Anda di halaman 1dari 16

Pajak Daerah dan Ruang Lingkupnya

Menurut Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 dan terakhir diubah
dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009, yang dimaksud dengan Pajak Daerah adalah
Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Jenis-jenis Pajak Daerah, menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
perubahan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 dan Undang-undang Nomor 18 Tahun
1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah dibagi menjadi dua jenis pajak daerah, yaitu
Pajak Propinsi dan Pajak Kabupaten atau Kota (Siahaan, 2013).
Pajak Propinsi terdiri dari :
1. Pajak kendaraan bermotor
2. Bea balik nama kendaraan bermotor
3. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor
4. Pajak air permukaan
5. Pajak rokok
Sedangkan Pajak Kabupaten atau Kota terdiri dari :
1. Pajak Hotel
2. Pajak Restoran
3. Pajak Hiburan
4. Pajak Reklame
5. Pajak Penerangan Jalan
6. Pajak Mineral bukan Logam dan Batuan
7. Pajak Parkir
8. Pajak Air Tanah
9. Pajak Sarang Burung Walet
10. Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan
11. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Retribusi Daerah dan Ruang Lingkupnya.
Menurut Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 dan terakhir diubah
dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009, yang dimaksud dengan Retribusi Daerah,
yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa
atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah
Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.
Perbedaan utama retribusi dari pajak adalah pada retribusi terdapat kontra-prestasi
langsung. Hal tersebut berarti pihak pembayar retribusi melakukan pembayaran karena
ditujukan untuk memperoleh prestasi tertentu dari pemerintah misalnya untuk mendapatkan
izin atas usaha tertentu. Pungutan atas retribusi diberikan atas pembayaran berupa jasa atau
pemberian izin tertentu yang diberikan oleh pemerintah kepada orang pribadi atau badan.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang perubahan Undang-undang


Nomor 34 Tahun 2000 dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang pajak daerah dan
retribusi daerah. Retribusi Daerah dibagi menjadi tiga golongan yaitu : Retribusi Jasa Umum,
Retribusi Jasa Usaha, Retribusi Perizinan Tertentu (Siahaan, 2013).
1. Retribusi Jasa Umum, retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh
pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat
dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Objek pendapatan yang termasuk dalam
kategori retribusi jasa umum untuk Pemerintah Kabupaten/Kota adalah sebagai
berikut :
Retribusi pelayanan kesehatan
Retribusi pelayanan kebersihan
Retribusi penggantian beban cetak KTP dan beban cetak akta catatan sipil
Retribusi pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat
Retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum
Retribusi pelayanan pasar
Retribusi pengujian kendaraan bermotor
Retribusi pemeriksaan alat pemadam
Retribusi penggantian beban cetak peta
Retribusi penyediaan dan atau penyedotan kakus
Retribusi pengolahan limbah cair
Retribusi pelayanan tera/tera ulang
Retribusi pelayanan pendidikan
Retribusi pengendalian menara telekomunikasi
2. Retribusi Jasa Usaha, adalah retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah
daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula
disediakan oleh sektor swasta. Retribusi Jasa usaha untuk Pemerintah Kabupaten/Kota
meliputi :
Retribusi pemakaian kekayaan daerah
Retribusi jasa usaha pasar grosir atau pertokoan
Retribusi jasa usaha tempat pelelangan
Retribusi jasa usaha terminal
Retribusi jasa usaha tempat khusus parkir
Retribusi jasa usaha tempat penginapan/pesanggrahan/villa
Retribusi jasa usaha rumah potong hewan
Retribusi jasa usaha pelayanan kepelabuhan
Retribusi jasa usaha tempat rekreasi dan olahraga
Retribusi penyeberangan di air
3. Retribusi jasa usaha penjualan produksi usaha daerah.
Retribusi Perizinan Tertentu, yaitu retribusi atas kegiatan tertentu oleh
Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau
badan yang dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan atas kegiatan
pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana
atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga
kelestarian lingkungan.

Jenis retribusi perizinan tertentu untuk Pemerintah Kabupaten/Kota yaitu sebagai berikut :
1. Retribusi izin mendirikan bangunan
2. Retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol

3. Retribusi izin gangguan


4. Retribusi izin trayek
5. Retribusi izin usaha perikanan
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Prinsip
dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi daerah di tentukan sebagai berikut :
1. Tarif retribusi jasa umum ditetapkan berdasarkan kebijakan daerah dengan
mempertimbangkan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan
masyarakat, dan aspek keadilan;
2. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 153, prinsip dan sasaran
dalam penetapan tarif retribusi jasa usaha didasarkan pada tujuan untuk memperoleh
keuntungan yang layak; dan
3. Tarif retribusi perizinan tertentu diterapkan berdasarkan pada tujuan untuk menutup
sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
Reformasi Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah 2009
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia akhirnya mengesahkan Rancangan
Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (RUU PDRD) menjadi Undang-undang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) Nomor 28 Tahun 2009, sebagai pengganti
dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 dan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000.
Dalam pendapat akhir pemerintah, Menteri Keuangan menyatakan bahwa penyelesaian
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 merupakan langkah yang strategis dan fundamental
dalam memantapkan kebijakan desentralisasi fiskal, khususnya dalam rangka membangun
hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang lebih ideal. Undang-undang
yang baru ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2010 mempunyai tujuan sebagai berikut
(Siahaan, 2013) :
1. Memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam perpajakan dan
retribusi sejalan dengan semakin besarnya tanggung jawab daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
2. Meningkatkan akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan dan penyelenggaraan
dan sekaligus memperkuat otonomi daerah.
3. Memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan daerah dan
sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.
Ada beberapa prinsip pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah yang dipergunakan dalam
penyusunan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 ini, yaitu :
1. Pemberian kewenangan pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah tidak terlalu
membebani rakyat dan relatif netral terhadap fiskal nasional
2. Jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah hanya ditetapkan dalam
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009
3. Pemberian kewenangan kepada daerah untuk menetapkan tarif pajak daerah dalam
batas tarif minimum dan maksimum yang ditetapkan dalam undang-undang
4. Pemerintah daerah dapat tidak memungut jenis pajak dan retribusi yang tercantum
dalam undang-undang sesuai kebijakan pemerintah daerah
5. Pengawasan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dilakukan secara preventif
dan korektif. Rancangan Peraturan Daerah yang mengatur pajak dan retribusi harus
mendapat persetujuan pemerintah sebelum ditetapkan menjadi peraturan daerah.
Materi yang diatur dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 ini, antara lain :
1. Penambahan Jenis Pajak Daerah
Terdapat penambahan 4 (empat) jenis pajak daerah, yaitu : 1 jenis pajak provinsi dan
3 jenis pajak kabupaten/kota. Jenis pajak provinsi yang baru adalah Pajak Rokok,

sedangkan 3 jenis pajak kabupaten/kota yang baru adalah PBB Pedesaan dan
Perkotaan, BPHTB, dan Pajak Sarang Burung Walet. Sebagai catatan, untuk
kabupaten/kota ada penambahan 1 jenis pajak yaitu Pajak Air Tanah yang sebelumnya
merupakan pajak provinsi, yaitu Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah
Tanah dan Air Permukaan.
2. Penambahan Jenis Retribusi Daerah
Terdapat penambahan 4 jenis retribusi daerah, yaitu Retribusi Tera/Tera Ulang;
Retribusi Pengendalian Tower Telekomunikasi; Retribusi Pelayanan Pendidikan; dan
Retribusi Izin Usaha Perikanan.
3. Perluasan Basis Pajak Daerah
Perluasan basis pajak daerah, antara lain adalah :
PKB dan BBNKB, termasuk kendaraan pemerintah,
Pajak Hotel, mencakup seluruh persewaan di hotel, dan
Pajak restoran, termasuk jasa katering/jasa boga
4. Perluasan Basis Retribusi Daerah
Perluasan Basis Pajak Daerah dilakukan dengan mengoptimalkan pengenaan Retribusi
Izin Gangguan, sehingga mencakup berbagai retribusi yang berkaitan dengan lingkungan
yang selama ini dipungut, seperti Retribusi Izin Pembuangan Limbah Cair, Retribusi
AMDAL, serta Retribusi Pemeriksanan Kesehatan dan Keselamatan Kerja.
5. Kenaikan Tarif Maksimum Pajak Daerah
Untuk memberi ruang gerak bagi daerah mengatur sistem perpajakan dalam
rangka peningkatan pendapatan dan peningkatan kualitas pelayanan,
penghematan energi, dan pelestarian/perbaikan lingkungan, tarif maksimum
beberapa jenis pajak daerah dinaikkan, antara lain :
Tarif maksimum Pajak Kendaraan Bermotor, dinaikkan dari 5% menjadi 10%
khusus untuk kendaraan pribadi dapat dikenakan tarif progresif
Tarif maksimum Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, dinaikkan dari 10%
menjadi 20%
Tarif maksimum Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, dinaikkan dari 5%
menjadi 10%. Khusus untuk kendaraan angkutan umum. Tarif dapat
ditetapkan lebih rendah.
Tarif maksimum Pajak Parkir, dinaikkan dari 20% menjadi 30%
Tarif maksimum Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (sebelumnya Pajak
Pengambilan Bahan Galian Golongan C), dinaikkan dari 20% menjadi 25%
Bagi Hasil Pajak Provinsi
Dalam rangka pemerataan pembangunan dan peningkatan kemampuan keuangan
kabupaten/kota dalam membiayai fungsi pelayanan kepada masyarakat, pajak propinsi
dibagihasilkan kepada kabupaten/kota dengan proporsi sebagai berikut :
1. Pajak Kendaraan Bermotor, 70% untuk propinsi dan 30% untuk kabupaten/kota
2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, 70% untuk propinsi dan 30% untuk
kabupaten/kota
3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, 30% untuk propinsi dan 70% untuk
kabupaten/kota
4. Pajak Air Permukaan, 50% untuk propinsi dan 50% untuk kabupaten/kota
5. Pajak Rokok, 30% untuk propinsi dan 70% untuk kabupaten/kota
6. Pengalokasian Pajak
Untuk meningkatkan kualitas pelayanan secara bertahap dan terus-menerus dan sekaligus
menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih, penerimaan beberapa jenis pajak daerah
wajib dialokasikan untuk mendanai pembangunan sarana dan prasaranan secara langsung

dapat dinikmati oleh pembayar pajak dan seluruh masyarakat. Pengaturan pengalokasian
pajak tersebut adalah :
1. 10% dari penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor wajib dialokasikan untuk
pemeliharaan dan pembangunan jalan, serta pengingkatan sarana transportasi umum
2. 50% dari penerimaan Pajak Rokok dialokasikan untuk mendanai pelayanan kesehatan
dan penegakan hukum
3. Sebagian penerimaan Pajak Penerangan Jalan digunakan untuk penyedian penerangan
jalan
Pokok-Pokok Pengaturan Undang-Undang No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah
Pada tanggal 18 Agustus 2009, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah
menyetujui dan mengesahkan Rancangan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah (RUU PDRD) menjadi Undang-undang, sebagai pengganti dari Undang-undang
Nomor 18 Tahun 1997 dan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000. Pengesahan Undangundang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) ini sangat strategis dan mendasar
di bidang desentralisasi fiskal, karena terdapat perubahan kebijakan yang cukup fundamental
dalam penataan kembali hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah. Undang-undang yang
baru ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2010.
UU PDRD ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam perpajakan dan
retribusi sejalan dengan semakin besarnya tanggung jawab Daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
2. Meningkatkan akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan dan
penyelenggaraan pemerintahan dan sekaligus memperkuat otonomi daerah.
3. Memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan daerah dan
sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.
Ada beberapa prinsip pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah yang dipergunakan dalam
penyusunan UU ini, yaitu:
1. Pemberian kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah tidak terlalu
membebani rakyat dan relatif netral terhadap fiskal nasional.
2. Jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah hanya yang ditetapkan
dalam Undang-undang (Closed-List).
3. Pemberian kewenangan kepada daerah untuk menetapkan tarif pajak daerah dalam
batas tarif minimum dan maksimum yang ditetapkan dalam Undang-undang.
4. Pemerintah daerah dapat tidak memungut jenis pajak dan retribusi yang tercantum
dalam undang-undang sesuai kebijakan pemerintahan daerah.
5. Pengawasan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dilakukan secara
preventif dan korektif. Rancangan Peraturan Daerah yang mengatur pajak dan

retribusi harus mendapat persetujuan Pemerintah sebelum ditetapkan menjadi Perda.


Pelanggaran terhadap aturan tersebut dikenakan sanksi.
Materi yang diatur dalam UU PDRD yang disahkan hari ini adalah sebagai berikut:
1. Penambahan jenis pajak daerah
Terdapat penambahan 4 jenis pajak daerah, yaitu 1 jenis pajak provinsi dan 3 jenis pajak
kabupaten/kota. Dengan tambahan tersebut, secara keseluruhan terdapat 16 jenis pajak
daerah, yaitu 5 jenis pajak provinsi dan 11 jenis pajak kabupaten/kota.
Jenis pajak provinsi yang baru adalah Pajak Rokok, sedangkan 3 jenis pajak kabupaten/kota
yang baru adalah PBB Perdesaan dan Perkotaan, BPHTB, dan Pajak Sarang Burung Walet.
Sebagai catatan, untuk kabupaten/kota ada penambahan 1 jenis pajak yaitu Pajak Air Tanah
yang sebelumnya merupakan pajak provinsi.
a. Pajak Rokok
Pajak Rokok dikenakan atas cukai rokok yang ditetapkan oleh Pemerintah. Hasil penerimaan
Pajak Rokok tersebut sebesar 70% dibagihasilkan kepada kabupaten/kota di provinsi yang
bersangkutan. Walaupun pajak ini merupakan jenis pajak baru, namun diperkirakan
pengenaan Pajak Rokok tidak terlalu membebani masyarakat karena rokok bukan merupakan
barang kebutuhan pokok dan bahkan pada tingkat tertentu konsumsinya perlu dikendalikan.
Di pihak lain, pengenaan pajak ini tidak terlalu berdampak pada industri rokok karena beban
Pajak Rokok akan disesuaikan dengan kebijakan strategis di bidang cukai nasional dan
besarannya disesuaikan dengan daya pikul industri rokok mengikuti natural growth
(pertumbuhan alamiah) dari industri tersebut.
Selain itu, penerimaan Pajak Rokok dialokasikan minimal 50% untuk mendanai pelayanan
kesehatan (pembangunan/pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan
kesehatan, penyediaan sarana umum yang memadai bagi perokok (smoking area), kegiatan
memasyarakatkan tentang bahaya merokok, dan iklan layanan masyarakat mengenai bahaya
merokok) serta penegakan hukum (pemberantasan peredaran rokok ilegal dan penegakan
aturan mengenai larangan merokok).
b. PBB Perdesaan dan Perkotaan
Selama ini PBB merupakan pajak pusat, namun hampir seluruh penerimaannya diserahkan
kepada daerah. Untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, khusus PBB
sektor perdesaan dan perkotaan dialihkan menjadi pajak daerah. Sedangkan PBB sektor
perkebunan, perhutanan, dan pertambangan masih merupakan pajak pusat. Dengan
dijadikannya PBB Perdesaan dan Perkotaan menjadi pajak daerah, maka penerimaan jenis
pajak ini akan diperhitungkan sebagai pendapatan asli daerah (PAD).
c. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Selama ini BPHTB merupakan pajak pusat, namun seluruh hasilnya diserahkan kepada
daerah. Untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, BPHTB dialihkan
menjadi pajak daerah. Penetapan BPHTB sebagai pajak daerah akan meningkatkan PAD.
d. Pajak Sarang Burung Walet
Pajak Sarang Burung Walet merupakan jenis pajak daerah baru, yang dapat dipungut oleh
daerah untuk memperoleh manfaat ekonomis dari keberadaan dan perkembangan sarang

burung walet di wilayahnya. Bagi daerah yang memiliki potensi sarang burung walet yang
besar akan dapat meningkatkan PAD.
2. Penambahan Jenis Retribusi Daerah
Terdapat penambahan 4 jenis retribusi daerah, yaitu Retribusi Tera/ Tera Ulang, Retribusi
Pengendalian Menara Telekomunikasi, Retribusi Pelayanan Pendidikan, dan Retribusi Izin
Usaha Perikanan. Dengan penambahan ini, secara keseluruhan terdapat 30 jenis retribusi
yang dapat dipungut oleh daerah yang dikelompokkan ke dalam 3 golongan retribusi, yaitu
retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu.
a. Retribusi Tera/Tera Ulang
Pengenaan Retribusi Tera/Tera Ulang dimaksudkan untuk membiayai fungsi pengendalian
terhadap penggunaan alat ukur, takar, timbang, dan perlengkapannya oleh masyarakat.
Dengan pengendalian tersebut, alat ukur, takar, dan timbang akan berfungsi dengan baik,
sehingga penggunaannya tidak merugikan masyarakat.
b. Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi
Pengenaan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi ditujukan untuk meningkatkan
pelayanan dan pengendalian daerah terhadap pembangunan dan pemeliharaan menara
telekomunikasi. Dengan pengendalian ini, keberadaan menara telekomunikasi akan
memenuhi aspek tata ruang, keamanan dan keselamatan, keindahan dan sekaligus
memberikan kepastian bagi pengusaha.
Untuk menjamin agar pungutan daerah tidak berlebihan, tarif retribusi pengendalian menara
telekomunikasi dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak melampaui 2% dari Nilai Jual
Objek Pajak PBB menara telekomunikasi.
c. Retribusi Pelayanan Pendidikan
Pengenaan retribusi pelayanan pendidikan dimaksudkan agar pelayanan pendidikan, di luar
pendidikan dasar dan menengah, seperti pendidikan dan pelatihan untuk keahlian khusus
yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah dapat dikenakan pungutan dan hasilnya
digunakan untuk membiayai kesinambungan dan peningkatan kualitas pendidikan dan
pelatihan dimaksud.
d. Retribusi Izin Usaha Perikanan
Pengenaan Retribusi Izin Usaha Perikanan tidak akan memberikan beban tambahan bagi
masyarakat, karena selama ini jenis retribusi tersebut telah dipungut oleh sejumlah daerah
sesuai dengan kewenangannya. Sebagaimana halnya dengan jenis retribusi lainnya,
pemungutan Retribusi Izin Usaha Perikanan dimaksudkan agar pelayanan dan pengendalian
kegiatan di bidang perikanan dapat terlaksana secara terus menerus dengan kualitas yang
lebih baik.
3. Perluasan Basis Pajak Daerah
Perluasan basis pajak daerah, antara lain adalah:
1. PKB dan BBNKB, termasuk kendaraan pemerintah
2. Pajak Hotel, mencakup seluruh persewaan di hotel, dan
3. Pajak Restoran, termasuk katering/jasa boga.

4. Perluasan Basis Retribusi Daerah


Perluasan basis retribusi daerah dilakukan dengan mengoptimalkan pengenaan Retribusi Izin
Gangguan, sehingga mencakup berbagai retribusi yang berkaitan dengan lingkungan yang
selama ini telah dipungut, seperti Retribusi Izin Pembuangan Limbah Cair, Retribusi
AMDAL, serta Retribusi Pemeriksaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja.
5. Kenaikan Tarif Maksimum Pajak Daerah
Untuk memberi ruang gerak bagi daerah mengatur sistem perpajakannya dalam rangka
peningkatan pendapatan dan peningkatan kualitas pelayanan, penghematan energi, dan
pelestarian/perbaikan lingkungan, tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah dinaikkan,
antara lain:
1. Tarif maksimum Pajak Kendaraan Bermotor, dinaikkan dari 5% menjadi 10%. Khusus
untuk kendaraan pribadi dapat diterapkan tarif progresif.
2. Tarif maksimum Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, dinaikkan dari 10% menjadi
20%.
3. Tarif maksimum Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, dinaikkan dari 5% menjadi
10%. Khusus untuk kendaraan angkutan umum, tarif dapat ditetapkan lebih rendah.
4. Tarif maksimum Pajak Parkir, dinaikkan dari 20% menjadi 30%.
5. Tarif maksimum Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (sebelumnya Pajak
Pengambilan Bahan Galian Golongan C), dinaikkan dari 20% menjadi 25%.
6. Bagi Hasil Pajak Provinsi
Dalam rangka pemerataan pembangunan dan peningkatan kemampuan keuangan
kabupaten/kota dalam membiayai fungsi pelayanan kepada masyarakat, pajak provinsi
dibagihasilkan kepada kabupaten/kota, dengan proporsi sebagai berikut:
1. Pajak Kenderaan Bermotor: Provinsi 70%, Kab/Kot 30%.
2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor: Provinsi 70%, Kab/Kot 30%.
3. Pajak Bahan Bakar Kend. Bermotor: Provinsi 30%, Kab/Kot 70%.
4. Pajak Air Permukaan: Provinsi 50%, Kab/Kot 50%.
5. Pajak Rokok: Provinsi 30%, Kab/Kot 70%.
7. Earmarking
Untuk meningkatkan kualitas pelayanan secara bertahap dan terus menerus dan sekaligus
menciptakan good governance dan clean government, penerimaan beberapa jenis pajak
daerah wajib dialokasikan (di-earmark) untuk mendanai pembangunan sarana dan prasarana
yang secara langsung dapat dinikmati oleh pembayar pajak dan seluruh masyarakat.
Pengaturan earmarking tersebut adalah:

10% dari penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor wajib dialokasikan untuk


pemeliharaan dan pembangunan jalan, serta peningkatan sarana transportasi umum.

50% dari penerimaan pajak rokok dialokasikan untuk mendanai pelayanan kesehatan
dan penegakan hukum.

Sebagian penerimaan pajak penerangan jalan digunakan untuk penyediaan


penerangan jalan.

Dengan penetapan UU PDRD ini, diharapkan struktur APBD menjadi lebih baik, iklim
investasi di daerah menjadi lebih kondusif karena Perda-Perda pungutan daerah yang
membebani masyarakat secara berlebihan dapat dihindari, serta memberikan kepastian
hukum bagi semua pihak.
Teori Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Dasar Hukum Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Undang Undang No.21 Tahun 1997 yang telah diubah dengan Undang Undang N0. 20
Tahun 2000 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2001.
Pengertian Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB)
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan
hak atas tanah dan bangunan, yaitu perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan
diperolehnya hak atas tanah atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan tersebut meliputi
1. Pemindahan hak karena :
Jual Beli
Tukar Menukar
Hibah Wasiat
Penggabungan Usaha
Waris
Hibah
Pemasukan dalam perseroan / Badan hukum lain
Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan hak
Penunjukan pembeli dalam lelang
Peleburan Usaha
Pemekaran Usaha
Pemekaran Usaha
Pelaksanaan Putusan Hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap
2. Pemberian hak baru karena :
Kelanjutan Pelepasan Hak
Di luar pelepasan hak
Hak atas Tanah sebagai Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
1. Hak milik
2. Hak guna usaha
3. Hak guna bangunan
4. Hak pakai
5. Hak milik atas satuan rumah susun
6. Hak pengelolaan
Subjek Pajak BPHTB
Adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah atau bangunan.
Objek Pajak BPHTB

Yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah atau bangunan yang dapat berupa:
1. Tanah termasuk tanaman di atasnya
2. Tanah dan Bangunan
3. Bangunan
Objek Pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan
Objek Pajak yang tidak dikenakan BPHTB ditetapkan dalam Pasal 3 UU No.21 Tahun 1997
Jo UU No.20 Tahun 2000,Yaitu :
1. Objek Pajak yang diperoleh Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas
perlakuan timbal balik.
2. Objek pajak yang diperoleh negara untuk menyelenggarakan pemerintahan dan atau
untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum dan yang semata mata
tidak digunakan untuk mencari keuntungan.
3. Objek pajak yang diperoleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang
ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan dengan syarat tidak melakukan atau
menjalankan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan / perwakilan organisasi
tersebut.
4. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena
perbuatan hukum lain dengan tidak ada perubahan nama.
5. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi / badan karena wakaf.
6. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi / badan yang digunakan untuk kepentingan
ibadah.
Tarif BPHTB Pasal 5
Tarif BPHTB adalah sebesar 5 %
Dasar Pengenaan Pajak
Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak yang ditetapkan dalam Pasal 6
UU No.20 Tahun 2000.
Yang dimaksud Nilai Perolehan Objek Pajak adalah dalam hal :
Jual Beli adalah harga transaksi
1. Tukar Menukar adalah Nilai Pasar
2. Hibah adalah Nilai Pasar
3. Hibah Wasiat adalah Nilai Pasar
4. Waris adalah Nilai Pasar
5. Peralihan Hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum
adalah Nilai pasar.
Apabila Nilai Perolehan Objek Pajak tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual
Objek Pajak Yang digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan dasar
pengenaan pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan.
Apabila Nilai Jual Objek
Pajak Bumi dan Banguan belum ditetapkan, besarnya nilai jual Objek Pajak Bumi dan
Bangunan ditetapkan oleh menteri.
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)
Nilai Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional setinggi tingginya
Rp.60.000.000, kecuali dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang
diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunuan
harus satu derajat ke atas dan ke bawah dengan pemberi hibah wasiat termasuk suami / istri,
maka nilai NPOPTKP ditetapkan secara regional setinggi- tingginya Rp.300.000.000.

Untuk BPHTB yang terutang dari waris, hibah waris sebesar 50% dari BPHTB yang
seharusnya terutang.
Surat ketetapan BPHTB Kurang Bayar
Ketentuan tentang surat ketetapan BPHTB kurang bayar ditetapkan dalam Pasal 11 UU
No.21 Tahun 1997 tentang BPHTB jo UU No.20 Tahun 2000 adalah sebagai berikut:
1. Dalam jangka waktu 5 tahun sesudah ayat terutang pajak, Dirjen Pajak dapat
menerbitkan surat ketetapan BPHTB kurang bayar apabila berdasarkan hasil
pemeriksaan atau keterangan lainnya ternyata jumlah pajak yang terutang kurang
bayar.
2. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam surat ketetapan BPHTB kurang bayar
ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan, jangka waktu
24 bulan, dihitung mulai saat terutanganya pajak sampai dengan diterbitkannya surat
ketetapan BPHTB kurang bayar.
Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
Dasar Pengenaan :
1. Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak.
2. Nilai Perolehan Objek Pajak di atas dalam hal :
Jual beli adalah harga transaksi;
Tukar- menukar adalah nilai pasar objek pajak tersebut;
Hibah adalah nilai pasar objek pajak tersebut;
Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar
objek pajak tersebut;
Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan hak adalah nilai pasar objek
pajak tersebut;
Penunjukkan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum
dalam risalah lelang
Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan
hukum tetap adalah nilai pasar objek pajak tersebut;
Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah
nilai pasar objek pajak tersebut;
Pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak adalah nilai pasar objek
pajak tersebut.
3. Apabila Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud diatas tidak diketahui atau
lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak yang digunakan dalam pengenaan Pajak
Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan pajak yang
dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan.
4. Apabila Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud diatas
belum ditetapkan, Menteri keuangan dapat menetapkan besarnya Nilai Jual Objek
Pajak Bumi dan Bangunan.
5. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional setinggitingginya Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).
6. Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak adalah Nilai Perolehan Pajak dikurangi
dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak.
7. Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak. BPHTB = 5% x NPOPKP
Saat Pajak Terhutang

Saat pajak terhutang dibedakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan, karena :
Jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum
lainnya, pemisahan hak yang menyebabkan peralihan hak, hadiah, peleburan usaha,
dan pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan penandatanganan akta;
Lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang;
Hibah Wasiat, Waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan
haknya ke Kantor Pertanahan (Peraturan Pemerintah Nomor 111 Tahun 2000);
Pemberian hak baru atas tanah sebagi kelanjutan pelepasan hak dan pemberian hak
baru diluar pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan
pemberian hak;
Putusan hakim sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum.
Tempat Pajak Terhutang.
Tempat pajak yang terhutang adalah di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II, atau
Kotamadya Daerah Tingkat II, atau Propinsi Daerah Tingkat I untuk Kotamadya
Admlnlstratif yang meliputil letak tanah dan atau bangunan .
Saat Pelunasan Pajak Terhutang
Pajak yang terhutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan
PBB
Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan
Undang Undang No.12 tahun 1985. Diperbaharui melalui Undang-Undang No.12 tahun
1994.
Pengertian Bumi dan Bangunan Menurut Ketentuan Umum UU No.12 Tahun 1994
Pasal 1
Bumi : adalah permukaan bumi (tanah dan perairan) dan tubuh bumi yang ada dibawahnya.
Contoh : Sawah, ladang, kebun, tanah, pekarangan, tambang.
Bangunan : adalah kontruksi teknik yang ditanamkan atau dilekatkan secara tetap pada
tanah / perairan diwilayah Republik Indonesia.
Contoh : Rumah tempat tinggal, bangunan, gedung, jalan tol, kolam renang, anjungan minyak
lepas pantai, pusat perbelanjaan.
Objek Pajak Bumi Dan Bangunan
Yang menjadi objek pajak adalah Bumi dan Bangunan (yang telah diatur oleh menteri
keuangan dan dituangkan dalam UU No.12 Tahun 1994 Pasal 27).
Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah objek pajak
yang:
1. Digunakan untuk melayani kepentingan umum yang tidak dimaksudkan untuk
memperoleh keuntungan.
2. Digunakan untuk pemakamam umum, peninggalan purbakala atau yang sejenis
dengan itu.
3. Objek pajak tersebut merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata,
taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah Negara
yang belum dibebani suatu hak.
4. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perwakilan
diplomatik.

Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh menteri
keuangan.
Subjek Pajak Bumi dan Bangunan
Yang menjadi subjek pajak adalah Orang atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak
atas bumi dan atau memperoleh manfaat atas bumi atau memiliki, menggunakan dan
memperoleh manfaat atas bangunan.
Dasar Pengenaan dan cara menghitung Pajak
Dasar pengenaan Pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
1. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) didasarkan pada :
Harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara
wajar.
Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis yang letaknya berdekatan
dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya.
Nilai Perolehan Baru.
Nilai Jual Objek Pajak Pengganti.
2. Dasar Penghitungan Pajak adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) :
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.25 tahun 2002 berlaku mulai 1 Januari 2003
besarnya NJKP yang ditetapkan adalah 20% dan 40 %.
Untuk Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak (NJOPKP) lebih besar atau sama
dengan Rp.1.000.000.000 (1 Milyar) maka NJKP nya sebesar 40% X NJOPKP
NJOPKP = NJOP NJOPTKP
Kecuali bagi wajib pajak pegawai negeri sipil, ABRI dan para pensiun
termasuk janda dan dudanya yang penghasilannya semata-mata berasal dari
gaji atas uang pensiun.
Untuk Objek Pajak lainya dan yang NJOPKP nya kurang dari
Rp.1.000.000.000 (1 Milyar) maka NJKP nya sebesar 20% x NJOPKP.

Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)


NJOPTKP adalah batas NJOP atas bumi dan / atau bangunan yang tidak kena pajak. Besarnya
NJOPTKP berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No.201 / KMK.04 / 2000 adalah
setinggi-tingginya Rp 12.000.000 dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Setiap Wajib Pajak memperoleh pengurang NJOPTKP sebanyak 1 kali tahun pajak.
2. Apabila Wajib Pajak mempunyai lebih dari satu Objek Pajak, maka yang mendapat
pengurang NJOPTKP hanya satu objek pajak yang nilainya terbesar dan tidak bisa
digabungkan objek pajak lainnya.
Tarif PBB
Tarif PBB Sebesar 0,5% dari NJKP
Pembagiaan hasil penerimaan PBB
Pembagiaan penerimaan PBB antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diatur dalam
peraturan pemerintah sebagai berikut:
1. Pemerintah Pusat = 10%
2. Pemerintah Daerah : = 90%
3. Biaya Pungutan : 10% x 90% = 9%
4. Pemerintah Daerah TK. I : 20% x (90% - 9%) = 16,2%
5. Penerintah Daerah TK.II : 80% x (90% - 9%) = 64.8%
Catatan :
Jika didalam kasus terdapat dua nilai yaitu nilai perolehan dan nilai jual, maka yang dipakai
sebagai dasar pengenaan pajak adalah nilai yang terbesar.
Penghitungan PBB
Faktor-faktor yang berhubungan dengan penghitungan PBB terhutang :
1. Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP )
2. NJOPTKP
3. Nilai Jual Kena Pajak (NJKP)
4. Tarif Pajak
Uraian masing-masing faktor adalah sebagai berikut :
1. Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) berdasarkan tabel yang dikeluarkan oleh Dirjen Pajak
2. Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) adalah NJOP yang tidak
dikenakan PBB yaitu Rp. 12.000.000,3. NJKP atau Nilai Jual Kena Pajak yang besarnya ditetapkan sebesar 20 % dan 40 %
(khusus untuk perumahan dengan NJOP Rp 1 miliar) dari NJOP.
4. Tarif pajak adalah sebesar 0,5 %.
5. Rumus untuk mengitung PBB adalah sebagai berikut : PBB = 0,5 % x NJKP. Atau
PBB = 0,5% X (20% atau 40% X ( NJOP-NJOPTKP))
Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP)
1. NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara
wajar. Apabila tidak terdapat transaksi secara wajar, NJOP ditentukan melalui
perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau
NJOP Pengganti.
2. Nilai jual sebagai DPP PBB dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok A dan
kelompok B (523/KMK.04/1998).
3. NJOP ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah
tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan daerahnya.
Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)

1. NJOPTKP adalah batas minimal NJOP yang menurut ketentuan UU tidak dikenakan
pajak
2. NJOPTKP ditetapkan setinggi-tingginya Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah)
untuk setiap wajib pajak.
3. Besarnya NJOPTKP untuk setiap daerah kabupaten/kota, ditetapkan oleh Kepala
Kanwil
4. Ditjen Pajak atas nama Menteri Keuangan berdasarkan pendapat Pemda setempat,
5. Apabila seorang wajib pajak memiliki beberapa objek pajak, maka yang diberikan
NJOPTKP hanya salah satu objek pajak yang mempunyai nilai jual paling besar,
6. Sedangkan objek pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi dengan
NJOPTKP,
NJKP atau Nilai Jual Kena Pajak
1. NJKP adalah nilai jual yang digunakan sebagai dasar penghitungan pajak, yaitu suatu
persentase tertentu dari nilai jual sebenarnya.
2. Besarnya NJKP ditetapkan sebesar :
Obyek pajak perkebunan, kehutanan dan pertambangan sebesar 40 % (empat
puluh persen) dari Nilai jual Objek Pajak;
Objek pajak lainnya : Sebesar 40 % ( empat puluh persen ) dari Nilai Jual
Objek Pajak apabila Nilai Jual Objek Pajaknya Rp 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah ) atau lebih;
Sebesar 20 % (dua puluh persen ) dari Nilai Jual Objek Pajak apabila Nilai
Jual Pajak Objeknya kurang dari Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Contoh Penghitungan PBB :
Pak Kasno terkenal sebagai tuan tanah, selain memiliki sawah yang luas juga memiliki
Rumah
mewah di Wilayah Madiun, data sawah dan rumah Kasno sbb :
- Luas sawah 5 Hektar ( 1 hektar = 10.000 m2),
- Untuk rumah, luas tanah adalah 500 m2 dan bangunan 200 m2,
- NJOP Sawah sebesar 10.000 per m2,
- NJOP tanah rumah sebesar 100.000 per m2 dan bangunan sebesar 1.000.000 per m2,
Pertanyaan : Hitunglah total PBB Pak Kasno?
Jawaban
1. Menentukan NJOP untuk seluruh tanah dan bangunan,
Sawah, luas = 5 ha X 10.000 M2 = 50.000 M2
NJOP sawah = Harga X luas = 10.000 x 50.000 = Rp. 500.000.000, Rumah, NJOP tanah = 100.000 X 500 = Rp. 50.000.000, NJOP bangunan = 1.000.000 X 200 = Rp. 200.000.000, NJOP rumah (tanah &bangunan) = 250.000.000
Total NJOP sawah dan rumah = 750.000.000
2. Menentukan NJOPTKP yaitu apabila seorang mempunyai lebih dari satu obyek maka
NJOPTKP hanya terhadap satu obyek saja yang terbesar (sawah) berupa pengurangan
NJOP yang tidak dikenakan pajak sebesar 12.000.000,-, sehingga NJOP sebagai dasar
penghitungan sbb :
NJOP Sawah = 500.000.000, NJOPTKP = 13.000.000, NJOP sebagai dasar penghitungan sawah = 487.000.000

NJOP sbg dasar penghitungan rumah (tetap) = 250.000.000


3. Menentukan NJKP (nilai jual kena pajak) yaitu 20% dari NJOP
NJKP Sawah = 20% X 487.000.000 = 97.400.000, NJKP Rumah = 20% X 250.000.000 = 50.000.000,4. Menentukan PBB (tarif X NJKP)
PBB sawah = 0,5% X 97.400.000 = 487.000
PBB Rumah = 0,5% X 50.000.000 = 250.000
Jadi Total PBB pak Kasno = 737.000,Saat dan Tempat PBB Terutang
Saat PBB Terutang, saat yang menentukan pajak bumi dan bangunan terutang adalah menurut
keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari. Tempat PBB Terutang
1. Untuk daerah Jakarta, PBB terutang di wilayah DKI Jakarta;
2. Untuk daerah lainnya, PBB terutang di wilayah Kabupaten Dati II atau Kotamadya
Dati II; yang meliputi letak objek pajak

Anda mungkin juga menyukai