset 2 menunjukkan formula 7, 3, 9, 1, 6 dan 4 tidak
berbeda nyata berbeda nyata serta pada subset 3 dengan formula 3, 9,

49

1, 6, 4, 11, 12, 2 dan 13 juga tidak berbeda nyata, tetapi formula 7


berbeda nyata dengan formula 2, 11, 12 dan 13. Formula 7 berbeda
dengan formula 2 karena formula memiliki suhu awal yang optimal
dalam gelatinisasi pati.
Suhu awal pemanasan berpengaruh pada proses gelatinisasi pati.
Serta berpengaruh pada sifat bahan pada waktu pemasakan dan juga
berpengaruh pada pengembangan produk ekstrusi (Guy, 2001). Suhu
terendah pada penelitian ini adalah 60 C dan tertinggi adalah 70 C.
Oleh karena itu, dapat diperkirakan gelatinisasi pada suhu 60 C akan
lebih optimal daripada suhu yang lainnya, dengan kandungan air bahan
yang sama.
Pada umumnya suhu gelatinisasi pati pada saat ekstrusi akan
meningkat

seiring

dengan

meningkatnya

kandungan

amilosa

(Chinnaswamy dan Hanna, 1990). Sementara kandungan amilosa dan


amilopektin bahan utama yaitu jagung QPM serta bahan campuran
yaitu kacang hijau yang digunakan pada penelitian ini pada umumnya
memiliki kandungan amilopektin yang lebih besar dari pada
kandungan amilosanya (Muchtadi dan Sugiono, 1989), sehingga dapat
menurunkan

suhu

gelatinisasi

bahan

pada

saat

ekstruder

(Chinnaswamy dan Hanna, 1990).


Sementara formula 7 jika dibandingkan dengan 11, 12 dan 13
berbeda karena komposisi kacang hijau pada formula tersebut semakin
tinggi. Kandungan protein pada kacang hijau dapat berpengaruh pada
pengembangan produk. Sementara kandungan protein pada kacang
hijau lebih tinggi dari pada jagung QPM. Pada formula 2 komposisi
kacang hijau lebih banyak dari formula 7. Kacang hijau varietas betet
yang digunakan pada penelitian ini mempunyai kandungan protein
yang tinggi dibandingkan dengan jagung QPM (Tabel 12). Menurut
Gimeno et al.,

(2004) protein dapat meningkatakan derajat

pengembangan dan juga berpengaruh pada tekstur. Meningkatnya


derajat pengembangan akan meningkatkan kerenyahan pada produk

50

dan meningkatkan daya terima produk bagi konsumen (Moraru dan


Kokini, 2003).
Pada subset 4 formula 6, 4, 11, 12, 2, 13 dan 10 tidak berbeda
nyata, tetapi formula 3, 9 dan 1 berbeda nyata dengan formula 10.
Produk formula 10 memberikan nilai kesukaan tekstur yang tinggi dari
yang lain karena selain diproses dengan suhu gelatinisasi yang optimal
juga jika dilihat dari kandungan protein hasil dari analisis protein pada
kacang hijau lebih banyak dibandingkan dengan kandungan protein
pada jagung (Tabel 12). Formula 10 dengan komposisi jagung 0% dan
100% kacang hijau yang diolah pada suhu awal proses 60 C
memberikan nilai tertinggi (5.81).
Protein dapat menaikan derajat pengembangan yaitu dengan
mengontrol pendistribusian air pada matriks bahan (bahan pada saat
pemasakan) serta menguatkan interaksi antara amilopektin yang sudah
terpotong-potong karena proses pelelehan yaitu dengan membentuk
ikatan kovalen maupun interaksi non ikatan (tarik-menarik antar
molekul), sehingga dapat meningkatkan kekuatan polimer amilopektin
untuk mengembang tanpa putus (Gimeno et al., 2004).
Menurut Monaru dan Kokini (2003) pati yang kaya akan
amilopektin akan menyebabkan lebih mengembang dibandingkan
dengan pati yang kaya akan amilosa, karena rantai amilosa akan
berikat satu sama lain pada proses pemasakan, sehingga proses saling
terikatnya amilosa tersebut akan menyebabkan polimer-polimer
amilosa tersebut sulit tertarik pada saat proses pengembangan (pada
saat produk keluar dari die) yang menyebabkan produk ekstrusi kurang
mengembang. Pada bahan yang mempunyai kadungan air yang sama
amilopektin lebih mudah mengembang dari pada amilosa (Monaru dan
Kokini, 2003). Pengembangan produk akan berdampak positif
terhadap sifat kerenyahan produk (Wang, 1997).
Gelatinisasi yang optimal akan menghasilkan viskositas bahan
yang optimal yaitu dengan viskositas yang tinggi, karena amilopektin
dan amilosa terpecah, sehingga dapat meningkatkan viskositas bahan

51

dan suhu proses pemasakan hingga dua kali lipatnya (Kokini, Tangho
dan Karwe, 1991). Kondisi pemasakan pada ekstruder yang terjadi
pada alat ekstruder pada penelitian ini yaitu dalam kondisi kering atau
kandungan air yang rendah. Kondisi tersebut dapat menyebabkan
gesekan antara bahan dengan barrel akan meningkat, sehingga dapat
meningkatkan suhu barrel ektruder secara keseluruhan (Chinnaswamy
dan Hanna, 1990).
Menurut Ozcan dan David (2005) proses ekstrusi dengan kadar
air rendah terjadi pada suhu tinggi serta putaran ulir yang medium,
menyebabkan pati tergelatinisasi dan meleleh, sehingga pati termasak
seluruhnya dan berubah menjadi berbentuk amorph. Dengan kondisi
tersebut tekstur akan lebih renyah dan mengembang (Chinnaswamy
dan Hanna, 1988). Bahan yang sudah meleleh tersebut bersifat amorph
(Wang, 1993), sehingga produk ketika keluar dari die memiliki sifat
higroskopis yang tinggi (Adawiyah, 2002).
Persamaan model matematika untuk respon skor tekstur pada
saat kondisi bahan yang nyata dan ketika suhu diatur pada kondisi
tertentu. Dapat dilihat pada persamaan matematika sebagai berikut.
Skor Tekstur = -3097.39A + 3588.40B + 3665.34A B + 145.10AC 167.16 BC -170.04ABC - 2.26AC2 + 2.60 BC2 + 2.62ABC2 +
0.012 AC3 - 0.013 BC3 - 0.013 ABC3
Komponen yang paling besar berkontribusi terhadap skor tekstur
adalah interaksi antara komponen A (jagung) dan B (kacang hijau),
kemudian di ikuti oleh kacang hijau (B) serta interaksi A dengan C.
Hal ini disebabkan koefisien AB paling tinggi nilainya (3665.34) bila
dibandingkan dengan komponen lainnya. Persamaan linear ini
memiliki nilai R2 dan Adjusted R2 masing masing 0.9950 dan 0.9767.
Oleh karena nilai R2 dan Adjusted R2 skor tekstur lebih besar dari 0.75,
maka ketepatan model untuk memprediksi nilai tekstur sangat baik.
Gambar 9 menunjukkan hasil uji skor tekstur terhadap 14 formula
ekstrusi bentuk dua dimensi. Persamaan matematika untuk skor tekstur
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 14.

52

Design-Expert Sof tware

Two Component Mix

Skor Tekstur
DesignPoints
X1 = A: A
X2 = B: B

5.5

Actual Factor
C: Suhu = 65.00

Skor Tekstur

5.05

4.6

4.15

3.7

Ac tual A

Ac tual B 100

25

50

75

100

75

50

25

Gambar 9. Kurva Skor Tekstur Terhadap Produk


Hasil uji sidik ragam juga menunjukkan interaksi antara
komponen A (jumlah jagung) dengan B (jumlah kacang hijau) secara
berpengaruh nyata terhadap respon skor tekstur. Selain itu juga
terdapat beberapa interaksi yang berpengaruh nyata yaitu interaksi
antara komponen B (jumlah kacang hijau) dengan C (suhu) dan
interaksi antara konponen A (jumlah jagung) dengan C (suhu proses)
dikuadratkan (AC2). Oleh karena itu, faktor-faktor tersebut perlu
diperhatikan dalam penambahan dan pengurangan nilai atau jumlah
dari perlakuan pada penelitian ini.
Komponen jagung dan kacang hijau berpengaruh nyata karena
kandungan amilopektinnya dari ke dua bahan tersebut yang berperan
dalam membentuk struktur produk yang renyah (Wang 1997).
Selanjutnya suhu awal pemanasan barrel akan berpengaruh pada
komponen biopolimer yang ada pada kacang hijau. Kacang hijau
memiliki kandungan protein yang tinggi (Tabel 12), sehingga dapat
membantu kekuatan ikatan antara amilopektin yang terdegradasi atau
terpecah-pecah (pelelehan) (Guy, 2001) dan akan membentuk tekstur
pengembangan produk yang

juga mengakibatkan produk renyah

53

(Wang, 1997). Suhu yang optimum dibutuhkan untuk memperoleh


gelatinisasi yang optimum (Chinnaswamy dan Hanna, 1990), sehingga
membentuk viskositas bahan yang optimal yang mengkibatkan suhu
pelelehan tinggi dan membentuk bahan yang bersifat amorph (Ozcan
dan David, 2005), mengembang serta renyah (chrispy) (Chinnaswamy
dan Hanna, 1988).
Berdasarkan tema pada penelitian ini yaitu pengembangan
produk ekstruder berbasis jagung QPM. Maka formula yang dipilih
adalah formula dengan komposisi jagung paling kecil 50%, sehingga
didapatkan produk ekstruder berbasis jagung QPM yang mempunyai
karakteristik yang optimal.
2. Kelengketan Produk
Kelengketan menurut Ana (2003) mempunyai arti mudah ditelan
atau tidaknya produk pada saat dikunyah di mulut (tidak menempel di
gigi dan langit-langit). Menurut Rosenthal (1999) jika suatu produk
pangan memiliki tekstur yang sangat kering berada di dalam mulut,
maka produk tersebut akan sulit ditelan karena membutuhkan banyak
kelenjar mulut atau saliva karena fungsi saliva pada mulut yaitu untuk
membasahi produk supaya produk tersebut mudah ditelan. Oleh karena
itu, dibutuhkan waktu untuk membasahi produk.
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 8) pada uji hedonik yang
dilakukan pada atribut kelengketan terhadap ke empat belas formula.
Menunjukkan formula yang dibuat berpengaruh nyata (p<0.05)
terhadap skor kelengketan pada selang kepercayaan 95%.
Analisis sidik ragam yang dilakukan oleh program Design Expert
version 7 pada nilai respon hedonik kelengketan terhadap formula
yang dibuat, menunjukkan model yang dibuat adalah signifikan
(p<0,05), pada selang kepercayaan 95% dengan nilai p = 0.0001
(Lampiran 15), artinya formula yang dibuat berpengaruh nyata
terhadap respon uji skor kelengketan, sehingga nilai respon tersebut

54

dapat digunakan dalam proses optimasi yaitu untuk mendapatkan


produk dengan karakteristik yang optimum.
Hasil uji Duncan terhadap uji hedonik kelengketan dengan selang
kepercayaan 95% (Lampiran 8), menunjukkan pada subset 1 formula
8, 5 dan 14 tidak berbeda nyata serta pada subset 2 formula 14, 5, 1, 3,
dan 7 tidak berbeda nyata, tetapi formula 8 berbeda nyata dengan
formula 5, 1, 3 dan 7. Perbedaan tersebut karena pada formula 7
mempunyai suhu awal pemanasan yang tinggi. Jika suhu awal
pemanasan tinggi dan juga kandungan amilopektin pada bahan yang
tinggi, maka proses gelatinisasi kurang optimal (Chinnaswamy dan
Hanna, 1990), sehingga menurunkan viskositas bahan ketika
pemasakan. Viskositas turun menyebabkan gesekan antara bahan
dengan barrel turun yang dapat menurunkan suhu untuk pelelehan
bahan

menurun,

sehingga

pelelehan

bahan

tidak

optimum

(Chinnaswamy dan Hanna, 1990).


Pelelehan tidak optimum menyebabkan berat molekul dari
amilopektin tinggi, sehingga menurunkan laju pendistribusian uap air
dalam bahan dan menurunkan pengembangan (Guy, 2001). Produk
yang dihasilkan akan tidak kokoh (kempes atau mengkerut) karena
rendahnya tekanan pada bahan setelah keluar dari die rendah (Guy,
2001). Hal tersebut menyebabkan produk kurang garing atau kering,
sehingga mudah ditelan. Namun panelis lebih menyukai produk yang
garing.
Pada subset 3 formula 5, 1, 3, 7, 12, 11, 13 dan 9 tidak berbeda
nyata, tetapi formula 14 berbeda nyata dengan formula 12, 11, 13, dan
9 karena suhu gelatinisasi yang tidak optimal yang menyebabkan
produk kurang disukai oleh panelis. Pada subset 4 formula 1, 3, 7, 12,
11, 13, 9, 6 dan 4 tidak berbeda nyata, tetapi formula 5 berbeda nyata
dengan formula 6 dan 4. Hal tersebut, karena formula 6 dan 4
mempunyai tambahan protein dari kacang hijau, sehingga dapat
meningkatkan daya terima produk (Moraru dan Kokini, 2003).

55

Formula 12, 11, 13, 9, 6, 4 dan 2 tidak berbeda nyata pada subset
5, namun formula 1, 3, dan 7 berbeda nyata dengan formula 2, karena
formula 2 memiliki suhu pemanasan awal yang optimal untuk
gelatinisasi, sehingga dapat meningkatkan kulitas tekstur dari produk
ekstrusi (Chinnaswamy dan Hanna, 1988). Berikut Tabel 9
menunjukkan hasil uji hedonik kelengketan
Tabel 9. Hasil uji hedonik kelengketan
Formula
Komposisi Formula
1
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 100 : 0, suhu 60
2
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 50 : 50, suhu 60
3
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 100 : 0, suhu 62.5
4
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 75 : 25, suhu 62.5
5
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 100 : 0, suhu 65
6
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 50 : 50, suhu 65
7
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 75 : 25, suhu 67.5
8
Snack dengan komposisi jagung
hijau =100 : 0, suhu 70
9
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 50 : 50, suhu 70
10
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 0 : 100, suhu 60
11
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 25 : 75, suhu 62.5
12
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 0 : 100, suhu 65
13
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 25 : 75, suhu 67.5
14
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 0 : 100, suhu 70

: Kacang

Rata-rata
4.1

: Kacang

5.0

: Kacang

4.1

: Kacang

4.8

: Kacang

3.9

: Kacang

4.7

: Kacang

4.3

: Kacang

3.1

: Kacang

4.6

: Kacang

5.8

: Kacang

4.5

: Kacang

4.4

: Kacang

4.5

: Kacang

3.6

Oleh karena itu, dapat disimpulkan formula 8 berbeda dengan


formula 5, 1, 3, dan 7, formula tersebut juga berbeda dengan formula
12, 11, 13 dan 9, juga akan berbeda dengan formula 6 dan 4 serta
berbeda dengan formula 2 dan berbeda dengan formula 10. Untuk nilai

56

hedonik kelengketan tertinggi dimiliki oleh formula 10 dengan nilai


5.78 dan pada subset 6 berbeda nyata dengan formula yang lain, karena
formula tersebut mempunyai suhu pemanasan awal yang optimal dan
kandungan protein pada bahan yang optimal. Uji hedonik untuk atribut
kelengketan dapat disimpulkan panelis lebih menyukai produk yang
kering dan kelengketan yang tinggi.
Persamaan model matematika untuk respon skor kelengketan
pada saat kondisi bahan yang nyata dan ketika suhu diatur pada kondisi
tertentu. Dapat dilihat pada persamaan matematika sebagai berikut.
Skor Kelengketan = +10.56A + 19.17B - 28.44AB - 0.11AC - 0.22B C
+ 0.47ABC + 71.23AB(A-B) - 1.07ABC(A-B)
Persamaan matematika untuk skor kelengketan selengkapnya
dapat dilihat pada Lampiran 17. Kurva skor hedonik kelengketan
dengan suhu dan formulasi dapat dilihat pada Gambar 8.
Design-Expert Sof tware

Two Component Mix

Skor Kelengketan
DesignPoints
X1 = A: A
X2 = B: B

4.7

Actual Factor
C: Suhu = 65.00

Skor Kelengketan

4.455

4.21

3.965

3.72

Actual A

Actual B 100

25

50

75

100

75

50

25

Gambar 10. Kurva Skor Kelengketan Terhadap Produk


Komponen yang paling besar berkontribusi terhadap skor
kelengketan adalah interaksi A (komponen jagung) B (kacang hijau)
(A-B), kemudian diikuti oleh kacang hijau (B), dan komponen A

57

(jagung). Hal ini disebabkan koefisien AB(A-B) paling tinggi nilainya


(71.23) bila dibandingkan dengan komponen lainnya. Persamaan linear
ini memiliki nilai R2 dan Adjusted R2 masing masing 0.9756 dan
0.9511. Oleh karena nilai R2 dan Adjusted R2 skor tekstur lebih besar
dari 0.75, maka ketepatan model untuk memprediksi nilai kelengketan
sangat baik.

Gambar 10 menunjukkan hasil uji skor kelengketan

terhadap 14 formula ekstrusi bentuk dua dimensi.


Hasil uji sidik ragam juga menunjukkan interaksi antara
komponen A (jumlah jagung) dengan B (jumlah kacang hijau) secara
berpengaruh nyata terhadap respon skor kelengketan. Selain itu juga
terdapat beberapa interaksi yang berpengaruh nyata yaitu interaksi
antara komponen A (jumlah jagung) dengan C (suhu), B (jumlah
kacang hijau) dengan C (suhu), interaksi antara konponen A (jumlah
jagung) serta B (jumlah kacang hijau) dengan C (suhu proses) (ABC),
A (jumlah jagung) dengan B (jumlah kacang hijau) yang
diinteraksikan dengan (A B) dan interaksi antara konponen A
(jumlah jagung) serta B (jumlah kacang hijau) dengan C (suhu proses)
(ABC) juga diinteraksikan dengan (A B). Oleh karena itu, faktor
penelitian ini serta interaksi antara faktor-faktor tersebut perlu
diperhatikan dalam penambahan dan pengurangan nilai atau jumlah
dari perlakuan pada penelitian ini.
Kelengketan juga dipengaruhi oleh kandungan amilosa dan
amilopektin dari kedua bahan jagung dan kacang hijau. Kedua
biopolimer tersebut sangat berpengaruh bagi kelengketan diakibatkan
oleh suhu awal pemanasan yang berdampak pada suhu pelelehan bahan
yang tidak optimum jika suhu awal gelatinisasi tidak optimum
(Chinnaswamy dan Hanna, 1988). Kejadian tersebut menimbulkan
struktur yang tidak stabil, sehingga produk tidak kokoh setelah
mengembang dan mengkerut yang menyebabkan menurunkan kualitas
produk, sehingga produk kurang kering.
Namun menurut Rosenthal (1999) suatu produk pangan memiliki
tekstur yang sangat kering dan produk tersebut berada di dalam mulut,

58

produk tersebut akan sulit ditelan karena membutuhkan banyak


kelenjar mulut atau saliva karena digunakan untuk membasahi produk
supaya produk tersebut mudah ditelan, sehingga membutuhkan waktu
untuk membasahi produk tersebut. Oleh karena itu, dapat diperkirakan
panelis memilih produk yang dapat menimbulkan kelengketan apabila
produk dikunyah dalam mulut.
F. ANALISIS UJI FISIK
1. Tekstur (Kekerasan)
Hasil uji sidik ragam menunjukkan hasil uji kekerasan produk
signifikan (p<0.05) (Lampiran 9) artinya perlakuan pada formula atau
fomulasi berpengaruh nyata terhadap kekerasan produk. Kekerasan produk
ekstrusi

dipengaruhi

oleh

kandungan

amilopektin

dan

amilosa.

Amilopektin dapat meningkatkan kerenyahan, sedangkan amilosa dapat


meningkatkan kekuatan kekerasan produk (Gimeno et al., 2004).
Analisis sidik ragam yang dilakukan oleh program Design Expert
version 7 pada respon kekerasan terhadap formula yang dibuat,
menunjukkan formula yang dibuat tidak berpengaruh nyata terhadap
respon kekerasan (p>0.05), pada selang kepercayaan 95% dengan nilai p
= 0.1026 (Lampiran 18), artinya formula yang dibuat tidak berpengaruh
nyata terhadap kekerasan produk apabila dinilai secara obyektif dengan
menggunakan

Texture

Analyzer,

sehingga

untuk

respon

tekstur

(kekerasan) tidak dipakai dalam proses optimasi untuk mendapatkan


produk terpilih.
Hasil uji Duncan terhadap uji kekerasan dengan selang kepercayaan
95% (Lampiran 9), menunjukkan pada subset 1 formula 7, 10 dan 8 tidak
berbeda nyata serta pada subset 2 formula 10, 8, 11 dan 14 tidak berbeda
nyata, tetapi formula 7 berbeda nyata dengan formula 11 dan 14. Pengaruh
protein terhadap teksturisasi produk ekstruder, yaitu protein yang berasal
dari bahan produk (sayuran atau kacang-kacangan) telah dipelajari melalui
TVP (Textured Vegetable Protein) (Riaz, 2004). Ketika energi panas dan
mekanik dialirkan melalui barrel selama proses ekstrusi, makromolekul

59

protein yang ada pada bahan mengalami kondisi strukutur kimia yang
tidak stabil kemudian struktur protein menyusun kembali dan terbentuk
secara kontinyu membentuk suatu zat yang bersifat elastis. Barrel, screw,
dan die ekstruder mengumpulkan molekul protein dalam aliran bahan
secara langsung (Kearns, Rokey dan Huber, 2004). Protein dapat
membantu pengembangan produk, serta menjadikan produk lebih renyah.
Berikut merupakan hasil uji kekerasan.
Tabel 10. Hasil uji kekerasan
Formula
Komposisi Formula
1
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 100 : 0, suhu 60
2
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 50 : 50, suhu 60
3
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 100 : 0, suhu 62.5
4
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 75 : 25, suhu 62.5
5
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 100 : 0, suhu 65
6
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 50 : 50, suhu 65
7
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 75 : 25, suhu 67.5
8
Snack dengan komposisi jagung
hijau =100 : 0, suhu 70
9
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 50 : 50, suhu 70
10
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 0 : 100, suhu 60
11
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 25 : 75, suhu 62.5
12
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 0 : 100, suhu 65
13
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 25 : 75, suhu 67.5
14
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 0 : 100, suhu 70

: Kacang

Rata-rata
2281.1

: Kacang

2258.9

: Kacang

2024

: Kacang

2087

: Kacang

2034.8

: Kacang

2103.9

: Kacang

1609

: Kacang

1818

: Kacang

2876.3

: Kacang

1759.3

: Kacang

1868.1

: Kacang

2828.9

: Kacang

2315.4

: Kacang

1886.2

Pada uji kekerasan produk secara obyektif (mengunakan alat),


pengukuran diukur secara empiris, yaitu berdasarkan resistensi sampel
atau produk terhadap tekanan yang dapat merubah bentuk produk tersebut

60

(Lawless dan Heymann, 1999). Pengukuran tersebut tidak dapat


memberikan suatu keputusan yang benar dan pengujian pada pengukuran
tersebut tidak mempunyai hubungan kolerasi yang tinggi dengan
pengukuran yang dilakukan secara organoleptik (sensory) (Lawless dan
Heymann, 1999). Proses tersebut mengakibatkan protein dapat menyusun
kembali dengan membuka ikatan antar protein, sehingga mudah berikatan
silang antara molekul yang lain dan memberikan struktur yang
mengembang serta membentuk tekstur produk bersifat chewy atau kenyal
(Kearns et al., 2004).
Pada subset 3 formula 8, 11, 14, 3, dan 5 tidak berbeda nyata, tetapi
formula 10 berbeda nyata dengan formula 3 dan 5. Formula 10
memberikan kekerasan yang lebih rendah dari formula 3 dan 5, karena
pada formula 10 merupakan formula kacang hijau 100%, sehingga
kandungan protein pada bahan akan lebih tinggi dari formula 3 dan 5.
Protein dapat meningkatkan pengembangan produk ekstrusi dan
menciptakan tekstur yang renyah (Moraru dan Kokini, 2003).
Formula 11, 14, 3, 5 dan 4 tidak berbeda nyata pada subset 4,
namun formula 8 berbeda nyata dengan formula 4. Kekerasan pada
formula 8 lebih rendah dibandingkan dengan formula 4, karena faktor suhu
awal pemanasan yang terlalu tinggi, sehingga gelatinisasi kurang optimal
(Chinnaswamy dan Hanna, 1990). Hal tersebut akan berpengaruh pada
kekerasan tekstur, sehinga menjadi kurang terbentuk serta rapuh (Guy,
2001). Formula 14, 3, 5, 4 dan 6 tidak berbeda nyata pada subset 5, tetapi
formula 11 berbeda nyata dengan formula 6. Perbedaan tersebut dapat
terjadi karena komposisi formula 11 mempunyai komposisi kacang hijau
yang lebih daripada formula 11, sehingga protein pada bahan akan
mempengaruhi kekerasan tekstur (Moraru dan Kokini, 2003). Subset 6
formula 1, 2, 4, dan 6 tidak berbeda nyata, namun formula 14, dan 3
berbeda dengan formula 2 dan 1. Formula 1 dan 2 mempunyai suhu awal
pemanasan yang optimal untuk proses gelatinisasi. Formula 1 lebih keras
dari formula 14 dan 3 karenakan komposisinya tidak dicampur dengan
kacang hijau, sehingga protein bahan kurang berpengaruh pada kekerasan

61

produk. Untuk formula 2 proses gelatinisasi yang optimal akan


mengembangkan produk, sehingga dapat meningkakan kerenyahan dari
segi organoleptik. Jika dilihat nilai kekerasan dari formula hasil uji
Duncan menunjukkan formula 2 lebih keras dari formula jika
dibandingkan dengan formula 14 dan 3. Hal tersebut dikarenakan adanya
perbedaan

antara

pengujian

secara

subyektif

atau

instrumental.

Pengukuran kekerasan secara obyektif yaitu berdasarkan resistensi sampel


atau produk terhadap tekanan yang dapat merubah bentuk produk tersebut,
sehingga produk cenderung keras jika lebih mengembang (Lawless dan
Heymann, 1999).
Formula 6, 2, 1, dan 13 tidak berbeda nyata pada subset 7, tetapi
formula 4 berbeda nyata dengan formula 13. Perbedaan tersebut karena
formula 4 memiliki suhu optimal untuk gelatiniasi, sehingga dapat
meningkatkan pengembangan produk dan mengakibatkan kekerasan
produk rendah (Chinnaswamy dan Hanna, 1990). Sementara nilai
kekerasan tertinggi terdapat pada formula 9 dan

tidak berbeda nyata

dengan formula 12, namun berbeda nyata dengan formula 6, 2 dan 1


dengan nilai kekerasan 2876.3. Kekerasan pada formula 9 memiliki suhu
awal

gelatinisasi

yang

tidak

optimal,

sehingga

produk

kurang

mengembang (Chinnaswamy dan Hanna, 1990).


Oleh karena itu, dapat disimpulkan formula 7 berbeda dengan
formula 11 dan 14, formula tersebut juga berbeda dengan formula 3 dan
14, juga akan berbeda dengan formula 4, berbeda dengan formula 6,
berbeda dengan formula 2 dan 1, berbeda dengan 13 serta berbeda dengan
formula 12 dan 9.
2. Derajat Pengembangan
Hasil uji sidik ragam menunjukkan hasil derajat pengembangan
produk signifikan (<0.05) (Lampiran 10) artinya perlakuan pada formula
atau

fomulasi

berpengaruh

nyata

terhadap

kekerasan

produk.

Pengembangan produk dipengaruhi oleh amilopektin dan amilosa, serta


komponen kecil pada bahan yaitu protein, lemak dan serat. Serta faktor

62

eksternal yaitu suhu barrel, putaran ulir, tekanan di dalam barrel. Derajat
pengembangan

produk

ekstrusi

akan

menurun

seiring

dengan

meningkatnya jumlah protein (Chinnaswamy dan Hanna, 1990).


Analisis sidik ragam yang dilakukan oleh program Design Expert
version 7 pada respon derajat pengembangan terhadap formula yang
dibuat, menunjukkan formula yang dibuat berpengaruh nyata terhadap
respon derajat pengembangan (p<0,05), pada selang kepercayaan 95%
dengan nilai p = 0.0110 dapat dilihat pada Lampiran 19, artinya formula
yang dibuat mempunyai pengaruh yang nyata terhadap derajat
pengembangan produk, sehingga nilai respon tersebut dapat digunakan
untuk proses optimasi yaitu untuk mendapatkan produk dengan
karakteristik yang optimum.
Hasil uji Duncan terhadap uji hedonik kekerasan dengan selang
kepercayaan 95% (Lampiran 10), menunjukkan formula 1, 7 dan 14 pada
subset 1 tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan formula yang
lainnya. Formula 1 kurang mengembang karena komposisinya jagung
100%, sehingga kandungan protein pada bahan diperkirakan lebih sedikit
dibandingkan formula yang lain, sedangkan pada formula 7 dan 14
disebabkan oleh suhu pemanasan yang tidak optimal, sehingga kurang
mengembang (Chinnaswamy dan Hanna, 1988). Pada subset 2 formula 5
dan 3 tidak berbeda nyata serta pada subset 3 formula 3 dan 4 tidak
berbeda nyata, tetapi formula 5 berbeda nyata dengan formula 4. Formula
4 lebih mengembang dibandingkan formula 5 karena adanya tambahan
kacang hijau yang dapat menambah kandungan protein pada bahan,
sehingga dapat mengembangkan produk (Moraru dan Kokini, 2003).
Untuk formula 4, 8, 11, dan 13 pada subset 4 tidak berbeda nyata,
namun formula 3 berbeda nyata dengan formula 11, dan 13. Formula 3
kurang pengembangannya dibandingkan formula 11 dan 13 karena
formula 3 komposisinya tidak ada tambahan kacang hijau, sehingga
produk kurang mengembang. Berikut merupakan hasil analisis derajat
pengembangan produk.

63

Tabel 11. Hasil uji derajat pengembangan produk


Formula
Komposisi Formula
1
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 100 : 0, suhu 60
2
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 50 : 50, suhu 60
3
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 100 : 0, suhu 62.5
4
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 75 : 25, suhu 62.5
5
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 100 : 0, suhu 65
6
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 50 : 50, suhu 65
7
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 75 : 25, suhu 67.5
8
Snack dengan komposisi jagung
hijau =100 : 0, suhu 70
9
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 50 : 50, suhu 70
10
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 0 : 100, suhu 60
11
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 25 : 75, suhu 62.5
12
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 0 : 100, suhu 65
13
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 25 : 75, suhu 67.5
14
Snack dengan komposisi jagung
hijau = 0 : 100, suhu 70

: Kacang

Rata-rata
375.1

: Kacang

527.9

: Kacang

442.2

: Kacang

456.8

: Kacang

420.7

: Kacang

502.9

: Kacang

391.4

: Kacang

473.8

: Kacang

506.9

: Kacang

530.7

: Kacang

474.8

: Kacang

495

: Kacang

480

: Kacang

380

Pada subset 5 formula 8, 11, 13, 12 dan 6 tidak berbeda nyata.


Sementara formula 4 berbeda nyata berbeda nyata dengan formula 12 dan
6 karena komposisi kacang hijau pada formula 4 lebih kurang dari
komposisi formula 12 dan 6, sehingga produk kurang mengembang. Untuk
subset 6 formula 13, 12, 6 dan 9 tidak berbeda nyata, sementara formula 8
dan 11 berbeda nyata dengan formula 9. Formula 9 lebih mengembang
dibandingkan formula 8 karena komposisi kacang hijau yang lebih,
sehingga lebih mengembangkan. Jika dibandingkan dengan formula 11,
formula 11 kurang mengembang karena faktor selain protein yaitu
kandungan minyak pada lembaga jagung yang dapat mengembangkan
produk (Moraru dan Kokini, 2003). Interaksi antara lemak (minyak),

64

protein jagung dan karbohidrat akan terbentuk pada saat proses pemasakan
adonan bahan dalam ekstruder (Kokini, Tang Ho dan Karwe, 1991).
Persentase derajat pengembangan paling tinggi terdapat pada subset
7 yaitu formula 10 persentase derajat pengembangan 530.7% dan tidak
berbeda nyata dengan formula 6, 9 dan 2, tetapi formula 12 dan 13 akan
berbeda nyata jika dibandingkan dengan formula 2 dan 10. Perbedan
tersebut karena suhu awal pemanasan pada formula 2 dan 10 adalah suhu
yang sesuai dengan komposisi bahan paada penelitian ini yang digunakan
untuk gelatinisasi pati pada bahan, sehingga memberikan pengembangan
yang optimal. Oleh karena itu, dapat disimpulkan formula 5 berbeda
dengan formula 4 serta formula tersebut berbeda dengan formula 8, 11 dan
13, akan berbeda juga dengan formula 12 dan 6, berbeda dengan formula 9
dan berbeda dengan formula 2 dan 10.
Persamaan model matematika untuk respon derajat pengembangan
pada saat kondisi bahan yang nyata dan ketika suhu diatur pada kondisi
tertentu. Dapat dilihat pada persamaan matematika sebagai berikut
Derajat Pengembangan = -119.748A + 16013.33B + 8.73AC
17.19BC
Persamaan matematika untuk derajat pengembangan selengkapnya
dapat dilihat pada Lampiran 21. Kurva skor hedonik kelengketan dengan
suhu dan formulasi dapat dilihat pada Gambar 10.
Komponen yang paling besar berkontribusi terhadap derajat
pengembangan adalah B (kacang hijau), kemudian di ikuti interaksi antara
B (komponen jagung) dengan C (komponen suhu), dan interaksi antara
komponen jagung dengan suhu. Hal ini disebabkan koefisien B paling
tinggi nilainya (16013. 33) bila dibandingkan dengan komponen lainnya.
Persamaan linear ini memiliki nilai R2 dan Adjusted R2 masing masing
0.6223 dan 0.5193. Oleh karena nilai R2 dan Adjusted R2 skor tekstur
kurang dari 0.75, maka ketepatan model untuk memprediksikan derajat
pengembangan kurang sangat baik. Gambar 11 menunjukkan hasil uji
derajat pengembangan terhadap 14 formula ekstrusi berbentuk dua

65

dimensi. Persamaan matematika untuk skor tekstur selengkapnya dapat


dilihat pada Lampiran 19.
Pada

pemodelan

derajat

pengembangan,

model

yang

direkomendasikan untuk digunakan adalah linear dan linear. Walaupun


kedua model tersebut mempunyai nilai adjusted R2 dan R2 prediksi yang
rendah dibandingkan dengan model Quadratic dan Cubic namun dilihat
dari nilai p (signifikansi) untuk model linear dan linear mempunyai nilai
p yang kurang dari 0.05, sehingga model tersebut berpengaruh nyata
dalam memprediksikan derajat pengembangan, sedangkan untuk model
Quadratic dan Cubic mempunyai nilai p> 0.05 (tidak signifikan).
Design-Expert Sof tware

Two Component Mix

derajat pengembangan
DesignPoints
X1 = A: A
X2 = B: B

derajat pengembangan

Actual Factor
C: Suhu = 65.00

508

489.25

470.5

451.75

433

Actual A

Actual B 100

25

50

75

100

75

50

25

Gambar 11. Respon Derajat Pengembangan Terhadap Produk


Model linear menunjukkan variabel dari formula bahan maksimum
dengan pangkat 1 dan model linear untuk variabel proses maksimum
dengan pangkat 1. Hasil uji sidik ragam juga menunjukkan interaksi antara
komponen B (jumlah kacang hijau) dengan C (suhu) berpengaruh nyata
terhadap derajat pengembangan.
Derajat pengembangan dipengaruhi oleh komponen biopolimer yang
ada pada kacang hijau yaitu pati (amilopektin) dan protein. Berdasarkan
persamaan atau model matematika untuk derajat pengembangan dapat

66

diperkirakan amilopektin pada kacang hijau memberikan kontribusi yang


cukup besar dibandingkan amilopektin pada jagung QPM. Juga dengan
kandungan protein pada kacang hijau yang cukup tinggi (22%) (Tabel
12), dapat membantu pengembangan produk dengan mengontrol
pendistribusian air pada matriks (bahan pada saat pemasakan) serta
menguatkan rantai amilosa dan amilopektin yaitu dengan membentuk
ikatan kovalen maupun interaksi non ikatan (tarik-menarik antar molekul),
sehingga

dapat

maningkatkan

kekuatan

matriks

(bahan)

untuk

mengembang dengan lama tanpa putus (Gimeno et al., 2004).

G. PROSES OPTIMASI DESIGN EXPERT V.7


Data hasil uji sidik ragam dari semua respon atau uji mutu awal,
kemudian dilanjutkan pada proses optimasi. Pada penelitian ini proses
optimasi dilakukan untuk mencari komposisi yang paling optimal yaitu
dengan desirability mendekati 1. Parameter yang dioptimasi pada penelitian
ini adalah komponen bahan utama yaitu jagung, kacang hijau, suhu proses,
skor hedonik tekstur, skor hedonik kelengketan dan derajat pengembangan.
Optimasi yang dilakukan pada komponen utama yaitu dengan
mengoptimalkan komposisi bahan minimal 50% dan maksimal 100% dan
target komponen jagung adalah 50% dengan tingkat rangking tertingi yaitu
dengan nilai 5, kemudian komponen kacang hijau dioptimalkan komposisinya
yaitu antara 0% sampai 50% dengan tingkat rangking 3 karena bahan utama
penelitian ini adalah jagung. Suhu dioptimasi yaitu antara 60 C sampai 70 C
dengan rangking 3 karena rentang suhu tidak begitu jauh. Skor hedonik
terhadap tekstur dimaksimalkan dengan rentang skor nilai 3.2 sampai 5.8
dengan tingkat rangking tertinggi atau 5 karena sesuai dengan mutu yang akan
dicapai oleh produk terpilih serta tekstur merupakan mutu yang utama untuk
produk snack (Guy, 2001).
Skor hedonik terhadap kelengketan dimaksimalkan dengan rentang skor
nilai 3.1 sampai 5.8 dengan tingkat rangking tertinggi atau 5, karena mutu
yang harus dicapai oleh produk adalah dengan tingkat hedonik kelengketan
yang optimal. Derajat pengembangan dioptimasi pada rentang 367.3% sampai

67

541% tingkat rangking tertinggi atau 5 karena respon dari derajat


pengembangan mempunyai peran visual atau penampakan yang utama bagi
snack. Proses optimasi ini dapat dilihat pada Lampiran 22.
Design-Expert Sof tware

Two Component Mix

Desirability
DesignPoints
X1 = A: A
X2 = B: B

0.810

Actual Factor
C: Suhu = 60.00

Desirability

0.608

0.405

0.203

0.000

Actual A

Actual B 100

25

50

75

100

75

50

25

Gambar 12. Kurva Desirability Produk Terhadap Formulasi


Produk yang terpilih dari proses optimasi adalah produk dengan
komposisi 50% jagung dan 50% kacang hijau serta diolah pada suhu 60 C,
dengan kadar air bahan 8 12% (bk) dan diproses pada kecepatan ulir 1400
rpm yang memiliki karakteristik produk yaitu skor hedonik untuk tekstur 5.53,
skor hedonik untuk kelengketan 4.9 dan mempunyai derajat pengembangan
487.028% dan memiliki desirability paling tinggi yaitu 0.801, artinya produk
tersebut dapat mencapai nilai skor tekstur 5.53, skor kelengketan 4.9 dan
derajat pengembangan 487.028% yaitu sebesar 80.1% terhadap seluruh respon
tersebut dapat dilaksanakan (Lampiran 22). Kurva

desirability terhadap

formula produk dapat dilihat pada Gambar 12.


Kurva tersebut menunjukkan formula 50% jagung : 50% kacang hijau
mempunyai tingkat desirbility yang tinggi. Ringkasan optimasi secara
keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 22. Gambaran kurva desirability baik
kurva optimasi menunjukkan hubungan antara nilai desirability terhadap

68

formula menunjukkan kencenderungan nilai desirability bila diberikan input


komponen A dan B pada jumlah tertentu dengan kombinasi suhu tertentu.
Titik pada kurva tersebut menunjukkan kurva memiliki nilai R (koefisien
kolerasi) yang cukup tinggi. Hal tersebut persamaan matematika yang didapat
menunjukkan interaksi yang tinggi antara in put atau perlakuan yang
dimasukan pada persamaan matematika tersebut, sehingga mendapatkan
kriteria atau karakteristik yang optimal.

Gambar 13. Produk Terpilih Formula Jagung : Kacang Hijau = 50 : 50


Sedangkan produk yang dipilih pada optimasi dapat dilihat pada Gambar
13 adalah komposisi 50% jagung dan 50% kacang hijau. Menunjukkan
dengan penambahan kacang hijau pada formula ekstrudat berbahan dasar
jagung memberikan pengaruh nyata pada pengembangan produk. Hal tersebut
dapat dilihat pada Tabel 6 dimana semakin tinggi jumlah substitusi kacang
hijau terhadap fomulasi produk ekstrudat berbasis jagung semakin tinggi pula
persentase derajat pengembangan produk tersebut. Hal ini karena besar
kecilnya derajat pengembangan ekstrudat ditentukan oleh jumlah pati yang
tergelatinisasi selama proses ekstrusi. Derajat gelatinisasi yang semakin tinggi
diikuti dengan derajat pengembangan yang semakin tinggi pula (Harper, 1981
dan Linko et al., 1981).

69

Derajat pengembangan ekstrudat juga tidak hanya ditentukan oleh pati


tergelatinisasi, tetapi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu ukuran dari
partikel, rasio amilosa dan amilopektin, kadar protein, kadar lemak dan serat
kasar. Faktor ukuran bahan baku grits juga mempengaruhi besarnya derajat
pengembangan. Sedangkan kadar protein, lemak dan serat kasar bahan baku
akan berpengaruh dalam menurunkan derajat gelatinisasi (Harper, 1981 dan
Linko et al., 1981).
H. ANALISIS DERAJAT GELATINISASI
Derajat gelatinisasi merupakan bagian dari evaluasi kesempurnaan
proses gelatinisasi pada bahan. Kesempurnaan gelatinisasi pati pada produk
ekstrusi perlu dievaluasi untuk mengetahui sampai sejauh mana pati siap dan
mudah dicerna oleh tubuh. Derajat gelatinisasi pada formula terpilih yaitu
jagung : kacang hijau = 50 : 50 adalah 67.22%, artinya dapat diperkirakan
terdapat 32.78% pati masih dalam bentuk granula. Menurut Muchtadi et al.,
(1988) proses gelatinisasi pati akan mudah terjadi jika rasio antara air dan pati
pada bahan tinggi. Gelatinisasi pati akan sempurna jika terdapat air yang
cukup. Pada penelitian ini kadar air pada bahan termasuk rendah, sehingga
proses yang terjadi bukan gelatinisasi melainkan proses peleburan granula pati
akibat adanya panas yang tinggi (Muchtadi et al., 1988). Suhu peleburan
granula pati biasanya sampai 140 C, sehingga proses gelatinisasi pada
penelitian ini dapat diperkirakan terjadi hanya sebagian.
Jika nilai derajat gelatinisasi bandingkan dengan derajat pengembangan
produk. Pengembangan produk jauh lebih besar dari pada derajat gelatinisasi.
Karena kandungan protein pada bahan baku yang tinggi dapat menurunkan
derajat gelatinisasi.

Pada umumnya derajat gelatinisasi akan tinggi atau

maksimum jika bahan dengan kadar air 25% pada suhu pemasakan 145 C
205 C (El-dash, Ronaldo dan Marcia, 1982).

70

I. ANALISIS KIMIA
Analisis kimia yang dilakukan meliputi analisis proksimat jagung
QPM, kacang hijau varietas betet, formula bahan campuran optimal (formula
jagung QPM : Betet = 50 : 50) serta analisa proksimat produk terpilih.
Keseluruhan analisis tersebut dapat diliha pada Tabel berikut.
Tabel 12. Analisis Proksimat Bahan Baku dan Pati
Formula
Kacang
Kandungan
Jagung
(QPM) :
Hijau (Var
QPM
Betet
Betet)
(%)
50 : 50
(%)
(%)
Air
12.20 (b/k)
6.68
8.68
Protein
8.65
22.01
16.82
Lemak
4.32
5.88
5.29
Abu
1.65
2.42
2.10
Karbohidrat
77.85
62.99
69.21
Kadar Pati
77.95
67.58
62.12
Kadar amilosaa 29.52 (b/k)
a

Data sekunder penelitian mi jagung QPM

Tabel 13. Analisis Proksimat Produk Terpilih


Produk 50 : 50
Kandungan Produk 50 : 50
(Jagung
(Jagung QPM)
Hibrida)
(%)
(%)
Air
4.35 (b/b)
1.12 (b/b)
Protein

15.50

16.54

Lemak

3.81

5.07

Abu

2.54

2.13

Karbohidrat

73.8

75.14

a. Kadar Air
Kadar air ekstrudat campuran jagung QPM dengan penambahan grits
kacang hijau pada formulasi dengan perbandingan 50% : 50% yaitu
sebesar 4.35% . Sedangkan kadar air berdasarkan SNI 01-2886-2000 yaitu
sejumlah maksimal 4 % (b/b). Menurut Muchtadi et al, (1988) kadar air
mempunyai hubungan erat dengan sifat-sifat garing dan kerenyahan
produk ekstrusi. Terutama produk makanan ringan kering berasal dari

71

serealia, kerenyahannya dipengaruhi oleh jumlah air yang terikat pada


matriks karbohidrat. Kadar air produk seperti keripik kentang, ekstrudat
jagung berkisar antara 4.2 7.0 % (b/b) (Muchtadi et al., 1989).
Kadar air terlalu tinggi akan menyebabkan tekstur menjadi kurang
garing dan renyah. Tetapi kadar air yang terlalu rendah juga kurang baik,
terutama bagi produk ekstrudat yang mengandung lemak karena dapat
mempercepat proses ketengikan (Labuza dan Katz, 1981).
a. Kadar Abu
Kadar abu prada pruduk ekstrudat terpilih untuk formulasi jagung :
kacang hijau = 50 : 50 adalah 2.54% (b/k)

Kadar abu kedua produk

hampir sama, dan termasuk kategori rendah. Hal ini dikarenakan produk
berasal dari bahan-bahan organik dengan kadar yang tinggi.
b. Kadar Protein
Kadar protein pada pruduk ekstrudat terpilih untuk formulasi
jagung : kacang hijau = 50 : 50 adalah

15.50% (b/k). Sementara

kandungan protein pada produk ekstrusi yang berasal dari jagung hibrida
varietas A4 yaitu sebesar 16.54% (b/k), sehingga dapat perkirakan produk
berbahan dasar jagung QPM mempunyai kandungan protein 1.04% lebih
rendah dari produk ekstrusi yang berbahan jagung hibrida varietas A4.
Sedangkan kadar protein bahan sebelum di ekstrusi adalah 16.82%.
Hal tersebut karena hilangnya protein pada bahan ketika proses
pemasakan. Kehilangan protein pada saat pemasakan karena semakin
tingginya suhu dan juga semakin menurunnya kadar air, sehingga banyak
asam-asam amino yang hilang (lisin 30%, arginin 20%, histidin 15%,
asam aspartat 14%, dan serin 13%) yang menyebabkan penurunkan
kualitas protein (Bjorck dan Asp, 1982).
d. Kadar Lemak
Kadar lemak pada produk ekstrudat terpilih terpilih untuk
formulasi jagung : kacang hijau = 50 : 50 adalah 1.00% (b/k). Sementara

72

kadar lemak pada bahan pada formula terbaik adalah 3.81%. Kadar lemak
semakin tinggi akan menghambat proses gelatinisasi. Kadar lemak produk
terpilih sudah memenuhi standar dari SNI 01-2886-2000. Dimana kadar
lemak yang disarankan SNI jika produk tanpa proses penggorengan
maksimal 30% (b/b) dan dengan proses penggorengan adalah maksimal
38% (b/b). Jika dibandingkan dengan formula terbaik kadar lemak produk
sangat kecil sekali.
e. Kadar Karbohidrat
Kadar karbohidrat pada produk ekstrudat terpilih jagung : kacang
hijau 50 : 50 adalah 76.61% (b/k). Kadar karbohidrat tinggi seiring dengan
kadar pati yang tinggi pula. Karena pati merupakan suatu polimer yang
terdiri dari amilosa dan amilopektin.
f. Jumlah Energi
Nilai energi makanan melelui perhitungan dengan menggunakan
faktor Atwater menurut komposisi karbohidrat, lemak, protein, serta nilai
energi faal dari makanan ekstrusi tersebut adalah 391.49 kkal/g.

73

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Pengembangan produk pangan berbasis jagung QPM yang dicampur
dengan kacang hijau varietas betet dengan menggunakan teknologi ekstrusi
dapat menghasilkan produk ekstrusi dengan kualitas yang optimal. Produk
yang terpilih dari proses optimasi yaitu produk dengan komposisi 50% jagung
dan 50% kacang hijau yang diolah pada suhu 60 C, pada kondisi bahan
kering dengan kadar air 8 12% (bk), dan diproses dengan putaran ulir 1400
rpm. Produk terpilih memiliki karakteristik skor hedonik untuk tekstur 6, skor
hedonik untuk kelengketan 5, kekerasannya 0.231 Kgf dan mempunyai derajat
pengembangan 487%. Semua karakteristik tersebut mempunyai tingkat
desirability cukup tinggi yaitu 0.811 lebih tinggi dari optimasi pertama,
artinya sekitar 81% panelis memilih produk tersebut.
Analisis proksimat pada pada formula jagung : kacang hijau = 50: 50
menunjukkan komposisi kimia produk tersebut adalah; protein: 15.50%;
lemak: 1.00%; karbohidrat : 76.61%; abu : 2.54%, air : 4.35% dan mempunyai
kandungan energi sebesar 391.49 kkal/g. Analisis fisik meliputi kekerasan,
derajat pengembangan dan derajat gelatinisasi adalah 2.13 Kgf, 500% dan
67.22%.
B. SARAN
Perlunya penelitian lebih lanjut dalam upaya peningkatan kualitas dari
produk yang dihasilkan yaitu dengan mengontrol semua faktor-faktor yang
ada, baik dari faktor eksternal atau kondisi mesin ekstruder serta faktor
internal atau kualitas bahan yang baik dan penambahan flavor, sehingga dapat
meningkatkan preferensi konsumen. Penilaian uji organoleptik pada penilitian
ini perlu dispesifikasikan antara uji organoleptik secara subyektif dengn uji
organoleptik secara obyektif serta perlunya tahapan pengujian dari semua
atribut produk sebagai tahap awal sebelum dari uji organoleptik hedonik
produk. Perlunya pengecekan kembali pada pemilihan produk optimal.

74

DAFTAR PUSTAKA
Adawiyah, D. R. 2002. Efek transisi gelas terhadap tekstur bahan pangan.
Makalah falsafah sain. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Ali , Y., Hanna, M. A. dan Chinnaswamy, R.1996. Expansion characterstic of
extruded corn grists. Lebesnm. J Technology., 29(8): 702-707.
Almatzier, D dan Lisdiana. 1995. Memilih dan Mengolah Sayur. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Ana, M. L. D. 2003. Food Quality and Properties of Quality Protein Maize. Tesis.
Food Science and Technology. Texas A&M University.
Anonim. 1973. Nutritional Improvement of Food Legumes by Breeding.
Proceeding a Symposium by PAG, Roma 1-5 July 1972. Protein
Advisory Group. New York.
Anonima. 2006. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Jagung.
http://www.litbang.deptan.go.id (07-2006)
Anonimb. 2004. Ini Dia Jagung Berprotein Tinggi http://www.pustakadeptan.go.id/publ/warta/wr264048.pdf (07-2006)
Anonimc. 2005. Whats new in version 7 (the highlights). http://www.statease.com (05-2006).
Anonimd. 2006. Snack Food Trends in the U.S.: Sweet, Salty, Healthy and Kids
Snacks. ). http://www.marketreaserch.com (28-08-2006).
Ang, H.G., C.Y., Theng dan K.K. Lim. 1980. High Protein Extruded Snack Food.
Di dalam Makalah Ekstruder Proceeding Teknologi 8th ASEAN
Workshop, 14 15 Januari 1980. Bangkok.
Apriyantono, A., Dedi Fardiaz., N. Puspitasari., Sedarnawati dan Slamet
Budiyanto. 1989. Analisis Pangan. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
AOAC. 1995. Official Methode of Analysis of The Association Analitical
Chemist. Inc., Washington DC.
Baco, D., M. M. Dahlan, Subandi, T. M. Dahlan, dan I. G. P Samsutha. 2000.
Teknologi produksi dan penyimpanan jagung. J Agr. I (225-251).
Banks, W. Dan C. T. Greenwood. 1975. Starch Its Component. Halsted Press,
John Willey and Sons., New York.

75

Baik, B. K., Joseph .P., dan Linhda T. N. 2004. Extrusion of Regular and Waxy
Barley Flours for Production of Expanded Cereals. J. Cereal Chemistry
81(I) : 94 99.
Bjorck. I dan N. G. Asp. 1982. The Effect of Extrusion on Nutritional Value- A
Literature Review. Di dalam. Roanald J. 1983. Extrusion Cooking
Techology. J. Food Engginering Vol 2. Elsevier Applied Science
Publisher. London and New York.
Bouwkamp, J. C. 1985. Sweet Potato Products: A Natural Resource for The
Topics. CRC. Oress, Inc. Boca Rato, Florida. USA
Buhler.,A.G. 2006. ExtruderSystem.http://www.buhlergroup.com/Docs/25320EN.pdf
Uzwil, Switzerland. (26-05 2006).
Cahyono, U. 1999. Karakteristik Mutu Fisiko-Kimia dan Organik Produk Sereal
Sarapan Dengan Teknologi Ekstrusi Ulir Tunggal dari Hasil Sanping
Penggilingan Padi (Menir dan Bekatul). Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian. IPB, IPB. Bogor.
Chinnaswamy R., Hanna M.A. 1990. Macromolecular nad functional properties of
native and extrusion-cooked corn starch. Cereal Chem.. 67(1): 490-499.
Chinnaswamy R., Hanna M.A. 1988. Opimum extrusion-cooking condition for
maximum expansion of corn starch. J. of Food Sci., 63, 834-840
Damardjati, D. S. 1987. Amilografi Untuk Karakteristik Sifat Pati. Balitan
Sukamandi.
Desrumaux, A., Bouvier. J. M. dan Burri, J. 1998. Corn grits particle size and
distribution effects on the characteristic of expanded extrudates. Journal
of Food Science 63(5) : 857 863.
Dixon, R Phillips. 1981. Effect of extrusion Cooking on The Nutritional Quality
of Plant Protein. University of Georgia Agricurtural Experiment Station.
Georgia.
Effendi, S dan Sulistiati. 1991. Bercocok Tanam Jagung. CV. Yasaguna, Jakarta.
El-Dash. A A., Ronaldo Gonzales., dan Marcia Ciol. 1982. Response Surface
Methodology in The Control of Thermoplastic Extrusion of Starch. Di
dalam. Jowitt. R. 1983. Extrusion Cooking Technology. J Food
Engonering. Vol 2 ; 2 4.
Fast, R. B 1990 Manufacturing Technology of Ready-to-eat Cereals, Breakfast
Cereals and How They Are Made (Ed) : R. B. Fast dan E. F Caldwell,
American American Association of Cereal Chemists, Inc.
Faubion, J.M., R. C. Hoseney dan P.A. Seib. 1982. Fucntionality of Grain
Components in Extrusion. Cereal Food World 27 : 212 216.

76

Fennema. O. R. 1996. Food Chemistry. Third Edition. Marcell Dekker. Inc. New
York Barel. HongKong :1067p
Fennema , O. R. 1976. Principle of Food Science, Part I Food Chemistry. Marcel
Dekker, Inc. New York.
Greenwood, C. T. dan D. N. Munro. 1979. Carbohydrates di dalam. R. J. Priestly,
ed. Effect Heat on Foodstuffs. Applied Science Publ. Ltd., London.
Gimeno E., Moraru C. I., dan Lokini J. L. 2004. Effect of Xanthan Gum and CMC
on the Structure and Texture of Corn Flour Pellets Expanded by
Microwave Heating. American Association of Cereal Chemistry. J
Cereal Chem. 81(I) : 100 107.
Guy, R. 2001. Extrusion cooking Technologies and Aplications. Woohead
Publishing Limited Cambridge England. CRS Press. Boca Raton Boston
New York Washington DC. .
Hardinsyah, S. Madanijah, dan Y.F. Baliwati. 2002. Analisis Neraca Bahan
Makanan dan Pola Pangan Harapan Konsumen Untuk Perencanaan
Ketersedian Pangan. PSKPG-IPB dan Pusat Pengembangan Ketersedian
Pangan, Deptan. Bogor.
Harper, J. M. 1981. Ekstrussion of Food Vol II. CRC Press Inc., Boca Raton,
Florida.
Hodge, J. E, and E. M. Osman. 1976. Carbohydrates, pp. 41 130. In O. R.
Fennema, ed. Princple of Food Science, Part I. Food Chemstry. Mercel
Dekker, Inc. New York
Hoseney, R.C. 1998. Principle of Cereal Science and Technology, second edition.
American Association of Cereal Chemist, Inc. St. Paul, Minnesota, USA.
Ilo, I., Tomschick, E., Berghofer, E., dan Mundigle, N. 1996. The effect of
extrusion operation condition on the apparent viscosity and propertied of
extrudates in twin screw cooking of maize grits. LebensmittelWissenschaft und-Technologie. 29: 596 598.
ISO. 1981. Sensory analysis vocabulary, Part 4. International Organization for
Standardization. Geneva. Switzeland.
Inglett, G.E. 1970. Corn: Culture, Processing, Products. The AVI Publishing
Company, Inc. Westport, Connecticut.
Jugenheimer, R.W. 1976. Corn: Improvement, Seed Production, and Uses. John
Willey and Sons, New York.
Juliano, B. O. 1974. General Chemistry Prosedures. IRRI. Laguna., Los Banos

77

Karyadi, D. dan Muhilal, 1985. Kecukupan Gizi yang dianjurkan. PT. Gramedia,
Jakarta.
Kay, D. 1979. Food Legumes. Tropical Products Institute, Bogor
Katz, E.E. and T.P. Labuza. 1981. Effect of Water Activity on The Sensory
Cripness and Mechanical Deformation of Snack Food Producs. J. Food
Science. 46 : 403.
Kearns., J. P., Rokey., G. J dan Huber., G. R. 2004. Extrusion of Texturized
Protein. Wenger International, Inc dan Wenger Manufacturing. Kansas
City Missouri dan Sabetha Kansas. USA.
Kokini., J. L., Tang Ho., C., dan Karwe., M. V. 1999. Food Extrusion Science and
Technology. The State University of New Jersey. Marcel Dekker, Inc.
La Ega, 2002. Kajian Sifat Fisik dan Kimia Serta Pola Hidrolisis Pati Ubi Jalar
Jenis Unggul Secara Enzimatis dan Asam. Desertasi Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Laztity, R. 1986. The Chemistry of Cereal Protein. CRC Press Inc., USA.
Lawless., H. T. dan Heymann, H.1999. Sensory Evaluation of Food Principle and
Practies. Kluer Academic Publishers. New York .
Lorenz, K.J. and K. Karel. 1991. Handbook of Cereal Science adn Technology.
Marcell Dekker, Inc. Basel.
Linko, P. P., P. Colonna dan C. Mercier. 1981. High Temperature Short Time
Ekstrusion Cooking. Di dalam Y. Pomeraz (ed). Advace in Cereal
Science adn Technology. The AACC Inc, St. Minnesota.
McCormick, K.M., Panozzo, J.F. dan Hong, S.H. 1991. A Swelling power test
for selecting potential noodle and mungbean starch vermicelli. J. of
Food Sci. 53(6): 1809-1812.
Monaru., C. J and J. L Kokini. 2003. Nucleation and Expansion During Extrusion
and Microwave Heating of Cereal Food. Dept Food Science and Centre
for Advance Food Technology. Univ Brunswick.
Mejaya., M. J., Marsum D dan Marcia P. 2005. Pola Heterosis Dalam
Pembentukan Varietas Unggul Jagung Bersari Bebas dan Hibirida.
Seminar Rutin Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor.
Mercier, C. Dan P. Feillet. 1975. Modification of Cabohydrat Component by
Extrusion Cooking of Cereal Product. J. Cereal Chem. 53(3) 283-286.
Miller, R.C. 1985. Low Moisture Extrusion: Effect of Cooking Moisture in
Product Characteristic. J. Food Sci. 50 (1) : 240-253

78

Muchtadi, T.R., Purwiyatno, dan A. Basuki. 1988. Teknologi Pemasakan Ekstrusi.


LSI, IPB, Bogor.
Muchtadi, D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Pusat Antar Universitas dan Gizi
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Muchtadi, T. R dan Sugiyono. 1989. Petunuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan
Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Muchtadi, T. R dan Sugiyono. 1990. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat
Antar Universitas dan Gizi Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Muchtadi. Tien. R. dan Sugiono. 1989. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan.
Petunjuk Laboratorium. Departement Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas. Institut
Pertanian Bogor.
Moraru., C. I dan Kokini., J.L. 2003. Nucleation and Expansion During Extrusion
and Microwave Heating of Cereal Foods. Dept. of Food Science and
Center for Advanced Food Technology. J Food Science Vol 2.
Myers, Raymond H. 1971. Response Surface Methodology. Associate Professor
of Statistics Virginia Polytechnic Institute. Boston.
Osmon, E. M. 1972. Starch and Other Polysaccharides. di dalam P. J. Paul dan H.
N. Palmer, eds. Food Theory and Application. John Willey and Sons
Inc., Florida.
Ozcan, S., dan David, S. J. 2005. Functionality Behaviour of Raw and Extruded
Corn Starch Mixtures. American Association of Cereal Chemistry.
Cereal Chem, 82(2) 223 227.
Riaz., M. N. 2004. Texture Soy Protein and Its Uses. Head-Extrusion Technplogy
Program and Grduate Faculty, Food Sci & Tech. Program. Food Protein
R&D Center. Texas A&M University.
Rosenthal., A. J. 1999. Food Textur Measurement and Perception. Aspen
Publisher, Inc. Gaithersburg, Maryland.
Rossen, J. L. dan Miller. 1973 . Food Extrusion. Food Tech. 28:46-53.
Sarono, Subiyanti S dan Cherng-liang T. 2001. Corn Production In ASIA. Kyungjoo Park (Ed). Food and Fertilizer Technology Center. Taiwan.
Schoch, T. J. 1969. Starch in Food. Di dalam. C. H. W. Schultz. Ed. Symposium
on Food: Carbohydrates and Their Rollse. The AVI Pub. Co., Inc.,
London.

79

Smith, O. B. 1981. Extrusion Cooking of Cereal and Fortified Food. Makalah


pada Proceeding Extruder Technology. Eight ASEAN Workshop, 14-25
Januari 1980, Bangkok, 16-20 November 1987.
SNI. 2000. Makanan Ekstrudat. Dewan Standarisasi Nasional, Jakarta.
Soekarto, S. T. 1990. Penelitian Organoleptik. Angkasa Bhatara Karya. Jakarta.
Subandi, S. Saenong, Zubachtirodin, dan F. Kasim. 2003. Perkembangan
penelitian Jagung di Indonesia. Makalah Lokakarya Bioteknologi Dalam
Pemuliaan Tanaman. Hotel Horison. 16 Juli 2003. Bandung. di dalam
Ismail, A., Firmansyah, D. A., dan D. Ruswandi (2004). Uji Daya Hasil
Pendahuluan Hibrida-Hibrida Silang Tunggal DMR x QPM di
Jatinangor .
Suprapto. 1992. Bertanam Jagung. Cetakan ke-8. Penebar Swadaya, Jakarta
Suprapto. 1998. Bertanam Kacang Hijau. Cetakan ke-13. Penebar Swadaya,
Jakarta
Thirumaran, A.S. dan M.A. Sralthan. 1987. Utilization of Mungbean. Di dala.
Mungbean Preceeding of The Second International Symposium, 16-20
Nov. 1987. Bankok, Thailand.
Tribelhorn, R.E. 1991. Breakfast Cereal. Di dalam : K.J. Lorenz dan K.Pulp (eds).
Handbook of Cereal Science and Technology. Marcel Dekker Inc. New
York, Basel, Hongkong. Hal : 259-285.
Vail, E.G., J.A. Philip, L.O. Rist, R.M. Grisworld dan M.M. Justin. 1978. Foods.
Hougton Miffihn Company. Boston.
Wang, S. W. 1997. Starches and starch derivates in expanded snacks. Cereals
Food World 42 : 743 745.
Wang, S. S. 1993. Gelatinization and melting of starch and tribochemistry in
extrusion. Starch 45 : 388 390.
Wang, S. S. Chiang, W. C., Yeh, A. L., Zao, B., and Kim, I. H. 1989. Kinetics of
phase transition of waxy corn starch at extrusion temperatures and
moisture contents. J Food Sci. 54:1298-1301.
Walpole, Ronald E. 1995. Pengantar Statistika. Edisi Ke-3. PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Warisno, M.A. 1998. Direct Extrusion of Convenience Foods. Cereal Food
World. 22(4) : 152
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia, Jakarta.

80

Whistler, R.L. dan Daniel, J.R 1984. Molecular strukture of starch. In R.L.
Whistler, J.N. BeMiller dan E.F. Paschall (eds). Starch Chemistry and
Technology. Academic Press, Orlando, F.L.
White, P. J and Lawrence, A. J. 2003. Corn : Chemistry and Technology. 2nd
edition. American Associaion of Cereal Chemists, Inc. St. Paul,
Minnesoata, USA.
Wooton, M.D., Weeden and N. Munk. 1971. A rapid method for Estimation of
Starch Gelatinisation in Processed Food. J. Food Tech. December. P:
612-615.

81

82

Lampiran 1. Worksheet uji organoleptik


WORKSHEET
Hari/tanggal
Jenis pengujian
Sampel

: Selasa/24 Juli 2006


: Uji Hedonik (Rating Test)
: Snack (Produk ekstrusi)
Identifikasi Sampel

Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 100 : 0, suhu 60


Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 50 : 50, suhu 60
Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 100 : 0, suhu 62.5
Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 75 : 25, suhu 62.5
Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 100 : 0, suhu 65
Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 50 : 50, suhu 65
Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 75 : 25, suhu 67.5
Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau =100 : 0, suhu 70
Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 50 : 50, suhu 70
Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 0 : 100, suhu 60
Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 25 : 75, suhu 62.5
Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 0 : 100, suhu 65
Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 25 : 75, suhu 67.5
Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 0 : 100, suhu 70

Kode
Sampel
862
245
458
396
522
498
298
665
635
223
398
183
765
138

83

Lampiran 2. Form Penilaian Uji organoleptik 1

Produk Ekstrusi
Nama panelis : __________________
Sampel

Tanggal: Jumat, 28 Juli 2006

: snack (1)

HP

Instruksi:
1. Ambil sampel yang telah disediakan dan cicipilah sampel mulai dari sebelah kiri ke
kanan. Netralkan dengan menggunakan air minum yang disediakan setiap kali Anda
akan mencicipi sampel yang lain.
2. Nilailah setiap sampel yang disediakan (jangan membandingkan antar sampel).
Berilah tanda checklist (9) pada pernyataan yang sesuai dengan penilaian saudara.
1. TEKSTUR
Penilaian

862

245

458

Kode sampel
396
522

498

298

458

Kode sampel
396
522

498

298

Sangat suka
Suka
Agak suka
Netral
Agak tidak suka
Tidak suka
Sangat tidak suka

Komentar:

2. KELENGKETAN DI MULUT
Penilaian

862

245

Sangat suka
Suka
Agak suka
Netral
Agak tidak suka
Tidak suka
Sangat tidak suka

Komentar:

84

Lampiran 3. Form Penilaian Uji organoleptik 2

Produk Ekstrusi
Nama panelis : __________________
Sampel

Tanggal: Jumat, 28 Juli 2006

: snack (2)

HP

Instruksi:
3. Ambil sampel yang telah disediakan dan cicipilah sampel mulai dari sebelah kiri ke
kanan. Netralkan dengan menggunakan air minum yang disediakan setiap kali Anda
akan mencicipi sampel yang lain.
4. Nilailah setiap sampel yang disediakan (jangan membandingkan antar sampel).
Berilah tanda checklist (9) pada pernyataan yang sesuai dengan penilaian saudara.
1. TEKSTUR
Penilaian

665

635

223

Kode sampel
398
183

765

138

223

Kode sampel
398
183

765

138

Sangat suka
Suka
Agak suka
Netral
Agak tidak suka
Tidak suka
Sangat tidak suka

Komentar:

2. KELENGKETAN DI MULUT
Penilaian

665

635

Sangat suka
Suka
Agak suka
Netral
Agak tidak suka
Tidak suka
Sangat tidak suka

Komentar:

85

No

Nama Panelis

1 Eko
2 Zulkipli
3 Alik
4 Ghadi
5 Nani
6 Murhadina
7 Zikrina
8 Dian Kresna
9 Heru
10 Dhenok
11 Egis
12 Inggrid
13 Farah S
14 Iqbal
15 Adjeng
16 Tina
17 Adrinal
18 Irene
19 Didin
20 Maria
21 Anita
22 Shinta
23 Irwan
24 Samsul
25 Nanda
26 Dadik
27 Manto
28 Randy
29 Dora
30 Eva
31 Ely Fahmi
32 Beta
Rata-rata
Pembulatan

Kode
862
4
6
6
2
2
6
5
6
6
3
5
6
6
6
6
6
6
5
5
6
5
6
5
4
3
6
6
6
6
5
2
4
3.03
3

Kode
245
7
7
6
7
5
5
6
6
7
3
3
7
6
6
3
6
6
5
6
6
6
7
5
5
5
7
3
7
7
4
3
4
5.5
6

Kode
458
6
5
3
5
2
3
4
7
4
4
6
6
6
3
5
6
5
4
5
6
5
5
4
4
5
6
7
5
5
5
3
4
4.78
5

Kode
396
5
6
6
6
2
3
2
6
6
4
5
7
6
3
6
6
6
5
6
6
6
6
3
5
5
5
5
5
6
6
6
4
5.13
5

Kode
522
3
5
6
2
3
2
3
5
2
4
3
3
3
2
5
6
3
3
3
7
2
4
3
6
5
5
2
6
3
3
1
4
3.66
4

Kode
498
6
6
7
6
3
2
7
5
6
4
4
5
6
5
5
6
6
3
5
3
5
5
5
6
5
6
4
6
4
6
5
7
5.13
5

Kode
298
6
6
6
5
6
2
1
6
7
3
3
3
5
5
6
3
2
4
5
2
2
4
5
6
6
6
3
5
4
5
5
5
4.44
4

Kode
665
5
4
1
2
1
1
1
5
3
5
2
1
6
6
6
2
2
2
3
2
3
2
5
3
5
2
4
5
2
3
2
7
3.22
3

Kode
635
6
6
7
2
2
5
7
6
7
3
3
6
6
5
4
2
5
5
4
3
6
6
3
6
5
4
5
6
3
6
6
7
4.91
5

Kode Kode Kode Kode Kode


223
398
183
765
138
5
6
6
6
6
7
7
7
7
5
7
3
7
3
2
7
7
7
2
6
6
4
6
6
6
7
6
6
6
6
5
7
6
6
7
7
5.81
6

6
6
6
5
5
5
6
4
6
5
2
7
6
2
5
6
5
5
7
7
5
5
5
5
5
2
6
5
5
6
7
5.25
5

6
6
7
6
3
7
3
6
6
6
4
6
5
3
6
6
3
5
7
7
5
5
5
6
6
2
6
3
5
7
7
5.34
5

7
7
3
7
6
6
5
7
3
6
5
6
6
4
6
6
4
6
7
7
6
5
4
6
6
1
7
4
6
6
7
5.56
6

5
2
1
1
3
2
3
1
5
6
1
5
3
3
5
5
4
5
2
5
3
3
3
5
3
2
6
4
3
5
7
3.66
4

Lampiran 4. Hasil Penilaian Tekstur Uji Organoleptik

Hasil Penilaian Tekstur

86

No

Nama Panelis

1 Eko
2 Zulkipli
3 Alik
4 Gadhi
5 Nani
6 Murhadina
7 Zikrina
8 Dian Kresna
9 Heru
10 Dhenok
11 Egis
12 Inggrid
13 Farah
14 Iqbal
15 Adjeng
16 Tina
17 Adrinal
18 Irene
19 Didin
20 Maria
21 Anita
22 Shinta
23 Irwan
24 Samsul
25 Nanda
26 Dadik
27 Manto
28 Randy
29 Dora
30 Eva
31 Ely Fahmi
32 Beta
Rata-rata
Pembulatan

Kode
862
3
5
5
3
2
5
3
6
5
3
2
6
3
6
6
3
3
4
5
6
5
4
3
3
5
5
2
5
6
4
2
3
4.36
4

Kode
245
4
5
6
6
3
6
6
5
7
3
5
5
6
6
6
3
5
5
6
7
4
6
5
5
5
7
4
4
5
3
5
3
5.36
5

Kode
458
3
6
3
4
2
3
2
6
6
3
5
7
5
5
3
3
5
3
5
6
4
4
3
3
2
6
6
5
4
5
3
1
4.36
4

Kode
396
4
5
6
6
2
5
4
5
6
4
3
5
6
3
7
5
6
5
6
6
5
5
4
5
3
3
6
4
6
6
6
1
5.09
5

Kode
522
5
6
3
6
5
3
5
6
2
4
6
6
3
2
3
3
3
3
5
6
4
3
5
5
3
2
3
4
5
3
2
1
4.16
4

Kode
498
5
5
7
2
5
1
7
5
5
5
3
5
5
5
6
6
6
3
5
3
6
3
6
6
3
5
6
5
4
5
5
3
5.02
5

Kode
298
5
4
7
6
6
2
1
6
5
5
5
6
5
2
5
6
2
4
5
2
3
5
5
6
2
4
2
4
4
3
4
1
4.39
4

Kode
665
5
3
1
2
1
1
2
3
2
5
6
6
2
5
2
3
2
2
3
2
4
4
3
4
3
1
2
6
2
3
5
3
3.26
3

Kode
635
6
5
7
5
2
6
6
4
5
4
6
5
2
3
3
5
3
5
5
6
6
4
5
5
3
3
3
5
4
6
5
3
4.82
5

Kode Kode Kode Kode Kode


223
398
183
765
138
6
6
6
5
5
6
7
6
7
6
7
6
6
4
6
6
6
6
6
6
6
4
6
7
6
7
5
5
5
6
5
6
4
6
7
3
6.15
6

5
6
5
5
5
5
5
2
5
6
2
5
6
5
6
5
5
5
3
6
3
3
4
3
5
3
6
4
5
3
2
4.79
5

6
6
2
3
3
3
5
3
6
2
4
5
5
6
6
3
3
3
3
6
3
5
4
5
7
5
5
1
5
6
5
4.66
4

6
7
2
3
6
2
5
3
4
4
5
6
6
6
5
6
4
5
2
5
6
5
4
3
3
6
6
1
6
4
3
4.79
5

4
2
1
1
2
1
6
2
5
6
4
5
3
3
5
5
4
5
2
5
3
3
3
2
3
4
5
2
3
5
3
3.73
4

Lampiran 5. Hasil Penilaian Kelengketan Uji Organoleptik

Nilai Kelengketan di Mulut

87

Lampiran 6. Prosedur Penilaian Uji Organoleptik

Prosedur:
1. Setiap sampel diberi kode sesuai dengan nomor panelis.
2. Sampel diletakkan sesuai dengan urutan yang telah ditentukan.
3. Sampel, scoresheet, air penetral disiapkan di dalam booth dan disajikan
kepada panelis.
4. Panelis diminta untuk mencicipi sampel dari kiri ke kanan, boleh mengulang,
dan panelis diminta untuk menilai setiap sampel yang disajikan (tidak boleh
membandingkan antar sampel), rentang: amat sangat tidak suka amat
sangat suka.

88

Lampiran 7. Hasil Analisis Sidik Ragam Untuk Tekstur


Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Skor tekstur
Type III
Sum of
Source
Squares
df
Corrected
427.339(a)
44
Model
Intercept
10404.645
1

Mean
Square
9.712
10404.645

FORMULA
255.199
13
19.631
PANELIS
172.141
31
5.553
Error
743.016
403
1.844
Total
11575.000
448
Corrected
1170.355
447
Total
a R Squared = .365 (Adjusted R Squared = .296)

F
5.268
5643.31
6
10.647
3.012

Sig.
.000
.000
.000
.000

Skor tekstur
Duncan
Formul
a

Subset
1
3.22
3.66
3.72

8
32
5
32
14
32
7
32
4.44
3
32
4.78
4.78
9
32
4.91
4.91
1
32
5.03
5.03
6
32
5.12
5.12
5.12
4
32
5.13
5.13
5.13
11
32
5.25
5.25
12
32
5.34
5.34
2
32
5.50
5.50
13
32
5.56
5.56
10
32
5.81
Sig.
.166
.077
.051
.082
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum
of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.844.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 32.000.
b Alpha = .05.

89

Lampiran 8. Hasil Analisis Sidik Ragam Untuk Kelengketan

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: Skor Kelengketan
Type III
Sum of
Source
Squares
df
Corrected
338.732(a)
44
Model
Intercept
8522.580
1

Mean
Square
7.698
8522.580

FORMULA
178.170
13
13.705
PANELIS
160.562
31
5.179
Error
714.688
403
1.773
Total
9576.000
448
Corrected
1053.420
447
Total
a R Squared = .322 (Adjusted R Squared = .247)

Sig.

4.341

.000

4805.73
7
7.728
2.921

.000
.000
.000

Skor Kelengketan
Duncan
Formula

Subset
1
3.06
3.56

8
32
14
32
3.56
5
32
3.91
3.91
1
32
4.09
4.09
4.09
3
32
4.09
4.09
4.09
7
32
4.13
4.13
4.13
12
32
4.37
4.37
4.37
11
32
4.50
4.50
4.50
13
32
4.50
4.50
4.50
9
32
4.53
4.53
4.53
6
32
4.72
4.72
4
32
4.78
4.78
2
32
5.03
10
32
5.78
Sig.
.134
.136
.113
.083
.091
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum
of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.773.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 32.000.
b Alpha = .05.

90

Intercept
FORMULA
Error
Total
Corrected Total

Type III Sum


of Squares
3551927.384(
a)
126441750.0
36
3551927.384
125258.700
130118936.1
20
3677186.084

df

Mean Square

13

273225.183

13

126441750.03
6
273225.183

14

8947.050

Sig.

30.538

.000

14132.228

.000

30.538

.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III
Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 8947.050.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
b Alpha = .05.

28
27

FORMU
LA

N
2

1
1608.9500

7
10

1759.2500

1759.2500

1818.0000

1818.0000

1818.0000

11

1868.1000

1868.1000

1868.1000

14

1886.1500

1886.1500

1886.1500

1886.1500

2024.0000

2024.0000

2024.0000

2034.8000

2034.8000

2034.8000

2086.9500

2086.9500

2086.9500

2103.9000

2103.9000

2103.9000

2258.8500

2258.8500

2281.0500

2281.0500

13

12

Sig.

Subset
3

Lampiran 9. Hasil Analisis Sidik Ragam Untuk Kekerasan

Source
Corrected Model

2315.3500
2828.8500
2876.3000
.053

.236

.056

.054

.055

.078

.057

.624

91

Lampiran 10. Hasil Analisis Sidik Ragam Untuk Derajat Pengembangan


Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: DERAJAT PENGEMBANGAN
Source
Corrected Model

Type III Sum


of Squares
71681.878(a)

Intercept

13

Mean Square
5513.991

F
29.819

Sig.
.000

5957689.517

5957689.517

32217.970

.000

71681.878

13

5513.991

29.819

.000

Error

2588.855

14

184.918

Total

6031960.250

28

74270.733

27

FORMULA

Corrected Total

df

a R Squared = .965 (Adjusted R Squared = .933)


DERAJAT PENGEMBANGAN
Duncan
FORMULA

Subset

1
375.1000

14

380.0000

391.3500

420.6500

442.1500

473.8000

473.8000

11

474.8000

474.8000

13

480.0000

480.0000

480.0000

12

495.0000

495.0000

502.8500

502.8500

502.8500

506.9000

506.9000

10

Sig.

442.1500
456.7500

456.7500

527.8500
530.6500
.276

.136

.301

.136

.072

.088

.079

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = 184.918.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
b Alpha = .05.

92

Study Type
Initial Design
Design Model

Combined
Runs
15
D-optimal
Point Exchange
Quadratic x Quadratic

Mixture Components
Process Factors C

AB

Component
A
B
C

Units
Persen
Persen

Response
Y1
Y2
Y3
Y4

Name
A
B
Suhu

Blocks No Blocks

Type
Low Actual
High Actual
Mixture 0.000
100.00
Mixture 0.000
100.00
Numeric 60.00
70.00
L_Pseudo Coding
Total = 100.00

Name
Skor Tekstur
Skor Kelengketan
teksturNewton
derajat pengembanganpersent

UnitsObs Analysis
15
Polynomial
15
Polynomial
15
Polynomial
15
Polynomial

Low Coded
0.000
0.000
-1.000

Minimum Maximum Mean


3.20
5.80
4.75
3.10
5.80
4.30
1523.70
2953.60 2091.56
367.30
541.00 458.70

High Coded
1.000
1.000
1.000

Std. Dev.
0.79
0.65
357.02
55.45

Mean Std. Dev.


50.000 38.730
50.000 38.730
65.167 3.704

Lampiran 11. Ringkasan Rancangan Penelitian software DX 7

Design Summary

Ratio Trans Model


1.81 None Quadratic x Cubic
1.87 None Cubic x Linear
1.94 None Quadratic x Quadratic
1.47 None Linear x Linear

93

Lampiran 12. Hasil Analisis Respon Skor Tekstur dengan software DX 7

Response
1
Skor Tekstur
*** Mixture Component Coding is Real. ***
Mixture
Process

Transform:

None

Mix
Linear
Cubic

Process

Components A B
Factors
C

Suggested Model[s]
Quadratic
Quadratic
Order Abbreviations in Fit Summary Table
M = Mean L = Linear Q = Quadratic C = Cubic

Combined Model Mixture Process Fit Summary Table


Sequential p-value
Summary Statistics
Mix
Process
Mix
Process Lack of Fit Adjusted
Order
Order
R-Squared
M
M
M
L
0.0083
0.3819
M
Q
0.5812
0.3479
M
C
0.3057
0.3562
M
M
L
M
0.3154
0.0064
L
L
0.1475
0.0108
0.4843
L
Q
0.1585
0.3600
0.4977
L
C
0.2019
0.3399
0.5255
L
M
Q
M
0.0800
0.1751
Q
L
0.0023
0.0005
0.8365
Q
Q
0.0174
0.3954
0.8454
C
0.0075
0.0343
0.9767
Q
Q
M
C
M
0.5283
0.1335
C
L
0.1387
0.0008
0.8804
C
Q
* 0.2208
* 0.4092
0.8910
C
C
* 0.7198
* 0.1478
0.9678
* The combined model is aliased

Predicted
R-Squared
0.2509
0.1410
0.0815
-0.3083
0.1711
-0.3274
-0.6384
-0.1790
0.6520 Suggested
-1.7977
Suggested
-0.2236
0.6750
-1.3705

Aliased
Aliased

"Mixture Process Combined Model Table": Prob>F values are for Mix, Process.
Select the highest order polynomial where the additional terms are significant for
both Mixture and Process and the model is not aliased.
"Lack of Fit Tests": Want the selected model to have insignificant lack-of-fit.
"Model Summary Statistics": Focus on the model maximizing the "Adjusted R-Squared"
and the "Predicted R-Squared".

94

Lampiran 13. Hasil Anova Respon Skor Tekstur dengan software DX 7


Use your mouse to right click on individual cells for definitions.
Response
1
Skor Tekstur
ANOVA for Combined Quadratic x Cubic Model
*** Mixture Component Coding is Real. ***
Mixture
Components
AB
Process
Factors
C
Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III]
Sum of
Mean
F
Source
Squares
df Square
Value
Model
9.29
11
0.84
54.31
Linear Mixture
0.72
1
0.72
46.45
AB
4.877E-003 1 4.877E-003
0.31
AC
0.18 1
0.18
11.46
BC
0.068 1
0.068
4.39
ABC
4.881E-003 14.881E-003
0.31
AC2
0.18 1
0.18
11.59
BC2
0.069 1
0.069
4.46
ABC2
4.862E-003 14.862E-003
0.31
0.18 1
0.18
11.67
AC3
BC3
0.071 1
0.071
4.55
3
ABC
4.811E-003 14.811E-003
0.31
Residual
0.047 3
0.016
Lack of Fit
0.047 2
0.023
Pure Error
0.000 1
0.000
Cor Total
9.34 14

p-value
Prob > F
0.0036 significant
0.0065
0.6146
0.0429
0.1270
0.6144
0.0423
0.1250
0.6151
0.0419
0.1228
0.6169

The Model F-value of 54.31 implies the model is significant. There is only
a 0.36% chance that a "Model F-Value" this large could occur due to noise.
Values of "Prob > F" less than 0.0500 indicate model terms are significant.
In this case Linear Mixture Components, AC, AC2, AC3 are significant model terms.
Values greater than 0.1000 indicate the model terms are not significant.
If there are many insignificant model terms (not counting those required to support hierarchy),
model reduction may improve your model.
Std. Dev.
0.12
R-Squared
Mean
4.75
Adj R-Squared
C.V. %
2.63
Pred R-Squared
PRESS
N/A
Adeq Precision
Case(s) with leverage of 1.0000: Pred R-Squared and PRESS statistic not defined

0.9950
0.9767
N/A
23.369

"Adeq Precision" measures the signal to noise ratio. A ratio greater than 4 is desirable. Your
ratio of 23.369 indicates an adequate signal. This model can be used to navigate the design space.

95

Lampiran 14. Hasil Pemodelan Matematika Respon Skor Tekstur dengan software DX 7

Coefficients in Terms of Real Components and Actual Factors:


Coefficient
Standard
95% CI
Component Estimate
df
Error
Low
High
A-A
-3097.39
1
922.32 -6032.63
-162.14
B-B
3588.40
1
1721.13 -1889.02
9065.82
AB
3665.34
1
6545.85 -17166.49 24497.18
AC
145.10
1
42.86
8.71
281.49
BC
-167.16
1
79.74 -420.94
86.62
ABC
-170.04
1
303.52 -1135.98
795.90
AC2
-2.26
1
0.66
-4.36
-0.15
2
BC
2.60
1
1.23
-1.31
6.51
ABC2
2.62
1
4.68
-12.28
17.52
AC3
0.012
1 3.409E-003 7.990E-004
0.022
BC3
-0.013
1 6.303E-003
-0.033 6.621E-003
ABC3
-0.013
1
0.024
-0.090
0.063

95% CI
VIF
3.282E+008
1.143E+009
9.040E+008
2.964E+009
1.067E+010
8.235E+009
3.001E+009
1.118E+010
8.400E+009
3.404E+008
1.312E+009
9.590E+008

Final Equation in Terms of Real Components and Actual Factors:


Skor Tekstur
-3097.39
+3588.40
+3665.34
+145.10
-167.16
-170.04
-2.26
+2.60
+2.62
+0.012
-0.013
-0.013

=
*A
*B
*A*B
*A*C
*B*C
*A*B*C
* A * C2
* B * C2
* A * B * C2
* A * C3
* B * C3
* A * B * C3

Final Equation in Terms of Actual Components and Actual Factors:


Skor Tekstur
=
-30.97388
*A
+35.88400
*B
+0.36653
*A*B
+1.45099
* A * Suhu
-1.67155
* B * Suhu
-0.017004
* A * B * Suhu
-0.022554
* A * Suhu2
+0.025971
* B * Suhu2
+2.61803E-004
* A * B * Suhu2
+1.16472E-004
* A * Suhu3
-1.34395E-004
* B * Suhu3
-1.33671E-006
* A * B * Suhu3

96

Lampiran 15. Hasil Analisis Respon Skor Kelengketan dengan software DX 7

Response
2
Skor Kelengketan
*** Mixture Component Coding is Real. ***

Transform:

Mixture

Components A B

Process

Factors

Mix
Linear

Process

Cubic

Suggested Model[s]

None

Order Abbreviations in Fit Summary Table


M = Mean L = Linear Q = Quadratic C = Cubic
Combined Model Mixture Process Fit Summary Table
Sequential p-value
Summary Statistics
Mix
Process
Mix Process Lack of Fit Adjusted
Order
Order
R-Squared
M
M
M
L
0.0058
0.4130
M
Q
0.8927
0.3651
M
C
0.3818
0.3560
M
M
L
M
0.3255
0.0032
L
L
0.0354 0.0019
0.6222
L
Q
0.0962 0.7470
0.5672
L
C
0.1965 0.5549
0.5297
L
M
Q
M
0.1078
0.1372
Q
L
0.0030 0.0001
0.8731
Q
Q
0.0127 0.3935
0.8802
Q
C
0.0255 0.1630
0.9473
Q
M
C
M
0.7762
0.0660
C
L
0.0147 < 0.0001
0.9511
C
Q
* 0.0029 * 0.0231
0.9903
C
C
* 0.1127 * 0.8672
0.9832
* The combined model is aliased

Predicted
R-Squared
0.2151
0.0432
0.0055
-0.3163
0.2760
-0.1395
-0.3846
-0.2401
0.6666
-1.6926
-0.3194
0.8155 Suggested
0.5008 Aliased
Aliased

"Mixture Process Combined Model Table": Prob>F values are for Mix, Process.
Select the highest order polynomial where the additional terms are significant for
both Mixture and Process and the model is not aliased.
"Lack of Fit Tests": Want the selected model to have insignificant lack-of-fit.
"Model Summary Statistics": Focus on the model maximizing the "Adjusted R-Squared"
and the "Predicted R-Squared".

97

Lampiran 16. Hasil Anova Respon Skor Kelengketan dengan software DX 7


Response
2
Skor Kelengketan
ANOVA for Combined Cubic x Linear Model
*** Mixture Component Coding is Real. ***
Mixture
Components
AB
Process
Factors
C
Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III]
Sum of
Mean
F
Source
Squares
df
Square
Model
6.13
7
0.88
Linear Mixture
0.47
1
0.47
AB
0.48
1
0.48
AC
0.61
1
0.61
BC
3.48
1
3.48
ABC
0.55
1
0.55
AB(A-B)
0.25
1
0.25
ABC(A-B)
0.24
1
0.24
Residual
0.15
7
0.022
Lack of Fit
0.15
6
0.026
Pure Error
0.000
1
0.000
Cor Total
6.28
14

p-value
Value
Prob > F
39.92 < 0.0001significant
21.30 0.0024
21.73 0.0023
27.73 0.0012
158.96 < 0.0001
25.18 0.0015
11.43 0.0118
10.82 0.0133

The Model F-value of 39.92 implies the model is significant. There is only
a 0.01% chance that a "Model F-Value" this large could occur due to noise.
Values of "Prob > F" less than 0.0500 indicate model terms are significant.
In this case Linear Mixture Components, AB, AC, BC, ABC, AB(A-B), ABC(A-B) are
significant
model terms.
Values greater than 0.1000 indicate the model terms are not significant.
If there are many insignificant model terms (not counting those required to support hierarchy),
model reduction may improve your model.
Std. Dev.
Mean
C.V. %
PRESS

0.15
4.30
3.44
1.16

R-Squared
Adj R-Squared
Pred R-Squared
Adeq Precision

0.9756
0.9511
0.8155
23.072

The "Pred R-Squared" of 0.8155 is in reasonable agreement with the "Adj R-Squared" of 0.9511.
"Adeq Precision" measures the signal to noise ratio. A ratio greater than 4 is desirable. Your
ratio of 23.072 indicates an adequate signal. This model can be used to navigate the design space.
.

98

Lampiran 17. Hasil Pemodelan Matematika Respon Skor Kelengketan dengan software DX 7
Coefficients in Terms of Real Components and Actual Factors:
Coefficient
Standard
95% CI
95% CI
Component Estimate
df
Error
Low
A-A
10.56
1
1.29
7.51
B-B
19.17
1
1.18
16.37
AB
-28.44
1
6.10
-42.87
AC
-0.11
1
0.020
-0.15
BC
-0.22
1
0.018
-0.27
ABC
0.47
1
0.094
0.25
AB(A-B)
71.23
1
21.07
21.40
ABC(A-B)
-1.07
1
0.32
-1.83

High
13.60
21.96
-14.02
-0.058
-0.18
0.69
121.05
-0.30

VIF
453.61
382.42
557.10
456.35
377.60
555.43
711.99
711.69

Final Equation in Terms of Real Components and Actual Factors:


Skor Kelengketan
=
+10.56
*A
+19.17
*B
-28.44
*A*B
-0.11
*A*C
-0.22
*B*C
+0.47
*A*B*C
+71.23 * A * B * (A-B)
-1.07 * A * B * C * (A-B)

Final Equation in Terms of Actual Components and Actual Factors:


Skor Kelengketan
+0.10559
+0.19169
-2.84430E-003
-1.05121E-003
-2.24562E-003
+4.69564E-005
+7.12268E-005
-1.06517E-006

=
*A
*B
*A*B
* A * Suhu
* B * Suhu
* A * B * Suhu
* A * B * (A-B)
* A * B * Suhu * (A-B)

The Diagnostics Case Statistics Report has been moved to the Diagnostics Node.
In the Diagnostics Node, Select Case Statistics from the View Menu.

99

Lampiran 18. Hasil Anova Respon Skor Kekerasan dengan software DX 7

Response
3
(Kekerasan) tekstur
ANOVA for Combined Quadratic x Quadratic Model
*** Mixture Component Coding is Real. ***
Mixture
Components A B
Process
Factors
C
Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III]
Sum of
Mean
F
Source
Squares
df Square
Value
Model
1.524E+006
8
1.905E+005
2.95
Linier Mixture
6264.72
1
6264.72
AB
6.789E+005
1 6.789E+005
AC
23705.37
1
23705.37
BC
5.876E+005
1 5.876E+005
ABC
6.959E+005
1 6.959E+005
2
AC
21475.53
1
21475.53
BC2
5.866E+005
1 5.866E+005
ABC2
7.133E+005
1 7.133E+005
Residual
3.881E+005
6
64679.18
Lack of Fit
3.881E+005
5
77615.01
Pure Error
0.000
1
0.000
Cor Total
1.912E+006
14

p-value
Prob > F
0.1026 not significant
0.097
0.7662
10.50
0.0177
0.37
0.5671
9.09
0.0236
10.76
0.0168
0.33
0.5854
9.07
0.0237
11.03
0.0160

The "Model F-value" of 2.95 implies the model is not significant relative to the noise. There is a
10.26 % chance that a "Model F-value" this large could occur due to noise.
Values of "Prob > F" less than 0.0500 indicate model terms are significant.
In this case AB, BC, ABC, BC2, ABC2 are significant model terms.
Values greater than 0.1000 indicate the model terms are not significant.
If there are many insignificant model terms (not counting those required to support hierarchy),
model reduction may improve your model.
Std. Dev.
Mean
C.V. %
PRESS

254.32
2091.56
12.16
1.085E+007

R-Squared
Adj R-Squared
Pred R-Squared
Adeq Precision

0.7970
0.5264
-4.6768
5.873

A negative "Pred R-Squared" implies that the overall mean is a better predictor of your
response than the current model.
"Adeq Precision" measures the signal to noise ratio. A ratio greater than 4 is desirable. Your
ratio of 5.873 indicates an adequate signal. This model can be used to navigate the design space.

100

Lampiran 19. Hasil Anova Respon Derajat Pengembangan dengan software DX 7


Use your mouse to right click on individual cells for definitions.
Response
4
derajat pengembangan
ANOVA for Combined Linier x Linier Model
*** Mixture Component Coding is Real. ***
Mixture
Components A B
Process
Factors
C
Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III]
Sum of
Mean
F
Source
Squares
df
Square
Value
Model
28697.59
3
9565.86
6.04
Linier Mixture 1088.34
1
1088.34
0.69
AC
5519.48
1
5519.48
3.49
BC
25766.67
1 25766.67
16.27
Residual
17417.65
11
1583.42
Lack of Fit
17417.65
10
1741.76
Pure Error
0.000
1
0.000
Cor Total
46115.23
14

p-value
Prob > F
0.0110
0.4247
0.0888
0.0020

significant

The Model F-value of 6.04 implies the model is significant. There is only
a 1.10% chance that a "Model F-Value" this large could occur due to noise.
Values of "Prob > F" less than 0.0500 indicate model terms are significant.
In this case BC are significant model terms.
Values greater than 0.1000 indicate the model terms are not significant.
If there are many insignificant model terms (not counting those required to support hierarchy),
model reduction may improve your model.
Std. Dev.
Mean
C.V. %
PRESS

39.79
458.70
8.68
34381.89

R-Squared
Adj R-Squared
Pred R-Squared
Adeq Precision

0.6223
0.5193
0.2544
8.365

The "Pred R-Squared" of 0.2544 is not as close to the "Adj R-Squared" of 0.5193 as one might
normally expect. This may indicate a large block effect or a possible problem with your model
and/or data. Things to consider are model reduction, response tranformation, outliers, etc.
"Adeq Precision" measures the signal to noise ratio. A ratio greater than 4 is desirable. Your
ratio of 8.365 indicates an adequate signal. This model can be used to navigate the design space.

Coefficients in Terms of Real Components and Actual Factors:


Coefficient
Standard
95% CI
Component Estimate
df
Error
Low
A-A
-119.75
1
302.54
-785.64
B-B
1601.33
1
281.17
982.49
AC
8.73
1
4.68
-1.56
BC
-17.19
1
4.26
-26.57

95% CI
High
546.14
2220.17
19.02
-7.81

VIF
346.84
299.56
346.67
299.25

101

Lampiran 20. Hasil Analisis Respon Derajat Pengembangan dengan software DX 7

Response 4 derajat pengembangan Transform:


*** Mixture Component Coding is Real. ***
Mixture
Process

Components
Factors C

Suggested Model[s]

None

AB

Mix
Process
Linier Linier

Order Abbreviations in Fit Summary Table


M = Mean L = Linier Q = Quadratic C = Cubic
Combined Model Mixture Process Fit Summary Table
Sequential p-value
Mix
Process Mix
Process Lack of Fit
Adjusted
Order
Order
R-Squared
M
M
M
L
0.2575
0.0280
M
Q
0.6572
-0.0352
M
C
0.7904
-0.1217
M
M
L
M
0.5846
-0.0515
L
L
0.0083
0.0054
0.5193
L
Q
0.0348
0.7671
0.4461
L
C
0.0410
0.2781
0.5060
L
M
Q
M
0.0725
0.1390
Q
L
0.1163
0.0127
0.6358
Q
Q
0.2221
0.6378
0.5799
Q
C
0.1732
0.1955
0.7899
Q
M
C
M
0.5647
0.0899
C
L
0.0831
0.0066
0.7699
C
Q
* 0.1360
* 0.4871
0.7676
C
C
* 0.7077
* 0.6201
0.7118
* The combined model is aliased

Summary Statistics
Predicted
R-Squared
-0.3139
-0.5900
-0.7642
-0.3605
0.2544
-0.2466
-0.7239

Suggested

-0.2208
0.4070
-7.3162
-0.3041
0.3463
-6.1484

Aliased
Aliased

"Mixture Process Combined Model Table": Prob>F values are for Mix, Process.
Select the highest order polynomial where the additional terms are significant for
both Mixture and Process and the model is not aliased.
"Lack of Fit Tests": Want the selected model to have insignificant lack-of-fit.
"Model Summary Statistics": Focus on the model maximizing the "Adjusted R-Squared"
and the "Predicted R-Squared".

102

Lampiran 21. Hasil Pemodelan Matematika Respon Derajat Pengembangan dengan software DX 7
Final Equation in Terms of Real Components and Actual Factors:
derajat pengembangan
-119.75
*A
+1601.33 * B
+8.73
*A*C
-17.19
*B*C

Final Equation in Terms of Actual Components and Actual Factors:


derajat pengembangan =
-1.19748
*A
+16.01328 * B
+0.087309 * A * Suhu
-0.17190
* B * Suhu
The Diagnostics Case Statistics Report has been moved to the Diagnostics Node.
In the Diagnostics Node, Select Case Statistics from the View Menu.
Proceed to Diagnostic Plots (the next icon in progression). Be sure to look at the:
1) Normal probability plot of the studentized residuals to check for normality of residuals.
2) Studentized residuals versus predicted values to check for constant error.
3) Externally Studentized Residuals to look for outliers, i.e., influential values.
4) Box-Cox plot for power transformations.
If all the model statistics and diagnostic plots are OK, finish up with the Model Graphs icon.

103

Name
Goal
A
is target = 50.000
B
is in range
Suhu
is in range
Skor Tekstur
maximize
Skor Kelengketan
maximize
derajat pengembangan maximize

Solutions
Number
A
1 50.000

Lower
Limit
50
0
60
3.2
3.1
367.3

Upper
Limit
100
50
70
5.8
5.8
541

Lower
Weight
1
1
1
1
1
1

Upper
Weight
1
1
1
1
1
1

B
Suhu Skor Tekstur Skor Kelengketan derajat pengembangan
50.000 60.00 5.52505
4.90638
487.028

Importance
5
3
3
5
5
5

Desirability
0.801
Selected

Lampiran 22. Hasil Dan Ringkasan Proses Optimasi Dengan Menggunakan software DX 7

PROSES OPTIMASI

104

Lampiran 23

Gambar 14. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 100 : 0, dengan suhu
pemanas 60 C

Gambar 15. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 50 : 50, dengan suhu
pemanas 60C

105

Lampiran 24

Gambar 16. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 100 : 0, dengan suhu
pemanas 62.5 C

Gambar 17. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 75 : 25, dengan suhu
pemanas 67.5 C

106

Lampiran 25

Gambar 18. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 100 : 0, dengan suhu
pemanas 65 C

Gambar 19. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 50 : 50, dengan suhu
pemanas 65 C

107

Lampiran 26

Gambar 20. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 75 : 25, dengan suhu
pemanas 67.5 C

Gambar 21. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 100 : 0, dengan suhu
pemanas 70 C

108

Lampiran 27

Gambar 22. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 50 : 50, dengan suhu
pemanas 70 C

Gambar 23. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 0 : 100, dengan suhu
pemanas 60 C

109

Lampiran 28

Gambar 24. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 25 : 75, dengan suhu
pemanas 62.5 C

Gambar 25. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 0 : 100, dengan suhu
pemanas 65 C

110

Lampiran 29

Gambar 26. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 25 : 75, dengan suhu
pemanas 67.5 C

Gambar 27. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 0 : 100, dengan suhu
pemanas 70 C

111

Anda mungkin juga menyukai