Anda di halaman 1dari 18

BAB 1

PENDAHULUAN

1. Pengertian Reseptor
Reseptor merupakan makromolekul seluler tempat terikatnya obat untuk
menimbulkan respon Terdapat juga protein seluler yang berfungsi sebagai reseptor
fisiologik

bagi

ligand

endogen

seperti

hormon,

neurotransmiter,

autakoid.

Reseptor adalah area spesifik membran dimana obat akan beraksi. Seperti
lubang kunci, dan obat adalah anak kuncinya, bila cocok maka akan mengaktifkan
sistem enzim yang kemudian memproduksi efek tertentu seperti peningkatan atau
penurunan aktifitas seluler tertentu, perubahan permeabilitas membran sel, atau
perubahan metabolisme seluler. Dan bagian integral protein dinding sel atau protein di
dalam sitoplasma atau nucleus.Mereka membentuk sisi dimana kimia pembawa pesan
tubuh, hormon dan neurotransmitter berinteraksi di dalam sel.

2. Tiga aspek fungsi reseptor obat


a. Fungsinya sebagai determinan hubungan kuantitatif antara konsentrasi obat
dan respon atau tanggapan,dari sudut pandnag ini, reseptor adalah unit
sederhana,secara prinsip ditandai dari afinitasnya meningakat ligan-ligan obat
dan berlimpahnya mereka dalam sel atau jaringan target.
b. Fungsinya sebagai protein regulator dan komponen mekanisme penerusan
sinyal kimiawi yang melengkapi target-target untuk obat penting.
c. Fungsinya sebagai determinan pokok terhadap efek terapeutik dan efek obat
toksin pada pasien.

Fungsi reseptor :

pengikatan ligand yang sesuai


penghantaran sinyal yang menimbulkan efek intrasel atau yang tidak langsung

memilai sintesis / pelepasan molekul intrasel lain (second messenger)


Mempengaruhi transkripsi gen
Perubahan permiabelitas membran

Dalam keadaan tertentu, molekul reseptor berinteraksi secara erat dengan protein seluler
lain membentuk sistem reseptor efektor sebelum menimbulkan respons.
Ligan yang dapat mengikat reseptor dan mempengaruhi aktivitas sel
1. Hormones dihasilkan oleh kelenjar eksokrin dan disekresikan melalui peredaran
darah menuju sel target yang jauh (e.g.s: insulin, testosterone)
2. Autocrine/paracrine factorshormon yang beraksi lokal (e.g.: prostaglandins)
3. Neurotransmittersdilepaskan oleh ujung saraf sebagi respon dari depolarisasi (e.g.s:
acetylcholine, norepinephrine)
4. Cytokinesligan yang diproduksi oleh sel-sel pada sistem imunitas. Targetnya bisa
jauh atau dekat (e.g.s: interferons, interleukins)
5. Membrane-bound ligandsterdapat pada permukaan sel, mengikat pada reseptor
komplementer sel yang lain menjembatani interaksi antar sel (e.g.: integrins) z
Drug/chemicals merupakan senyawa yang dipaparkan dari luar

2 fungsi obat terhadap reseptor :


Agonist = menstimulasi reseptor
Antagonist = memblok aksi sifat kimia pada reseptor
Reseptor terdapat pada Membran Sel dan Sitoplasma.Reseptor membran sel bekerja
dengan cara mengikat ligand yang sesuai kemudian meneruskan sinyal ke sel target, baik
secara langsung ke intrasel atau dengan memproduksi molekul pengatur lain (second
messenger) di intrasel.Mungkin perlu protein lain untuk berfungsi (sistem reseptor-efektor)

misal adenilat siklase. Reseptor mengatur aktivitas adenilat siklase, efektor mensintesis
second messenger siklik-AMP
Reseptor dalam Sitoplasma
Merupakan protein terlarut pengikat DNA yang mengatur transkripsi gen. Pendudukan
pada reseptor ini akan meningkatkan sintesis protein tertentu

3. Jenis-jenis reseptor
Reseptor merupakan komponen makromolekul sel (umumnya berupa protein) yang
berinteraksi dengan senyawa kimia endogen pembawa pesan (hormon, neurotransmiter,
mediator kimia dalam sistem imun, dan lain-lain) untuk menghasilkan respon seluler. Obat
bekerja dengan melibatkan diri dalam interaksi antara senyawa kimia endogen dengan
reseptor ini, baik menstimulasi (agonis) maupun mencegah interaksi (antagonis).
Tipe reseptor :

Reseptor terhubung enzim


Reseptor terhubung kanal ion
Reseptor terkopling protein-G
Reseptor reseptor nuklear

A. Reseptor terkopling protein G (GPR)


GPCR, disebut juga reseptor metabotropik, berada di sel membran dan responnya terjadi
dalam hitungan detik. GPCR mempunyai rantai polipeptida tunggal dengan 7 heliks
transmembran. Tranduksi sinyal terjadi dengan aktivasi bagian protein G yang kemudian
memodulasi/mengatur aktivitas enzim atau fungsi kanal
Tabel 1. Contoh reseptor terkopling protein G
Contoh reseptor

Efek

Agonis

Antagonis

Histamin H1

Kontraksi otot
polos(IP3)
berbagai efek karena
posforilasi protein

Histamin

Mepiramin

Adrenoreseptor 2

Relaksasi otot polos

Adrenalin
Salbutamol

Propranolol

Muskarinik M2

Penurunan kekuatan
kontraksi jantung
Pelambatan jantung

Asectylkolin

Atropine

Gambar 2. Struktur reseptor terkopling protein G

B. Reseptor terhubung kanal ion


Reseptor ini berada di membran sel, disebut juga reseptor ionotropik. Respon terjadi
dalam hitungan milidetik. Kanal merupakan bagian dari reseptor. Contoh : reseptor nikotinik,
reseptor GABAA, reseptor ionotropik glutamat dan reseptor 5-HT3
Reseptor Nikotinik Asetilkolin
Reseptor ini ditemukan di otot skeletal, ganglion sistem saraf simpatk dan
parasimpatik, neuron sistem saraf pusat, dan sel non neural. Mekanisme kerja reseptor ini
ditunjukkan pada gambar 3

Gambar 3. Mekanisme kerja reseptor nikotinik (agonis : asetilkolin)


Reseptor ini terdiri dari 5 subunit (yaitu subunit 1, 1, atau , dan ), yang
melintasi membran, membentuk kanal polar (gambar 4a). Masing-masing sub unit terdiri dari
4 segmen transmembran, segmen ke-2 (M2) membentuk kanal ion (gambar 4b). Domain Nterminal ekstraseluler masing-masing sub unit mengandung 2 residu sistein yang dipisahkan
oleh 13 asam amino membentuk ikatan disulfida yang membentuk loop, merupakan binding
site untuk agonis (gambar 4c).

C. Reseptor terhubung transkripsi gen


Reseptor terhubung transkripsi gen disebut juga reseptor nuklear (walaupun beberapa ada
di sitosol, merupakan reseptor sitosolik yang kemudian bermigrasi ke nukleus setelah
berikatan dengan ligand, seperti reseptor glukokortikoid). Contoh : reseptor kortikosteroid,
reseptor estrogen dan progestogen, reseptor vitamin D.

D. Reseptor terhubung enzim


Reseptor terhubung enzim merupakan protein transmembran dengan bagian besar
ekstraseluler mengandung binding site untuk ligan (contoh : faktor pertumbuhan, sitokin)
dan bagian intraseluler mempunyai aktivitas enzim (biasanya aktivitas tirosin kinase).
Aktivasi menginisiasi jalur intraseluler yang melibatkan tranduser sitosolik dan nuklear,

bahkan transkripsi gen. Reseptor sitokin mengaktifkan Jak kinase, yang pada gilirannya
mengaktifkan faktor transkripsi Stat, yang kemudian mengaktifkan transkripsi gen

Gambar 6. Mekanisme kerja reseptor faktor pertumbuhan


Reseptor faktor pertumbuhan terdiri dari 2 reseptor, masing-masing dengan satu sisi
pengikatan untuk ligan. Agonis berikatan pada 2 reseptor menghasilkan kopling (dimerisasi).
Tirosin kinase dalam masing-masing reseptor saling memposforilasi satu sama lain. Protein
penerima (adapter ) yang mengandung gugus SH berikatan pada residu terposforilasi dan
mengaktifkan tiga jalur kinase. Kinase 3 memposforilasi berbagai faktor transkripsi,
kemudian mengaktifkan transkripsi gen untuk proliferasi dan diferensiasi

4. Interaksi obat dengan reseptor


Ligan seperti hormon atau neurotransmiter ibarat sebuah anak kunci yang berikatan
pada reseptor spesifik (yang berperan sebagai lubang kunci). Interaksi ini membuka respon
sel. Obat mirip ligan, bila berinteraksi dengan resesptor memberikan respon yang sama
dengan ligan, merupakan agonis sehingga bisa membuka kunci. Obat lain yang bekerja
berlawanan disebut antagonis.
Kurva dosis respon
Hubungan antara interaksi obat-reseptor dengan respon obat dinyatakan dengan persamaan
berikut :

Afinitas adalah ukuran kemampuan obat untuk berikatan pada reseptor. Ikatan kovalen
menghasilkan afinitas kuat, interaksi stabil dan ireversibel. Ikatan elektrostatik bisa
menghasilkan afinitas kuat atau lemah, biasanya bersifat reversibel.

Skala dosis aritmetik : Laju perubahan efek cepat pada awal dan melambat pada peningkatan
dosis. Saat peningkatan dosis tidak lagi mengubah efek, dicapai efek maksimal. Sulit untuk
dianalisis secara matematis pada kurva dosis aritmetik. Skala Log Dosis : Kurva logaritmik
mengubah kurva hiperbolik menjadi sigmoid (mendekati garis lurus). Hal ini lebih
menguntungkan dibanding skala dosis, karena proporsi dosis setara dengan efek sehingga
mudah dianalisis secara matematis
Potensi
Potensi merupakan posisi relatif kurva dosis-efek pada sumbu dosis. Namun
signifikansi secara klinis kecil, karena obat yang lebih poten belum tentu lebih baik secara
klinis. Obat berpotensi rendah tidak menguntungkan hanya jika menyebabkan dosis terlalu
besar sehingga sukar diberikan

Contoh : potensi relatif antara berbagai analgesik. Jika hanya dibutuhkan respon analgesik
rendah, pemberian aspirin dengan dosis 500 mg masih bisa menjadi pilihan dari pada
golongan narkotik. Namun jika dibutuhkan efek analgesik kuat, dipilih golongan narkotik

Agonis and antagonis


Agonis adalah obat yang berinteraksi dengan dan mengaktifkan reseptor, mempunyai afinitas
dan efikasi (aktivitas intrinsik). Antagonis mempunyai afinitas tapi tanpa aktivitas intrinsik.
Ada 2 tipe agonis :
Agonis penuh, adalah agonis dengan efikasi maksimal
Agonis Parsial, adalah agonis dengan efikasi kurang maksimal

Antagonist berinteraksi dengan reseptor tapi tidak mengubah reseptor. Antagonis mempunyai
afinitas tapi tidak mempunyai efikasi. Ada 2 tipe antagonis :

Antagonis kompetitif Antagonis kompetitif berkompetisi dengan agonis untuk menduduki


reseptor. Antagonis ini dapat diatasi dengan peningkatan dosis agonis. Antagonis menggeser
kurva dosis respon agonis ke kanan, mengurangi afinitas agonis
Antagonis nonkompetitif. Antagonis nonkompetitif berikatan pada reseptor dan bersifat
ireversibel. Antagonis nonkompetitif menyebabkan sedikit pergeseran ke kanan kurva dosis
respon agonis pada kadar rendah. Semakin banyak reseptor diduduki, agonis menjadi tidak
mungkin mencapai efek maksimal

Efektivitas, Toksisitas, Letalitas


ED50 dosis efektif tengah; dosis dimana 50% populasi/sampel menunjukkan efek (dari
kurva DR kuantal)
TD50 Dosis toksis tengah dosis dimana 50% populasi menunjukkan efek toksik
LD50 Dosis letal tengah dosis yang membunuh 50% subjek

Semakin tinggi indeks terapi (IT) semakin baik. IT bervariasi dari 1,0 (beberapa obat kanker)
hingga >1000 (penicillin). Obat yang bekerja pada reseptor atau enzim yang sama sering
mempunyai nilai IT yang sama.

TEORI INTERAKSI OBAT RESEPTOR


Teori Klasik

Crum dan Brown dan Fraser (1869), mengaktakan bahwa aktivitas biologis suatu senyawa
merupakan fungsi dari struktur kimianya dan tempat obat berinteraksi pada sistem biologis

mempunyai sifat karakteristik.


Langley (1878), dalam studi efek antagonis dari atropin dan pilokarpin, memperkenalkan

konsep reseptor yang pertama kali, kemudian dikembangkan oleh Ehrlich.


Ehrlich (1907), memperkenalkan istilah reseptor dan membuat konsep sederhana tentang
interaksi obat reseptor yaitu corpora non agunt nisi fixate atau obat tidak dapat menimbulkan
efek tanpa mengikat reseptor. Reseptor biologis timbul bila ada interaksi antara tempat dan
struktur dalam tubuh yang karakteristik atau sisi reseptor, dengan molekul asing yang sesuai

atau obat, yang satu sama yang lainnya merupakan stuktur yang saling mengisi.Reseptor obat
digambarkan seperti permukaan logam yang halus dan mirip dengan struktur molekul obat
Teori Pendudukan

Clark (1926) memperkirakan bahwa satu molekul obat akan menempati sati sisi reseptor
dan obat harus diberikan dalam jumlah yang berlebihan agar tetap efektif selama proses
pembentukan kompleks
Besarnya efek biologis yang dihasilkan secara langsung sesuai dengan jumlah reseptor khas
yang diduduki molekul obat. Clark hanya meninjau dari segi agonis saja yang kemudian
dilengkapi oleh Gaddum (1937), yang meninjau dari sisi antagonis.
Jadi respons biologis yang terjadi setelah pengikatan obat-reseptor dapat berupa :
1. rangsangan aktivitas (efek agonis )
2. pengurangan aktivitas (efek antagonis )
Ariens (1954) dan Stephenson (1959), memodifikasi dan membagi interaksi obat-reseptor
menjadi dua tahap yaitu :
1. Pembentukan komplek obat-reseptor
2. Menghasilkan respon biologis
Setiap struktur molekul obat harus mengandung bagian yang secara bebas dapat menunjang
afinitas interaksi obat reseptor dan memiliki efisiensi untuk menimbulkan respon biologis
sebagai akibat pembentukan komplek. Proses interaksinya adalah sebagai berikut:

Afinitas
O + R < ==========>

komplek OR respon biologis

Afinitas merupakan ukuran kemampuan obat untuk mengikat reseptor. Afinitas sangat
bergantung dari struktur molekul obat dan sisi reseptor.
Efikasi (aktivitas instrinsik) adalah ukuran kemampuan obat untuk memulai timbulnya respon
biologis.
O + R < =====> O-R respon (+) : senyawa agonis (afinitas besar dan aktivitas instrinsik
=1)
O + R < ===> O-R respon (-) : senyawa antagonis (afinitas besar dan aktivitas instrinsik =
0)

Teori Kecepatan

Croxatto dan Huidobro (1956) memberikan postulat bahwa obat hanya efisien pada saat

berinteraksi dengan reseptor.


Paton (1961) mengatakan bahwa efek biologis obat setara dengan kecepatan kombinasi
obat-reseptor dan bukan jumlah reseptor yang didudukinya.Di sini, tipe kerja obat ditentukan
oleh kecepatan penggabungan (asosiasi) dan peruraian (disosiasi) komplek obat-reseptor dan
bukan dari pembentukan komplek obat-reseptor yang stabil.
Asosiasi
dissolusi
O + R < =========> komplek (OR) > respon biologis
Senyawa dikatakan agonis jika memiliki kecepatan asosiasi (mengikat reseptor ) dan
dissolusi yang besar. Senyawa dikatakan antagonis jika memiliki kecepatan asosiasi
(mengikat reseptor) dan dissolusi kecil. Di sini, pendudukan reseptor tidak efektif karena
menghalangi asosiasi senyawa agonis yang produktif.
Senyawa dikatakan agonis parsial jika kecepatan asosiasi dan dissolusinya tidak maksimal.
Konsep di atas ditunjang oleh fakta bahwa banyak senyawa antagonis menunjukkan efek
rangsangan singkat sebelum menunjukkan efek pemblokiran.
Pada permulaan kontak obat-reseptor, jumlah reseptor yang diduduki oleh molekul obat
masih relatif sedikit, kecepatan penggabungan obat-reseptor maksimal sehingga timbul efek
rangsangan yang singkat. Bila jumlah reseptor yang diduduki molekul obat cukup banyak
maka kecepatan penggabungan obat-reseptor akan turun sampai di bawah kadar yang
diperlukan untuk menimbulkan respon biologis sehingga terjadi efek pemblokiran.

Kesimpulan
Reseptor merupakan komponen makromolekul sel (umumnya berupa protein) yang
berinteraksi dengan senyawa kimia endogen pembawa pesan untuk menghasilkan respon
seluler.
Fungsi reseptor

Sebagai determinan hubungan kuantitatif antara konsentrasi obat dan respon.


Sebgai protein regulator dan komponen mekanisme penerusan sinyal kimiawi yang

melengkapi target untuk obat penting.


Sebagai determinan pokok terhadap efek terapeutik dan efek obat toksin pada pasien.

Jenis-jenis reseptor meliputi : reseptor terhubung kanal ion, reseptor terhubung enzim,
reseptor terkopling protein G dan reseptor reseptor nuklear.
Reseptor terkopling protein-G (GPCR) berada di sel membran. Tranduksi sinyal terjadi
dengan aktivasi bagian protein G yang kemudian memodulasi/mengatur

aktivitas enzim atau fungsi kanal. Contoh GPCR adaah reseptor histamin, adrenoreseptor dan
reseptor muskarinik.
Reseptor terhubung kanal ion berada di membran sel, kanal merupakan bagian dari
reseptor. Contoh : reseptor nikotinik, reseptor GABAA, reseptor ionotropik glutamat dan
reseptor 5HT3
Reseptor terhubung transkripsi gen disebut juga reseptor nuklear. Contoh : reseptor
kortikosteroid, reseptor estrogen dan progestogen, reseptor vitamin D.
Reseptor terhubung enzim merupakan protein transmembran dengan bagian besar
ekstraseluler mengandungbinding site untuk ligan (contoh : faktor pertumbuhan, sitokin) dan
bagian intraseluler mempunyai aktivitas enzim (biasanya aktivitas tirosin kinase).
Interaksi obat dengan reseptor terjadi melalui 2 tahap
1. interaksi molekul obat dengan reseptor spesifik dan memerlukan energi
2. interaksi yang dapat menyebabkan perubahan komformasi makro molekul protein sehingga
timbul respon biologis dan memerlukan efikasi atau aktivitas instriksik.

Daftar Pustaka
AnnishviaLl DKK 2011.makalah farmakokimia interaksi obat reseptor.universitas gajjah mada yogyakarta.
Bertram, katzung.2001.FARMAKOLOGI:Dasar dan Klinik.Salemba Medika.Jakarta
Brody, T. M., Larner, J. and Minneman, K. P. (Eds.), 1998, Human Pharmacology : Molecular
to Clinical, 3th ed., Mosby Inc., St. Louis, Missouri. 3.
Foreman, J. C. and Johansen, T. (Eds.) (1996) Textbook of Receptor Pharmacology, CRC
Press., USA
Korolkovas, A., 1970, Essentials of Molecular Pharmacology : Background for Drug Design,
Wiley-Interscience, New York. 2.
Kenakin TP : pharmacologic analysis of drug receptors interaction. Raven press,1987

Septarina,haza.2012.

TUGAS

FARMAKOLOGITEORI

RESEPTOR

DAN

INTERAKSI OBAT YANG MENGUNTUNGKAN DAN MERUGIKAN .AKPER Musi


Banyuasin.Palembang

Anda mungkin juga menyukai