Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
Gagal jantung kongestif/Congestive Heart Failure (CHF) merupakan suatu
keadaan patofisiologik dimana jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi
kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Risiko CHF meningkat pada orang
lanjut usia karena penurunan fungsi ventrikel akibat penuaan. CHF ini dapat
menjadi kronik apabila disertai dengan penyakit-penyakit lain, seperti hipertensi,
penyakit katup jantung, kardiomiopati, dan lain-lain.1
Kunci utama gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk
berkerja sebagai pompa. Respon-respon tubuh berupa respon adaptif sekunder
tetap mempertahankan fungsi sirkulasi jangka pendek, tetapi lama kelamaan akan
menjadi maladaptif dan menjadi gagal jantung kronis. Respon-respon adaptasi
pada gagal jantung ini terjadi pada sirkulasi perifer, ginjal, maupun otot jantung.
Perubahan ini mengakibatkan timbulnya sindrom klinis gagal jantung.2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Gagal jantung adalah keadaan dimana jantung tidak lagi mampu
memompa darah ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh
walaupun darah balik masih normal. Dengan kata lain, gagal jantung adalah
ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah dalam jumlah yang memadai
untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh (forward failure), atau kemampuan
tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan pengisian jantung yang tinggi
(backward failure), atau kedua-duanya.3
2. Etiologi
Penyebab gagal jantung dapat diklasifikasikan ke dalam enam kategori

utama:4
Hipertensi
Penyakit jantung koroner atau Coronary Arterial Disease (CAD)
Disfungsi endokardium, miokardium, perikardium akibat penyakit jantung

koroner atau akibat infeksi (miokarditis, endokarditis)


Gangguan irama jantung atau aritmia (takikardi ventrikuler, fibrilasi

ventrikuler, fibrilasi atrial, takikardi suparventrikuler)


Penyakit katup jantung (stenosis aorta, stenosis mitral, stenosis pulmonal,

regurgitasi aorta)
Kardiomiopati
Sindrom curah jantung tinggi (anemia, septikemia, tirotoksikosis)
Kemoterapi (doxorubicin atau trastuzumab)
infeksi sistemik, infeksi paru-paru dan emboli paru
Penyakit jantung bawaan
Cacat septum ventrikel

3. Patofisiologi
1.1 Mekanisme dasar
Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal
jantung akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan
ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi
volume sekuncup, dan meningkatkan volume residu ventrikel. Dengan
2

meningkatkan volume akhir diastolik ventrikel terjadi peningkatan tekanan akhir


diastolik ventrikel kiri. Derajat peningkatan tekanan bergantung pada kelenturan
ventrikel. Dengan meningkatnya volume akhir diastolik ventrikel, terjadi pula
peningkatan tekanan atrium kiri (LAP) karena atrium dan ventrikel berhubungan
langsung selama diastol. Peningkatan LAP diteruskan ke belakang ke dalam
pembuluh darah paru-paru, meningkatkan tekanan kapiler dan vena paru-paru.
Apabila tekanan hidrostatik anyaman kapiler paru-paru melebihi tekanan onkotik
pembuluh darah, akan terjadi transudasi cairan ke dalam interstisial. Jika
kecepatan transudasi cairan melebihi kecepatan drainase limfatik, akan terjadi
edema interstisial. Peningkatan cairan lebih lanjut dapat mengakibatkan cairan
merembes ke dalam alveoli dan terjadilah edema paru.
Tekanan arteri paru-paru dapat meningkat akibat peningkatan kronis
tekanan vena paru. Hipertensi pulmonalis meningkatkan tahanan terhadap ejeksi
ventrikel kanan. Serangkaian kejadian seperti yang terjadi pada jantung kiri, juga
akan terjadi pada jantung kanan yang akhirnya akan menyebabkan edema dan
kongesti sistemik.
Perkembangan dari edema dan kongesti sistemik atau paru dapat
diperberat oleh regurgitasi fungsional dari katup-katup trikuspidalis atau mitralis
secara bergantian. Regurgitasi fungsional dapat disebabkan oleh dilatasi anulus
katup antroventrikularis, atau perubahan orientasi otot papilaris dan korda
tendinae akibat dilatasi ruang.4
1.2 Mekanisme Kompensasi
Terdapat 3 mekanisme kompensasi pada gagal jantung, yaitu : (1)
meningkatnya aktivitas adrenergik simpatis, (2) meningkatnya beban awal akibat
aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron, (3) hipertrofi ventrikel. Mekanisme
ini mungkin memadai untuk mempertahankan curah jantung pada tingkat normal
atau hampir normal pada awal perjalanan gagal jantung dan pada keadaan
istirahat. Namun, kelainan kerja ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya
tampak saat beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal jantung, kompensasi menjadi
kurang efektif.
a. Peningkatan Aktivitas Adrenergik Simpatis
Menurunnya volume sekuncup pada gagal jantung akan mengakibatkan
respons simpatis kompensatorik. Meningkatnya aktivitas adrenergik simpatis
merangsang pengeluaran katekolamin dari saraf-saraf adrenergik jantung dan
3

medula adrenal. Denyut jantung dan kekuatan kontraksi akan meningkat untuk
menambah curah jantung. Selain itu juga terjadi vasokonstriksi arteri perifer untuk
menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi volume darah dengan mengurangi
aliran darah ke organ-organ yang metabolismenya rendah (misal kulit dan ginjal)
untuk mempertahankan perfusi ke jantung dan otak. Venokonstriksi akan
meningkatkan aliran balik vena ke sisi kanan jantung, untuk selanjutnya
menambah kekuatan kontraksi sesuai dengan hukum Starling.
Kadar katekolamin dalam darah akan meningkat pada gagal jantung,
terutama selama latihan. Jantung akan semakin bergantung pada katekolamin
yang beredar dalam darah untuk mempertahankan kerja ventrikel. Namun pada
akhirnya respons miokardium terhadap rangsangan simpatis akan menurun,
katekolamin akan berkurang pengaruhmya terhadap kerja ventrikel. Berkurangnya
respons ventrikel yang gagal terhadap rangsangan katekolamin menyebabkan
berkurangnya derajat pergeseran akibat rangsangan ini. Perubahan ini dapat
disebabkan karena cadangan norepinephrin pada miokardium menjadi berkurang
pada gagal jantung kronis.
b. Peningkatan Beban Awal melalui Aktivasi Sistem Renin-AngiotensiAldosteron
Aktivasi renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan retensi natrium dan
air oleh ginjal, meningkatkan volume ventrikel dan regangan serabut. Peningkatan
beban awal ini akan menambah kontraktilitas miokardium sesuai dengan hukum
Starling. Penurunan curah jantung pada gagal jantung akan memulai serangkaian
peristiwa berikut: (1) penurunan aliran darah ginjal dan akhirnya laju filtrasi
glomerulus, (2) pelepasan renin dari aparatus jukstaglomerulus, (3) interaksi renin
dengan angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan angiotensin I, (4)
konversi angiotensin I menjadi angiotensin II, (5) rangsangan sekresi aldosteron
dari kelenjar adrenal, dan (6) retensi natrium dan air pada tubulus distal dan
duktus pengumpul.
Pada gagal jantung berat, kombinasi antara kongesti vena sistemik dan
menurunnya perfusi hati akan mengganggu metabolisme aldosteron di hati,
sehingga kadar aldosteron dalam darah meningkat. Kadar hormon antidiuretik
akan meningkat pada gagal jantung berat, yang selanjutnya akan meningkatkan
absorpsi air pada duktus pengumpul.4
c. Hipertrofi ventrikel

Hipertrofi meningkatkan jumlah sarkomer dalam sel-sel miokardium.


Sarkomer dapat bertambah secara paralel atau serial bergantung pada jenis beban
hemodinamik yang yang mengakibatkan gagal jantung. Sebagai contoh, suatu
beban tekanan yang ditimbulkan stenosis aorta akan disertai dengan meningkatnya
ketebalan dinding tanpa penambahan ukuran ruang dalam. Respon miokardium
terhadap beban volume, seperti pada regurgitasi aorta ditandai dengan dilatasi dan
bertambahnya

ketebalan

dinding.

Kombinasi

ini

diduga

terjadi

akibat

bertambahnya jumlah sarkomer yang tersusun secara serial. Kedua pola hipertrofi
ini disebut hipertrofi konsentris dan hipertrofi eksentris. Apapun susunan pasti
sarkomernya, hipertrofi miokardium akan meningkatkan kekuatan kontraksi
ventrikel.4
4. Klasifikasi Gagal Jantung
Menurut New York Heart Assosiation, gagal jantung diklasifikasikan menjadi
empat kelas, yaitu :
a.

Kelas 1: Para penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam kegiatan fisik
serta tidak
menunjukkan gejala-gejala penyakit jantung seperti cepat lelah, sesak napas atau
berdebar-debar, apabila melakukan kegiatan biasa.

b.

Kelas 2: Penderita dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan fisik. Mereka tidak
mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang biasa
menimbulkan gejala-gejala insufiensi jantung seperti kelelahan, jantung
berdebar, sesak napas, atau nyeri.

c.

Kelas 3: Penderita penyakit jantung dengan banyak pembatasan dalam kegiatan


fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik
yang kurang dari kegiatan biasa sudah menimbulkan gejala-gejala insufisiensi
jantung seperti yang tersebut di atas.

d.

Kelas 4: Penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun tanpa


menimbulkan keluhan. Waktu istirahat juga dapat menimbulkan gejala-gejala
insufisiensi jantung, yang bertambah apabila mereka melakukan kegiatan fisik
meskipun sangat ringan.
Sedangkan stadium gagal jantung menurut American College of Cardiology

terdiri atas empat stadium, yaitu:

a. Stadium A Mempunyai risiko tinggi terhadap perkembangan gagal jantung


tetapi tidak menunjukkan struktur abnormal dari jantung.
b. Stadium B Adanya struktur yang abnormal pada jantung pasien tetapi tidak
bergejala
c. Stadium C Adanya struktur yang abnormal dari pasien dengan gejala awal
gagal jantung
d. Stadium D Pasien dengan gejala tahap akhir gagal jantung sulit diterapi dengan
pengobatan standar.

5. Manifestasi Klinis
a. Dispnea
Dispnea, atau perasaan sulit bernapas adalah manifestasi gagal jantung yang
paling umum. Dispneu disebabkan oleh peningkatan kerja pernapasan akibat
kongesti vaskular paru yang mengurangi kelenturan paru. Dispneu saat
beraktivitas menunjukkan gejala awal dari gagal jantung kiri. Ortopnea atau
dispnea saat berbaring terutama disebabkan oleh redistribusi aliran darah dari
bagian-bagian tubuh yang di bawah ke arah sirkulasi sentral. Paroksismal
Nocturnal Dispnea (PND) atau mendadak terbangun karena dispnea dipicu
oleh timbulnya edema paru interstisial. PND merupakan manifestasi yang
lebih spesifik dari gagal jantung kiri dibandingkan dengan dispnea atau
ortopnea.4

b. Batuk nonproduktif
Batuk nonproduktif dapat terjadi akibat kongesti paru, terutama pada posisi
berbaring. Timbulnya ronki yang disebabkan oleh transudasi cairan paru
adalah ciri khas dari gagal jantung, ronkhi pada awalnya terdengar di bagian
bawah paru-paru karena pengaruh gaya gravitasi. Hemoptisis dapat disebabkan
oleh perdarahan vena bronchial yang terjadi akibat distensi vena. Distensi
atrium kiri atau vena pulmonal dapat menyebabkan kompresi esophagus dan
disfagia.
c. Edema perifer

Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang interstisial.


Edema mula-mula tampak pada bagian tubuh yang tergantung dan terutama
pada malam hari, dapat terjadi nokturia (dieresis malam hari) yang mengurangi
retensi cairan. Gagal jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau
edema anasarka.
d. Gejala lainnya
Pasien

dengan

gagal

jantung

dapat

pula

datang

dengan

keluhan

gastrointestinal. Anoreksia, nausea, dan perasaan penuh yang berkaitan


dengan nyeri abdominal merupakan gejala yang sering dikeluhkan dan dapat
berkaitan dengan edema pada dinding usus dan/atau kongesti hepar dan
regangan kapsulnya yang dapat mengakibatkan nyeri pada kuadran kanan
atas.4

6.

Diagnosis
Diagnosis

dibuat

berdasarkan

anamnesis,

pemeriksaan

fisik,

elektrokardiografi, foto toraks, ekokardiografi-doppler. Kriteria Framingham


dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal jantung yaitu dengan terpenuhinya 2
kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor.
Adapun kriteria Framingham sebagai berikut:
Kriteria mayor :
a. Paroksismal nocturnal dispnu
b. Distensi vena leher
c. Ronki paru
d. Kardiomegali
e. Edema paru akut
f. Gallop S3
g. Peninggian tekanan vena jugularis
h. Refluks hepatojugular
Kriteria minor :
a. Edema ekstremitas
b. Batuk malam hari
c. Dispnea deffort
d. Hepatomegali
e. Efusi pleura
f. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
g. Takikardia (>120 x/menit)

Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum dan tanda vital

Pada gagal jantung ringan dan moderat, pasien sepertinya tidak mengalami
gangguan saat beristirahat, kecuali perasaan tidak nyaman saat berbaring
pada permukaan datar selama lima menit. Pada gagal jantung yang lebih
berat, pasien harus duduk dengan tegak, dapat mengalami sesak napas, dan
kemungkinan tidak dapat mengucapkan satu kalimat lengkap karena sesak
napas yang dirasakan. Tekanan darah sistolik dapat normal atau tinggi pada
gagal jantung ringan, namun berkurang pada gagal jantung berat, karena
adanya disfungsi ventrikel kiri yang berat. Tekanan nadi dapat berkurang atau
menghilang, menandakan adanya penurunan stroke volume. Sinus takikardi
merupakan tanda nonspesifik disebabkan oleh peningkatan aktivitas
adrenergik. Vasokonstriksi perifer menyebabkan dinginnya ekstremitas
bagian perifer dan sianosis pada bibir dan kuku juga disebabkan oleh
aktivitas adrenergik yang berlebih.
b. Pemeriksaan vena jugularis dan leher
Pemeriksaan vena jugularis memberikan perkiraan tekanan pada atrium
kanan, dan secara tidak langsung tekanan pada atrium kiri. Pemeriksaan
tekanan vena jugularis dinilai terbaik saat pasien tidur dengan kepala
deangkat dengan sudut 450. Pada gagal jantung stadium dini, tekanan vena
jugularis dapat normal pada waktu istirahat namun dapat meningkat secara
abnormal seiring dengan peningkatan tekanan abdomen.
c. Pemeriksaan paru
Pulmonary crackles (ronkhi atau krepitasi) dihasilkan oleh transudasi cairan
dari rongga intravaskular ke dalam alveoli. Pada pasien dengan edema paru,
ronki dapat didengar pada kedua lapang paru dan dapat disertai wheezing
ekspiratoar (asma kardial). Jika ditemukan pada pasien tanpa penyakit paru,
ronkhi spesifik untuk gagal jantung. Efusi pleura timbul sebagai akibat
meningkatnya tekanan sistem kapiler pleura, hasilnya adalah transudasi
cairan ke dalam rongga pleura.
d. Pemeriksaan jantung
Pemeriksaan jantung sering tidak memberikan informasi yang berguna
mengenai tingkat keparahan gagal jantung. Jika kardiomegali ditemukan,
maka apex cordis biasanya berubah lokasi di bawah ICS V dan atau sebelah
lateral dari midclavicularis line, dan denyut dapat dipalpasi hingga 2
interkosta dari apex. Pada beberapa pasien, suara jantung ketiga (S3) dapat

terdengar dan dipalpasi pada apex. S3 atau prodiastolik gallop paling sering
ditemukan pada pasien dengan volume overload yang juga mengalami
takikardi

dan

takipneu,

dan

sering

kali

menandakan

gangguan

hemodinamika. Bising pada regurgitasi mitral dan tricuspid biasa ditemukan


pada pasien dengan gagal jantung tahap lanjut.
e. Abdomen dan ekstremitas
Hepatomegali adalah tanda yang penting tapi tidak umum pada pasien
jantung. Jika memang ada, hati yang membesar seringkali teraba lunak dan
dapat berpulsasi saat sistol jika terdapat regurgitasi katup trikuspid. Asites
dapat timbul sebagai akibat transudasi karena tingginya tekanan vena hepatik
dan sistem vena yang berfungsi dalam drainase peritoneum. Jaundice dapat
ditemukan dan merupakan tanda gagal jantung stadium lanjut, biasanya kadar
bilirubin direk dan indirek meningkat. Ikterik ini disebabkan karena
terganggunya fungsi hepar sekunder akibat kongesti hepar dan hipoksia
hepatoseluler. Edema perifer adalah manifestasi cardinal jantung, namun hal
ini tidaklah spesifik dan biasanya tidak terdapat pada pasien yang telah
mendapat diuretik. Edema perifer biasanya simetris, beratya tergantung pada
gagal jantung yang terjadi, dan paling sering terjadi sekitar pergelangan kaki
dan daerah pretibial pada pasien yang masih beraktivitas.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan yang umum dilakukan pada gagal jantung antara lain adalah
darah rutin, urin rutin, elektrolit (Na dan K), ureum dan kreatinin,
SGOT/SGPT, dan BNP. Pemeriksaan ini mutlak harus dilakukan pada pasien
dengan gagal jantung dengan tujuan untuk mendeteksi anemia, gangguan
elektrolit, menilai fungsi ginjal dan hati mangukur brain natriuretic peptide
(beratnya gangguan hemodinamik).
Foto thoraks
Pemeriksaan Chest X-Ray dilakukan untuk menilai ukuran dan bentuk
jantung, struktur dan perfusi dari paru. Kardiomegali dapat dinilai melalui
pengukuran cardiothoracic ratio (CTR) yang lebih dari 50%, atau ketika
ukuran jantung lebih besar dari setengah ukuran diameter dada, telah
menjadi parameter penting pada follow-ip pasien dengan gagal jantung.
EKG

Pemeriksaan EKG 12 lead dianjurkan untuk dilakukan. Kepentingan utama


dari EKG adalah untuk menilai ritme, menentukan keberadaan hipertrofi
pada ventrikel kiri atau riwayat Infark myocard (ada atau tidaknya Q wave).
EKG normal biasanya menyingkirkan adanya disfungsi diastolic pada
ventrikel kiri.
Ekokardiografi
Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai anatomi dan fungsi jantung,
miokardium dan pericardium, dan mengevalusi gerakan regional dinding
jantung saat istirahat dan saat diberikan stress farmakologis pada gagal
jantung. Fitur yang paling penting pada evaluasi gagal jantung adalah
penilaian Left ventricular ejection fraction (LVEF), beratnya remodeling
ventrikel kiri, dan perubahan pada fungsi diastolic.
7. Penatalaksanaan Gagal Jantung
a. Penatalaksanaan nonfarmakologis
Perubahan gaya hidup dianjurkan untuk kesehatan penderita dan
mengurangi gejalanya, memperlambat progresifitas gagal jantung kongestif,
dan memperbaiki kualitas hidup penderita. Modifikasi gaya hidup yang
dapat dilakukan antara lain dengan menghindari konsumsi alkohol,
menghentikan merokok, melakukan aktifitas fisik, pengaturan diet dengan
membatasai konsumsi garam dan cairan, dan monitor berat badan per hari.
b. Penatalaksanaan farmakologis

Diuretik
Diuretik digunakan untuk mengobati kelebihan cairan yang biasanya
terjadi pada gagal jantung kongestif. Diuretik dapat menjadi obat wajib
atau obat optional pada CHF. Diuretik sebagai obat wajib digunakan untuk
mengurangi gejala klinis berupa retensi cairan pada pasien dengan gagal
jantung kongestif. Diuretik dapat menurunkan tekanan vena jugularis,
kongesti pulmonal, dan edema perifer. Diuretik dimulai dengan dosis awal
yang rendah, kemudian dosis perlahan-lahan ditingkatkan sampai output
urin meningkat dan berat badan menurun. Sebagai obat optional, diuretik
dapat digunakan untuk mempertahankan diuresis dan penurunan berat
badan. Penggunaan diuretik ini perlu dikombinasikan dengan pembatasan

konsumsi natrium.4,5
Angiotensin Converting Enzym (ACE) inhibitor

10

ACE inhibitor merupakan obat wajib pada CHF. Digunakan pada pasien
simpatomatis dan asimptomatis dengan EF menurun. ACE inhibitor
menstabilkan remodeling ventrikel kiri, meringankan gejala, dan
memperpanjang harapan hidup. Karena retensi cairan dapat menurunkan
efek ACEI, dianjurkan untuk diberikan diuretik sebelum memulai terapi
ACEI. Akan tetapi, penting untuk mengurangi dosis diuretik selama
pemberian ACEI dengan tujuan mengurangi kemungkinan hipotensi
simptomatik.4,5

Angiotensin Reseptor Blocker


Obat-obatan ini biasanya digunakan pada penderita gagal jantung
kongestif yang tidak dapat menggunakan ACE inhibitor karena efek

sampingnya berupa batuk, rash kulit, dan angioedema. 4,5


Beta blocker
Beta blocker digunakan untuk menghambat efek samping sistem saraf
simpatis pada penderita gagal jantung kongestif. Pemberian beta blocker
tidak dianjurkan pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri yang berat,
denyut jantung yang rendah (di bawah 65 kali/menit), atau tekanan darah

sistolik yang rendah (di bawah 85 mmHg). 4,5


Inotropik
Obat ini digunakan untuk memperbaiki kemampuan jantung dalam
memompakan darah. Salah satu contohnya adalah digoksin. Digoksin
dapat digunakan untuk mengontrol irama jantung (pada atrial fibrilasi).
Kelebihan digoksin dapat membahayakan irama jantung sehingga terjadi
aritmia. Risiko aritmia ini meningkat jika digoksin diberikan berlebihan,
ginjal tidak berfungsi optimal sehingga tidak dapat mengekskresikan
digoksin dari tubuh secara optimal, atau potassium dalam tubuh yang

terlalu rendah (dapat terjadi pada pemberian diuretik). 4,5


Calcium channel blocker
Calcium channel blocker digunakan untuk menurunkan tekanan darah jika
penyebab terjadinya gagal jantung kongestif adalah tekanan darah yang

tinggi dan pasien yang tidak berespon terhadap ACE inhibitor atau ARB.
Terapi antikoagulan dan antiplatelet4,5
Pasien gagal jantung memiliki peningkatan risiko terjadinya kejadian
thromboembolik. Penatalaksanaan dengan warfarin dianjurkan pada pasien
11

dengan gagal jantung, fibrilasi atrial proksismal, atau dengan riwayat


emboli

sistemik

atau

pulmoner,

termasuk

stroke.

Aspirin

direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan penyakit jantung


iskemik untuk menghindari terjadinya MI atau kematian. Namun, dosis
rendah aspirin dapat dipilih karena kemungkinan memburuknya gagal
jantung pada dosis lebih tinggi. 4,5
BAB III

LAPORAN KASUS
Identitas pasien

Nama

: Ny.S

Umur

: 63 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Pekerjaan

: IRT

Status

: Menikah

Masuk RS

: 14 November 2014

Tanggal periksa

: 15 November 2014

Anamnesis
Autoanamnesis dan alloanamnesis
Keluhan utama
Pasien mengeluhkan sesak nafas semakin berat sejak 1 minggu SMRS
Riwayat penyakit sekarang
1 minggu SMRS pasien mengeluhkan sesak nafas. Sesak dirasakan terus
menerus, sesak tidak dipengaruhi suhu cuaca maupun makanan, Sesak tidak
berkurang saat istirahat, untuk mengurangi sesak pasien lebih nyaman dengan
posisi duduk. Pasien mengaku pernah terbangun pada malam hari karena sesak,
sebelumnya pasien belum ada mengeluhkan hal seperti ini. pasien juga
mengeluhkan nyeri dada disebelah kiri, nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk dan
terus menerus durasi 30 menit, nyeri menjalar ke lengan kiri, ke punggung dan
ke rahang (-), berkeringat (+), mual (+), muntah (-), BAB dan BAK tidak ada
12

keluhan. Kemudian pasien di bawa ke RSUD bangkinang dan sempat dirawat


beberapa hari lalu dirujuk ke RSUD Arifin Achmad.
Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat hipertensi baru diketahui sejak 1 tahun yang lalu

Riwayat sakit jantung sebelumnya disangkal pasien

diabetes mellitus baru diketahui sejak satu tahun yang lalu dan tidak
terkontrol

Asma (-)

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang mengeluhkan penyakit yang sama.

Tidak diketahui ada atau tidak anggota keluarga yang menderita penyakit
jantung, hipertensi dan diabetes mellitus.

Riwayat sosial, ekonomi dan kebiasaan

IRT

Merokok (-)

Alkohol (-)

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan umum
Kesadaran

: Komposmentis

Keadaan umum

: Tampak sakit sedang

Tekanan darah

: 150/80 mmHg

Nadi

: 140 x/menit

Nafas

: 30 x/menit

Suhu

: 36,8C

Tinggi badan

: 158 cm

Berat badan

: 60 kg

IMT

: 24 kg/m2

13

Kepala leher:
Mata kiri dan kanan
Mata tidak cekung
Konjungtiva
: tidak anemis
Sklera
: tidak ikterik
Leher : Pembesaran KGB (-), JVP 5+2 cmH2O
Thoraks
Paru-paru
Inspeksi : gerakan dinding dada simetris kiri dan kanan
Palpasi : vokal fremitus melemah di basal paru kiri dan kanan
Perkusi : Redup di basal paru kanan dan kiri
Auskultasi:Ronki basah basal (+/+), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus tidak cordis terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi
o batas jantung kanan RIC V-VI linea parasternal dekstra
o batas jantung kiri LIC V-VI linea axilaris anterior sinistra
Auskultasi : bunyi jantung 1 dan 2 reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Tampak mencembung
Auskultasi: bising usus (+), frekuensi 14 x/menit
Perkusi : shifting dullnes(+)
Palpasi : Nyeri tekan (-), Undulasi, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : atas oedem (-/-)
bawah oedem (+/+)
akral hangat, capillary refill time 2 detik, sianosis (-)
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan darah rutin:
- WBC 13.400 /UL
- HGB 12,1 g/dl
- HCT 36,5 %
Pemeriksaan kima darah
- Gula sewaktu : 264 mg/dl
- Ureum
: 52,5 mg/dl
- Creatinin
: 1,5 mg/dl
- LDL
: 217 mg/dl
- HDL
: 31 mg/dl
- Albumin
: 3,49 g/dl
- CKMB
: 19 U/L
Elektrolit
- Natrium
: 132 mmol/L
- Kalium
: 4,6 mmol/L
- Kalsium
: 1,04 mmol/L
Urinalis

14

Warna
Kejernihan
Leukosit
Bakteri

: Kuning
: Keruh
: 10-12 /LPB
: (+)

Rontgent thorax
Dari foto thorax PA jantung sulit dinilai, didapatkan sudut kostophrenicus

tumpul, terdapat perselubungan homogen di basal paru (kesan efusi pleura).

EKG:

15

Irama

: Sinus takikardi

HR

: 150 kali / menit

Regularitas

: Regular

Aksis

: LAD

Morfologi

: ST elevasi di V2, V3, V4, Persisten S di V5 dan V6, Poor


R wave progression

Kesan
-

: Infark anterior, RVH dan LVH

Ekokardiografi
Ejeksi fraksi 53%

Resume

16

Ny S 63 tahun datang dengan keluhan sesak nafas sejak 1 minggu. Sesak


dirasakan terus menerus, Sesak tidak berkurang saat istirahat, untuk mengurangi
sesak pasien lebih nyaman dengan posisi duduk, terbangun pada malam hari
karena sesak, pasien juga mengeluhkan nyeri dada disebelah kiri, nyeri dirasakan
seperti ditusuk-tusuk dan terus menerus durasi 30 menit, nyeri menjalar ke
lengan kiri, ke punggung dan ke rahang (-), berkeringat (+), mual (+), Riwayat
hipertensi baru diketahui sejak 1 tahun yang lalu, diabetes mellitus baru diketahui
sejak satu tahun yang lalu dan tidak terkontrol.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah: 150/80 mmHg, Nadi:
140 x/menit Nafas: 30 x/menit, Leher: Pembesaran KGB (-), JVP 5+2 cmH2O.
Pemeriksaan paru, Palpasi: vokal fremitus melemah di basal paru kiri dan kanan,
Perkusi : Redup di basal paru kanan dan kiri, Auskultasi: Ronki basah basal (+/+),
wheezing (-/-). Pemeriksaan jantung, Perkusi: batas jantung kanan RIC V-VI
linea parasternal dekstra, batas jantung kiri LIC V-VI linea axilaris anterior
sinistra . Ektremitas bawah oedem (+/+)
Pemeriksaan darah rutin:
o WBC 13.400 /UL
Kimia darah
o Gula sewaktu : 264 mg/dl
o LDL
: 217 mg/dl
o HDL
: 31 mg/dl
o Albumin
: 3,49 g/dl
o CKMB
: 19 U/L
Urinalis
a. Warna
: Kuning
b. Kejernihan
: Keruh
c. Leukosit
: 10-12 /LPB
d. Bakteri
: (+)
Dari foto thorax PA didapatkan sudut kostophrenicus tumpul, terdapat
perselubungan homogen di basal paru (kesan efusi pleura).
Dari EKG didapatkan hasil, Irama: Sinus takikardi, HR: 150 kali / menit,
Regularitas: Regular, Aksis: LAD, Morfologi: ST elevasi di V2, V3, V4, Persisten
S di V5 dan V6, Poor R wave progression, Kesan : Infark anterior, RVH dan LVH
Daftar masalah
1. CHF NYHA kelas IV ec HHD

17

2. Efusi Pleura bilateral


3. STEMI anterior
4. Hipertensi Grade I
Rencana Penatalaksanaan

Nonfarmakologis :
Memposisikan semi fowler
Mengurangi asupan cairan dalam rangka mengurangi beban jantung
Mengurangi asupan garam untuk mengurangi retensi cairan dalam tubuh
Farmakologis :
Oksigen 6 Liter
IVFD RL asnet
Inj Furosemid 2x2 ampul
ISDN 3x5mg
Aspirin 1x80 mg
Klopidogrel 1x75 mg
Captopril 3x12,5 mg
Simvastatin 1x20mg
Metformin 3x850 mg
Inj.ranitidine 2x1ampul
Ceftriaxon 1x1 g

PEMBAHASAN
Pasien NY A , usia 34 tahun masuk ke ruang rawat jantung dengan
keluhan sesak nafas yang semakin berat sejak 1 hari SMRS. Berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan maka
diagnosis pasien ini adalah gagal jantung kongestif (CHF) dengan penyebab
utamanya dapat dipikirkan adalah hipertensi.
Diagnosis gagal jantung kongestif dapat ditegakkan berdasarkan kriteria
Framingham dimana didapatkan 2 kriteria mayor atau ada 1 kriteria mayor dan 2

18

kriteria minor, dari anamnesis pasien didapatkan Paroxismal Nokturnal Dypsnue,


ortopnue kemudian dari pemeriksaan fisik didapatkan peninggian JVP,
kardiomegali, dan ronki basah basal, edema tungkai, frekuensi nadi 140 kali/ment
dan dari pemeriksaan rontgen didapatkan kesan efusi pleura bilateral. Pada pasien
ini didapatkan 4 kriteria mayor dan 3 kriteria minor sehingga diagnosis pada
pasien ini adalah gagal jantung kongestif (CHF), berdasarkan klasifikasi yang
disusun oleh NYHA, maka gagal jantung pada kasus ini tergolong kedalam stage
IV, yakni gejala dapat timbul pada saat pasien beristirahat.
Penyebab gagal jantung pada pasien ini dipikirkan adalah hipertensi
karena pada pasien ini memiliki riwayat hipertensi. Pada penyakit hipertensi,
terjadi peningkatan beban hemodinamik jantung, sehingga jantung akan
mengalami kompensasi berupa : aktivasi sistem neurohormonal baik sistem
simpatis maupun sistem renin-angiostensin-aldosteron (RAA) serta meningkatkan
massa otot jantung berupa hipertrofi ventrikel kiri/ left ventricle hypertrophy
(LVH) dan pada akhirnya jantung akan mengalami kegalan.
Sesak napas yang merupakan keluhan utama pada pasien ini disebabkan
oleh karena adanya kongesti pulmoner, hal ini terjadi pada gagal jantung karena
meningkatkan tekanan hidrostatik di pembuluh kapiler paru maupun di pleura
sehingga dapat menyebabkan udem paru ataupun efusi pleura. Dengan adanya
akumulasi dari cairan interstisial dan dirongga pluera yang menstimulasi
pernapasan cepat dan dangkal yang khas untuk sesak napas yang disebabkan oleh
penyakit jantung. Sesak napas yang timbul ketika pasien tidur dalam keadaan
datar disebabkan karena aliran balik darah meningkat, akibatnya ventrikel kanan
juga memompakan darah yang lebih banyak ke arteri pulmonalis. Banyaknya
darah di vaskuler paru mengakibatkan ekstravasasi cairan dari vaskuler ke
intersisial, dengan adanya ekstravasasi cairan ke intersisial jaringan paru akan
menimbulkan suara ronki basah basal saat di lakukan auskultasi pada kedua
lapangan paru.
Pasien ini juga didiagnosis dengan STEMI anterior karena berdasarkan
anamnesis didapatkan pasien mengeluhkan adanya nyeri dada disebelah kiri, nyeri
dirasakan seperti ditusuk-tusuk dan terus menerus durasi 30 menit, nyeri
menjalar ke lengan kiri, ke punggung dan ke rahang (-), berkeringat (+), mual

19

(+),hal ini secara toeri merupakan gejala dari khas infark miokard, dan tunjang
dengan pemeriksaan EKG dan laboratorium yang didapatkan terdapatnya
gelombang ST elevasi di lead V5 dan V6 yang merupakan penanda adanya infark
di anterior jantung serta adanya peningkatan enzim CK-MB. pada pasien ini juga
memiliki faktor resiko untuk terjadinya penyakit arteri koroner yaitu pasien
memiliki riwayat hipertensi, diabetes melitus yang tidak terkontrol ditambah
dengan kadar kolesterol LDL yang tinggi.
Penatalaksanaan pasien gagal jantung pada kasus ini dapat dilakukan
dengan pemberian oksigen 6 liter yang adekuat yang berfungsi untuk mencegah
disfungsi end organ dan serangan gagal organ yang multipel. Gagal jantung
ditangani dengan tindakan umum untuk mengurangi beban kerja jantung dan
manipulasi selektif terhadap ketiga penentu utama dari fungsi miokardium, baik
secara sendiri-sendiri maupun secara gabungan dari : beban awal, kontraktilitas,
dan beban akhir.
Pada pasien ini diberikan obat captopril, dimana captopril merupakan
salah satu obat dari golongan ACE I, golongan ACE I inhibitor terbukti dapat
mengurangi mortalitas dan morbiditas pada semua pasien gagal jantung. ACE I ini
bekerja dengan menghambat konversi angiostensin I menjadi angiostensin II,
yang mana angiostensis II memiliki efek vasokontriktor dan menstimulasi
pelepasan aldosteron yang akan mengakibatkan terjadinya resistensi Na dan air.
Jika konversi angiostensi I ke angiostensin II terhambat maka hal diatas tidak
akan terjadi dan proses remodelling jantung juga terhambat.
Diuretik merupakan obat utama untuk mengatasi gagal jantung akut yang
selalu disertai dengan kelebihan cairan yang bermanifestasi sebagai kongesti paru
atau edema perifer. Pengguaan diuretik dengan cepat akan menghilangkan sesak
nafas. Pada pasein dengan gagal jantung diuretik mengurangi retensi cairan ekstra
sel, alir balik vena dan tekanan pengisian ventrikel, dengan demikian kongesti
paru dan edema perifer berkurang atau hilang, sedangkan curah jantung tidak
berkurang. Pada pasien ini diberikan diuretik kuat seperti furosemid.
Pemberian Vasodilator seperti ISDN bertujuan untuk membuat pembuluh
darah vasodilatasi sehingga menurunkan beban kerja jantung, berdasarkan

20

penelitian pemberian vasodilator akan mengurangi mortalitas pada pasien dengan


gagal jantung.ISDN juga berfungsi untuk pasien dengan infark miokar
Pada pasien ini juga diberikan obat antitrombotik seperti aspirin dan
klopidogrel. Pada infark miokard aspirin bermanfaat untuk mencegah kambuhnya
infark miokard, aspirin bekerja menghambat sintesis tromboksan A2 sehingga
dapat menghambat agregasi trombosit.
Simvastatin merupakan obat golongan statin, obat ini terutama efektif
untuk menurunkan kolesterol dengan menghambat sinstesis kolesterol di hati.

DAFTAR PUSTAKA
1. Mann DL. Heart failure and cor pulmonal. In: Fauci AS, Braunwald E,
Kasper DL, et al. Harrisons principles of internal medicine. 17th ed. Vol 2.
USA: McGraw Hill. 2008
2. Rilantono LI, Baraas F, Karo S, Roebino PS. Buku ajar kardiologi.
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2004
3. Laksono S. Patofisiologi payah jantung kronik. Cermin dunia kedokteran.
Edisi 169 vol 36. Jakarta: 2009.
21

4. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit.


Edisi keenam. Jakarta: EGC. 2005
5. Setiawati A, Nafrialdi. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: FKUI. Edisi 5

22

Anda mungkin juga menyukai