Sitti Marwah
No. ID dan Nama Wahana : RSUD Pangkep
Topik : keratitis
Tanggal Kasus : 14 November 2016
Nama Pasien : Nn. N
No. RM : 00196417
Keterampilan
Penyegaran
Diagnostik
Manajemen
Masalah
Neonatus
Bayi
Anak
Remaja
Tinjauan
Pustaka
Istimewa
Dewasa
Lansia
Bumil
Tinjauan
Bahasan :
Pustaka
Cara
membahas :
Diskusi
Riset
Presentasi dan
diskusi
Data Pasien :
Nama : Nn. N
Nama klinik :
Kasus
Audit
Pos
STATUS LOKALIS
Mata Kiri
Mata Kanan
Hiperemi
perikornea
Infiltrat
Sentral, normal
Kedudukan
Sentral, normal
20/20
Visus
20/70
Tidak dilakukan
Visus Koreksi
Tidak di lakukan
Bulbus Oculi
Supersilia
Edema (-)
Palpebrae Superior
Edema (+)
Edem (-)
Palpebra Inferior
Edem (-)
Hiperemi (-)
Konjungtiva
Hiperemi (+)
Palpebralis
Hiperemi (-)
Konjungtiva
Hiperemi (+)
Fornices
Konjungtiva Bulbi
Hiperemi (-)
Putih
Dalam batas normal
Dalam bats normal
Hiperemi (+)
Sklera
Abu - abu
Kornea
Keruh(+)infiltrat(+)
Limbus
Kamera
Okuli
Hiperemi (+)
Cukup
Anterior
Cukup
Reguler ( normal)
Iris
Reguler(normal)
Normal
Lensa
Normal
Bulat
Pupil
Bulat
+ 3 mm
Reflek cahaya (+)
Tidak dilakukan
Funduskopi
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tonometri
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tes Fluorescen
Tidak dilakukan
2.Pemeriksaan Palpasi
Palpasi
OD
OS
Tensi Okuler
Tn
Tn
Nyeri tekan
(-)
(-)
Massa tumor
(-)
(-)
Glandula preaurikuler
Daftar Pustaka :
DAFTAR PUSTKA
1. Ilyas, Sidarta : Anatomi dan Fisiologi mata dalam Ilmu Penyakit
Mata. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, Edisi 3, 2008. Hal 1-12.
2. Ilyas, Sidarta : Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI, 2009.
3. Riordan Paul Eva, et al : Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum.
Jakarta : EGC, edisi 17, 2009 : hal 126-143.
4. Kanski JJ. Retinal Vascular Disorders in Clinical Ophthalmology: A
Systematic Approach. 3rd Edition. Oxford: Butterworth-Heinemann Ltd,
1994. Hal 152-200.
5. Vaughan, Daniel G et al. 2002. Oftalmologi Umum edisi-14. Jakarta: Widya
Medika. Hal: 129 152
6. Vaughan & Asbury's (2008) General Ophthalmology, 17th edn., United States of
America: McGraw-Hill.
7. Kaye SB, Lynas C, Patterson A, Risk JM, McCarthy K, Hart CA. Evidence for
herpes simplex viral latency in the human cornea, Bri Ophthalmol 1991; 75: 195200
8. Suhardjo (1995) Diagnosis dan Penatalaksanaan Keratitis Herpes Simpleks
Hasil Pembelajaran :
A. ANATOMI KORNEA
Kornea (Latin Cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata,
bagian mata yang tembus cahaya. Kornea disisipkan ke dalam sklera pada
limbus, lekukan melingkar pada sambungan ini disebut sulcus scleralis.
Kornea terdiri dari 5 lapisan dari luar ke dalam :1
1. Epitel
Terdiri dari sel epitel squamos yang bertingkat, terdiri atas 5 lapis
sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; sel poligonal dan
sel gepeng. Tebal lapisan epitel kira-kira 5 % (0,05 mm) dari total seluruh
lapisan kornea. Epitel dan film air mata merupakan lapisan permukaan dari
media penglihatan. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda
ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan
menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di
sampingnya dan sel poligonal di sampingnya melalui desmosom dan
makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan
glukosa melalui barrier. Sel basal menghasilkan membran basal
yang melekat erat kepadanya.
2. Membran bowman
Membran yang jernih dan aselular, Terletak di bawah membran basal dari
epitel. Merupakan lapisan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti
stroma dan berasal dari epitel bagian depan stroma. Lapisan ini tidak
mempunyai daya generasi.
3. Stroma
Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea.
Merupakan lapisan tengah pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibrilfibril kolagen dengan lebar sekitar 1 m yang saling menjalin yang hampir
mencakup seluruh diameter kornea, pada permukaan terlihat anyaman
yang teratur sedang di bagian perifer serta kolagen ini bercabang;
terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama, dan kadang
sampai 15 bulan.
4. Membran Descemet
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang
stroma kornea yang dihasilkan oleh endotel. Bersifat sangat elastis dan
jernih yang tampak amorf pada pemeriksaan mikroskop elektron, membran
ini berkembang terus seumur hidup dan mempunyai tebal +40 mm.
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk
heksagonal, tebal antara 20-40 mm melekat erat pada membran descemet
melalui taut. Endotel dari kornea ini dibasahi oleh humor aqueous. Lapisan
B. Fisiologi Kornea
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui
berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan strukturnya
endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Endotel lebih penting
daripada epitel dalam mekanisme dehidrasi dan cidera kimiawi atau fisik pada
endotel jauh lebih berat daripada cedera pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel
menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya cedera
pada epitel hanya menyebabkan edema lokal sesaat stroma kornea yang akan
menghilang bila sel-sel epitel itu telah beregenerasi. Penguapan air dari film
air mata prakornea akan mengkibatkan film air mata akan menjadi hipertonik;
proses itu dan penguapan langsung adalah faktor-faktor yang yang menarik air
dari stroma kornea superfisialis untuk mempertahankan keadaan dehidrasi.1
Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut lemak
dapat melalui epitel utuh, dan substansi larut air dapat melalui stroma yang
utuh. Karenanya agar dapat melalui kornea, obat harus larut lemak dan larut
air sekaligus.1
C. Definisi Keratitis
Keratitis adalah kelainan akibat terjadinya infiltrasi sel radang pada
kornea yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh. Keratitis dapat terjadi
pada anak-anak maupun orang dewasa. Bakteri umumnya tidak dapat
menyerang kornea yang sehat, namun beberapa kondisi dapat menyebabkan
kornea terinfeksi. Mata yang sangat kering juga dapat menurunkan mekanisme
pertahanan kornea.
D. Epidemiologi
Secara global, insidensi keratitis bakteri bervariasi secara luas, di mana
negara dengan industrialisasi yang rendah menunjukkan angka pemakaian
softlens yang rendahm sehingga bila dihubungkan dengan pemakai softlens
dan terjadinya infeksi menunjukkan hasil penderita yang rendah juga.
E. Klasifikasi
Superfisi
al
KERATITIS
Profunda
epitel
subepit
el
stroma
Numularis,
disiform
neuroparalitik
interstitia
l
disiformis
sklerotika
n
10
F. FAKTOR RESIKO
1. Blefaritis
2. Infeksi pada organ asesoria bulbi (seperti infeksi pada aparatus lakrimalis)
3. Perubahan pada barrier epitel kornea (seperti dry eyes syndrom)
4. Pemakaian contact lens
5. Lagoftalmos
11
6. Gangguan Neuroparalitik
7. Trauma
8. Pemakaian imunosupresan topikal maupun sistemik
G. ETIOLOGI KERATITIS
1. Bakteri
-
Diplokok pneumonia
Streptokok hemolotikus
Pseudomonas aerogenosa
Moraxella liquefaciens
Klebsiela pneumoniae
2. Virus
-
Herpes simpleks
Herpes zoster
Adenovirus
3. Jamur
-
Candida
Aspergilin
Nocardia.
4. Alergi
-
Terhadap tuberkuloprotein
H. PATOFISIOLOGI
Permukaan mata secara regular terpajan lingkungan luar dan mudah
mengalami trauma, infeksi, dan reaksi alergi yang merupakan sebagian besar
penyakit pada jaringan ini. Kelainan kornea sering menjadi penyebab
timbulnya gejala pada mata. Keratitis merupakan kelainan akibat terjadinya
12
infiltrat sel radang pada kornea yang akan mengakibatkan kornea menjadi
keruh.
Kornea disarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar
longus dan saraf nasosiliar. Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan
mengakibatkan sistem pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi
endotel dan terjadi edema kornea. Kornea merupakan bagian mata yang tembus
cahaya dan menutup bola mata di sebelah depan. Karena kornea avaskular,
maka pertahanan sewaktu peradangan tak dapat segera datang. Maka badan
kornea, sel-sel yang terdapat di dalam stroma segera bekerja sebagai makrofag
baru kemudian disusul oleh pembuluh darah yang terdapat di limbus dan
tampak sebagi injeksi perikornea.Sesudahnya baru terjadi infiltrat, yang
tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh, dan permukaan yang licin.
Kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbul ulkus kornea yang dapat
menyebar ke permukaan dalam stroma.
Pada peradangan yang hebat, toksin dari kornea dapat menyebar ke iris
dan badan siliar dengan melalui membran descement dan endotel
kornea.Dengan demikian iris dan badan siliar meradang dan timbulah
kekeruhan di cairan COA, disusul dnegan terbentuknya hipopion. Bila
peradangan terus mendalam, tetapi tidak mengenai membran descement dapat
timbul tonjolan membran descement yang disebut mata lalat atau
descementocele.
13
14
yang ditemukan
ini
juga
berguna
dalam
mengawasi
15
Subyektif : Anamnesis
Dari anamnesis biasanya didapatkan gejala seperti :
fotofobia
kadang kotor
Disiformis
16
Pemeriksaan Oftalmologi
a. Pemeriksaan dengan Slit Lamp
b. Tes Placido
Yang diperhatikan adalah gambaran sirkuler yang direfleksi pada
permukaan kornea penderita. Bila bayangan di kornea gambaran sirkulernya
teratur, disebut Placido (-), pertanda permukaan kornea baik. Kalau gambaran
sirkulernya tidak teratur, Placido (+) berarti permukaan kornea tidak baik,
mungkin ada infiltrat.
c. Tes Fluoresin
Untuk melihat lebar dan dalamnya ulkus pada kornea, yaitu dengan
memasukkan kertas yang mengandung fluoresin steril ke dalam sakus
konjungtiva inferior setelah terlebih dahulu diberi anestesi lokal, kemudian
penderita disuruh mengedip beberapa waktu dan kertas fluoresinnya dicabut.
Pemeriksaan ini dapat juga menggunakan fluoresin tetes. Pada tempat ulkus
tampak berwarna hijau.
d. Tes Fistel / Siedel Test
Pada pemeriksaan adanya fistel pada ulkus kornea, setelah pemberian
fluoresin, bola mata harus ditekan sedikit untuk melepaskan fibrinnya dari
fistel, sehingga cairan COA dapat mengalir keluar melalui fistel, seperti air
mancur pada tempat ulkus dengan fistel tersebut.
e. Pemeriksaan visus
f. Pemeriksaan bakteriologik, dari usapan pada ulkus kornea
17
kuman penyebab, juga obatnya yang tepat guna, dengan demikian pengobatan
menjadi lebih terarah.
h. Sensibilitas kornea
PENATALAKSANAAN
Pengobatan diberikan tergantung organisme penyebab, misalnya
antibiotik, antijamur, dan anti virus. Antibiotik spektrum luas dapat digunakan
secepatnya, tapi bila hasil laboratorium sudah menentukan organisme
penyebab, pengobatan dapat diganti. Untuk virus dapat diberikan idoxuridine,
trifluridin atau acyclovir.Untuk bakteri gram positif pilihan pertama adalah
cafazolin, penisilin G atau vancomisin dan bakteri gram negatif dapat
diberikan tobramisin, gentamisin atau polimixin B. Pemberian antibiotik juga
diindikasikan jika terdapat secret mukopurulen, menunjukkan adanya infeksi
campuran dengan bakteri. Untuk jamur pilihan terapi yaitu : natamisin,
amfoterisin atau fluconazol. Selain itu obat yang dapat membantu epitelisasi
dapat diberikan. Terkadang, diperlukan lebih dari satu macam pengobatan.
Terapi bedah laser terkadang dilakukan untuk menghancurkan sel yang tidak
sehat, dan infeksi berat membutuhkan transplantasi kornea. Obat tetes mata
atau salep mata antibiotik, anti jamur dan antivirus biasanya diberikan untuk
menyembuhkan keratitis, tapi obat-obat ini hanya boleh diberikan dengan
resep dokter.
Medikamentosa lain diberikan dengan tujuan mengatasi gejala yang
18
19
dan tidak boleh digunakan untuk membersihkan lensa kontak. Jangan terlalu
sering memakai lensa kontak. Lepas lensa kontak bila mata menjadi merah
dan timbul iritasi. Ganti lensa kontak bila sudah waktunya diganti. Cuci
tempat lensa kontak dengan air panas, dan ganti tempat lensa kontak tiap 3
bulan karena organisme dapat terbentuk di tempat kontak lensa itu.
Makan makanan bergizi dan memakai kacamata pelindung ketika
bekerja atau bermain di tempat yang potensial berbahaya bagi mata. Kacamata
dengan lapisan anti ultraviolet dapat membantu mengurangi pajanan.
.
4.
Diagnosis dan diagnosis banding
Diagnosis :Keratitis oculi dextra
Diagnosis banding: ulkus kornea
5. Plan
Terapi
Cefadroxil tablet 500mg 2x1
Metilprednisolon 4mg 3x1
Asam mefenamat tablet 500mg3x1
LFX 6x1 tetes
Cenfresh 3x1 tetes
Prognosis
Quo ad vitam : dubia ada bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Pendidikan
Menjelaskan prognosis penyakit dan efek samping dari farmakoterapi yang
mungkin terjadi.
Rujukan
Diperlukan jika terjadi efek samping farmakoterapi serius atau terjadi komplikasi
yang harus ditangani di Rumah Sakit dengan sarana dan prasarana yang lebih
memadai.
20
Peserta,
Pendamping,
21