oleh:
dr. Brilian Wulansari
dr. Ali Rohmad
Program Internsip Dokter Indonesia
Puskesmas Dlingo 1
9 Oktober 2015 - 9 Februari 2016
oleh:
dr. Brilian Wulansari
dr. Ali Rohmad
Telah disetujui pada tanggal Januari 2016
Pendamping
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gangguan jiwa masih menjadi masalah serius kesehatan mental di Indonesia
yang perlu mendapat perhatian lebih dari pemangku kebijakan kesehatan nasional.
Meskipun masih belum menjadi program prioritas utama kebijakan kesehatan nasional,
namun dari angka yang didapatkan dari beberapa riset nasional menunjukkan bahwa
penderita gangguan jiwa di Indonesia masih banyak dan cenderung mengalami
peningkatan. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 terdapat
0,46 persen dari total populasi Indonesia atau setara dengan 1. 093. 150 jiwa penduduk
Indonesia berisiko tinggi mengalami skizofrenia (Susanto,2013).
Persepsi masyarakat terhadap kesehatan mental berbeda di setiap kebudayaan.
Dalam suatu budaya tertentu, orang-orang secara sukarela mencari bantuan dari para
profesional untuk menangani gangguan jiwanya. Sebaliknya dalam kebudayaan yang
lain, gangguan jiwa cenderung diabaikan sehingga penanganan akan menjadi jelek, atau
di sisi lain masyarakat kurang antusias dalam mendapatkan bantuan untuk mengatasi
gangguan jiwanya. Bahkan gangguan jiwa dianggap memalukan atau membawa aib
bagi keluarga. Hal kedua inilah yang biasanya terjadi dikalangan masyarakat saat ini
(http://rsjlawang.com/artikel_080512a.html).
Hasil Survei Kesehatan Mental Rumah Tangga (SKMRT) tahun 1995
menunjukkan bahwa gejala gangguan kesehatan jiwa pada penduduk rumah tangga
dewasa di Indonesia yaitu 185 kasus per 1.000 penduduk. Hasil SKMRT juga
menyebutkan, gangguan mental emosional pada usia 15 tahun ke atas mencapai 140
kasus per 1.000 penduduk, sementara pada rentang usia 514 tahun ditemukan 104
kasus per 1.000 penduduk (Antara, 2008).
Berdasarkan Riskesdas tahun 2007 dan 2013, dinyatakan bahwa prevalensi
gangguan jiwa berat di Indonesia masing-masing sebesar 4,6 per mil dan 1,7 per mil.
Pada tahun 2007 Prevalensi tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta (20,3) dan
terendah terdapat di Provinsi Maluku (0,9). Sedangkan pada tahun 2013 prevalensi
tertinggi di Provinsi DI Aceh dan terendah di Provinsi Kalimantan Barat.
Masih banyak penderita gangguan jiwa berat yang tidak mendapat penanganan
secara medis atau yang drop out dari penanganan medis dikarenakan oleh faktor-faktor
seperti kekurangan biaya, rendahnya pengetahuan keluarga dan masyarakat sekitar
terkait dengan gejala gangguan jiwa dan sebagainya. Sehingga masih banyak penderita
gangguan jiwa yang dipasung oleh anggota keluarganya, agar tidak mencederai dirinya
dan/atau menyakiti orang lain di sekitarnya. Gangguan Jiwa merupakan salah satu
masalah kesehatan dan masih banyak ditemukan di masyarakat. Masalah gangguan jiwa
secara tidak langsung akan menurunkan produktivitas apalagi jika menderita gangguan
jiwa dimulai pada usia produktif selain itu juga menambah beban dari keluarga
penderita.
Pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa masih banyak terjadi, di mana
sekitar 20. 000 hingga 30. 000 penderita gangguan jiwa di seluruh Indonesia mendapat
perlakuan tidak manusiawi dengan cara dipasung (Purwoko, 2010). Pada tahun 2011
Menteri Kesehatan RI sudah mencanangkan program Indonesia Bebas Pasung pada
tahun 2014. Namun sampai dengan sekarang (tahun 2014) belum terlihat penanganan
yang signifikan dan komprehensif dalam penanganan dini penderita gangguan jiwa.
Program Indonesia Bebas Pasung 2014 saat ini direvisi menjadi Program Indonesia
Bebas Pasung 2019, sehingga Indonesia dalam menentukan ketercapaian target masih
ada 5 tahun lagi atau bahkan lebih cepat karena proses ini masih berlangsung
berkesinambungan dengan adanya komitmen dari pemerintah pusat dan pemerintah
daerah provinsi dan kota/kabupaten (Yud, 2014).
Data Riskesdas 2013 menunjukkan data persentase rumah tangga yang memiliki
anggota rumah tangga (ART) dengan gangguan jiwa berat yang pernah dipasung di
Indonesia sebesar 14,3 persen. Terdapat 1. 655 rumah tangga (RT) yang memiliki
keluarga yang menderita gangguan jiwa berat . Tindakan pemasungan berdasar
wawancara dari riwayat mengalami pemasungan yaitu pengalaman pemasungan selama
hidup. Metode pemasungan tidak terbatas pada pemasungan secara tradisional dengan
menggunakan kayu atau rantai pada kaki, tetapi juga tindakan pengekangan yang
membatasi gerak, pengisolasian, termasuk mengurung dan penelantaran, yang
menyertai salah satu metode pemasungan (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
Rikesda 2013 menyebutkan angka pemasungan di indonesia bervariasi setiap
provinsinya, tercatat papua memiliki persentasi tertinggi dengan angka pasung 50%.
Jogjakarta sendiri memiliki persentasi 7,7% angka pemasungan.
Pemasungan adalah tindakan yang menghalangi setiap orang dengan gangguan
jiwa memperoleh dan melaksanakan hak-haknya sebagai warga negara. Haka-hak
tersebut meliputi hak memperoleh penghasilan, hak memperoleh pendidikan/pekerjaan,
hak memperoleh kehidupan sosial. Pemasungan dilakukan dengan cara dipasung dan
pengisolasian. Pasung merupakan semua metode manual yang menggunakan materi
atau alat mekanik yang dipasung atau ditempelkan pada tubuh ODGJ (Orang dengan
Gangguan Jiwa) dan membuat tidak dapat bergerak dengan mudah atau yang membatasi
kebebasan dalam mengerakan tangan, kaki atau kepala. Pengesolasian merupakan
tindakan mengurung ODGJ sendirian tanpa persetujuan atau dengan paksa, dalam suatu
ruangan atau area yang secara fisik membatasi untuk keluar atau meninggalkan ruangan
atau area tersebut.
Pemasung terjadi karena bermacam macam alasan. Sebagian masyarakat
memiliki pemahaman dan pengetahuan yang keliru tentang gangguan jiwa. ODGJ
dianggap sebagai orang kerasukan setan, kena teluh atau berbahaya bagi lingkungannya.
Pemasung anggap sebagai solusi untuk mengendalikan gejala kerasukan, kena teluh
atau mengurangi keberbahayaan ODGJ. Ditempat lain, kesulitan menjangkau fasilitas
pelayanan kesehatan atau ketiadaan pelayanan kesehatan jiwa disuatu tempat
menjadikan masyarakat mencari jalan pintas untuk mengendalikan gejala-gejala
gangguan terhadap ODGJ.
Upaya pemasungan dapat dikatakan sebagai tindakan yang tidak manusiawi.
Dalam sejumlah peraturan perundang-undangan bahkan dalam konstitusi negara,
disebutkan dengan jelas setiap warga negara memiliki hal yang sama untuk semua
sektor kehidupan termasuk pelayanan kesehatan dan juga hak-hak lainnya sebagai
warga negara. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 i ayat (1) menyatakan
bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa menyatakan
bahwa pasien dengan gangguan jiwa yang terlantar harus mendapatkan perawatan dan
pengobatan pada suatu tempat perawatan. Surat Menteri Dalam Negeri Nomor
PEM.29/6/15, tertanggal 11 Nopember 1977 yang ditujukan kepada Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I seluruh Indonesia meminta kepada masyarakat untuk tidak melakukan
pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa dan menumbuhkan kesadaran
masyarakat untuk menyerahkan perawatan penderita di Rumah Sakit Jiwa. Surat
tersebut juga berisi instruksi untuk para Camat dan Kepala Desa agar secara aktif
mengambil prakarsa dan langkah-langkah dalam penanggulangan pasien yang ada di
daerah mereka. Hal itu disampaikan Menkes dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH,
Dr.PH dalam sambutan yang dibacakan dr. Ratna Rosita, MPHM, Sekretaris Jenderal
Kementerian Kesehatan pada pertemuan lintas sektor dalam mencapai akses kesehatan
jiwa dan Menuju Indonesia Bebas Pasung di Jakarta, tanggal 7 Oktober 2010.
Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia pasal 42
menyatakan bahwa setiap warga Negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat
mental berhak mendapatkan perawatan, pendi- dikan pelatihan dan bantuan khusus atas
biaya Negara untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat
kemanusiaannya, meningkat rasa percaya diri dan kemam- puan beradaptasi dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Tindakan pemasungan terhadap ODGJ adalah perbuatan yang dilarang dan diancam
pidana. UU No 18 Tahun 2014 tentang kesehatan jiwa pasal 86 menyatakan Setiap orang yang
dengan sengaja melakukan pemasungan, penelanataran, kekerasan dan atau menyuruh orang
lain melakukan pemasungan, penelantaran dan atau kekerasan terhadap ODKM atau ODGJ atau
tindakan lain nya yang melanggar hukum ODKM dan ODGJ dipidana sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 333 menyatakan juga dalam
salah satu pasalnya menyatakan barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas
kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian diancam
dengan pidana penjara yang paling lama delapan tahun. Hukuman akan bertambah bila
kemudian menimbulkan luka-luka bahkan kematian. Adanya jaminan undang-undang
mengharuskan setaip ODGJ mendapat pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan
kesehatan dan tidak dipasung karena pemasungan merupakan pelanggaran atas hak pengobatan
dan juga merupakan bentuk kekerasan terhadap ODGJ.
B. Permasalahan
Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah, yaitu pembebasan
pasung terhadap penderita gangguan jiwa di wilayah Dlingo, Bantul untuk
mewujudkan Indonesia bebas pasung nasional.
C. Tujuan
Tujuan dari mini project ini adalah untuk mewujudkan Indonesia bebas
pasung nasional terhadap orang dengan gangguan jiwa di wilayah kerja Puskesmas
Dlingo 1 serta tercapai peningkatan pengetahuan dari seluruh pemangku kepentingan
di bidang Kesehatan Jiwa dan meningkatkan pemahaman masyarakat serta
menghapus stigma yang buruk tentang masalah-masalah gangguan kesehatan jiwa
khususnya penelantaran dan pemasungan ODGJ. Dalam hal ini diharapkan tercapai
program kelanjutan rehabilitasi psikososial untuk pasien.
Selanjutnya diusulkan tata laksana (intervensi) kepada puskesmas Dlingo 1
untuk melakukan :
1. Mengadakan Home Visite ke tempat penderita gangguan jiwa yang
dipasung dan memberikan penyuluhan terhadap keluarga pasien dengan
gangguan jiwa, dengan cara psikoedukasi supaya keluarga pasien setuju
2.
3.
4.
5.
terkait
D. Manfaat
Manfaat dari mini project ini, antara lain:
1. Mewujudkan Indonesia bebas pasung nasional, khususnya di wilayah kerja
Puskesmas Dlingo 1, Bantul, DIY
2. Diharapkan tercapai program kelanjutan rehabilitasi psikososial untuk pasien,
sehingga penderita dengan gangguan jiwa mendapatkan terapi psikososial yang
berkelanjutan
3. Meningkatan pengetahuan dari seluruh pemangku kepentingan di bidang Kesehatan Jiwa
dan meningkatkan pemahaman masyarakat serta menghapus stigma yang buruk tentang
masalah-masalah gangguan kesehatan jiwa khususnya penelantaran dan pemasungan
ODGJ (Orang dengan Gangguan Jiwa).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Gangguan Jiwa
1. Pengertian gangguan jiwa
Gangguan jiwa atau mental illness adalah kesulitan yang harus dihadapi oleh
seseorang karena hubungannya dengan orang lain, kesulitan karena persepsinya tentang
kehidupan dan sikapnya terhadap dirinya sendiri-sendiri (Djamaludin, 2001). Gangguan
jiwa adalah gangguan dalam cara berpikir (cognitive), kemauan (volition),emosi
(affective), tindakan (psychomotor) (Yosep, 2007).
Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2000) adalah suatu perubahan pada fungsi
jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan
penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan peran social.
Menurut Townsend (1996) mental illness adalah respon maladaptive terhadap stressor
dari lingkungan dalam/luar ditunjukkan dengan pikiran, perasaan, dan tingkah laku yang
tidak sesuai dengan norma lokal dan kultural serta mengganggu fungsi sosial, kerja dan
fisik individu.
Konsep gangguan jiwa dari PPDGJ II yang merujuk ke DSM-III adalah sindrom
atau pola perilaku, atau psikologi seseorang, yang secara klinik cukup bermakna, dan
yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya
(impairment/disability) di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia
(Maslim, 2002).
Menurut American Psychiatric Association (1994), gangguan mental adalah
gejala atau pola dari tingkah laku psikologi yang tampak secara klinis yang terjadi pada
seseorang dari berhubungan dengan keadaan distress (gejala yang menyakitkan) atau
ketidakmampuan (gangguan pada satu area atau lebih dari fungsi-fungsi penting) yang
meningkatkan risiko terhadap kematian, nyeri, ketidakmampuan atau kehilangan
kebebasan yang penting dan tidak jarang respon tersebut dapat diterima pada kondisi
tertentu.
2. Penyebab timbulnya gangguan jiwa
Penyebab gangguan jiwa itu bermacam-macam ada yang bersumber dari
berhubungan dengan orang lain yang tidak memuaskan seperti diperlakukan tidak adil,
diperlakukan semena-mena, cinta tidak terbatas, kehilangan seseorang yang dicintai,
kehilangan pekerjaan, dan lain-lain. Selain itu ada juga gangguan jiwa yang disebabkan
faktor organik, kelainan saraf dan gangguan pada otak (Djamaludin, 2001).
Para ahli psikologi berbeda pendapat tentang sebab-sebab terjadinya gangguan
jiwa. Menurut pendapat Sigmund Freud dalam Maslim (2002), gangguan jiwa terjadi
karena tidak dapat dimainkan tuntutan id (dorongan instinctive yang sifatnya seksual)
dengan tuntutan super ego (tuntutan normal social). Orang ingin berbuat sesuatu yang
dapat memberikan kepuasan diri, tetapi perbuatan tersebut akan mendapat celaan
masyarakat. Konflik yang tidak terselesaikan antara keinginan diri dan tuntutan
masyarakat ini akhirnya akan mengantarkan orang pada gangguan jiwa.
Terjadinya gangguan jiwa dikarenakan orang tidak memuaskan macam-macam
kebutuhan jiwa mereka. Beberapa contoh dari kebutuhan tersebut diantaranya adalah
pertama kebutuhan untuk afiliasi, yaitu kebutuhan akan kasih sayang dan diterima oleh
orang lain dalam kelompok. Kedua, kebutuhan untuk otonomi, yaitu ingin bebas dari
pengaruh orang lain. Ketiga, kebutuhan untuk berprestasi, yang muncul dalam
keinginan untuk sukses mengerjakan sesuatu dan lain-lain. Ada lagi pendapat Alfred
Adler yang mengungkapkan bahwa terjadinya gangguan jiwa disebabkan oleh tekanan
dari perasaan rendah diri (infioryty complex) yang berlebih-lebihan. Sebab-sebab
timbulnya rendah diri adalah kegagalan di dalam mencapai superioritas di dalam hidup.
Kegagalan yang terus-menerus ini akan menyebabkan kecemasan dan ketegangan
emosi.
Banyak faktor yang mendukung timbulnya gangguan jiwa yang merupakan
perpaduan dari beberapa aspek yang saling mendukung yang meliputi Biologis,
psikologis, sosial, lingkungan. Tidak seperti pada penyakit jasmaniah, sebab-sebab
gangguan jiwa adalah kompleks. Pada seseorang dapat terjadi penyebab satu atau
beberapa faktor dan biasanya jarang berdiri sendiri. Mengetahui sebabsebab gangguan
jiwa penting untuk mencegah dan mengobatinya. Umumnya sebab-sebab gangguan jiwa
menurut Santrock (1999) dibedakan atas :
a. Sebab-sebab jasmaniah/ biologic
1) Keturunan
Peran yang pasti sebagai penyebab belum jelas, mungkin terbatas dalam mengakibatkan
kepekaan untuk mengalami gangguan jiwa tapi hal tersebut sangat ditunjang dengan
faktor lingkungan kejiwaan yang tidak sehat.
2) Jasmaniah
Beberapa penyelidik berpendapat bentuk tubuh seorang berhubungan dengan gangguan
jiwa tertentu, Misalnya yang bertubuh gemuk / endoform cenderung menderita psikosa
manik depresif, sedang yang kurus / ectoform cenderung menjadi skizofrenia.
3) Temperamen
Orang yang terlalu peka/ sensitif biasanya mempunyai masalah kejiwaan dan
ketegangan yang memiliki kecenderungan mengalami gangguan jiwa.
4) Penyakit dan cedera tubuh
Penyakit-penyakit tertentu misalnya penyakit jantung, kanker dan sebagainya, mungkin
menyebabkan merasa murung dan sedih. Demikian pula cedera/cacat tubuh tertentu
dapat menyebabkan rasa rendah diri.
b. Sebab Psikologik
Bermacam pengalaman frustasi, kegagalan dan keberhasilan yang dialami akan
mewarnai sikap, kebiasaan dan sifatnya dikemudian hari. Hidup seorang manusia dapat
dibagi atas 7 masa dan pada keadaan tertentu dapat mendukung terjadinya gangguan
jiwa.
1) Masa bayi
Yang dimaksud masa bayi adalah menjelang usia 2 3 tahun, dasar perkembangan yang
dibentuk pada masa tersebut adalah sosialisasi dan pada masa ini. Cinta dan kasih
sayang ibu
akan memberikan rasa hangat/ aman bagi bayi dan dikemudian hari menyebabkan
kepribadian yang hangat, terbuka dan bersahabat. Sebaliknya, sikap ibu yang dingin
acuh tak acuh bahkan menolak dikemudian hari akan berkembang kepribadian yang
bersifat menolak dan menentang terhadap lingkungan.Sebaiknya dilakukan dengan
tenang, hangat yang akan memberi rasa aman dan terlindungi, sebaliknya, pemberian
yang kaku, keras dan tergesa-gesa akan menimbulkan rasa cemas dan tekanan.
2) Masa anak pra sekolah (antara 2 sampai 7 tahun)
Pada usia ini sosialisasi mulai dijalankan dan telah tumbuh disiplin dan otoritas.
Penolakan orang tua pada masa ini, yang mendalam atau ringan, akan menimbulkan rasa
tidak aman dan ia akan mengembangkan cara penyesuaian yang salah, dia mungkin
10
menurut, menarik diri atau malah menentang dan memberontak. Anak yang tidak
mendapat kasih sayang tidak dapat
menghayati disiplin tak ada panutan, pertengkaran dan keributan membingungkan dan
menimbulkan rasa cemas serta rasa tidak aman. hal-hal ini merupakan dasar yang kuat
untuk timbulnya tuntutan tingkah laku dan gangguan kepribadian pada anak dikemudian
hari.
3) Masa Anak sekolah
Masa ini ditandai oleh pertumbuhan jasmaniah dan intelektual yang pesat. Pada masa
ini, anak mulai memperluas lingkungan pergaulannya. Keluar dari batas-batas keluarga.
Kekurangan atau cacat jasmaniah dapat menimbulkan gangguan penyesuaian diri.
Dalam hal ini sikap lingkungan sangat berpengaruh, anak mungkin menjadi rendah diri
atau sebaliknya
melakukan kompensasi yang positif atau kompensasi negatif. Sekolah adalah tempat
yang baik untuk seorang anak mengembangkan kemampuan bergaul dan memperluas
sosialisasi,
menguji kemampuan, dituntut prestasi, mengekang atau memaksakan kehendaknya
meskipun tak disukai oleh si anak.
4) Masa Remaja
Secara jasmaniah, pada masa ini terjadi perubahanperubahan yang penting yaitu
timbulnya tanda-tanda sekunder (ciri-ciri diri kewanitaan atau kelaki-lakian) Sedang
secara
kejiwaan, pada masa ini terjadi pergolakan- pergolakan yang hebat. pada masa ini,
seorang remaja mulai dewasa mencoba kemampuannya, di suatu pihak ia merasa sudah
dewasa (hak-hak seperti orang dewasa), sedang di lain pihak belum sanggup dan belum
ingin menerima tanggung jawab atas semua perbuatannya. Egosentris bersifat
menentang terhadap otoritas, senang berkelompok, idealis adalah sifat-sifat yang sering
terlihat. Suatu lingkungan yang baik dan penuh pengertian akan sangat membantu
proses kematangan kepribadian di usia remaja.
5) Masa Dewasa muda
Seorang yang melalui masa-masa sebelumnya dengan aman dan bahagia akan cukup
memiliki kesanggupan dan kepercayaan diri dan umumnya ia akan berhasil mengatasi
kesulitan-kesulitan pada masa ini. Sebaliknya yang mengalami banyak gangguan pada
11
masa sebelumnya, bila mengalami masalah pada masa ini mungkin akan mengalami
gangguan jiwa.
6) Masa dewasa tua
Sebagai patokan masa ini dicapai kalau status pekerjaan dan sosial seseorang sudah
mantap. Sebagian orang berpendapat perubahan ini sebagai masalah ringan seperti
rendah diri. pesimis. Keluhan psikomatik sampai berat seperti murung, kesedihan yang
mendalam disertai kegelisahan hebat dan mungkin usaha bunuh diri.
7) Masa Tua
Ada dua hal yang penting yang perlu diperhatikan pada masa ini Berkurangnya daya
tanggap, daya ingat, berkurangnyadaya belajar, kemampuan jasmaniah dan kemampuan
sosial ekonomi menimbulkan rasa cemas dan rasa tidak aman serta sering
mengakibatkan kesalah pahaman orang tua terhadap orang di lingkungannya. Perasaan
terasing karena kehilangan teman sebaya keterbatasan gerak dapat menimbulkan
kesulitan emosional yang
cukup hebat.
c. Sebab Sosio Kultural
Kebudayaan secara teknis adalah ide atau tingkah laku yang dapat dilihat
maupun yang tidak terlihat. Faktor budaya bukan merupakan penyebab langsung
menimbulkan gangguan jiwa, biasanya terbatas menentukan warna gejala-gejala.
Disamping mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kepribadian seseorang
misalnya melalui aturan-aturan kebiasaan yang berlaku dalam kebudayaan tersebut.
Menurut Santrock (1999) Beberapa faktor-faktor kebudayaan tersebut :
1) Cara-cara membesarkan anak
Cara-cara membesarkan anak yang kaku dan otoriter , hubungan orang tua anak menjadi
kaku dan tidak hangat. Anakanak setelah dewasa mungkin bersifat sangat agresif atau
pendiam dan tidak suka bergaul atau justru menjadi penurut yang berlebihan.
2) Sistem Nilai
Perbedaan sistem nilai moral dan etika antara kebudayaanyang satu dengan yang lain,
antara masa lalu dengan sekarang sering menimbulkan masalah-masalah kejiwaan.
Begitu pula
12
13
a. Skizofrenia
Merupakan bentuk psikosa fungsional paling berat, dan menimbulkan
disorganisasi personalitas yang terbesar. Skizofrenia juga merupakan suatu bentuk
psikosa yang sering dijumpai dimanamana sejak dahulu kala. Meskipun demikian
pengetahuan kita tentang sebab-musabab dan patogenisanya sangat kurang (Maramis,
1994). Dalam kasus berat, klien tidak mempunyai kontak dengan realitas, sehingga
pemikiran dan perilakunya abnormal. Perjalanan penyakit ini secara bertahap akan
menuju kearah kronisitas, tetapi sekali-kali bisa timbul serangan. Jarang bisa terjadi
pemulihan sempurna dengan spontan dan jika tidak diobati biasanya berakhir dengan
personalitas yang rusak cacat.
b. Depresi
Merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam
perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan
nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta
gagasan bunuh diri (Kaplan, 1998). Depresi juga dapat diartikan sebagai salah satu
bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan yang ditandai dengan kemurungan,
keleluasaan, ketiadaan gairah hidup, perasaan tidak berguna, putus asa dan lain
sebagainya (Hawari, 1997). Depresi adalah suatu perasaan sedih dan yang berhubungan
dengan penderitaan. Dapat berupa serangan yang ditujukan pada diri sendiri atau
perasaan marah yang mendalam (Nugroho, 2000). Depresi adalah gangguan patologis
terhadap mood mempunyai karakteristik berupa bermacam-macam perasaan, sikap dan
kepercayaan bahwa seseorang hidup menyendiri, pesimis, putus asa, ketidakberdayaan,
harga diri rendah, bersalah, harapan yang negatif dan takut pada bahaya yang akan
datang. Depresi menyerupai kesedihan yang merupakan perasaan normal yang muncul
sebagai akibat dari situasi tertentu misalnya kematian orang yang dicintai.
c. Kecemasan
Sebagai pengalaman psikis yang biasa dan wajar, yang pernah dialami oleh
setiap orang dalam rangka memacu individu untuk mengatasi masalah yang dihadapi
sebaik-baiknya, Maslim (1991). Suatu keadaan seseorang merasa khawatir dan takut
sebagai bentuk reaksi dari ancaman yang tidak spesifik (Rawlins 1993). Penyebabnya
maupun sumber biasanya tidak diketahui atau tidak dikenali. Intensitas kecemasan
dibedakan dari kecemasan tingkat ringan sampai tingkat berat. Menurut Sundeen (1995)
14
atau
obsesif-kompulsif,
kepribadian
histerik,
kepribadian
astenik,
15
diantaranya:
antipsikosis,
anti-depresi,
anti-mania,
anti-ansietas,
16
17
adalah memberi kesempatan klien untuk tumbuh dan berubah perilaku dengan
memfokuskan pada nilai terapeutik dalam aktivitas dan interaksi.
3) Terapi Kognitif
Terapi kognitif adalah strategi memodifikasi keyakinan dan sikap yang
mempengaruhi perasaan dan perilaku klien. Proses yang diterapkan adalah membantu
mempertimbangkan stressor dan kemudian dilanjutkan dengan mengidentifikasi pola
berfikir dan keyakinan yang tidak akurat tentang stressor tersebut. Gangguan perilaku
terjadi akibat klien mengalami pola keyakinan dan berfikir yang tidak akurat. Untuk itu
salah satu memodifikasi perilaku
adalah dengan mengubah pola berfikir dan keyakinan tersebut. Fokus asuhan adalah
membantu klien untuk reevaluasi ide, nilaiyang diyakini, harapan-harapan, dan
kemudian dilanjutkan dengan menyusun perubahan kognitif.
4) Terapi Keluarga
Terapi keluarga adalah terapi yang diberikan kepada seluruh anggota keluarga
sebagai unit penanganan (treatment unit). Tujuan terapi keluarga adalah agar keluarga
mampu melaksanakan fungsinya. Untuk itu sasaran utama terapi jenis ini adalah
keluarga yang mengalami disfungsi; tidak bisa melaksanakan fungsi-fungsi yang
dituntut oleh anggotanya. Dalam terapi keluarga semua masalah keluarga yang
dirasakan diidentifikasi dan kontribusi dari masing-masing anggota keluarga terhadap
munculnya masalah tersebut digali. Dengan demikian terlebih dahulu masing-masing
anggota keluarga mawas diri; apa masalah yang terjadi di keluarga, apa kontribusi
masing-masing terhadap timbulnya masalah, untuk kemudian mencari solusi untuk
mempertahankan keutuhan keluarga dan meningkatkan atau mengembalikan fungsi
keluarga seperti yang
seharusnya.
5) Terapi Kelompok
Terapi kelompok adalah bentuk terapi kepada klien yang dibentuk dalam
kelompok, suatu pendekatan perubahan perilaku melalui media kelompok. Dalam terapi
kelompok perawat berinteraksi dengan sekelompok klien secara teratur. Tujuannya
adalah meningkatkan kesadaran diri klien, meningkatkan hubungan interpersonal, dan
mengubah perilaku maladaptive. Terapi Perilaku Anggapan dasar dari terapi perilaku
adalah kenyataan bahwa perilaku timbul akibat proses pembelajaran. Perilaku sehat oleh
18
karenanya dapat dipelajari dan disubstitusi dari perilaku yang tidak sehat. Teknik dasar
yang digunakan dalam
terapi jenis ini adalah: Role model, Kondisioning operan, Desensitisasi sistematis,
Pengendalian diri dan Terapi aversi atau rileks kondisi.
6) Terapi Bermain
Terapi bermain diterapkan karena ada anggapan dasar bahwa anak-anak akan
dapat berkomunikasi dengan baik melalui permainan dari pada dengan ekspresi verbal.
Dengan bermain perawat dapat mengkaji tingkat perkembangan, status emosional anak,
hipotesa diagnostiknya, serta melakukan intervensi untuk mengatasi masalah anak
tersebut.
6. Rehabilitasi Gangguan Jiwa
a. Pengertian Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah segala tindakan fisik, penyesuaian psikososial dan latihan
vokasional sebagai usaha untuk memperoleh fungsi dan penyesuaian diri yang optimal
serta mempersiapkan klien secara fisik, mental, sosial dan vokasional untuk suatu
kehidupan penuh sesuai dengan kemampuannya (Nasution, 2006).
b. Tujuan Rehabilitasi
Maksud dan tujuan rehabilitasi klien mental dalam psikiatri yaitu mencapai
perbaikan fisik dan mental sebesar-besarnya, penyaluran dalam pekerjaan dengan
kapasitas maksimal dan penyesuaian diri dalam hubungan perseorangan dan sosial
sehingga bisa berfungsi sebagai anggota masyarakat yang mandiri dan berguna .
c. Tahapan Rehabilitasi
Upaya Rehabilitasi menurut Nasution (2006) terdiri dari 3 tahap yaitu ;
1) Tahap persiapan
a) Orientasi.
Selama fase orientasi klien akan memerlukan dan mencari bimbingan seorang
yang professional. Perawat menolong klien untuk mengenali dan memahami
masalahnya dan menentukan apa yang diperlukannya.
b) Identifikasi
Perawat mengidentifikasi dan mengkaji perasaan klien serta membantu klien
seiring penyakit yang ia rasakan sebagai sebuah pengalaman dan memberi orientasi
positif akan perasaan dan kepribadiannya serta memberi kebutuhan yang diperlukan.
19
2) Tahap pelaksanaan
Perawat melakukan eksploitasi dimana selama fase ini klien menerima secara
penuh nilai-nilai yang ditawarkan kepadanya melalui sebuah hubungan (Relationship).
Tujuan baru yang akan dicapai melalui usaha personal dapat diproyeksikan, dipindah
dariperawat ke klien ketika klien menunda rasa puasnya untuk mencapai bentuk baru
dari apa yang dirumuskan.
3) Tahap pengawasan
Tahap pengawasan perawat melakukan resolusi. Tujuan baru dimunculkan dan
secara bertahap tujuan lama dihilangkan. Ini adalah proses dimana klien membebaskan
dirinya dari ketergantungan terhadap orang lain.
d. Jenis Kegiatan Rehabilitasi
Abroms dalam Stuart (2006) menekankan 4 keterampilan penting psikososial
pada klien gangguan jiwa yaitu:
1) Orientation
Orientaton adalah pencapaian tingkat orientasi dan kesadaran terhadap realita
yang lebih baik. Orientasi berhubungan dengan pengetahuan dan pemahaman klien
terhadap waktu, tempat atau maksud/ tujuan, sedangkan kesadaran dapat dikuatkan
melalui interaksi dan aktifitas pada semua klien.
2) Assertion
Assertion yaitu kemampuan mengekspresikan perasaan sendiri dengan tepat. Hal
ini dapat dilakukan dengan cara mendorong klien dalam mengekspresikan diri secara
efektif dengan tingkah laku yang dapat diterima masyarakat melalui kelompok pelatihan
asertif, kelompok klien dengan kemampuan fungsional yang rendah atau kelompok
interaksi klien.
3) Accuption
Accuption adalah kemampuan klien untuk dapat percaya diri dan berprestasi
melalui keterampilan membuat kerajinan tangan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
memberikan aktifitas klien dalam bentuk kegiatan sederhana seperti teka- teki (sebagai
aktivitas yang bertujuan) mengembangkan keterampilan fisik seperti menyulam.
Membuat bunga, melukis dan meningkatkan manfaat interaksi sosial.
4) Recreation
20
keluarga
melakukan
pemasungan
diantaranya
mencegah
klien
melakukan tindak kekerasan yang dianggap membahayakan terhadap dirinya atau orang
lain Mencegah klien meninggalkan rumah dan mengganggu orang lain Mencegah klien
menyakiti diri seperti bunuh diri Ketidaktahuan serta ketidakmampuan keluarga
21
menangani klien apabila sedang kambuh. Faktor kemiskinan dan rendahnya pendidikan
keluarga merupakan salah satu penyebab pasien gangguan jiwa berat hidup terpasung.
3.TINDAKAN PEMASUNGAN
Terkurung dalam kandang binatang peliharaan; terkurung dalam rumah; kaki
atau lehernya dirantai; salah satu atau kedua kakinya dimasukkan kedalam balok kayu
yang dilubangi.
4.TERAPI
Terdapat beberapa jenis terapi lain yang dapat digunakan untuk meningkatkan
kemampuan keluarga dan klien di masyarakat yaitu dengan terapi individu, terapi
kelompok dan terapi komunitas. Intervensi tersebut diupayakan melalui penerapan
program kesehatan jiwa komunitas/masyarakat yang efektif yang dalam hal ini
dilakukan melalui penerapan Community Mental Health Nursing (CMHN). Pelayanan
CMHN tersebut diwujudkan melalui beberapa kegiatan, diantaranya kunjungan rumah
oleh perawat CMHN dan Kader Kesehatan Jiwa (KKJ), pendidikan kesehatan,
pelayanan dari Puskesmas (termasuk pemberian psikofarmaka), Terapi Aktivitas
Kelompok (TAK) dan Terapi Rehabilitasi (FIK UI & WHO, 2005).
Adapun intervensi yang dapat diberikan untuk keluarga dengan gangguan jiwa menurut
CMHN (2005) adalah sebagai berikut :
1) Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat klien
2) Berikan penjelasan pada keluarga tentang pengertian, etiologi, tanda dan gejala, dan
cara merawat klien dengan diagnosa keperawatan tertentu (misalnya halusinasi, perilaku
kekerasan)
3) Demonstrasikan cara merawat klien sesuai jenis gangguan yang dialami
4) Berikan kesempatan pada keluarga untuk memperagakan cara merawat klien yang
telah diajarkan
5) Bantu keluarga untuk menyusun rencana kegiatan di rumah
Secara umum, program komprehensif dalam bekerjasama dengan keluarga
terdiri dari beberapa komponen berikut ini (Marsh, 2000 dalam Stuart & Laraia, 2005) :
1) Didactic component, memberikan informasi tentang gangguan jiwa dan sistem
kesehatan jiwa. Pada komponen ini, difokuskan pada peningkatan pengetahuan bagi
anggota keluarga melalui metode pengajaran psikoedukasi.
2) Skill component, menawarkan pelatihan cara komunikasi, resolusi konflik,
pemecahan masalah, bertindak asertif, manajemen perilaku, dan manajemen stres. Pada
22
23
keluarga (genogram) 3 generasi. Model Bowen ini kelak menjadi dasar konsep family
triangles.
3) Experimental-existensial therapy, dikembangkan oleh Virginia Satir et al dengan
konsep bahwa tujuan terapi adalah untuk meningkatkan pertumbuhan keluarga dengan
asumsi perlunya pemberdayaan keluarga untuk memecahkan masalahnya sendiri.
Menurut Satir, peran terapis adalah membantu mengidentifikasi disfungsi pola
komunikasi dalam keluarga.
5. Pencegahan
Komunikasi, Informasi, Edukasi (KIE) Kurasi (penyembuhan) dan rehabilitasi
yang lebih baik Memanfaatkan sumber dana dari JPS-BK Penciptaan Therpeutic
Community (lingkungan yang mendukung proses penyembuhan). Salah satu kasus yang
ditemukan melalui pendekatan CMHN adalah tindakan pemasungan yang masih kerap
dilakukan oleh keluarga klien dengan gangguan jiwa. Untuk memberantas praktek
tersebut, diperlukan peningkatan kesadaran dan pengetahuan dari keluarga dan
masyarakat mengenai gangguan jiwa tentang cara penanganan yang manusiawi terhadap
klien.
Hukum pasung merupakan metode yang paling "populer" karena ada dimana
mana. Alat pasung pun sangat beragam dari satu tempat ke tempat lain. Umumnya
hukuman pasung dilaksanakan sebagai pengganti penjara. Orang dihukum pasung
karena berbagai sebab, antara lain prostitusi, kriminal biasa, juga sakit jiwa. Di Amerika
Serikat pasung diterapkan sampai awal abad ke- 20, terutama di pedalaman yang tidak
memiliki penjara (Anonim, 2007). Klien gangguan jiwa merupakan kelompok
masyarakat yang rentan mengalami pelanggaran HAM dan perlakuan tidak adil. Hal ini
disebabkan adanya stigma, diskriminasi, pemahaman yang salah, serta belum adanya
peraturan yang benar-benar melindungi mereka. Kondisi ini diperparah dengan
munculnya beragam pandangan keliru atau stereotip di masyarakat sehingga karena
pandangan yang salah ini masyarakat akhirnya lebih mengolok-olok penderita,
menjauhinya, bahkan sampai memasung karena menganggapnya berbahaya.
Keluarga merupakan unit yang paling dekat dengan klien dan merupakan
perawat utama bagi klien. Oleh karenanya peran keluarga sangat besar dalam
menentukan cara atau asuhan yang diperlukan klien di rumah. Jika keluarga dipandang
sebagai suatu sistem maka gangguan yang terjadi pada salah satu anggota dapat
mempengaruhi seluruh sistem, sebaliknya disfungsi keluarga merupakan salah satu
24
25
pendidikan dan tingkat sosial ekonomi keluarga yang secara tidak langsung sangat
mempengaruhi keluarga dalam memperlakukan klien gangguan jiwa.
2) Faktor pemungkin (enabling factor). Mencakup ketersediaan sarana dan prasarana
atau fasilitas kesehatan bagi keluarga, termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan
seperti Puskesmas, Rumah Sakit Jiwa, ketersediaan psikiater atau perawat jiwa yang
mudah dijangkau oleh keluarga. Pemasungan biasanya dilakukan oleh masyarakat yang
bertempat tinggal di daerah pedesaan yang mempunyai jarak cukup jauh dari sarana
pelayanan kesehatan sehingga sulit dijangkau oleh tenaga kesehatan. Kesulitan dalam
mengakses sarana pelayanan kesehatan semakin menguatkan perilaku keluarga dalam
melakukan tindakan negatif terhadap klien gangguan jiwa seperti pemasungan atau
pengurungan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan bila sewaktuwaktu klien mengalami kekambuhan. 3) Faktor penguat (reenforcing factor) Mencakup
sikap dan perilaku tokoh masyarakat dan petugas kesehatan serta adanya undangundang
dan peraturan pemerintah. Sikap masyarakat dan lingkungan keluarga sangat
berpengaruh terhadap proses rehabilitasi dan pencegahan kekambuhan klien gangguan
jiwa. Pemasungan yang dilakukan keluarga biasanya juga mendapat dukungan dari
masyarakat karena kurangnya pengetahuan lingkungan tentang gangguan jiwa. Selain
itu, diperlukan juga peraturan pemerintah yang mengatur tentang kemudahan
penggunaan fasilitas kesehatan bagi keluarga dan masyarakat.
Pemasungan merupakan tindakan yang dilakukan keluarga yang dipengaruhi
oleh beberapa hal. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, ketiga faktor di atas turut
mempengaruhi keluarga dalam melakukan pemasungan.
Konsep keluarga diuraikan melalui beberapa aspek yaitu kemampuan, fungsi,
peran, tugas dan karakteristik keluarga. Semua faktor tersebut mempengaruhi
kemampuan keluarga dalam merawat klien gangguan jiwa. Tugas Keluarga
Mempertahankan status kesehatan seluruh anggota keluarga baik kesehatan fisik
dan mental merupakan salah satu tugas utama keluarga. Keluarga dengan status
kesehatan yang optimal merupakan aset yang sangat berharga untuk masyarakat dan
negara. Warga negara yang sehat dan produktif sangat berperan dalam meningkatkan
produktifitas kerja dan turut menunjang peningkatan ekonomi negara. Menurut
Friedman (1998), keluarga mempunyai tugas di bidang kesehatan yang perlu dipahami
dan dilakukan, meliputi :
26
1) Mengenal masalah kesehatan keluarga. Orang tua perlu mengenal keadaan kesehatan
dan perubahan-perubahan yang dialami anggota keluarga. Perubahan sekecil apapun
yang dialami anggota keluarga secara tidak langsung menjadi perhatian orang tua atau
keluarga.
2) Memutuskan tindakan kesehatan yang tepat bagi keluarga. Tugas ini merupakan
upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan yang tepat sesuai dengan
keadaan keluarga, denganpertimbangan siapa diantara keluarga yang mempunyai
kemampuan memutuskan untuk menentukan tindakan keluarga. Tindakan kesehatan
yang dilakukan oleh keluarga diharapkan tepat agar masalah kesehatan dapat dikurangi
atau bahkan teratasi.
3) Merawat keluarga yang mengalami gangguan kesehatan. Keluarga hendaknya
mampu memerankan tugasnya untuk merawat salah satu anggota keluarga yang
mengalami gangguan di rumah. Faktor lingkungan dan dukungan keluarga yang positif
sangat mendukung untuk proses kesembuhan seseorang.
4) Memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan keluarga. Keluarga
harus berupaya menciptakan suasana yang nyaman untuk setiap anggota keluarga.
Lingkungan yang kondusif akan menciptakan kondisi mental yang sehat bagi anggota
keluarga dan sekaligus meningkatkan daya tahan keluarga terhadap krisis.
5) Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan di sekitarnya bagi keluarga. Keluarga
dapat merujuk salah satu anggota keluarga yang sakit ke pusat pelayanan kesehatan
terdekat dan juga dapat memeriksakan secara rutin jika terdapat gejala-gejala
kekambuhan.
Gangguan jiwa ringan dan berat sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup dan
produktivitas individual/keluarga karena akibat yang ditimbulkan menetap seumur
hidup, bersifat kronik dengan tingkat kekambuhan yang dapat terjadi setiap saat
sehingga pada akhirnya menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat. Sejalan dengan
dampak ekonomi yang ditimbulkan berupa hilangnya hari produktif untuk mencari
nafkah bagi penderita maupun keluarga yang harus merawat serta tingginya biaya
perawatan yang harus ditanggung keluarga maupun masyarakat.
Penyelesaian masalah saat merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan
jiwa dapat ditentukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan keluarga.
Menurut Green (1980, dalam Notoatmodjo, 2000), perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor
27
yaitu predisposing factor (faktor predisposisi yang meliputi pengetahuan, sikap, sistem
nilai, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi), enabling factor (faktor pemungkin
yang meliputi ketersediaan sarana dan prasarana, fasilitas kesehatan) dan reenforcing
factor (faktor penguat yang meliputi sikap dan perilaku tokoh masyarakat dan petugas
kesehatan, undang-undang dan peraturan pemerintah).
Berdasarkan paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan keluarga
dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa dipengaruhi oleh
banyak faktor yang harus diketahui dan dimiliki oleh keluarga sehingga dapat
memberikan asuhan yang berkualitas kepada klien.
Bekerjasama dengan anggota keluarga merupakan bagian penting dari proses
perawatan klien gangguan jiwa (Stuart & Laraia, 2005). Kondisi di banyak negara
berkembang termasuk Indonesia, sebenarnya lebih menguntungkan dibandingkan
negara maju, karena dukungan keluarga (primary support groups) yang diperlukan
dalam penggobatan gangguan jiwa berat lebih baik dibandingkan di negara maju.
Stigma terhadap gangguan jiwa berat ini tidak hanya menimbulkan konsekuensi negatif
terhadap penderitanya tetapi juga bagi anggota keluarga, meliputi sikap-sikap
penolakan, penyangkalan, disisihkan, dan diisolasi. Klien gangguan jiwa mempunyai
risiko tinggi terhadap pelanggaran hak asasi manusia (Djatmiko, 2007). Salah satu
bentuk pelanggaran hak asasi tersebut adalah masih adanya praktek pasung yang
dilakukan keluarga jika ada salah satu anggota keluarga yang mengidap gangguan jiwa.
Padahal dengan cara itu, secara tidak sadar keluarga telah memasung fisik dan hak asasi
penderita, hingga menambah beban mental dan penderitaannya.
Keluarga dengan Gangguan Jiwa Khususnya Pasung Kondisi di banyak negara
berkembang termasuk Indonesia, sebenarnya lebih menguntungkan dibandingkan
negara maju, karena dukungan keluarga (primary support groups) yang diperlukan
dalam penggobatan gangguan jiwa berat lebih baik dibandingkan di negara maju.
Stigma terhadap gangguan jiwa berat ini tidak hanya menimbulkan konsekuensi negatif
terhadap penderitanya tetapi juga bagi anggota keluarga, meliputi sikap-sikap
penolakan, penyangkalan, disisihkan, dan diisolasi. Klien gangguan jiwa mempunyai
risiko tinggi terhadap pelanggaran hak asasi manusia (Djatmiko, 2007).
Salah satu bentuk pelanggaran hak asasi tersebut adalah masih adanya praktek
pasung yang dilakukan keluarga jika ada salah satu anggota keluarga yang mengidap
28
gangguan jiwa. Pasung merupakan suatu tindakan memasang sebuah balok kayu pada
tangan dan/atau kaki seseorang, diikat atau dirantai lalu diasingkan pada suatu tempat
tersendiri di dalam rumah ataupun di hutan Secara tidak sadar keluarga telah
memasung fisik dan hak asasi penderita hingga menambah beban mental dan
penderitaannya.
Tindakan
tersebut
mengakibatkan
orang
yang
terpasung
tidak
dapat
menggerakkan anggota badannya dengan bebas sehingga terjadi atrofi. Tindakan ini
sering dilakukan pada seseorang dengan gangguan jiwa bila orang tersebut dianggap
berbahaya bagi lingkungannya atau dirinya sendiri (Maramis, 2006).
Di beberapa daerah di Indonesia, pasung masih digunakan sebagai alat untuk
menangani klien gangguan jiwa di rumah. Saat ini, masih banyak klien gangguan jiwa
yang didiskriminasikan haknya baik oleh keluarga maupun masyarakat sekitar melalui
pemasungan. Sosialisasi kepada masyarakat terkait dengan larangan "tradisi" memasung
klien gangguan jiwa berat yang kerap dilakukan penduduk yang berdomisili di pedesaan
dan pedalaman terus berupaya dilakukan antara lain dengan memberdayakan petugas
kesehatan di tengah-tengah masyarakat. Pemasungan terdapat di seluruh Indonesia,
hanya prevalensinya berbeda-beda di berbagai daerah. Masyarakat memakai caranya
sendiri untuk menangani klien gangguan jiwa yang dianggap berbahaya bagi
masyarakat atau bagi klien itu sendiri.
Cara pasung dianggap oleh masyarakat sebagai suatu cara yang efektif akan
tetapi sangat disayangkan bahwa selanjutnya tidak ada atau hanya sedikit sekali
diusahakan pengobatan dari segi medis dan klien dipasung terus bertahuntahun
lamanya. Usaha untuk melepaskan klien pasung sampai saat ini masih terbentur pada
banyak masalah, antara lain keuangan dan tempat di rumah sakit serta sikap masyarakat
sendiri (Maramis, 2006).
Stigma dan ketidaktahuan yang menjadi penyebab klien gangguan jiwa banyak
berada di tengah masyarakat. Selain itu beban berat juga dipikul oleh keluarga klien.
Anggota keluarga menjadi malu dan ikut dijauhi masyarakat, bahkan terkadang keluarga
juga dipojokkan sebagai penyebab gangguan yang dialami klien. Menurut Minas dan
Diatri (2008), alasan keluarga dan masyarakat melakukan pemasungan terhadap klien
gangguan jiwa sangat bervariasi meliputi pencegahan prilaku kekerasan, mencegah
klien keluyuran sehingga membahayakan orang lain, mencegah risiko bunuh diri dan
29
30
BAB III
PEMBAHASAN
A. Identitas Pasien
Nama
: Nn. D
Jenis Kelamin
: Perempuan
Tempat Tanggal Lahir
: Bantul, 27 Juni 1993
Status Perkawinan
: Belum Kawin
Agama
: Islam
Pendidikan Terakhir
:Membaca/Menulis Latin/ Arab : Pekerjaan
:Nama Ayah
: Tn. Slamet
Nama Ibu
: Ny. Waginem
B. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis terhadap keluarga pasien yaitu ayah
dan ibu pasien. Pasien adalah seorang wanita, bernama Nn. D, berusia 21 tahun,
mengalami gangguan jiwa dengan retardasi mental. Pasien tinggal di Pedukuhan
Tanjung, Desa Temuwuh, Dlingo, Kab. Bantul. Pasien merupakan anak pertama dari
tiga bersaudara. Pasien tinggal bersama ayah, ibu dan dua orang adik laki-lakinya.
Pasien lahir secara normal oleh dukun beranak di desanya. Pasien tidak memiliki
riwayat kejang sejak kecil. Menurut penuturan orang tuanya, Nn. D mulai menunjukkan
gejala-gejala tidak seperti anak-anak pada umumnya sekitar usia 9 tahun. Orang tua
pasien mengatakan, tujuan mereka memasung putrinya karena pasien sering marahmarah, membuang barang-barang dan meninggalkan rumah tanpa sebab. Sejak kecil,
pasien belum pernah disekolahkan. Pasien pernah dirawat inap satu kali di Rumah Sakit
Jiwa Ghrasia, tapi selepas dari rumah sakit jiwa, pasien tidak mau minum obat dengan
teratur.
C. Keadaan Tempat Tinggal
Pasien tinggal di Pedukuhan Tanjung, Desa Temuwuh, Dlingo, Kab. Bantul.
Rumah pasien terletak di daerah yang tidak padat penduduk. Di sekitar tempat tinggal
pasien masih tampak banyak lahan kosong dan perkebunan. Rumah pasien berukuran
sekitar 40x30 meter. Dari bagian depan rumah tampak bagian dinding masih batu-bata,
lantainya sebagian masih berupa tanah dan bagian lainnya sudah disemen. Pada bagian
atapnya tampak genteng dengan sebagian ditutupi oleh seng. Ketika pertama memasuki
rumah, langsung memasuki ruangan tamu sekaligus ruang tengah. Dan ketika memasuki
ruangan ke arah belakang, yang merupakan tempat untuk memasung pasien. Ruangan
berukuran sekitar 10x10 meter, dengan beratapkan genteng dan pada bagian lantai
31
masih berupa tanah. Tampak pasien yang duduk di lantai dengan posisi kaki lurus dan
pada bagian pergelangan kaki sebelah kiri dirantai dan diikatkan di dipan kayu kosong.
Pakaian dan kondisi pasien tampak lusuh dan kotor. Untuk buang air besar dan buang
air kecil pasien diantar orang tuanya ke kamar mandinya, tapi terkadang pasien juga
buang air di tempat dia duduk.
D. Subjek yang Dirujuk
Subjek yang akan dirujuk adalah pasien gangguan jiwa dengan retardasi mental
yang dilakukan pemasungan di wilayah kerja Dlingo 1.
E. Tata Laksana (Intervensi)
Pada awal tata laksana program pembebasan pasung ini, melalui beberapa tahap,
diantaranya
a. Pada tanggal 23 November 2015, diadakan Home Visite ke tempat penderita
gangguan jiwa yang dipasung, serta melakukan autoanamnesis lengkap kepada
keluarga pasien dan dokumentas. Keluarga pasien diberikan penyuluhan,
dengan cara psikoedukasi supaya keluarga pasien setuju untuk dilakukan terapi
dan penanganan terhadap pasien. Keluarga dijelaskan mengenai beberapa
tahapannya, yaitu untuk dilakukan rujukan ke Rumah Sakit Jiwa Grhasia yang
diperkirakan untuk lama rawatnya 14 hari hingga satu bulan. Untuk dilakukan
sistem perujukan, dipastikan keluarga menyiapkan dokumen-dokumen berupa
surat rujukan dari puskesmas, Fotokopi KTP, KK dan kartu jamkesmas. Bila
pasien sudah dinilai cukup tenang atau membaik, pasien bisa ditempatkan di
PSBK (Panti Sosial Bina Karya) atau rumah singgah. Di PSBK memerlukan
beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, beberapa diantaranya dokumendokumen surat yang sudah ditentukan. Untuk lamanya pasien dirawat di PSBK
sekitar 6 bulan. Setelah 6 bulan akan dievaluasi apakah pasien sudah bisa
dipulangkan atau belum. Jika belum bisa dipulangkan akan diperpanjang 6
bulan lagi. Diharapkan keluarga pasien dapat sering menjenguk keadaan pasien.
Namun, apabila selepas di Ghrasia pasien masih membahayakan dan tidak
kooperatif, akan ditempatkan sementara di ruang isolasi terlebih dahulu
sebelum dipindahkan ke PSBK.
b. Sebelum dirujuk, dilakukan konsultasi dengan dokter spesialis kejiwaan terlebih
dahulu mengenai kondisi pasien.
c. Setelah berkonsultasi dengan dokter spesialis kejiwaan, dilakukan koordinasi
dengan pihak Rumah sakit Jiwa Grhasia, untuk konfirmasi akan mengirimkan
32
pasien pasung ke IGD untuk memastikan kamar tersedia atau tidak. Selain itu
untuk konfirmasi persyaratan yang dibutuhkan untuk merujuk pasien.
d. Dilakukan koordinasi dengan pihak PSBK (Panti Sosial Bina Karya)
Berikut persyaratan yang harus dipenuhi untuk masuk ke PSBK :
Surat permohonan masuk panti yang sudah dilegalisir dari RT, Dukuh,
Lurah, Camat, Kepala Dinsos
Surat referal (keterangan sembuh) dari Rumah Sakit Jiwa
Surat Keluarga Miskin (keluarga tidak mampu) dari desa yang sudah
dilegalisir Camat
Menandatangani surat pernyataan kesanggupan atau berita acara kontrak
Materai Rp 6.000 sebanyak 1 lembar
Foto Copy ijazah pasien (bila ada)
Foto Copy kartu keluarga (KK)
Foto Copy KTP
Foto Copy kartu jamkesmas
e. Dilakukan perujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan jiwa yang terkait.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Keluarga penderita gangguan jiwa memiliki pengetahuan yang kurang terhadap
gangguan jiwa dan perawatan paska di rawat di rumah sakit jiwa.
2. Alasan keluarga melakukan pemasungan adalah karena keluarga merasa pasien
selalu berkeliaran keluar rumah tanpa sebab dan merusak barang-barang.
3. Diharapkan tercapai program kelanjutan rehabilitasi psikososial untuk pasien, sehingga
penderita dengan gangguan jiwa mendapatkan terapi psikososial yang berkelanjutan
33
DAFTAR PUSTAKA
1.Dinas
Kesehatan
Propinsi
Jawa
Tengah.2012.
Buku
saku
kesehatan
34
35
Lampiran
36
36