Anda di halaman 1dari 4

Sumber Daya Manusia di Indonesia pada saat ini terlihat kurang siap untuk menghadapi

Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015. Kurangnya beberapa faktor yang dapat terjadi
dilingkungan masyarakat Indonesia seperti pengetahuan yang kurang dan tidak adanya
persiapan, sehingga dalam masyarakat tidak ada pengembangan dan pembekalan yang akan
dipersiapkan untuk acara akbar ASEAN. Itu dapat menghambat persaingan masyarakat
Indonesia dalam mengoptimalkan kesempatan yang luas untuk menjadi pemain inti di MEA.
Namun masyarakat Indonesia pada saat ini di dalam domestik di negeri sendiri masih banyak
kasus-kasus SDM Indonesia sebagai penonton. Seperti di PT.FREEPORT Indonesia tidak
menjadi pemain inti di rumahnya sendiri, tentu saja ini jadi pertimbangan dan pembelajaran
kualitas SDM Indonesia untuk menghadapi MEA. Tujuan dari penulisan karya ilmiah ini
adalah : (1) Untuk mengkaji dan menjelaskan seberapa siapnya Indonesia dalam menghadapi
MEA, (2) Untuk mengkaji dan menjelaskan peluang Indonesia di MEA. Maka dari itu
perlunya Pengetahuan, Pengembangan, dan Persaingan yang unggul untuk menjadi Pemain
inti di ASEAN, yang harus dipersiapkan dalam kurun waktu kurang dari 2 tahun.
Pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 bukanlah sebuah proyek
mercusuar tanpa roadmap yang jelas. MEA 2015 adalah proyek yang telah lama disiapkan
seluruh anggota ASEAN dengan visi yang kuat.
MEA 2015 hanyalah salah satu pilar dari 10 visi mewujudkan ASEAN Community.
Kesepuluh pilar visi ASEAN Community tersebut adalah outward looking, economic
integration, harmonious environment, prosperity, caring societies, common regional identity,
living in peace, stability, democratic, dan shared cultural heritage (Kementerian Luar Negeri,
2014). Dengan kata lain, keliru bila ada anggapan bahwa MEA 2015 adalah ambisi Indonesia
dari pemerintah yang tidak jelas arahnya. Sejak dulu Indonesia memang sangat aktif
memperjuangkan ASEAN sebagai masyarakat yang satu. Ini antara lain dapat diidentifikasi
dari pidato Presiden Soeharto pada pembukaan Sidang Umum MPR, 16 Agustus 1966 yang
mengatakan, Indonesia perlu memperluas kerja sama Maphilindo untuk menciptakan Asia
Tenggara menjadi kawasan yang memiliki kerja sama multisektor seperti ekonomi, teknologi,
dan budaya.
Dengan terintegrasinya kawasan Asia Tenggara, kawasan ini akan mampu menghadapi
tantangan dan intervensi dari luar, baik secara ekonomi maupun militer. Dapat dikatakan
bahwa Indonesia adalah inisiator dari terbentuk integrasi kawasan ASEAN. Hanya,
perjalanan setiap negara dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi ASEAN yang
terintegrasi ini berbeda- beda. Ada negara yang dengan cepat bisa mempersiapkan diri,
namun ada juga negara yang terlambat. Karakteristik, ukuran ekonomi, dan permasalahan
yang dihadapi setiap negara yang berbeda juga turut memengaruhi kecepatan setiap negara
dalam mempersiapkan diri menghadap MEA 2015. Singapura adalah negara ASEAN yang
dapat dikatakan paling siap menghadapi MEA 2015. Meski tidak yang paling tertinggal,
Indonesia masih perlu kerja ekstra untuk menghadapi MEA 2015 ini. Ini mengingat dalam
beberapa hal strategis, Indonesia relatif tertinggal.

Bukan bermaksud untuk mencari alasan di balik ketertinggalan tersebut, ukuran ekonomi
Indonesia yang besar bisa jadi memang salah satu penyebabnya. Indonesia negara terbesar di
ASEAN, baik dari segi kewilayahan, jumlah penduduk, maupun ukuran ekonominya.
Sayangnya, dalam kualitas, terutama daya saing, Indonesia tertinggal cukup jauh dibanding
Singapura, Malaysia, dan Thailand. Beberapa studi mengonfirmasikan terkait ketertinggalan
Indonesia ini. Studi Bank Dunia (2013) menyebutkan, daya saing produk ekspor Indonesia
relatif tertinggal dibanding negara-negara ASEAN lain, terutama kaitannya dengan nilai
tambah produk ekspor kita. Komposisi ekspor kita terbesar didominasi komoditas (resource
based) dan barang primer (primary product). Kondisi ini menyebabkan ekspor Indonesia
rentan dengan gejolak harga. Hal ini pula yang saat ini kita rasakan, ekspor kita melemah
akibat pelemahan perekonomian dunia yang menyebabkan harga komoditas dunia juga ikut
menurun. Berbeda dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand, sebagian besar ekspornya
didominasi oleh produk-produk yang telah disentuh teknologi (medium and high tech
product).
Kondisi infrastruktur kita juga relatif tertinggal. Infrastruktur logistik indonesia misalnya
berdasarkan Logistics Performance Index (LPI) 2012 yang dikeluarkan Bank Dunia,
Indonesia hanya menduduki peringkat ke-59 atau jauh di bawah Singapura yang berada di
puncak di antara 155 negara yang disurvei. Posisi dan daya saing industri logistik Indonesia
bahkan kalah dibanding Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina dan hanya unggul
terhadap Myanmar dan Kamboja. Indonesia pasar ekonomi yang besar. Kelas menengah
Indonesia semakin bertambah. PDB per kapita Indonesia sudah mendekati USD5.000, yang
berarti daya beli masyarakat kita yang cukup tinggi. Tingginya daya beli ini akan menjadi
bumerang bagi neraca ekonomi kita bila daya saing dan kesiapan infrastruktur kita tidak
segera dibenahi dalam menghadapi MEA 2015 ini. Ekspor kita menjadi kurang bersaing
karena nilai tambahnya rendah. Di sisi lain, Indonesia akan menjadi pasar barang dan jasa
impor yang empuk, sementara nilai tambah dari barang dan jasa impor tersebut bagi kita
sangat kecil. Saat ini dampak dari rendahnya daya saing kita tersebut sudah terasa. Sejak
2012 neraca perdagangan kita telah defisit. Sementara neraca jasa kita sejak dulu tidak
mengalami perbaikan, dalam arti selalu defisit.
Tingginya pertumbuhan ekonomi yang dialami Indonesia dalam satu dekade ini
menyebabkan demand masyarakat kita meningkat. Sayangnya, karena lemah struktur industri
kita, demand masyarakat tersebut tidak bisa dipenuhi industri domestik, melainkan harus
diimpor. Ketika ekspor booming, kita juga tidak bisa memaksimalkan nilai tambahnya.
Ekspor komoditas dan barang primer harus diangkut melalui pelabuhan dan menggunakan
kapal. Sayangnya, karena ketidaksiapan infrastruktur pelabuhan dan kapal kita, terpaksa
ekspor tersebut harus dilakukan di pelabuhan negara tetangga dan diangkut dengan kapal
berbendera asing. Tidak hanya itu, asuransi angkutannya pun harus dengan perusahaan
asuransi asing sehingga neraca jasa kita mengalami defisit. Indonesia negara dengan
penduduk yang besar. Kebutuhan energinya juga besar seiring pertumbuhan ekonominya
yang tinggi. Pada 2012 kebutuhan minyak kita mencapai 73 juta ton, terbesar kelima di Asia.
Sayangnya, karena kapasitas infrastruktur kilang minyak yang tidak cukup, setiap tahun

impor BBM kita terus meningkat. Indonesia kini telah menjadi importir premium (gasoline)
terbesar di dunia. Sekitar 30 persen kebutuhan BBM domestik harus dipenuhi dari impor.
Negara yang memiliki infrastruktur kilang minyak diuntungkan dengan posisi Indonesia ini.
Salah satunya Singapura karena memiliki kilang minyak dengan kapasitas yang besar
sehingga
bisa
mengekspor
BBM-nya,
termasuk
ke
Indonesia.
Sepertinya Indonesia harus memiliki kebijakan yang agak revolusioner untuk mengubah
kondisi yang akut ini. Kebijakan fiskal kita harus berubah, dari yang terlalu costly ke
operasional dan subsidi BBM untuk dialihkan ke anggaran investasi, infrastruktur, dan
penguatan industri manufaktur. Tanpa langkah-langkah seperti ini, rasanya sulit kita bisa
mengejar ketertinggalan daya saing kita. Di sisi lain, kebijakan sektoral juga harus
memperlihatkan kesungguhannya untuk memperkuat daya saing industri nasional kita. MEA
2015 tinggal sebentar lagi.
Sebenarnya sudah terlambat cukup jauh untuk mengatasi ketertinggalan dalam menghadapi
MEA 2015. Namun, lebih baik terlambat dibanding kita melakukan perubahan. Mudahmudahan, momentum Pemilu 2014 ini bisa menghasilkan pemerintahan baru yang serius
dalam mengejar ketertinggalan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
https://ikbalumhar.wordpress.com/2014/07/11/siap-tidak-siap-harus-siap-indonesia-menujuasean-economic-community-aec-2015/
http://journal.unnes.ac.id/artikel_sju/pdf/edaj/1651/1556

Anda mungkin juga menyukai