Anda di halaman 1dari 13

Paparan Solvent pada Industri Sepatu

Hilary
102012249
Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731

PENDAHULUAN
Penyakit akibat kerja (PAK) timbul akibat terpajan faktor fisik, kimiawi, biologis,
atau psikososial di tempat kerja. PAK sebagian besar disebabkan oleh pajanan zat kimia
beracun sebagai hasil pengolahan bahan mentah, produk proses industri, ataupun limbah
industri. Diagnosis penyakit akibat kerja umumnya sangat sulit karena pekerja dapat
terpajan oleh lebih dari satu zat kimia beracun di lingkungan kerja. Oleh karena itu, untuk
mencapai hasil yang maksimal dalam diagnosis, dokter perusahaan wajib mengevaluasi
baik data pekerja itu sendiri, maupun data pajanan bahaya kerja di lingkungan tempat
kerja mereka sendiri.1
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai penyakit akibat kerja yang disebabkan
oleh pajanan zat kimia pelarut (solvent) dalam sebuah industri sepatu.
PEMBAHASAN
Penyakit Akibat Kerja
Merupakan penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja.
Penyakit akibat kerja dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang berasal dari tempat
kerja, yaitu:2
1. Faktor fisik:
a. Suara yang dapat mengakibatkan tuli akibat kerja.
b. Radiasi sinar rontgen atau sinar radioaktif, yang menyebabkan antara lain
penyakit susunan darah dan kelainan kulit. Radiasi sinar infra merah dapat
mengakibatkan katarak (cataract) kepada lensa mata, sedangkan sinar ultra violet
menjadi sebab konjungtivitis fotoelektrika.

c. Suhu yang terlalu tinggi menyebabkan heat stroke (pukulan panas), kejang panas
(heat cramps) atau hiperpireksia. Sedangkan suhu terlalu rendah dapat
menyebabkan frostbite.
d. Tekanan udara tinggi menyebabkan penyakit kaison.
e. Penerangan lampu yang buruk dapat menyebabkan kelainan kepada indra
penglihatan atau kesilauan yang memudahkan terjadinya kecelakaan.
2. Faktor kimiawi:
a. Debu yang menyebabkan pnemokoniosis , di antaranya silikosis, abestosis dan
lainnya.
b. Uap yang di antaranya dihasilkan oleh larutan zat kimia yang menguap pada
suhu ruangan dan bersifat toksis bila terhirup dalam jangka waktu tertentu yang
terjadi pada kasus ini. Contoh pelarut yang digunakan seperti toluene, carbon
disulfide, metil asetat , benzene dan masih banyak lagi.
c. Gas, misalnya keracunan oleh CO, H2S dan lainnya.
d. Larutan zat kimia yang dapat menyebabkan iritasi kepada kulit.
e. Asap atau kabut, misalnya racun serangga (insecticides), racun jamur dan
lainnya yang menimbulkan keracunan.
3. Faktor biologis, misalnya bibit penyakit antraks atau brusella (brucella) yang
menyebabkan penyakit akibat kerja pada pekerja penyamak kulit.
4. Faktor fisiologis/ergonomis, antara lain kesalahan konstruksi mesin, sikap badan
yang tidak benar dalam melakukan pekerjaan dan lain-lain yang kesemuaannya
menimbulkan kelelahan fisik dan gangguan kesehatan bahkan lambat laun dapat
terjadi perubahan fisik tubuh pekerja atau kecacatan dan dapat mengarah pada stress.

5. Faktor mental-psikologis yang terlihat misalnya pada hubungan kerja atau hubungan
industrial yang tidak baik, dengan akibat timbulnya misalnya depresi atau penyakit
psikosomatis.
DIAGNOSIS OKUPASI
Untuk menentukan suatu kejadian dikatakan penyakit akibat kerja atau bukan
digunakan 7 langkah diagnosa okupasi seperti berikut :
1. Menentukan diagnosa klinis
2

Anamnesis
Seperti pada biasanya anamnesis memiliki peran penting untuk mengetahui
diagnosa klinis pada pasien dengan gejala tertentu, pada kasus okupasi anamnesis seputar
pekerjaan pasien perlu lebih ditekankan. Untuk memperoleh anamnesis pekerjaan yang
terarah maka pertanyaan harus difokuskan pada hal-hal yang penting secara sistematik ,
dengan langkah-langkah sebagai berikut.1
1. Memastikan kemunculan gejala dalam hubungannya dengan pekerjaan
a. Apakah gejala yang timbul membaik pada saat istirahat atau liburan?
b. Apakah terdapat pekerja lain yang menderita gejala yang sama di
lingkungan kerja?
c. Apakah terjadi pajanan debu, uap atau partikel-partikel zat kimia yang
beracun di lingkungan kerja?
2. Pertanyaan kronologis tentang pekerjaan terdahulu sampai yang sekarang ,
mengenai:
a. Deskripsi lingkungan tempat kerja
b. Informasi tentnag bahan mentah yang dipakai, proses kerja, produk yang
c.
d.
e.
f.
g.
h.

dihasilkan serta tata cara penanganan limbah industri.


Lama bekerja di masing-masing tempat kerja
Deskripsi tugas dan jadawal waktu kerja/shift
Jumlah hari absen dan alasannya
Penggunaaan alat pelindung diri
Prosedur pemeriksaan fisik sebelum masuk kerja
Adanya pekerjaan lain disamping pekerjaan utama (misalnya kerja malam

hari)
3. Pertanyaan spesifik yang ada hubungannya dengan pajanan penyakit akibat kerja
a. Pernah bekerja dengan di tempat kerja yang bising/terlalu panas atau
menggunakan produk asbes / sinar radioaktif / zat kimia / alat yang
menimbulkan vibrasi?
b. Faktor stress di tempat kerja (Jemu, konflik dengan atasan /bawahan/
teman kerja dan lain-lain)
c. Hobi (olahraga , berkebun, melukis , pekerjaan rumah tangga/ pertukangan
/ las)
4. Riwayat reproduksi (Riwayat abortus ,jumlah anak, lahir mati, riwayat kehamilan
terdahulu, kesukaran pada saat melahirkan bayi, perubahan libido dan siklus
menstruasi)
5. Riwayat kesehatan pribadi dan keluarga

6. Informasi mengenai industri lain di sekeliling tempat kerja (tingkat polusi


lingkungan, pajanan limbah industri/ percikan zat beracun dari tempat lain).
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilaksanakan seperti pada penyakit umum lainnya, yaitu
pemeriksaan fisik secara umum dengan menitikberatkan pada pemeriksaan sistem organ
yang diperkirakan terpengaruh akibat pajanan zat zat kimia yang diduga menjadi etiologi
penyakit akibat kerja, misalnya garis timah hitam pada intoksikasi timah hitam,
pembesaran hati akibat pajanan toluena, dan pembesaran limpa karena intoksikasi
bensin.1-3
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium juga dapat dilakukan jika memang diperlukan untuk
menunjang diagnosis klinis. Pada kasus ini seseorang yang bekerja pada pabrik lem akan
sangat erat kaitanny dengan inhalasi zat kimia pelarut, yang paling sering umum
digunakan dalam industri lem salah satunya adalah toluene. Maka pemeriksaan
laboratorium pada kasus ini dapat meliputi :
1. Analisa Gas Darah (AGD) akan menunjukkan acidosis, hypoxemia dan
hypercabia.
2. Menilai konsentrasi elektrolit dan glukosa dan darah :
a. Pemaparan terhadap toluene akan mengakibatkan

hipokalemia,

hyperchloremia, metabolic acidosis, hipokalemia dan hypophosphatemia.


b. Hipoglikemi harus dieliminasi sebagai penyebab penunrunan tahap
kesadaran.
3. Blood Urea Nitrogen (BUN) dan konsentrasi kreatinin diperlukan untuk
memantau fungsi ginjal karena kelebihan zat toluene bisa mengakibatkan gagal
ginjal.
4. Konsentrasi kreatinin dalam darah dan urin dan mioglobin diperlukan untuk
memeriksa apakah terjadinya rhabdomyolysis akibat.
5. Kosentrasi toluene bisa didapati melalui pemeriksaan laboratorium yang spesifik
tetapi hasilnya tidak dapat didapati dengan segera untuk membantu dalam
pelaksanaan terapi :

a. Konsentrasi toluene dalam darah yang mencapai 2.5mg/L mengindikasi


toksiksitas.
b. Konsentrasi

toluene

dalam

darah

yang

mencapai

50mg/L bisa

mengakibatkan maut.
6. Pemeriksaan enzim hati dan konsentrasi bilirubin diperlukan untuk memantau
efek hepatotoksiksitas yang mungkin bisa mengakibatkan jaundice, hepatitis dan
gagal hati.
7. Pemeriksaan darah lengkap dan darah rutin akan mendeteksi pelbagai efek
hematologik, misalnya anemia, leukositosis dan kelainan komponen darah.
8. Pemeriksaan radiologi serta MRI/ CT-Scan dan ECG juga dapat dianjurkan bila
didapati tanda-tanda seperti atrofi otak, kelainan paru akut, aritmia ataupun
ventricular fibrillation yang dapat mengakibatkan kematian pada konsentrasi
toluene yang sangat tinggi didalam darah.4
Pemeriksaan Tempat Kerja
Pemeriksaan tempat dan ruang kerja yang dimaksudkan untuk memastikan adanya faktor
penyebab penyakit di tempat atau ruang kerja serta mengukur kadarnya. Hasil
pengukuran kuantitatif di tempat atau ruang kerja sangat perlu untuk melakukan penilaian
dan mengambil kesimpulan, apakah kadar zat sebagai penyebab penyakit akibat kerja
cukup dosisnya atau tidak untuk menyebab sakit. Meliputi faktor lingkungan kerja yang
dapat berpengaruh terhadap sakit penderita (faktor fisik, kimiawi, biologis, psikososial),
faktor cara kerja yang dapat berpengaruh terhadap sakit penderita (peralatan kerja, proses
produksi, ergonomi), waktu paparan nyata (per hari, perminggu) dan alat pelindung diri
(APD).2
2. Menetukan pajanan yang dialami
Suatu PAK, seringkali tidak hanya disebabkan oleh pajanan yang dialami di pekerjaan
yang saat ini dilakukan, tetapi dapat disebabkan oleh pajanan-pajanan pada pekerjaan
yang terdahulu. Selain itu, beberapa pajanan bisa saja menyebabkan satu penyakit,
sehingga dokter harus mendapatkan informasi mengenai semua pajanan yang dialami dan
pernah dialami oleh pasiennya. Untuk memperoleh informasi ini perlu dilakukan
anamnesis pekerjaan yang lengkap, yang mencakup:
a. Deskripsi semua pekerjaan secara kronologis

b.
c.
d.
e.

Periode waktu melakukan masing-masing pekerjaan


Apa yang diproduksi
Bahan yang digunakan
Cara bekerja

3. Menentukan hubungan antara pajanan dengan penyakit


Melakukan identifikasi pajanan mana saja yang berhubungan dengan penyakit yang
dialami. Hubungan ini harus berdasarkan hasil-hasil penelitian epidemiologis yang
pernah dilakukan (evidence based). Identifikasi ada tidaknya hubungan antara pajanan
dan penyakit dapat dilakukan dengan mengkaji literatur atau referensi. Hubungan antara
pajanan dengan penyakit juga perlu dilihat dari waktu timbulnya gejala dan penyakit,
misalnya orang tersebut terpajan oleh bahan tertentu terlebih dahulu, sebelum mulai
timbul gejala/penyakit.
4. Menetukan apakah pajanan yang dialami cukup besar
Untuk dapat menilai apakah suatu pajanan cukup besar untuk dapat menyebabkan
penyakit tertentu, perlu dimengerti patofisiologi dari penyakit tersebvut dan bukti
epidemiologis. Cukup besarnya suatu pajanan dapat dinilai secara kulaitatif, yaitu dengan
menanyakan kepada pasien cara kerja, proses kerja, dan bagaimana lingkungan kerja.
5. Menentukan peranan faktor individu
Setiap penyakit selain disebabkan oleh faktor lingkungan dan /atau faktor pekerjaan ,
pasti juga ada faktor individu yang berperan. Perlu dinilai seberapa besar faktor individu
itu berperan, sehingga dimengerti mengapa yang terkena adalah individu tersebut dan
bukan seluruh pekerjadi tempat yang sama. Faktor individu yang berperan adalah riwayat
atopi/alergi, riwayat dalam keluarga, hygene perorangan (kebiasaan memakai alat
pelindung yang baik.
6. Menentukan faktor lain diluar pekerjaan
Faktor lain di luar pekerjaan adalah pajanan lain yang juga dapat menyebabkan penyakit
yang sama, namun bukan merupakan faktor pekerjaan, misal merokok, pajanan yang
dialami dirumah, hobi, dsb.

7. Menentukan diagnosis penyakit akibat kerja


Kaji seluruh informasi yang telah dikumpulkan dari langkah-langkah terdahulu.
Berdasarkan bukti-bukti dan referensi yang ada, buat keputusan apakah penyakit yang
diderita adalah penyakit akibat kerja atau tidak. Diagnosis sebagai PAK dapat dibuat
bvila langkah-langkah di atas dapat disimpulkan, bahwa memang ada hubungan sebab
akibat antara pajanan yang dialami dengan penyakit dan faktor pekerjaan merupakan
faktor yang bermakna terhadap terjadinya penyakit dan tidak dapat diabaikan.6,7

WORKING DIAGNOSIS
Vertigo et causa Intoksikasi Toluene
Dalam dunia industri, penggunaan zat kimia hampir tidak dapat dihindarkan. Seperti pada
kasus ini seseorang yang mengeluh sering pusing yang diduga akibat dari paparan zat
kimia yang digunakan di tempat kerjanya yakni pabrik sepatu pada bagian pengeleman.
Pada lem ataupun cat terdapat pelarut yang digunakan atau dikenal dengan istilah solven.
Solven ini sendiri terdapat banyak ragam seperti benzene, metil asetat, etil asetat dan
yang umum digunakan terutama sebagai pelarut lem adalah toluene. Toluene merupakan
zat kimiawi hidrokarbon aromatik yang sering diguna sebagai industri pelarut dalam
memproduksi cat warna, bahan kimiawi, obat obatan, getah dan sebagainya. Pada suhu
kamar, toluene adalah tidak berwarna, berbau manis dan mudah menguap. Tahap
konsentrasi toluene yang dibenarkan di tempat kerja yaitu 200ppm. Tahap konsentrasi
toluene yang melebihi 500ppm dianggap akan mengancam kesehatan tenaga kerja.
GEJALA KLINIS
Sistem Saraf Pusat
Keracunan akut dari inhalasi toluene yang akut ditandai oleh gejala Sistem Saraf Pusat
awal yang termasuk euforia, halusinasi, delusi, pusing, kebingungan, sakit kepala,
vertigo, kejang, ataksia, pingsan, koma dan lain lain. Gejala Sistem Saraf Pusat yang
kronis termasuk neuropsychosis, degenerasi otak dengan cerebellar ataksia, kejang,

choreoathetosis, neuropati optik dan perifer, penurunan kemampuan kognitif, anosmia,


atrofi optik, buta, dan tuli.
Cardiopulmonary
Toluene memiliki efek yang negatif terhadap otomatisitas dan konduksi jantung sehingga
bisa mengakibatkan aritmia jantung. Efek paru termasuk bronkospasme, asfiksia, luka
paru akut, dan pneumonitis aspirasi dan ventricular fibrillation yang dapat berakibat pada
kematian.

Gastrointestinal
Gejala Gastrointestinal akibat dari inhalasi antaranya adalah sakit perut, mual, muntah,
dan hematemesis. Hepatotoksisitas akan bermanifestasi dengan asites, ikterus,
hepatomegali, dan gagal hati. Hepatic reticuloendothelial failure telah dilaporkan akibat
dari pemaparan yang berlebihan terhadap toluene.
Renal dan metabolik
Gejala renal toksisitas akibat dari pendedahan terhadap toluene antaranya adalah renal
tubular acidosis, hipokalemia, hipophosphatemia, hiperchloremia, azotemia, pyuria,
hematuria dan proteinuria.
Hematologik
Efek hematologik akibat dari inhalasi toluene antaranya termasuk lymphocytosis,
macrocytosis, eosinophilia, hipochromia, basophilic stippling, dan anemia aplastik di
kasus yang berat.
Dermatologik
Kontak cutaneous dengan kulit akan mengakibat dermatitis , Huffers Rash ataupun
Huffers eczema, luka bakar akibat dari bahan kimiawi, nekrosis jaringan dan sebagainya.

Muskuloskeletal
Toluene bisa mengakibatkan rhabdomyolisis dan mioglobinemia. Hipokalemia akibat dari
renal tubular acidosis bisa mengakibatkan kelemahan otot yang menyerupai GuillainBarre syndrome. 8,9
PATOFISIOLOGI
Kebanyakan gejala yang ditimbulkan solven adalah depresan Susunan Syaraf Pusat
seperti yang terjadi pada pasien pada kasus ini yang mengalami vertigo. Zat toksik ini
terakumulasi di dalam material lemak pada dinding syaraf dan menghambat transmisi
impuls. Pada permulaan seseorang terpapar, maka fikiran dan tubuhnya akan melemah.
Pada konsentrasi yang sudah cukup tinggi, akan menyebabkan orang tidak sadarkan diri.
Toluene merupakan zat kimiawi yang bersifat lipofilik. Akibatnya toluene mampu
menyeberangi blood brain barrier dan mengakibatkan berlakunya inhibisi transmisi
neuronal. Walau bagaimanapun mekanisme pasti bagaimana toluene bisa mengakibatkan
toksisitas masih tidak jelas. 8-10
PENATALAKSANAAN
Pengobatan penyakit akibat kerja mengikuti prinsip pengobatan penyakit umum, maka
pencegahan atau penghentian pajanan bahaya kerja dapat menjadi salah satu
pertimbangan khusus untuk penatalaksanaan penyakit ini. Penatalaksanaan penyakit
akibat kerja tidak semata-mata dilakukan dengan mengatasi kesembuhan penyakit
penderita, tetapi juga harus dapat menjamin pekerja dapat kembali bekerja secepatnya,
pada kasus ini pasien mengeluh sakit kepala yang berputar dan didagnosis vertigo, maka
pengobatan disesuaikan untuk mengobati vertigonya ,seperti pemberian Flunarizin 10 mg
,Proklorperazin 5 mg ataupun Betahistin 3 mg. Dapat juga dilakukan beberapa manuver
seperti Brandt-Darrof dan Eppley manouver untuk meringankan gejala vertigo.
Pada beberapa keadaan akut, toluene maupun zat kimia lainnya dapat mengakibatkan
keracunan akut. Penanggulangan keracunan perlu dilakukan untuk kasus akut maupun
kronis. Kasus akut lebih mudah dikenal sedangkan kasus kronis lebih sulit dikenal. Pada
kasus kecacunan akut, diagnosis klinis perlu segera dibuat. Ini berarti mengelompokkan
gejala-gejala yang diobservasi dan menghubungkan dengan golongan xenobiotik yang

memberi tanda-tanda keracunan tersebut. Hal ini tentu membutuhkan pengetahuan luas
tentang suatu toksis semua zat kimia. Tindakan dini dapat dilakukan sebelum penyebab
pasti dari kasus diketahui, karena sebagian besar keracunan dapat diobati secara
simtomatis menurut kelompok kimianya.
-

Bila zat kimia terkena kulit, cucilah segera (sebelum dibawa kerumah sakit)
dengan sabun dan air yang banyak. Begitu pula bila kena mata (air saja). Jangan
menggunakan zat pembersih lain selain air.

Bila penderita tidak benafas dan badan masih hangat, lakukan pernafasan buatan
sampai dapat bernafas sendiri, sambil dibawa ke rumah sakit terdekat. Bila
tanda-tanda bahwa insektisida merupakan penyebab, tidak dibenarkan meniup

ke dalam mulut penderita.


Bila racun tertelan dalam batas 4 jam, cobalah memuntahkan penderita bila
sadar. Memuntahkan dapat dengan merogoh tenggorokan (jangan sampai

melukai !).
Bila sadar, penderita dapat diberi norit yang digerus sebanyak 40 tablet, diaduk

dengan air secukupnya.


Semua keracunan harus dianggap berbahaya sampai terbukti bahwa kasusnya

tidak berbahaya.
Simpanlah muntahan dan urin (bila dapat ditampung) untuk diserahkan kepada
rumah sakit yang merawatnya.11,12

PENCEGAHAN
Dalam lingkungan industri, pencegahan merupakan tindakan yang lebih baik dari pada
membiarkan terjadi keracunan. Antisipasi dan tindakan keamanan harus merupakan
upaya pertama. Prinsip kerja secara aman adalah penting, namun sering dianggap
berlebihan karena mengeluarkan biaya lebih banyak dan tidak menghasilkan nilai tambah
yang nyata pada produk. Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah PAK adalah
sebagai berikut :
1. Penyelenggaraan latihan kesehatan dan keselamatan kerja bagi semua tenaga
kerja. Pada latihan ini perlu dijelaskan tentang bahaya lingkungan kerja yang
mungkin timbul di tempat kerja. Manfaat pemakaian alat pelindung diri serta
cara-cara pemakaian pemeliharaannya dan pengenalan MSDS.
2. Pemeriksaan kesehatan sebelum kerja dan berkala.
10

3. Substitusi bahan kimia yang berbahaya dengan yang kurang berbahaya.


4. Eliminasi bahan kimia yang berbahaya jika memungkinkan.
5. Rekayasa teknik seperti pemasangan exhaust fan agar terjadi pertukaran udara
yang baik.
6. Pengaturan waktu pemaparan (admisnistrative control). Yaitu penyesuaian waktu
pemaparan dengan konsestrasi zat
7. Pemakaian alat pelindung diri. Dipilih APD yang tepat dan sesuai
8. Pengadaan fasilitas sanitizer untuk cuci dan mandi dan fasilitas untuk pertolongan
pertama pada kecelakaan
9. Penyelenggaraan ventilasi tempat kerja yang baik
10. Pemeliharaan higiene perorangan yang baik (personal higiene).12

KESIMPULAN
Zat pelarut atau solven sangat bermanfaat bagi manusia terutama bagi bidang industri.
Namun disisi lain zat kimia tersebut juga mempunyai dampak buruk terhadap manusia.
Maka dari itu peran dari management perusahaan beserta dokter untuk mengontrol
kesehatan dan keselamatan kerja para pekerjanya sangatlah penting. Pencegahan mulai
dari penyuluhan hingga menggunakan APD juga sangat dianjurkan demi kesehatan dan
kesejahteraan pekerjanya dimana yang akan berdampak positif pada perusahaan itu
sendiri.

11

DAFTAR PUSTAKA
1. Harrianto R. Kesehatan Kerja. Jakarta : EGC ;2008. h. 2,16-7..
2. Harrington JM, Gill FS. Buku Saku Kesehatan Kerja. Edisi ke-3. Jakarta :
EGC;2005.h. 214-44.
3. Kusnoputranto, H. (1995). Toksikologi Lingkungan. Universitas Indonesia.
Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Pusat Penelitian Sumberdaya Manusia dan
Lingkungan, Jakarta.
4. Manahan, Stanley E. (1994). Environmental Chemistry. sixth edition. Lewis
Publishers. Boca Raton, Ann Arbor, London, Tokyo
5. Scott, Ronald McLean. (1989). Chemical Hazard in the Workplace. Lewis
Publishers, Inc. 121 South Main Street, Chelsea, Michigan 48118
6. Ladou J,editor. Current occupational and environmental medicine. 4th ed. New
York: The McGraw Hill companies; 2007.p.719-24.
7. Gill FS, Harrington JM. Buku saku kesehatan kerja. Edisi ke-3. Jakarta: EGC;
2005.h.120-1.
8. Mc Graw Hill Lange. Poisoning & Drug Overdose. Kent R. Olson fifth edition,
by the Faculty, Staff, and Associateds of the California Poison Control System
9. Abbas, Fausto, Kumar. Robbins & Cotran dasar patologis penyakit. Edisi ke-7.
Jakarta: EGC; 2009.h.446-7.
10. Mitchell, Kumar, Abbas. Dasar patologis penyakit. Edisi ke-7. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2006.h 255-8.
11. Wiria M S. Farmakologi dan terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Badan penerbit FKUI;
2011.h 843-4.
12. Sumamur DR. Higine perusahaan dan kesehatan kerja (hiperkes). Jakarta:
Sagung Seto; 2009.h.73-115, 332-5.

12

13

Anda mungkin juga menyukai