Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

PERAWATAN SUKU KAILI


\

DISUSUN OLEH:
MOH .ANWAR

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA JAYA II
PARIGI
2016
1

KATA PENGANTAR
PujisyukurkehadiratTuhan YanG Maha Esa atas segala rahmatNYA
sehingga makalah ini

dapat tersusun hingga selesai .Tidak lupa kami juga

mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusI
dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca.Untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih
banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Penulis

Parigi,25-11-2016

DAFTAR ISI

JUDUL MAKALAH.................................................................................................. 1
KATA PENGANTAR...........................................................................................

... 2

DAFTAR ISI....................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................
1
2
3
4

Suku kaili............................................................................................4
Kehidupan .......................................................................................6
Budaya.............................................................................................6
Pemerintahan...................................................................................8

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................
A. Nolama Tai...............................................................................................10
B. Novero.........................................................................................................
15
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...............................................................................................21
B. Saran..........................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG
1.Suku Kaili
adalah suku bangsa di Indonesia yang secara turun-temurun tersebar
mendiami sebagian besar dari Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya wilayah
Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, dan Kota Palu, di seluruh daerah di lembah
antara Gunung Gawalise, Gunung Nokilalaki, Kulawi, dan Gunung Raranggonau.
Mereka juga menghuni wilayah pantai timur Sulawesi Tengah, meliputi Kabupaten
Parigi-Moutong, Kabupaten Tojo-Una Una dan Kabupaten Poso. Masyarakat suku
Kaili mendiami kampung/desa di Teluk Tomini yaitu Tinombo,Moutong,Parigi,
Sausu, Ampana, Tojo dan Una Una, sedang di Kabupaten Poso mereka mendiami
daerah Mapane, Uekuli dan pesisir Pantai Poso. Untuk menyatakan "orang Kaili"
disebut dalam bahasa Kaili dengan menggunakan prefix "To" yaitu To Kaili.
Ada beberapa pendapat yang mengemukakan etimologi dari kata Kaili, salah
satunya menyebutkan bahwa kata yang menjadi nama suku Kaili ini berasal dari
nama pohon dan buah Kaili yang umumnya tumbuh di hutan-hutan dikawasan daerah
ini, terutama di tepi Sungai Palu dan Teluk Palu. Pada zaman dulu, tepi pantai Teluk
Palu letaknya menjorok l.k. 34 km dari letak pantai sekarang, yaitu di Kampung
Bangga.Sebagai buktinya, di daerah Bobo sampai ke Bangga banyak ditemukan
karang dan rerumputan pantai/laut. Bahkan di sana ada sebuah sumur yang airnya
pasang pada saat air di laut sedang pasang demikian juga akan surut pada saat air laut
surut.

Menurut cerita (tutura), dahulu kala, di tepi pantai dekat Kampung Bangga
tumbuh sebatang pohon kaili yang tumbuh menjulang tinggi.Pohon ini menjadi arah
atau panduan bagi pelaut atau nelayan yang memasuki Teluk Palu untuk menuju
pelabuhan pada saat itu, Bangga.
Suku Kalili atau etnik Kaili, merupakan salah satu etnik dengan yang
memiliki rumpun etnik sendiri. untuk penyebutannya, suku Kaili disebut etnik kaili,
sementara rumpun suku kaili lebih dari 30 rumpun suku, seperti, rumpun kaili rai,
rumpun kaili ledo, rumpun kaili ija, rumpun kaili moma, rumpun kaili da'a, rumpun
kaili unde, rumpun kaili inde, rumpun kaili tara, rumpun kaili bare'e, rumpun kaili
doi, rumpun kaili torai, dll.
Suku Kaili mengenal lebih dari dua puluh bahasa yang masih hidup dan
dipergunakan dalam percakapan sehari-hari.Uniknya, di antara kampung yang hanya
berjarak 2 km kita bisa menemukan bahasa yg berbeda satu dengan lainnya.Namun,
suku Kaili memiliki lingua franca, yang dikenal sebagai bahasa Ledo. Kata "Ledo"
ini berarti "tidak". Bahasa Ledo ini dapat digunakan berkomunikasi dengan bahasabahasa Kaili lainnya.Bahasa Ledo yang asli (belum dipengaruhi bahasa para
pendatang) masih ditemukan di sekitar Raranggonau dan Tompu. Sementara, bahasa
Ledo yang dipakai di daerah kota Palu, Biromaru, dan sekitarnya sudah terasimilasi
dan terkontaminasi dengan beberapa bahasa para pendatang terutama bahasa Mandar
dan bahasa Melayu.
Bahasa-bahasa yang masih dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, yaitu
bahasa Tara (Tondo,vatu tela,Talise,Lasoani,Poboya,Kavatuna,Sou love dan Parigi),
bahasa Rai (Tavaili sampai ke Tompe), bahasa Doi (Pantoloan dan Kayumalue);
bahasa Unde (Ganti,Banawa,Loli,Dalaka, Limboro,Tovale dan Kabonga), bahasa Ado
(Sibalaya, Sibovi,Pandere, bahasa Edo (Pakuli,Tuva), bahasa Ija (Bora, Vatunonju),
bahsa Da'a (Porame, Balane, Uwemanje, Rondingo, Pobolobia, Kayumpia, Wayu,

Dombu, Jono'oge), bahasa Moma (Kulavi), dan bahasa Bare'e (Tojo, Unauna dan
Poso). Semua kata dasar bahasa tersebut berarti "tidak".
2. Kehidupan
Mata pencaharian utama masyarakat Kaili adalah bercocok tanam
disawah,diladang dan menanam kelapa. Disamping itu masyarakat suku Kaili yang
tinggal didataran tinggi mereka juga mengambil hasil bumi dihutan seperti
rotan,damar dan kemiri, dan beternak. Sedang masyarakat suku Kaili yang dipesisir
pantai disamping bertani dan berkebun, mereka juga hidup sebagai nelayan dan
berdagang antar pulau ke kalimantan.
Makanan asli suku Kaili pada umumnya adalah nasi, karena sebagian besar
tanah dataran dilembah Palu, Parigi sampai ke Poso merupakan daerah persawahan.
Kadang pada musim paceklik masyarakat menanam jagung, sehingga sering juga
mereka memakan nasi dari beras jagung (campuran beras dan jagung giling.
Alat pertanian suku Kaili di antaranya : pajeko (bajak), salaga (sisir),
pomanggi (cangkul), pandoli(linggis), Taono(parang); alat penangkap ikan di
antaranya: panambe, meka, rompo, jala dan tagau.
3. Budaya
Sebagaimana suku-suku lainnya diwilayah persada Nusantara, Suku Kaili
juga mempunyai adat istiadat sebagai bagian kekayaan budaya di dalam kehidupan
sosial, memiliki Hukum Adat sebagai aturan dan norma yang harus dipatuhi, serta
mempunyai aturan sanksi dalam hukum adat.
Penyelenggaraan upacara adat biasanya dilaksanakan pada saat pesta perkawinan (noRano, no-Raego, kesenian berpantun muda/i),pada upacara kematian (noVaino,menuturkan kebaikan orang yg meninggal), pada upacara panen (no-Vunja,

penyerahan sesaji kepada Dewa Kesuburan), dan upacara penyembuhan penyakit (noBalia, memasukkan ruh untuk mengobati orang yg sakit); pada masa sebelum
masuknya agama Islam dan Kristen, upacara-upacara adat seperti ini masih dilakuan
dengan mantera-mantera yang mengandung animisme.
Setelah masuknya agama Islam dan Kristen, pesta perkawinan dan kematian sudah
disesuaikan antara upacara adat setempat dengan upacara menurut agama
penganutnya. Demikian juga upacara yang mengikuti ajaran Islam seperti: Khitan
(Posuna), Khatam (Popatama) dan gunting rambut bayi usia 40 hari (Niore ritoya),
penyelenggaraannya berdasarkan ajaran agama Islam.
Beberapa instrumen musik yang dikenal dalam kesenian suku Kaili antara lain :
Kakula (disebut juga gulintang,sejenis gamelan pentatonis),Lalove (serunai), nggesonggeso (rebab berdawai dua), gimba (gendang), gamba-gamba (gamelan datar/kecil),
goo(gong), suli (suling).
Salahsatu kerajinan masyarakat suku Kaili adalah menenun sarung. Ini merupakan
kegiatan para wanita didaerah Wani,Tavaili, Palu, Tipo dan Donggala. Sarung tenun
ini dalam bahasa Kaili disebut Buya Sabe tetapi oleh masyarakat umum sekarang
dikenal dengan Sarung Donggala. Jenis Buya Sabe inipun mempunyai nama-nama
tersendiri berdasarkan motif tenunannya, seperti Bomba, Subi atau Kumbaja.
Demikian juga sebutan warna sarung Donggala didasarkan pada warna alam,seperti
warna Sesempalola / kembang terong (ungu), Lei-Kangaro/merah betet (merahjingga), Lei-pompanga (merah ludah sirih).
Didaerah Kulawi masih ditemukan adanya pembuatan bahan pakaian yang diproses
dari kulit kayu yang disebut Katevu.Pakaian dari kulit Kayu Katevu ini sebagian
besar dipakai oleh para wanita dalam bentuk rok dan baju adat.

Sebelum masuknya agama ke Tanah Kaili, masyarakat suku Kaili masih menganut
animisme, pemujaan kepada roh nenek moyang dan dewa sang Pencipta (Tomanuru),
dewa Kesuburan (Buke/Buriro)dan dewa Penyembuhan (Tampilangi). Agama Islam
masuk ke Tanah Kaili, setelah datangnya seorang Ulama Islam, keturunan Datuk/Raja
yang berasal dari Minangkabau bernama Syekh Abdullah Raqie.Ia beserta
pengikutnya datang ke Tanah Kaili setelah bertahun-tahun bermukim belajar agama
di Mekkah. Di Tanah Kaili, Syekh Abdullah Raqie dikenal dengan nama Dato
Karama/Datuk Karama (Datuk Keramat), karena masyarakat sering melihat
kemampuan dia yang berada di luar kemampuan manusia pada umumnya. Makam
Dato Karama sekarang merupakan salah satu cagar budaya yang di bawah
pengawasan Pemerinta Daerah.
Hubungan kekerabatan masyarakat suku Kaili sangat tampak kerjasama pada
kegiatan-kegiatan pesta adat, kematian, perkawinan dan kegiatan bertani yang disebut
SINTUVU (kebersamaan/gotong royong).
4.Pemerintahan
Pemerintahan pada masa dahulu, sudah dikenal adanya struktur organisasi
pemerintahan di dalam suatu Kerajaan (KAGAUA) dikenal adanya MAGAU (Raja),
MADIKA MALOLO (Raja Muda). Di dalam penyelenggaraan pemerintahan Magau
dibantu oleh LIBU NU MARADIKA (Dewan Pemerintahan Kerajaan) yang terdiri
dari: MADIKA MATUA (Ketua Dewan Kerajaan/Perdana Menteri) bersama
PUNGGAWA (Pengawas Pelaksana Adat/ Urusan Dalam Negeri), GALARA (Hakim
Adat), PABICARA (Juru Bicara), TADULAKO (Urusan Keamanan/ Panglima
Perang) dan SABANDARA (Bendahara dan Urusan Pelabuhan).
Disamping dewan Libu nu Maradika, juga ada LIBU NTO DEYA (Dewan
Permusyawaratan

Rakyat)

yang

merupakan

perwakilan

Rakyat

berbentuk

PITUNGGOTA NGATA(Dewan yg Mewakili Tujuh Penjuru Wilayah) atau

PATANGGOTA NGATA (Dewan yg Mewakili Empat Penjuru Wilayah). Bentuk Kota


Pitunggota atau Kota Patanggota berdasarkan luasnya wilayah kerajaan yang
memiliki banyaknya perwakilan Soki (kampung)dari beberapa penjuru. Ketua Kota
Pitunggota atau Kota Patanggota disebut BALIGAU.
Strata sosial masyarakat Kaili dahulu mengenal adanya beberapa tingkatan yaitu
MADIKA/MARADIKA, (golongan keturunan raja atau bangsawan),TOTUA
NUNGATA (golongan keturunan tokoh-tokoh masyarakat), TO DEA (golongan
masyarakat biasa), dan BATUA (golongan hamba/budak).
Pada zaman sebelum penjajahan Belanda, daerah Tanah Kaili mempunyai beberapa
raja-raja yang masing2 menguasai daerah kekuasaanya, seperti Banawa, Palu, Tavaili,
Parigi, Sigi dan Kulavi. Raja-raja tersebut mempunyai pertalian kekeluargaan serta
tali perkawinan antara satu dengan lainnya, dengan maksud untuk mencegah
pertempuran antara satu dengan lainnya serta mempererat kekerabatan.
Pada saat Belanda masuk kedaerah Tanah Kaili, Belanda mencoba mengadu domba
antara raja yang satu dengan raja lainnya agar mempermudah Belanda menguasai
seluruh daerah kerajaan di Tanah kaili.Tetapi sebagian besar daripada raja-raja
tersebut melakukan perlawanan terhadap tentara Belanda, mereka bertempur dan
tidak bersedia dijajah Belanda.Tetapi dengan kelicikan Belanda setelah mendapat
bala bantuan dari Jawa akhirnya beberapa raja berhasil ditaklukan, bahkan ada di
antaranya yang ditangkap dan ditawan oleh Belanda kemudian dibuang ke Pulau
Jawa.
Beberapa alat senjata perang yang digunakan oleh suku Kaili di antaranya : Guma
(sejenis parang), Pasatimpo (sejenis keris), Toko (tombak), Kanjai (tombak trisula),
Kaliavo (perisai). --180.251.147.61 26 Desember 2011 06.39 (UTC)

BAB 11
PEMBAHASAN
A. Nolama Tai
Upacara masa kehamilan pada suku bangsa Kaili dikenal 2 macam, yaitu
upacara Nolama Tai (upacara selamatan kandungan pada masa hamil pertama) dan
upacara Novero (upacara pengobatan apabila sang ibu yang hamil kurang sehat).
Kedua upacara ini diuraikan secara terpisah walaupun kedua upacara tersebut sering
dilaksanakan sekaligus.
Upacara ini adalah upacara selamatan kandungan pada kehamilan anak yang
pertama apabila kandungan berusia 7 bulan.Upacara ini sering dinamakan No
jemparaka manu (memisah-misahkan bagian daripada daging ayam) atau biasa
disebut mantale (membuat sesajian).Nama-nama itu ditonjolkan sesuai dengan
penonjolan dari bagian upacara ini yaitu memenggal bagian daging ayam untuk
upacara sebagai sesajian utama dalam upacara Nolama Tai.Upacara ini bagi
masyarakat Kaili berbeda kualitas dan kuantitasnya sesuai dengan kedudukan sosial
seseorang atau Vati seseorang dalam masyarakat.
1. Maksud Penyelengaraan Upacara
Tujuan upacara ini adalah dimaksudkan agar kelahiran sang bayi dapat
berlangsung dengan selamat tanpa cacat jasmani dan rohani, serta keselamatan ibu
yang akan melahirkan, dan juga agar ibu terhindar dari gangguan-gangguan rate. Dari
mantera-mantera sando (dukun) diketahui bahwa tujuan upacara ini adalah agar anak
yang

lahir

kelak

tidak

tuli,

kudisan,

bodoh,

nakal,

penyakitan,

dan

sebagainya.Menurut kepercayaan masyarakat Kaili bahwa leluhur mereka yang

10

disebut rate selalu mengganggu dan menjadi sebab berbagai penyakit tersebut di atas,
dan bagi bayi dalam kandungan apabila upacara diabaikan.
2.

Waktu Penyelenggaraan Upacara


Upacara ini dilakukan pada siang hari sebelum matahari condong ke barat.
Hal ini sebagai suatu simbol bahwa bayi yang akan lahir kelak memiliki sumber
kekuatan dan tenaga serta murah rezeki. Usia kandungan yang diupacarakan berkisar
antara 7 sampai 9 bulan dan pantang untuk bulan ke 8 karena dianggap bulan yang
kurang baik. Penetapan waktu ditetapkan dengan seksama melalu ilmu Kotika dengan
cara menghitung hari bulan di langit yang dianggap sebagai hari baik dan disepakati
oleh dua belah pihak orang tua suami istri dan sando.
3. Tempat Penyelenggaraan Upacara
Upacara diselenggarakan di rumah dan tempat-tempat tertentu yang dianggap
berkaitan dengan kekuatan magis religius, atau tempat yang dianggap dikuasai oleh
kekuatan roh halus dan dihuni oleh rate di dalam dan di luar rumah. Di dalam rumah
upacara ini dilaksanakan di beranda depan, yaitu di depan pintu rumah (tambale),
sedangkan kalau di luar rumah disiapkan tempat tertentu sebagai tempat sesajian
sesuai kondisi lingkungan desa bersangkutan.
4. Penyelenggaran Teknis Upacara
Upacara ini dipimpin oleh seorang dukun wanita (sando) yang dapat
berkomunikasi dengan mahluk halus dan telah berusia lanjut.Tidak kurang
peranannya ialah orang tua kedua belah pihak yang menyediakan korban upacara
seperti kambing atau domba bagi keluarga bangsawan dan ayam bagi keluarga biasa.

11

5. Pihak-pihak yang Terlibat dalam Upacara


Pihak-pihak yang terlibat dalam upacara ini ialah para keluarga dari kedua
belah pihak, terutama ibu-ibu yang sudah berusia lanjut.Selain itu juga yang berturut
hadir mengikuti jalannya upacara tersebut ialah sanak keluarga dan tetangga yang
bekerja mensukseskan pesta adat tersebut, khususnya di kalangan keluarga
bangsawan.Sebab di ini ada pesta makan dengan menyembelih 2 ekor kambing
sebagai sumbangan dari kedua orang tua suami istri.Bagi pihak suami wajib
menyumbang kambing/domba jantan, sedangkan keluarga istri wajib menyumbang
kambing/domba betina.
6. Persiapan dan Perlengkapan Upacara
Nolama bagi keluarga bangsawan umumnya mengadakan undangan pesta
makan dari keluarga kedua belah pihak dan para tetangga.Bagi keluarga biasa,
upacaranya sangat sederhana, masing-masing seekor ayam jantan sumbangan pihak
laki-laki dan ayam betina sebagai sumbangan pihak istri.Di samping persiapanpersiapan hewan tersebut juga dipersiapkan perlengkapan upacara puncak, yaitu
mantale njaka (upacara sesajian) dari sejumlah bahan makanan dan bahan-bahan
perlengkapan adat lainnya.
Materi-materi yang dipersiapkan di sini ialah punti jaka (pisang rebus),
koluku nikou (kelapa parut), marisa nete (lombok kecil), hati kerbau yang sudah
dibakar (sate), nasi masak, dan darah kambing/ayam yang disembelih.
Benda-benda adat lainnya ialah sabala mesa (1 lembar sarung tenunan zaman
dulu), samata doke (satu mata tombak), somata tinggora (satu mata tombak yang
berakit), tatalu suraya ada (tiga piring adat), tatalu tubu (tiga buah mangkok), sang
dula (satu dulang tempat penyimpanan barang-barang tersebut di atas).

12

7. Jalannya Upacara
Dalam upacara nolama bagi keluarga bangsawan, pertama ialah mengadakan
undangan (pegaga), yaitu suatu undangan dengan jalan mengundang langsung dari
rumah ke rumah jauh sebelum upacara diadakan.Bila telah tiba hari yang ditentukan,
undangan-undangan dijemput kembali (neala) dari rumah ke rumah.Kegiatan ini
disebut peonggotaka (suatu penghormatan dari keluarga yang berpesta) kepada orang
tua adat.
Pada hari upacara diadakan penyembelihan kambing/domba yang disembelih
tersebut dibakar/dipanggang di atas api (nilambu), sehingga seluruh bulu-bulunya
habis

terbakar. Maksudnya

agar

kulitnya

dapat

diproses

menjadi

bahan

makanan.Sebelum dagingnya dipotong-potong hatinya diambil lebih dahulu yang


biasa disebut nompesule (mengambil hati) dan langsung ditusuk dan dibakar sebagai
bahan sesajian atau nilanjamaka (dijadikan sesajian). Selesai dipotong-potong, paha
kanan dari domba/kambing tersebut digantung di depan pintu untuk bagian dukun. Di
samping memproses daging-daging untuk dimasak, diadakanlah upacara nantalenjaka
(upacara sesajian) di depan pintu rumah sebelum para undangan hadir.
Seluruh perlengkapan sesajian yang disebutkan di atas telah siap tersaji, dikeliling
oleh ibu hamil dan ibu-ibu yang telah lanjut usia, sebagai peserta upacara inti
tersebut. Dukun mulai nogane (mengucapkan mantera/sastra suci) dan duduk
berhadapan dengan ibu hamil yang diupacarakan. Isi manteri antara lain meminta
keselamatan/perlindungan kepada rate; arwah nenek moyang yang sudah meninggal
disebut rate njae dan yang baru meninggal disebut rate vou. Maksudnya agar ibu
tidak mengalami kesukaran pada waktu melahirkan.
Disamping membaca mantera tersebut dukun mengipas-ngipaskan daun kelapa
(pucuk kelapa muda) kepada ibu hamil dengan isyarat melemparkan keluar jendela
atau pintu.Maksudnya agar penyakit yang mennggagu dari sebab pengaruh rate
13

tersebut dapat hilang atau keluar. Ada pula adat yang menggunakan banja mpagana
(mayang pinang) yang disapukan di atas kepala ibu (tidak menggunakan pucuk
kelapa muda).
Ada pula vati yang mengadakan upacara nolenggai tai, yang dianggap masyarakat
Kaili sebagai adat Orang Bugis (vati ntobugi), yang pada umumnya dilaksanakan
dikalangan keluarga bangsawan. Nolenga Tai (menggoyang-goyangkan) perut ini
dilaksanakan oleh seorang dukun yang ahli. Cara pelaksanaannya ialah ibu hamil tadi
tidur terlentang di atas 7 lapis sarung/kain, lalu dukun mengangkat kain tersebut satu
persatu pada bagian belakangnya, sehingga perut perangkat dan digoyangkan selama
tujuh kali. Maksudnya ialah agar posisi anak dalam kandungan menjadi baik, dan ibu
tidak merasakan sakit pada bagian belakangnya.Di kalangan keluarga biasa hal ini
kurang dilaksanakan.
Selesai acara tersebut dukun dan peserta upacara tersebut makan sebagian dari
makanan sesajian tersebut, dan sebagian lagi dari makanan tersebut dibawa keluar
rumah untuk sesajian di tempat tertentu baik yang sengaja dibuat dan atau di alam
bebas seperti di pohon-pohon kayu besar, di tepi sungai, dan sebagainya yang diantar
sendiri oleh dukun upacara ini yang disebut nompaura.
Sebagai acara penutup, dukun membuat/mempersiapkan tuvu mbuli. Tuvu mbuli
berarti hidup berkembang biak dalam satu rumpun. Suatu simbol kehidupan yang
ideal, yaitu dalam suasana dingin dan berketurunan banyak (Tuvu = hidup, Mbuli =
standar).
Tuvu Mbuli tersebut tidak lain sebuali gelas/mangkok yang diisi air dan dedaunan
yang melambangkan 2 hal tersebut, yaitu daun siranindi (setawar dingin) sebagai
lambang ketenangan dan ketahanan hidup dari tantangan hidup, serta tava
kodombuku, semacam pohon yang tahan hidup di musim kemarau, mudah
berkembang biak dan akarnya lama usianya.
14

Selesai upacara tersebut dan setelah undangan hadir seluruhnya, maka


diadakanlah pesta makan.Dengan demikian selesai upacara Nolama tersebut.

B . Novero
Upacara novero (upacara pengobatan apabila sang ibu yang
hamil kurang sehat) atau moragi ose adalah suatu upacara
pengobatan yang bila ibu hamil kurang sehat dan lemah, yang
dianggap sebagai gangguan mahluk halus yang jahat. Upacara ini
dapat juga dilaksanakan bagi ibu yang tidak hamil, namun ada
perbedaan-perbedaan yang tidak berarti.

Maksud Penyelenggaraan Upacara


Novero (mengobati

penyakit)

atau moragi

ose (memberi

warna warni beras) bertujuan untuk menyembuhkan ibu hamil dari


penyakit yang dideritanya karena nilindo nuviata(diganggu mahluk
halus).

Waktu Penyelenggaraan Upacara


Upacara

ini

sering

dilaksanakan

serentak

dengan

upacara nolama, yaitu bila ibu hamil kelihatannya kurang sehat.


Perbedaannya ialah nolama lebih dekat kepada pemujaan arwah
nenek

moyang,

sedangkan novero lebih

mahluk-mahluk halus yang dianggap jahat.

Tempat Penyelenggaraan Upacara

15

berorientasi

kepada

Tempat upacara diadakan di luar rumah, di tempat yang


dipercayai sebagai tempat hunian mahluk halus, seperti di tepi
sungai, tepi pantai, di pohon-polion besar, dan sebagainya. Dan di
sini pula dibuat suampela, sebuah tempat penyimpangan sesajian
yang dibuat dari kayu bertiang tiga. Pada bagian atas dibuat sebuah
anyaman dari ranting kayu atau bambu tempat sesajian itu
disimpan, dan kulili (kayu yang dibuat seperti model parang, yang
diberi warna belang hitam putih). Ketiganya (suampela, kulili, dan
berbagai jenis makanan) merupakan perlengkapan upacara novero
tersebut termasuk ose ragi (beras yang telah diberi warna-warni)
seperti disebutkan di atas.

Penyelenggara Teknis Upacara


Yang berperan dalam upacara ini ialah seorang dukun wanita

sejak awal sampai dengan upacara ini selesai. Pihak-pihak lain yang
terlibat terbatas dalam lingkungan keluarga terdekat saja, yang
mempersiapkan perlengkapan upacara adat lainnya.
a. Persiapan dan Perlengkapan Upacara
Perlengkapan-perlengkapan selain yang telah disebutkan di atas
ialah membuatpekaolu nuvayo (tempat berlindungnya bayangan),
maksudnya tempat roh kita berlindung bila mendapat gangguan
mahluk halus. Juga perlengkapan yang disebuttoge, yang dibuat
semacam janur dari daun kelapa seperti bentuk tombak, kepala
kuda yang berkepala dua dan berkepala sebelah dan lain-lain. Pada
bagian bawah janur tersebut bersusun 4-5 dan yang terakhir inilah

16

yang disebut pekaolu nuvayo. Perlengkapan lainnya ialah tuvu


mbuli seperti yang telah disebutkan terdahulu.
Di dalam rumah disiapkan mbara-mbara (barang
perhiasan/pakaian
adat)
yaitu vuya(sarung),
baju,
dan bulava (emas).
Ketiganya
disimpan
di
atas dula
palangga (dulang berkaki).
b.

Jalannya Upacara

Membuat persiapan-persiapan seperti yang telah disebutkan


di atas, yang dilaksanakan bersama dukun dan keluarga di
rumah ibu yang hamil, termasukmoragi ose (memberi macam
warna beras sesajian).

Mengambil banja mpangana (mayang pinang) lalu direndam


dalam air 3 malam dicampur dengan daun-daun yang wangi
seperti bunga mbalu, daun pandang, tamadi, tulasi, dan
sebagainya. Baru ose ragi tersebut dibungkus dengan kain putih,
disimpan di tiang tengah rumah di mana ibu hamil itu akan tidur
di dekat barang-barang tersebut.

Tiap bangun pagi selama tiga hari ibu hamil makan makanan
yang disiapkan dalam bambu dengan sebiji telur rebus dan
mencuci muka dengan air yang disiapkan dan diberi bahanbahan yang wangi tersebut.

Kegiatan

selanjutnya

ialah

membuat suampela tempat

sesajian itu disimpan, melalui suatu cara-cara tertentu dan


dengan gane-gane (mantera). Pada ketiga diadakan upacara
mandi bagi ibu hamil tersebut dengan air wangi yang direndam
dengan daun-daun wangi tersebut di atas. Seusai mandi
sebatang maya

17

sebatang pinang yang belum berkembang, dipecahkan di atas


kepala. Benda tersebut dianggap memberikan kekuatan untuk
tubuh, sambil memecahkan sebatang mayang pinang yang
masih belum berkembang tersebut, dukun berkata : niratamo
sumangana dako ripue ngayu, ripue ntana (sudah diketemukan
kembali semangatnya dari penghuni pohon kayu dan penghuni
bumi).

Selanjutnya adalah nantau (membawa turun) seluruh bahanbahan perlengkapan tersebut di atas ke tanah dan ke tempat
upacara di mana suampela tersebut dibuat. Di tempat sesajian
itu dukun nogane memanggil arwah dan roh-roh halus dan
berkata : Seimo konisa miu, tavala miu, toge ante kalili miu.
Aku

mompatolo

rapakalompemo

yanu
yanu

(si

anu),

(Telah

bekaka

maimo

kupersembahkan

vayona,

kepadamu

makanan, tombak, toge, kulili. Aku menolong si Anu (menyebut


nama). Berikan kepadanya kembali sumber kekuatan hidup,
sembuhkanlah ia dari penyakit).

Selanjutnya diadakan acara noronde (dialog dukun dengan orangorang yang ada dalam rumah). Dialog tersebut terjadi sebagai
berikut:
Dukun : Nolompemo yanu!! (Si Anu sudah sembuh).
Orang di rumah menjawab : Yo nalompemo (Ya sudah), eva apu
nitulaka uve (seperti api kena air), eva kuni niboli toila (seperti
kunyit diberi kapur).

18

Dukun naik ke rumah sambil berkata kepada ibu hamil: niratakumo


vayo miu, naialaku riviata, rikarampua, rirate njae, rirate vou (saya
sudah

menemukan

sumber

kekuatan

hidup

yang

hilang

dari viata (setan/jembalang) dari para dewa dan roh-roh nenek


moyang yang telah lama dan baru meninggal).
Acara terahir ialah noave ose niragi, bila ibu telah melahirkan
dengan selamat, maka ose niragi (beras 4 warna) yang disebutkan
di atas valas suji (semacam rakit kecil). Noave(mengalirkan) barang
tersebut

mengandung

arti nompakatu (mengirimkan

sesajian)

tersebut kepada pue ntasi (penghuni laut) diiringi pula dengan


mantera-mantera yang isinya minta segera ibu hamil yang sakit
segera sembuh, dan karena penyakit sudah terbawa ke laut, pergi
bersama penyakit.
Dengan selesainya acara ini, selesailah upacara novero tersebut
bagi seorang ibu hamil yang kurang sehat.
c. Pantangan-pantangan yang Dihindari
Dalam upacara adat nolama, hampir tidak ada pantangan yang
berarti, tetapi selama ibu hamil dijumpai sejumlah pantanganpantangan. Pantangan tersebut tidak saja berlaku untuk sang ibu
yang hamil, tetapi juga berlaku bagi sang suami. Pantanganpantangan bagi ibu hamil tersebut antara lain:
1.

Duduk di muka pintu atau pada anak tangga (mungkin suatu


upaya preventif).

2.

Pantang minum air terlalu banyak karena bila melahirkan


terlalu banyak air dan atau beranak kembar.
19

3.

Pantang makan gula merah atau tebu serta nenas karena


dapat membuat perut sakit.

4.

Pantang mencela, mengejek orang-orang yang cacat jasmani


karena dapat melahirkan bayi yang cacat.

5.

Pantang mengurai rambut pada sore hari karena dapat di


ganggu mahluk halus.

6.

Pantang makan ikan cumi-eumi karena dapat melahirkan bayi


dalam bentuk cumi-cumi dan sebagainya.

7.

Pantang duduk di sembarang tempat.

8.

Tidak boleh kikir (nemo masina), agar sifat/watak anaknya


tidak seperti itu.

9.

Tidak boleh menggulung handuk di leher (moveve handuri


tambolo), agar bayi bakal lahir tidak tercekik pada bagian
lehernya.

10.

Tidak boleh melicinkan tempurung (mo gau bobo/banga), agar

rambut anak tidak akan botak.


11.

Pantang mandi pada sore hari, dapat membuat kelamin

bengkok karena ilirasi pue nu tive (disetubuli oleh hantu


penghuni air) atau mandi dipagi buta karena bayi kedinginan
dan lahir dalam keadaan lemah
Pantangan bagi sang suami adalah:
1.

Menyembelih

atau

membunuh

binatang

karena

dapat

mengakibatkan bayi nantolu moro (kemarahan)


2.

Pantang memakai celana bila istri dalam keadaan melahirkan

3.

Pantang menginjak papan penutup liang lahat (dindi ngari)


sebab dapat membuat bayi lahir dalam keadaan lemah.

20

d.

Lambang-Lambang atau Makna yang Terkandung dalam


Unsur-unsur Upacara
Dari uraian-uraian terdahulu telah disebut kan beberapa
jenis perlengkapan upacara adat yang merupakan simbol tertentu
dalam upacara tersebut, baik dalam bentuk nama, sifat, ataupun
keadaan benda itu.
Tuvu mbuli adalah tumbuh-tumbuhan yang melambangkan sifat
dan keadaan benda yang diidentifikasikan dengan kebabahagiaan
rumpun keluarga, yaitu siranindi (daun si tawar dingin), sebagai
simbol agar anak yang bakal lahir tetap tenang dan berpikiran
dingin serta jernih sekalipun dalam suasana penuh tantangan. Sifat
tumbuh-tumbuhan tersebut tahan hidup dalam keadaan musim
kemarau. Suatu lambang dari suatu kehidupan yang tidak pernah
susah. Kadombuku adalah semacam tumbuh-tumbuhan yang selain
tahan musim kemarau juga berkembang biak melalui akar. Suatu
simbol perkembangbiakan yang begitu cepat tanpa mengalami
kesulitan.
Tinggora dan doke adalah simbol dari kekuatan/keberanian sebagai
sifat dari sebuah besi dan senjata (tombak) melambangkan agar
anak keras kemauan, kuat, dan berani. Piring adat adalah simbol
kesejahteraan dan kecukupan pangan. Kain mesa adalah kain adat
tenunan dari Sulawesi Selatan adalah simbol kebangsawanan
seseorang yang diupacarakan.

21

Dula palangga (dulang berkaki) adalah salah satu perlengkapan


upacara di mana benda-benda tersebut di atas diletakkan, adalah
lambang dari simbol status seseorang bangsawan.

BAB III
PENUTUP

1. KESIMPULAN
Ada beberapa pendapat yang mengemukakan etimologi dari kata Kaili,
salah satunya menyebutkan bahwa kata yang menjadi nama suku Kaili ini berasal dari
nama pohon dan buah Kaili yang umumnya tumbuh di hutan-hutan dikawasan daerah
ini, terutama di tepi Sungai Palu dan Teluk Palu. Pada zaman dulu, tepi pantai Teluk
Palu letaknya menjorok l.k. 34 km dari letak pantai sekarang, yaitu di Kampung
Bangga.Sebagai buktinya, di daerah Bobo sampai ke Bangga banyak ditemukan
karang dan rerumputan pantai/laut. Bahkan di sana ada sebuah sumur yang airnya

22

pasang pada saat air di laut sedang pasang demikian juga akan surut pada saat air laut
surut.
2. SARAN
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
kedepannya penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah
di atas dengan sumber - sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di
pertanggung jawabkan.
Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk
menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di jelaskan. Untuk
bagian terakhir dari makalah adalah daftar pustaka. Pada kesempatan lain akan saya
jelaskan tentang daftar pustaka makalah

DAFTAR PUSTAKA

Sumber: Perpustakaan Daerah Propinsi

Jl. Banteng No. 6 Palu Telp. (0451) 482490


NOVERO HTTP://WW.DISNAKER PALU.COM 2007

NOVERO,DALAM HTTP://WWW.INFOCOM-SULTENG 2007


UPACARA
TRADISIONAL
SULTENG
,DLM
HTTP://WWW.DISNAKER PALU 2007

23

24

Anda mungkin juga menyukai