Anda di halaman 1dari 26

10

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Cedera Kepala
1. Defenisi
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau
deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak
(Grace dan Borley, 2007).
Cedera kepala secara harfiah berarti cedera pada kepala, tetapi pada
hakekatnya defenisi tersebut tidak sesederhana itu, karena cedera kepala bisa
berarti cedera pada kulit kepala, tulang tengkorak, jaringan otak atau
kombinasi dari masing-masing bagian tersebut. Di bidang ilmu penyakit saraf
cedera kepala lebih dititik beratkan pada cedera terhadap jaringan otak,
selaput otak dan pembuluh darahnya. Oleh karena itu istilah cedera
kranioserebral lebih tepat digunakan (Teasdale dan Mathew, 1996).
Dari dua definisi diatas dapat disimpulkan bahwa cedera kepala
merupakan terjadinya kerusakan terhadap tiap organ tubuh yang ada di sekitar
area kepala akibat trauma langsung maupun deselerasi.
2. Penyebab Cedera Kepala
Menurut Anna (2013) beberapa kejadian yang sering menyebabkan
terjadinya cedera kepala adalah sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.

Kecelakaan di jalan raya


Kecelakaan kerja seperti di pabrik
Terjatuh
1
Serangan fisik.

3. Klasifikasi Cedera Kepala

11

Menurut Narayan dkk (1996), bahwa cedera kepala diklasifikasikan dalam


berbagai aspek. Secara praktis cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan
mekanisme, beratnya dan morfologi cedera kepala.
a. Mekanisme cedera kepala
Berdasarkan mekanisme cedera kepala dibagi atas :
1) Cedera kepala tumpul
Cedera kepala tumpul, dapat terjadi :
a) Kecepatan tinggi berhubungan dengan kecelakaan mobil-motor.
b) Kecepatan rendah, biasanya disebabkan jatuh dari ketinggian atau
dipukul dengan benda tumpul.
2) Cedera kepala tembus
Disebabkan oleh :
a) Cedera peluru
b) Cedera tusukan
b. Beratnya cedera kepala
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara
kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi
beratnya penderita cedera kepala. Penilaian GCS terdiri atas 3 komponen
diantaranya respon membuka mata, respon motorik dan respon verbal.
Tabel 2.1
Penilaian Glasgow Coma Scale (GCS)
Respon Membuka Mata
Membuka mata spontan
Buka mata bila ada rangsangan suara atau sentuhan ringan
Membuka mata bila ada rangsangan nyeri
Tidak ada respon sama sekali
Respon Verbal
Orientasi baik
Kebingungan (tidak mampu berkomunikasi)
Hanya ada kata-kata tapi tidak berbentuk kalimat (teriakan)
Hanya asal bersuara atau berupa erangan
Tidak ada respon sama sekali

Skor
4
3
2
1
Skor
5
4
3
2
1

12

Respon Motorik
Mengikuti perintah
Mampu melokalisasi nyeri
Reaksi menghindari nyeri
Fleksi abnormal
Ekstensi normal
Tidak ada respon sama sekali

Skor
6
5
4
3
2
1

Berdasarkan skor GCS, beratnya cedera kepala dibagi atas :


1) Cedera kepala ringan : GCS 14 - 15
2) Cedera kepala sedang : GCS 9 - 13
3) Cedera kepala berat : GCS 3 - 8
c. Morfologi cedera kepala
Secara morfologi cedera kepala dapat dibagi atas :
1) Fraktur kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atas atau dasar tengkorak.
Dibagi atas :
a) Fraktur kalvaria :
(1) bisa berbentuk garis atau bintang
(2) depresi atau non depresi
(3) terbuka atau tertutup
b) Fraktur dasar tengkorak :
(1) dengan atau tanpa kebocoran CSF (Cerebrospinal Fluid)
(2) dengan atau tanpa paresis Nervus VII (Fasialis)
2) Lesi intrakranium
Dapat digolongkan menjadi :
a) Lesi fokal :
(1) perdarahan epidural
(2) perdarahan subdural
(3) perdarahan intraserebral
b) Lesi difus :
(1) komosio ringan
(2) komosio klasik
(3) cedera akson difus
4. Komplikasi Cedera Kepala
Menurut Japardi (2004), bahwa perawatan penderita cedera kepala
dihadapkan pada masalah lamanya hari perawatan, ditambah lagi dengan

13

keadaan penderita yang sering koma menyebabkan tingginya angka kejadian


komplikasi. Dalam hal ini komplikasi dalam cedera kepala dibagi dua yaitu
komplikasi bedah dan komplikasi non-bedah.

a. Komplikasi Bedah
1) Hematoma Intrakranial
Hematoma intrakranial dapat terjadi pada keadaan akut setelah
cedera kepala atau 'delayed' setelah beberapa waktu. Mungkin pada
awalnya berupa kontusio serebri, yang kemudian berkembang menjadi
intraserebral

hematoma.

Berdasarkan

letak

hematoma,

maka

perdarahan intrakranial dapat dibedakan atas EDH (Epidural


hematoma), SDH (Subdural hematoma), SAH (Subarachnoid
hematoma), ICH (Intraserebral hematoma) dan IVH (Intraventrikular
hematoma).
Keberhasilan

penatalaksanaan

hematoma

intrakranial

bergantung kepada cepatnya diagnosis ditegakkan dan operasi


evakuasi sesegera mungkin dan juga keadaan awal penderita sebelum
dioperasi. Kerusakan primer terhadap neuron yang terjadi bersifat
irreversible, jadi usaha yang dilakukan sesungguhnya ditujukan
terhadap

pencegahan

kerusakan

sekunder,

termasuk

dapat

menyebabkan kerusakan neuron lebih lanjut disamping efek toksik


dari darah itu sendiri (contoh. Perifokal edema pada ICH).
2) Hidrosefalus
Hidrosefalus yang timbul setelah cedera kepala secara umum
dapat dibedakan atas dua tipe yaitu:

14

a) Hidrosefalus non-komunikan. Jenis ini dapat timbul akibat


penekanan oleh efek massa perdarahan yang terjadi, terhadap jalur
CSS (Cairan Serebrospinal) dalam sistem ventrikel, sehingga
aliran CSS terbendung. Jenis ini biasanya timbul karena adanya
perdarahan di fossa posterior yang menekan ventrikel IV.
b) Hidrosefalus kominikan. Jenis ini timbul karena adanya gangguan
penyerapan CSS pada rongga subarachnoid terutama pada
granulasi arachnoid. Gangguan ini timbul karena adanya darah
pada rongga subarachnoid yang mengganggu aliran maupun
penyerapan CSS. Biasanya terjadi dalam 2 bulan pertama setelah
cedera kepala. Jenis ini lebih sering ditemukan daripada yang nonkomunikan.

Secara

hidrosefalus

ini

klinis

jika

harus

setelah

dipertimbangkan
cedera

kepala,

adanya
penderita

memperlihatkan perbaikan awal yang cepat, namun selanjutnya


tidak ada kemajuan atau bahkan perburukan. Untuk alasan ini,
idealnya perlu dilakukan CT kontrol.
3) Subdural Hematoma Kronis
Lebih kurang setengah penderita subdural hematoma kronis
tidak memiliki riwayat trauma. Kadang-kadang dengan riwayat cedera
ringan atau bahkan cedera tidak langsung juga dapat menjadi
penyebab,

seperti

cedera

'whiplash'.

Beberapa

faktor

resiko

sehubungan dengan hal ini antara lain, usia lanjut, alkoholisme kronis,
atrofi serebral, kelainan darah, dan lain-lain.

15

4) Cedera Kepala Terbuka


Dengan adanya laserasi scalp, merupakan sumber infeksi
intrakranial terutama jika disertai dengan fraktur tulang dan robeknya
duramater. Luka penetrasi yang menembus tengkorak seperti benda
tajam yang menancap di kepala, luka tembak, dan fraktur depressed
terbuka, membutuhkan tindakan debridement.
5) Kebocoran CSS
Kebocoran CSS pada cedera kepala terutama menyertai fraktur
basis. Pada proses penyembuhan luka, umumnya kebocoran tersebut
akan berhenti. Jika robekan duramater terjepit pada garis fraktur dan
menyebabkan kebocoran terus-menerus, maka perlu tindakan operatif.
Pengobatan non-operatif dapat dicoba hingga 2 minggu dengan
berbagai manipulasi. Adanya

kebocoran tersebut

memberikan

kemungkinan infeksi intrakranial, seperti meningitis.


b. Komplikasi Non Bedah
1) Kejang Post Traumatika
Kejang post traumatika setelah cedera kepala banyak
menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Insidensi kejang jenis ini
mencapai 5-7 persen dari penderita yang dirawat karena cedera kepala.
Di Amerika Serikat, insidensi kejang ini mencapai 150 per 100.000
pertahun. Kejang ini paling sering terjadi dalam 2 tahun pertama
setelah cedera kepala. Sebagian besar, 50-60 persen penderita akan
mengalami kejang pada 12 bulan pertama.
2) Infeksi

16

Infeksi pada cedera kepala umumnya disebabkan oleh kuman


komensal yang berada di kulit (scalp).
3) Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
a) SIADH (Schwartz-Bartter syndrome), disebabkan oleh pelepasan
ADH (Anti Diuretic Hormone) tanpa adanya rangsangan
fisiologis, ditandai dengan hiponatremia dan osmolaritas urine
yang tinggi. SIADH (Schwartz-Bartter syndrome) akan disertai
dengan hipervolemia, berbeda dengan CSW (Cerebral Salt
Wasting) yang disertai hipovolemia. SIADH terjadi pada 4,6
persen penderita cedera kepala. Keadaan ini juga timbul pada
anemia, hipotensi, dan peningkatan TTIK (Tekanan Tinggi
Intrakranial).
b) Cerebral salt wasting (CSW), pengeluaran natrium yang
berlebihan melalui urin yang disebabkan oleh gangguan
intrakranial, ditandai dengan hiponatremia dan penurunan volume
cairan ekstraseluler. Keadaan ini dapat terjadi pada cedera kepala
berat.
c) Diabetes insipidus (DI), disebabkan oleh rendahnya kadar ADH
(anti diuretic hormone), ditandai dengan produksi urin berlebihan
(dewasa > 250 cc/jam; anak > 3 cc/kg/jam), osmolaritas urine
rendah (50-150 mOsm/L) atau berat jenis urine rendah (1.001 1.005), kadar natrium serum normal atau meningkat, osmolaritas
plasma meningkat, dengan fungsi adrenal yang normal. Keadaan
ini disertai dengan rasa haus, dan dapat menyebabkan dehidrasi

17

berat. Cedera kepala dapat menyebabkan gangguan pada aksis


hipotalamus-hipofise sehingga produksi ADH berkurang.
4) Gangguan Gastrointertinal
Pada cedera kepala berat, akan terjadi erosi, pembentukan
ulkus dan perdarahan saluran cerna. Penderita cedera kepala akan
mengalami peningkatan rangsang simpatik yang mengakibatkan
gangguan fungsi pertahanan mukosa sehingga mudah terjadi erosi.
5) Neurogenic Pulmonary Edema (NPE)
Merupakan komplikasi yang

jarang

terjadi,

umumnya

menyertai cedera kepala berat. Terdapat dua mekanisme yang mungkin


bekerja secara sinergis. Pertama, peningkatan TTIK (Tekanan Tinggi
IntraKranial) yang cepat atau cedera langsung pada hipotalamus
menyebabkan pelepasan rangsangan simpatik sehingga terjadi aliran
darah yang meningkat ke paru-paru dengan peninggian PCWP
(Pulmonary Capilarry Wedge Pressure) dan peningkatan permeabilitas
kapiler di paru. Kedua, pelepasan katekolamin yang terjadi akan
mempengaruhi endotel kapiler sehingga permeabilitas alveolar juga
meningkat.
B. Promosi Kesehatan
1. Definisi Promosi Kesehatan
Menurut Notoatmodjo

(2012)

promosi

kesehatan

dalam

arti

pendidikan, secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk


mempengaruhi orang lain, baik individu, kelompok, atau masyarakat,
sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan atau
promosi kesehatan. Dan batasan ini tersirat unsur-unsur:

18

a. input adalah sasaran pendidikan (individu, kelompok, masyarakat),


dan pendidikpelaku pendidikan),
b. proses (upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain),
c. output (melakukan apa yang diharapkan atau perilaku).
2. Perubahan Perilaku dan Pendidikan Kesehatan
Perilaku merupakan faktor terbesar kedua setelah faktor lingkungan
yang mempengaruhi kesehatan indiividu, kelompok, atau masyarakat. Oleh
sebab itu, dalam rangka membina dan meningkatkan kesehatan masyarakat,
intervensi atau upaya yang ditujukan kepada faktor perilaku ini sangat
strategis. Intervensi terhadap faktor perilaku secara garis besar dapat
dilakukan melalui dua upaya yang saling bertentangan. Masing-masing upaya
tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kedua upaya tersebut
dilakukan melalui:
a. Paksaan (Coertion)
Upaya agar masyarakat mengubah perilaku atau mengadopsi
perilaku kesehatan dengan cara-cara tekanan, paksaan atau koersi
(coertion). Upaya ini bisa secara tidak langsung dalam bentuk undangundang atau peraturan-peraturan (law enforcement), instruksiinstruksi, dan secara langsung melalui tekanan-tekanan (fisik atau
nonfisik), sanksi-sanksi, dan sebagainya. Pendekatan atau cara ini
biasanya menimbulkan dampak yang lebih cepat terhadap perubahan
perilaku. Tetapi pada umumnya perubahan atau perilaku baru ini tidak
langgeng (sustainable), karena perubahan perilaku yang dihasilkan
dengan cara ini tidak didasari oleh pengertian dan kesadaran yang
tinggi terhadap tujuan perilaku tersebut dilaksanakan.

19

b. Pendidikan (Education)
Upaya agar masyarakat berperilaku atau mengadopsi perilaku
kesehatan

dengan

cara

persuasi,

bujukan,

imbauan,

ajakan,

memberikan informasi, memberikan kesadaran, dan sebagainya,


melalui kegiatan yang disebut pendidikan atau promosi kesehatan.
Memang dampak yang timbul dari cara ini terhadap perubahan
perilaku masyarakat, akan memakan waktu lama dibandingkan dengan
cara koersi. Namun demikian, bila perilaku tersebut berhasil diadopsi
masyarakat, maka akan langgeng, bahkan selama hidup dilakukan
(Notoadmodjo, 2012).
C. Remaja
1. Definisi
Remaja atau "adolescence" (inggris), berasal dari bahasa latin
"adolescere" yang berarti tumbuh ke arah kematangan. Kematangan yang
dimaksud adalah bukan hanya kematangan fisik saja, tetapi juga kematangan
sosial dan psikologis. Batasan usia remaja menurut WHO adalah 12-24 tahun.
Menurut Depkes RI adalah 10-19 tahun dan belum menikah. Menurut
BKKBN adalah 10-19 tahun (Putri, 2014).
2. Perkembangan Remaja dan Ciri-Cirinya
Masa remaja menurut Gilmer dalam Putri (2014) terdiri dari tiga
bagian kurun waktu yaitu:
a. Pra Remaja (Praadolesen) dalam kurun waktu 10-13 tahun
Tanda-tanda kelamin sekunder sudah mulai tumbuh , tetapi
organ reproduksi belum sepenuhnya berkembang. Dalam masa ini,
individu sudah menyadari perbedaan jenis kelamin, sehingga tingkah
lakunya selaras dengan jenis kelaminnya.

20

b. Remaja awal (Adolesen awal) dalam kurun waktu 13-17 tahun


Pada umunya masa remaja awal, sifat berpikirnya belum
mencapai kematangan. Jadi para remaja awal dalam menilai benar atau
salah terhadap sekitarnya masih dipengaruhi oleh egosentris sehingga
dalam membantah kadang-kadang tidak menjaga perasaan orang lain.
c. Remaja akhir (Adolesen akhir) dalam kurun waktu 18-21 tahun
Dalam masa remaja akhir ini penyempurnaan pematangan fisik
memang sudah mencapai perkembangan yang penuh namun
perkembangan psikis dan sosial masih terus-menerus terjadi hingga
dewasa awal.
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecelakaan Pada Remaja
Tabel 2.2
Korban Kecelakaan Lalu Lintas Di Indonesia Berdasarkan Usia Tahun
2012 2013
Tahun
No

Jenis

Satuan

1
2
3
4
5
6

5-15 tahun
16-25 tahun
26-30 tahun
31-40 tahun
41-50 tahun
51-60 tahun
Jumlah

Orang
Orang
Orang
Orang
Orang
Orang
Orang

2012
15.630
23.052
13.816
17.034
11.376
8.585
89.493

2013
25.553
67.789
27.360
21.495
23.104
165.301

Dari tabel diatas terlihat bahwa jumlah korban KLL (Kecelakaan Lalu
Lintas) berdasarkan usia yang terbanyak adalah pada usia produktif terutama
rentang usia 16-30 yang terdapat remaja didalamnya (Ditjen Perhubungan
Darat, 2014).

21

Masa remaja merupakan masa perkembangan yang harus dilalui oleh


setiap individu. Pada masa ini penuh dengan masa transisi dari semua aspek
kehidupan manusia yang mengandung konsekuensi adanya beraneka konflik
psikososial. Berbagai macam transisi ini harus dilaluinya sehingga terciptanya
identitas diri yang mantap. Transisi dalam emosi tampak dengan
meningkatnya emosi. Artinya remaja sangat peka, mudah tersinggung
perasaannya. Sering remaja menunjukkan emosi yang berlebihan dengan
ekspresi yang meledak-ledak padahal rangsang yang diperoleh dari
lingkungannya relatif kecil, bahkan dapat dikatakan tidak berarti. Misalnya
meningkatkan kecepatan kendaraannya hanya oleh karena dida didahului oleh
kendaraan lain (Soetjiningsih, 2004).
Dalam sosialisasi remaja cenderung akan membina hubungan dengan
teman sebayanya. Dalam hubungan dengan teman-teman sebaya ini sering
terjadi pengelompokkan-pengelompokkan. Bila positif pengelompokkan ini
dapat berupa grup belajar, organisasi kepemudaan formal maupun nonformal
dan lain sebagainya. Tetapi juga hanya sebagai tempat berkumpul tanpa suatu
tujuan yang jelas seperti gang. Untuk membuktikan kehebatan dan kelebihan
diantara teman-teman sebayanya tidak jarang mereka melakukan tindakantindakan dengan risiko yang tinggi seperti kebut-kebutan atau tindakan
pelanggaran hokum lainnya. Selain itu tindakan kebut-kebutan atau ugalugalan di jalan raya sering dilakukan oleh para remaja hanya oleh
ketertarikannya pada gang yang sering diasumsikan oleh remaja sebagai
rasa solidaritas atau keinginannya untuk dapat diterima dalam suatu

22

kelompok sehingga mereka tidak disisihkan dari kelompoknya (Soetjiningsih,


2004).
Selain itu adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
kecelakaan pada remaja menurut Soetjiningsih (2004), yaitu:
a. Jenis kelamin
Angka kejadian kecelakaan lebih tinggi pada laki-laki
dibandingkan perempuan. Hal ini lebih banyak dihubungkan
dengan perilaku remaja laki-laki yang lebih aktif, frekuensi
penggunaan alkohol dan kendaraan bermotor yang lebih sering
dibandingkan dengan remaja wanita.

b. Status sosio-ekonomi
Kemiskinan merupakan salah satu faktor risiko yang penting
yang mempengaruhi terjadinya kecelakaan pada remaja. Mortaltas
kebakaran, kecelakaan kendaraan bermotor, dan tenggelam lebih
banyak terjadi pada remaja yang miskin.
c. Lingkungan
Pengaruh lingkungan lebih dihubungkan dengan adanya
kemiskinan karena kemiskinan secara tidak langsung memberikan
efek terhadap lingkungan tempat tinggal. Misalnya remaja yang
miskin hidup dalam rumah yang tidak memiliki detektor asap, jalan
di sekitar rumah yang tidak nyaman, tingginya angka kekerasan di
lingkungan sekitar menjadi korban penyerangan.
d. Perilaku
Masa remaja penuh dengan masa transisi yang harus dilaluinya
sehingga tercapai identitas diri yang mantap. Transisi dalam emosi

23

tampak dengan meningkatnya emosi. Artinya remaja sangat peka,


mudah tersinggung perasaannya. Sering remaja menunjukkan emosi
yang berlebihan dengan ekspresi yang meledak-ledak padahal
rangsang yang diperoleh dari lingkungannya relatif kecil, bahkan
dapat dikatakan tidak berarti. Misalnya meningkatnyakecepatan
kendaraannya hanya oleh karena didahului oleh kendaraan lain.
Dalam sosialisasi remaja cenderung akan membina hubungan
dengan

teman

sebayanya

dengan

cara

pengelompokkan-

pengelompokkan. Untuk membuktikan kehebatan dan kelebihan


diantara mereka tidak jarang mereka melakukan tindakan-tindakan
berisiko tinggi seperti kebut-kebutan atau tindakan pelanggaran
hukum lainnya.
Remaja memiliki beberapa perilaku yang dapat meningkatkan
risiko terjadinya kecelakaan seperti tidak menggunakan sabuk
pengaman atau helm saat mengemudikan kendaraan bermotor,
minum alkohol sebelum mengemudikan kendaraan, membawa
senjata api dan berkelahi.
e. Gangguan mental
Gangguan mental seperti depresi berperan untuk terjadinya
bunuh diri. Risiko untuk bunuh diri meningkat bila ditemukan lebih
dari satu gangguan mental. Faktor risiko lainnya adalah perselisihan
dalam

keluarga,

keputusasaan.

dengan

pacar,

masalah

di

sekolah

dan

24

4. Usaha-Usaha Pencegahan dan Pengendalian Kecelakaan Pada Remaja


Ada tiga faktor utama yang berperan pada timbulnya kecelakaan yaitu
faktor manusia (host), alat yang dipakai (agent) dan lingkungan. Selama
beberapa tahun usaha-usaha untuk mencegah kecelakaan lebih ditekankan
pada pencegahan terhadap manusianya, tetapi perkembangan terakhir faktor
alat dan lingkungan mendapat perhatian besar dalam usaha pengendalian
kejadian kecelakaan (Soetjiningsih, 2004).
D. Pengetahuan
1. Definisi
Pengetahuan adalah sesuatu yang diketahui berkaitan dengan proses
pembelajaran. Proses belajar ini dipengaruhi berbagai faktor dari dalam,
sepert motivasi dan faktor luar berupa sara komunikasi yang tersedia, serta
keadaan sosial budaya (Budiman dan Riyanto, 2014).
2. Jenis Pengetahuan
Pemahaman masyarakat mengenai pengetahuan dalam konteks
kesehatan sangat beraneka ragam. Pengetahuan merupakan bagian prilaku
kesehatan. Jenis pengetahuan diantranya sebagai berikut:
a. Pengetahuan implisit.
Pengetahuan implisit adalah pengetahuan yang masih tertanam
dalam bentuk pengalaman seseorang berisi faktor-faktor yang tidak
bersifat nyata, seperti keyakinan, perspektif, dan prinsip. Pengetahuan
seseorang bisaanya sulit untuk ditransfer ke orang lain baik secara
tertulis ataupun lisan. Pengetahuan implisit sering kali berisi kebisaaan
dan budaya bahkan bisa tidak disadari.

25

Contoh : seseorang mengetahui tebntang bahaya merokok bagi


kesehatan, namun ternyata di merokok.
b. Pengetahuan eksplisit.
Pengetahuan eksplisit

adalah

pengetahuan

yang

telah

didokumentasikan atau disimpat dalam wujud nyata, bisa dalam wujud


perilaku kesehatan. Pengetahuan nyata dideskripsikan dalam tindakantindakan yang berhubungan dengan kesehatan.
Contoh : seseorang yang telah mengetahui tentang bahaya merokok
bagi kesehatan dan nyatanya dia tidak merokok.
(Budiman dan Riyanto, 2014)
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang menurut
Budiman & Riyanto (2014) adalah sebagai berikut:
a. Pendidikan
Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan
kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah (baik
formal maupun nonformal), berlangsung seumur hidup. Pendidikan
adalah sebuah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok dan juga usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan.
b. Informasi/media massa
Informasi adalah that of which one is apprised or told:
intelligence, news (Oxford English Dictionary). Kamus lain
menyatakan bahwa informasi adalah sesuatu yang dapat diketahui,
namun ada pula yang menekankan informasi sebagai transfer
pengetahuan. Selain itu, informasi juga dapat didefinisikan sebagai

26

suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan,


memanipulasi, mengumumkan, menganalisis dan menyebarkan
informasi dengan tujuan tertentu (Undang-Undang Teknologi
Informasi).
Adanya

perbedaan

definisi

informasi

pada

hakikatnya

dikarenakan sifatnya yang tidak dapat diuraikan (intangible),


sedangkan informasi tersebut dapat dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari, yang diperoleh dari data dan pengamatan terhadap
dunia sekitar kita, serta diteruskan melalui komunikasi dan basis
data.
c. Sosial, budaya dan ekonomi
Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa
melalui penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan
demikian, seseorang akan bertambah pengetahuannya walaupun
tidak tidak melakukan. Status ekonomi seseorang juga akan
menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk
kegiatan tertentu sehingga status social ekonomi ini akan
memengaruhi pengetahuan seseorang.
d. Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu,
baik lingkunagn fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan
berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam
individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi

27

karena adanya interaksi timbale balik ataupun tidak, yang akan


direspons sebagai pengetahuan oleh setiap individu.
e. Pengalaman
Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara
untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang
kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah
yang dihadapi masa lalu. Pengalaman belajar dalam bekerja yang
dikembangkan akan memberikan pengetahuan dan keterampilan
professional, serta dapat mengembangkan kemampuan mengambil
keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar
secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam
bidang kerjanya.
f. Usia
Usia memengaruhi daya tangkap dan pola piker seseorang.
Semakain bertambah usia akan semakin berkembang pula daya
tangkap dan pola pikirnya sehingga pengetahuan yang diperolehnya
semakin membaik. Pada usia madya, individu akan lebih berperan
aktif dalam masyarakat dan kehidupan sosial, serta lebih banyak
melakukan persiapan demi suksesnya upaya menyesuaikan diri
menuju usia tua. Selain itu, orang usia madya akan lebih banyak
menggunakan banyak waktu untuk membaca. Kemampuan
intelektual, pemecahan masalah , dan kemampuan verbal dilaporkan
hampir tidak ada penurunan pada usia dini.

28

4. Tahapan Pengetahuan
Tahapan pengetahuan menurut Benjamin S. Bloom (1956) dalam
Budiman dan Riyanto (2014) ada enam tahapan, yaitu sebagai berikut.
a. Tahu (know)
Berisikan kemampuan untuk mengenali dan mengingat
peristilahan, definisi, fakta-fakta, gagasan, pola, urutan, metodologi,
prinsip dasar, dan sebagainya. Misalnya ketika seorang perawat
diminta untuk menjelaskan tentang imunisasi campak, orang yang
berada pada tahapan ini dapat menguraikan dengan baik dari
definisi campak, manfaat imunisasi campak, waktu yang tepat
pemberian campak, dan sebagainya.
b. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai

suatu

kemampuan

untuk

menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat


menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
c. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi tersebut secara benar.
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi
atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di
dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama
lain.
e. Sintesis (synthesis)

29

Sintesis merujuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan


atau

menghubungkan

bagian-bagian

dalam

suatu

bentuk

keseluruhan yang baru.

f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
5. Pengukuran Pengetahuan
Bila seseorang mampu menjawab mengenai materi tertentu baik secara
lisan maupun tulisan, maka dikatakan seseorang tersebut mengetahui bidang
tersebut.

Sekumpulan

jawaban

yang

diberikan

tersebut

dinamakan

pengetahuan. Pengukuran bobot pengetahuan seseorang ditetapkan menurut


hal-hal berikut.
a. Bobot I
b. Bobot II
c. Bobot III

: tahap tahu dan pemahaman.


: tahap tahu, pemahaman,aplikasi dan analisis.
: tahap tahu, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan

evaluasi.
Pengukuran dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang
menanyakan tentang isi materi yang diukur dari subjek penelitian atau
responden. Dalam mengukur pengetahuan harus diperhatikan rumusan
kalimat pertanyaan yang dapat digunakan untuk membuat kuesioner yang
berhubungan dengan pengukuran pengetahuan (Budiman dan Riyanto, 2014).

30

E. Sikap
1. Konsep Dasar
sikap adalah pernyataan evaluatif terhadap objek, orang atau peristiwa.
Hal ini mencerminkan perasaan seseorang terhadap sesuatu. Misalnya ketika
seseorang mengetahui bahwa merokok di dalam rumah membahayakan
kesehatan bagi anggota yang berada di sekitarnya lalu orang tersebut tidak
merokok. Sikap orang tersebut merespons pada peristiwa. Pernyataan
evaluatif merupakan reaksi respons terhadap objek, orang dan peristiwa yang
merupakan stimulus (Budiman dan Riyanto, 2014).
Sikap yang ada dalam seseorang memerlukan unsur respons dan
stimulus. Misalnya sikap yang berhubungan dengan kepuasan pelayanan
kesehatan. Seseorang akan merasa puas jika pelayanan kesehatan yang
diterima berkualitas. Kepuasan merupakan respons dari stimulus yang
diterima yaitu pelayanan kesehatan. Output sikap pada seseorang dapat
berbeda, jika suka maka seseorang akan mendekat, mencari tahu dan
bergabung, sebaliknya jika tidak suka, maka seseorang akan menghindar atau
menjauhi (Budiman dan Riyanto, 2014).
2. Komponen Sikap
Menurut Breckler (1984) dalam Budiman dan Riyanto (2014),
komponen utama sikap adalah sebagai berikut.
a. Kesadaran.
b. Perasaan.
c. Perilaku.
3. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Sikap
Menurut Azwar (2007) dalam Budiman dan Riyanto (2014), faktorfaktor yang memengaruhi sikap adalah sebagai berikut.
a. Pengalaman pribadi.
b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting.

31

c.
d.
e.
f.

Pengaruh budaya.
Media massa.
Lembaga pendidikan dan lembaga agama.
Pengaruh faktor emosional.

4. Pengukuran Sikap
Menurut Budiman & Riyanto (2014) ranah afektif tidak dapat diukur
seperti halnya ranah kognitif, karena dalamranah afektif kemampuan yang
diukur

adalah:

menerima

(memperhatikan),

merespons,

menghargai,

mengorganisasi dan menghayati. Skala yang digunakan untuk mengukur


ranah afektif seseorang terhadap kegiatan suatu objek diantaranya
menggunakan skala sikap.
Hasil pengukuran berupa kategori sikap, yaknimendukung (positif),
menolak (negatif) dan netral. Sikap pada hakikatnya adalah kecenderungan
berperilaku pada seseorang. Skala sikap dinyatakan dalam bentuk pernyataan
untuk dinilai oleh responden, apakah pernyataan tersebut didukung atau
ditolak melalui rentangan nilai tertentu. Oleh sebab itu, pernyataan yang
diajukan dibagi ke dalam dua kategori, yakni pernyataan positif dan
pernyataan negatif. Salah satu skala sikap yang sering digunakan adalah skala
Likert. Dalam skala Likert, pernyataan-pernyataan yang diajukan, baik
pernyataan positif maupun negatif, dinilai oleh subjek dengan sangat setuju,
setuju, tidak punya pendapat, tidak setuju, sangat tidak setuju (Budiman dan
Riyanto, 2014).
F. Helm
1. Defenisi
Helm merupakan topi keras yang dipakai untuk melindungi kepala
(Merriam-Webster, 2013).

32

Helm adalah bentuk perlindungan tubuh yang dikenakan di kepala dan


biasanya dibuat dari metal atau bahan keras lainnya seperti kevlar, serat resin,
atau plastik (id.wikipedia.com, 2014).
2. Jenis-Jenis Helm Sepeda Motor
a. Shorty Helmet / Helm Cetok

Gambar 2.1
Shorty helmet atau dipasaran lebih dikenal dengan helm cetok
merupakan helm yang didesain untuk menutupi setengah dari bagian
kepala. Helm ini menyerupai bentuk topi yang dipasang tali pada samping
kanan dan kiri untuk pengikat. Material yang digunkan menyerupai plastik
yang keras dan pada bagian dalam dilapisi karet dan busa. Kelebihan dari
helm jenis ini adalah mampu melindungi bagian atas kepala meski dengan
tingkat perlindungan yang sangat minim. Helm jenis ini dirancang untuk
memudahkan penglihatan dan pendengaran penggunanya. Helm ini mudah
dibawa dan disimpan karena bentuknya yang sederhana. Harga helm jenis
ini biasanya murah. Sedangkan kekurangannya adalah pada desain helm
ini tidak adanya bagian yang menutupi telinga, sehingga helm ini bisa
membahayakan pendengaran pengunanya akibat suara noise yang
ditimbulkan ketika berkendara. Helm ini juga tidak memberikan proteksi

33

yang baik terhadap kepala dan mata. Fungsi helm ini tak ubahnya topi
saja.
b. Open Face Helmet / Half face Helmet

Gambar 2.2
Helm ini dirancang berbentuk bola dengan dilapisi bantalan dari
karet busa pada bagian dalam. Bentuk bola ini menjawab kebutuhan
konsumen akan helm yang mampu melindungi bagian atas, samping dan
bagain belakang kepala.Helm ini juga dilapisi karet busa yang lebih tebal
pada bagian penutup telinga yang difungsikan untuk mengurangi suara
noise yang masuk ke telinga pengendara. Kekurangan dari helm ini adalah
tidak mampu memberikan perlindungan yang memadai pada bagian muka,
dagu dan gigi.
c. Full Face Helmet

Gambar 2.3
Untuk menjawab berbagai macam kebutuhan konsumen yang belum
bisa terpenuhi oleh jenis helm open face / half face maka dibuatlah jenis
helm full face. Desain dari helm ini menutupi seluruh bagian kepala

34

hingga bagian dagu sehingga mampu memberikan perlindungan maksimal


bagi pengendara. Selain itu helm ini juga dilengkapai dengan kaca yang
dapat melindungi mata pengendara dari debu maupan hujan. Pada bagian
dalam helm ini juga dilapisi oleh bantalan karet busa yang lumayan tebal
sehingga mampu memberikan kesan nyaman bagai penggunanya. Untuk
mencegah pengguna helm ini kepanasan maka helm ini juga dilengkapi
dengan ventilasi udara yang berfungsi mengatur sirkulasi udara pada
bagian dalam helm ini. Adapun kekurangan dari helm jenis ini adalah
pendengaran si pengguna agak terganggu karena jenis helm ini tertutup
rapat. Helm ini juga tidak terlalu praktis dalam penggunaannya. Bagi
pengguna kacamata helm jenis full face ini sangat tidak nyaman
digunakan.
d. Helm Modular / Flip-Up Helmet

Gambar 2.4
Untuk memuaskan kebutuhan konsumen akan helm yang aman,
fleksibel, nyaman digunakan tanpa mengganggu pendengaran pemakai
dan juga praktis yaitu bisa disesuaikan dengan kondisi jalan dan cuaca

35

dibuatlah helm model Modular atau flip-up. Helm model Modular atau
flip-up ini merupakan penggabungan bentuk antara helm jenis full face
dengan helm jenis open face. Pada dasarnya helm ini berbentuk sama
layaknya helm full face hanya bedanya

rahang helm bisa diangkat

layaknya helm open face. Desain yang fleksibel tersebut memudahkan


pengguna helm untuk menyesuaikan lingkungan jalan maupun cuaca. Jika
cuaca buruk ataupun jalanan berbatu pengguna helm ini bisa menutup
seluruh bagian kepala layaknya helm full face. Namun jika ingin bersantai
pengguna tinggal mengangkat rahang helm sehingga pengguna dapat
digunakan layaknya helm open face. Untuk para pengendara sepeda motor
yang berkacamata helm jenis ini sangat cocok digunakan karena tidak
mengganggu posisi kacamata.
(Putra, 2012)
3. Penggunaan Helm Ditinjau Dari Segi Kesehatan
Salah akibat paling berbahaya dalam kecelakaan kendaraan bermotor
adalah cedera kepala, cedera kepala akan berakibat sangat fatal jika tidak
ditangani secepat mungkin. Penggunaan helm yang telah memenuhi standar
SNI akan sangat membantu jika terjadi kasus seperti ini. Ciri-ciri helm SNI
yaitu melindungi bagian atas dan belakang kepala (seperti helm half face),
dengan kondisi busa, kaca dan tempurung helm sudah memenuhi syarat-syarat
keselamatan. Sehingga helm dapat melindungi pengguna dari benturan, angin,
air hujan, debu dan panas matahari (Pamuji, 2014)

Anda mungkin juga menyukai