Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Vektor adalah arthropoda yang dapat menimbulkan dan menularkan suatu infectious
agent dari sumber infeksi kepada induk semang yang rentan. Bagi dunia kesehatan masyarakat,
binatang yang termasuk kelompok vektor dapat merugikan kehidupan manusia karena disamping
mengganggu secara langsung juga sebagai perantara penularan penyakit. Binatang tersebut
termasuk phylum arthropoda, seperti nyamuk yang dapat bertindak sebagai perantara penularan
penyakit malaria, deman berdarah, dan Phylum chodata yaitu tikus sebagai pengganggu manusia,
serta sekaligus sebagai tuan rumah (hospes), pinjal Xenopsylla cheopis yang menyebabkan
penyakit pes.
Sebenarnya disamping nyamuk sebagai vektor dan tikus binatang pengganggu masih
banyak binatang lain yang berfimgsi sebagai vektor dan binatang pengganggu. Namun kedua
phylum tersebutlah yang sangat berpengaruh didalam menyebabkan kesehatan pada manusia,
untuk itu keberadaan vektor dan binatang penggangu tersebut harus di tanggulangi, sekalipun
demikian tidak mungkin membasmi sampai keakar-akarnya melainkan kita hanya mampu
berusaha mengurangi atau menurunkan populasinya kesatu tingkat ertentu yang tidak
mengganggu ataupun membahayakan kehidupan manusia. Dalam hal ini untuk mencapai
harapan tersebut perlu adanya suatu managemen pengendalian dengan arti kegiatankegiatan/proses pelaksanaan yang bertujuan untuk memurunkan densitas populasi vektor pada
tingkat yang tidak membahayakan.
B. Tujuan
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Mengetahui klasifikasi dari arthropoda sebagai vektor penyakit.


Mengetahui morfologi arthropoda sebagai vektor penyakit.
Mengetahui epidemiologi dan distribusi geografis arthropoda sebagai vektor penyakit.
Mengetahui siklus hidup arthropoda sebagai vektor penyakit.
Mengetahui patologi penyakit yang disebabkan oleh arthropoda sebagaivektor penyakit.
Mengetahui cara pencegahan dan pengendalian penyakit yang disebabkan oleh arthropoda
sebagai vektor penyakit.
BAB II

PEMBAHASAN
Sebagian dari Anthropoda dapat bertindak sebagai vektor, yang mempunyai ciri-ciri
kakinya beruas-ruas, dan merupakan salah satu phylum yang terbesar jumlahnya karena hampir
meliputi 75% dari seluruh jumlah binatang. Antropoda dibagi menjadi 4 kelas :
1. Kelas crustacea (berkaki 10)

: misalnya udang

2. Kelas Myriapoda

: misalnya binatang berkaki seribu

3. Kelas Arachinodea (berkaki 8)

: misalnya Tungau

4. Kelas hexapoda (berkaki 6)

: misalnya nyamuk

Dari kelas hexapoda dibagi menjadi 12 ordo, antara lain ordo yang perlu diperhatikan dalam
pengendalian adalah :
a. Ordo Dipthera yaitu nyamuk, lalat
-Nyamuk anopheles sebagai vektor malaria
-Nyamuk aedes sebagai vektor penyakit demam berdarah
-Lalat tse-tse sebagai vektor penyakit tidur
-Lalat kuda sebagai vektor penyakit Anthrax
b. Ordo Siphonaptera yaitu pinjal
- Pinjal tikus sebagai vektor penyakit pes
c. Ordo Anophera yaitu kutu kepala
- Kutu kepala sebagai vektor penyakit demam bolak-balik dan typhus exantyematicus.
Penjelasan dari beberapa spesies tersebut adalah:
A. Anopheles
A.1. Klasifikasi
Phylum

: Arthropoda

Class

: Hexapoda / Insecta

Sub Class

: Pterigota

Ordo

: Diptera

Familia

: Culicidae

Sub Famili

: Anophellinae

Genus

: Anopheles

Spesies

: Anopheles

A.2. Morfologi
Stadium telur Anopheles yang diletakkan satu per satu di atas permukaan air berbentuk
seperti perahu yang bagian bawahnya konveks dan bagian atasnya konkaf dan mempunyai
sepasang pelampung yang terletak pada sebelah lateral. Stadium larva Anopheles yang di tempat
perindukan tampak mengapung sejajar dengan permukaan air, mempunyai bagian-bagian badan
yang bentuknya khas, yaitu spirakel pada bagian posterior abdomen, tergal plate pada bagian
tengah bagian dorsal abdomen dan bulu palma pada bagian lateral abdomen. Stadium pupa
mempunyai tabung pernapasan yang bentuknya lebar dan pendek dan digunakan untuk
pengambilan O2 dari udara.
Pada stadium dewasa palpus nyamuk jantan dan nyamuk betina mempunyai panjang
hampir sama dengan panjang probosisnya. Perbedaanya adalah pada nyamuk jantan ruas palpus
bagian apikal berbentuk gada, sedangkan pada nyamuk betina ruas tersebut mengecil. Sayap
pada bagian pinggir (kosta dan vena I) ditumbuhi sisik-sisik sayap yang berkelompok
membentuk gambaran belang-belang hitam dan putih. Di samping itu, bagian ujung sisik sayap
membentuk lengkung (tumpul). Bagian posterior abdomen sedikit melancip.
A.3. Siklus Hidup

Gambar siklus hidup Anopheles


Nyamuk Anopheles mengalami metamorphosis sempurna. Telur yang diletakkan oleh
nyamuk betina, menetas menjadi larva yang kemudian melakukan pengelupasan kulit sebanyak 4
kali, lalu tumbuh menjadi pupa dan akhirnya menjadi nyamuk dewasa jantan atau betina. Waktu
yang diperlukan untuk pertumbuhan sejak telur diletakkan asampai menjadi dewasa bervariasi
antara 2-5 minggu, tergantung kepada spesies, makanan yang tersedia dan suhu udara. Tempat

perindukan nyamuk Anopheles bermacam-macam tergantung kepada spesies dan dapat dibagi
menurut 3 kawasan (zone) yaitu kawasan pantai, kawasan pedalaman, dan kawasan kaki gunung
dan gunung. Di kawasan pantai atau laguna (lagoon), rawa dan empang sepanjang pantai,
ditemukan Anopheles sundaicus. Di samping Anopheles sundaicus juga Anopheles subpictus
menggunakan tempat-tempat perindukan tersebut terutama di danau, di pantai dan empang. Di
kawasan pedalaman yang ada sawah, rawa, empang dan saluran air irigasi ditemukan Anopheles
aconicus, Anopheles barbirostis, Anopheles subpictus, Anopheles nigerrimus, Anopheles
sinensis. Di kawasan kaki gunung dengan perkebunan atau hutan ditemukan Anopheles
balabacensis, sedangkan di daerah gunung ditemukan Anopheles maculatus.
A.4. Epidemiologi dan Distribusi Geografis
Penentuan vector malaria didasarkan atas penemuan sporozoit malaria di kelenjar air liur
nyamuk Anopheles yang hidup di alam bebas. Cara yang digunakan adalah pembedahan nyamuk
betina. Berbagai faktor yang perlu diketahui dalam rangka menentukan faktor di suatu daerah
endemik malaria adalah kebiasaan nyamuk Anopheles menghisap darah manusia, lama hidup
nyamuk betina dewasa lebih dari sepuluh hari, nymauk Anopheles dengan kepadatan yang tinggi
mendominasi spesies lain yang ditemukan, hasil infeksi percobaan di laboratorium yang
menunjukkan kemampuan untuk mengembangkan Plasmodium menjadi stadium sporozoit.
Prevalensi kasus malaria di suatu daerah endemi malaria lainnya tidak sama, tergantung
pada perilaku spesies nyamuk yang menajadi vector. Di daerah Cilacap misalnya yang vektor
malarianya Anopheles sundaicus, kasus malaria ditemukan lebih banyak dimusim kemarau
daripada musim penghujan, karena pembentukan tempat perindukan di muara sungai untuk
Anopheles sundaicus meningkat. Sebaliknya untuk daerah Jawa Barat yang vektor malarianya
Anopheles aconitus kasus malaria meningkat jumlahnya pada musim hujan, di sawah-sawah
terbemtuk tempat-tempat perindukan untuk Anopheles aconitus. Kedua kejadian tersebut terjadi
akibat kurangnya perhatian terhadap pengaturan air atau tidak teraturnya pengadaan saluran
irigasi.

A.5. Patogenesis
Demam mulai timbul saat pecahnya scizon darah yg nenegeluarkan bermacam-macam
antigen. Antigen akan merangsang makrofag, monosit, atau limfosit yang mengeluarkan berbagai
sitokin (al: tumor nekrosis faktor-TNF). TNF akan dibawa ke hipotalamus (pusat pengatur suhu)
dan terjadi demam. Lama proses scizogoni:
1. Plasmodium falciparum: 36 48 jam, demam dapat terjadi setiap hari
2. Plasmodium vivax/ovale: 48 jam, demam selang waktu satu hari
Anemi terjadi karena pecahnya sel darah merah yg terinfeksi maupun yg tidak terinfeksi.
Plasmodium falciparum menginfeksi semua jenis sel darah merah, sehingga anemi dapat terjadi
pada infeksi akut maupun kronis. Plasmodium vivax/ovale menginfeksi sel darah merah yg
masih muda (2%), sehingga anemi

terjadi pada infeksi kronis. Terjadi splenomegali

(pembesaran limfa) terjadi akibat penghancuran plasmodium oleh sel-sel makrofag dan limfosit.
A.6. Pencegahan dan Pengendalian
Pemberantasan malaria dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya dengan
mengobati penderita malaria, mengusahakan agar tidak terjadi kontak natara nyamuk anophelini
dengan manusia yaitu dengan memasang kawat kasa di bagian-bagian terbuka di rumah (jendela
dan pintu), penggunaan kelambu dan repellent, mengadakan penyuluhan tentang sanitasi
lingkungan dan pendidikan kesehatan masyarakat yang berkaitan degan upaya memusnahkan
tempat-tempat perindukan nyamuk dan menempatkan kandang ternak di antara tempat
perindukan dan rumah penduduk.
A. Lalat Tse tse
B.1. Klasifikasi
Kingdom

: Animalia

Filum

: Arthropoda

Class

: Insecta

Ordo

: Diptera

Famili

: Glossinidae

Genus

: Glossina

B.2. Morfologi

Gambar lalat tsetse


Tsetse adalah lalat raksasa dari Afrika, panjang tubuhnya dapat mencapai 1,6 cm dari
ujung kepala hingga ekor. Warna tubuhnya bervariasi antara coklat muda dan coklat tua dan
mempunyai dua antena di bagian kepalanya, sehingga perbedaanya akan tampak mencolok
dibandingkan dengan lalat biasa. Saat tidak terbang kedua sayapnya dilipat secara bertumpuk
diatas tubuhnya atau menutup berbentuk gunting. Lalat betina dan jantan keduanya menghisap
darah mamalia baik hewan maupun manusia. Lalat Tse tse bersifat pupiparous, yaitu
mengeluarkan larva yang sudah berkembang pada setiap periode, dengan memproduksi 8-20
larva. Pada waktu masih dalam oviduct larva memakan sekresi dari kelenjar susu yang khusus.
Larva diletakkan pada tempat yang bebas, tanah yang kering dan biasanya terlindung. Larva
mempunyai alat gerak dan segera menggali tanah mengubur diri sekitar beberapa cm dari
permukaan tanah. Lalat dewasa keluar setelah 2-4 minggu.
B.3. Siklus Hidup
Lalat Tsetse betina tidak bertelur tapi menghasilkan larva, satu per satu. Larva
berkembang

di

dalam

rahim

selama

10

hari

dan

kemudian

diendapkan

dewasa

pada tanah lembab atau pasir di tempat teduh, biasanya di bawah semak-semak, batu besar
dan akar penopang tanaman. Ia segera mengubur sendiri dan berubah menjadi sebuah
kepompong. Sayap muncul 22-60 hari kemudian, tergantung pada suhu. Lalat betina hanya sekali
kawin dalam hidup mereka dan dengan ketersediaan makanan dan habitat optimum, bisa
menghasilkan larva setiap 10 hari.
B.4. Epidemiologi dan Distribusi Geografis

Lalat yang termasuk genus ini disebut lalat Tse tse dari Afrika bagian Selatan Sahara.
Walaupun sampai sekarang hidupnya terbatas pada daerah tersebut, mereka pernah ditemukan di
Oigocen daerah Colorado Amerika. Fosil tertua dari lalat jenis ini pernah ditemukan di Colorado,
dan setelah dianalisa usianya lebih dari 30 juta tahun yang lalu, sehingga Tsetse tergolong
binatang purba yang masih eksis hingga saat ini. Namun mengingat Tsetse adalah makhluk yang
berbahaya dan dapat berkembang biak dengan pesat, maka tidak diperlukan adanya upaya untuk
melestarikan binatang ini.
B.5. Patogenesis
Tsetse adalah carrier (pembawa) bagi parasit Trypanosomiasis, jadi Tsetse tidak
menghasilkan racun dan tidak berbahaya sebelum ia sendiri tertular Trypanosomiasis. Lalat ini
suka menghisap darah. Apabila darah korbannya telah terinfeksi Trypanosomiasis maka Tsetse
akan tertular parasit tersebut dan dapat menyebarkan ke korban-korban berikutnya yang dihisap
darahnya, karena air liur dari lalat ini ikut masuk kedalam lubang gigitan saat ia menghisap
darah.
Parasit Trypanosomiasis, menyebabkan demam, migrain dan menimbulkan kantuk yang
luar biasa. Korban dapat tertidur (biasanya disebut Sleeping Sickness), dan bila tidak segera
disembuhkan maka korbannya tidak akan pernah bangun lagi (meninggal). Binatang ataupun
manusia dapat terinfeksi parasit ini dan juga dapat saling menularkan dengan perantara Tsetse.
Lalat tsetse merupakan vektor bagi penyakit tripanosomiasis. Gejala dan tanda penyakit
yang disebabkan tripanosomiasis ini dapat bervariasi dan umumnya dibagi atas 3 fase :
1. Fase awal (Initial stage)
Ditandai dengan timbulnya reaksi inflamasi lokal pada daerah gigitan lalat tsetse. Reaksi
inflamasi dapat berkembang menjadi bentuk ulkus atau parut ( primary chancre). Reaksi
inflamasi ini biasanya mereda dalam waktu 1-2 minggu.
2. Fase penyebaran (Haemoflagellates stage)
Setelah fase awal mereda, parasit masuk ke dalam darah dan kelenjar getah bening
(parasitemia). Gejala klinis yang sering muncul adalah demam yang tidak teratur, sakit kepala,
nyeri pada otot dan persendian. Tanda klinis yang sering muncul antara lain : Lymphadenopati,
lymphadenitis yang terjadi pada bagian posterior kelenjar cervical (Winterbottons sign), papula
dan rash pada kulit.

Pada fase ini juga terjadi proses infiltrasi perivascular oleh sel-sel endotel, sel limfoid dan
sel plasma, hingga dapat menyebabkan terjadinya pelunakan jaringan iskemik dan perdarahan di
bawah kulit (ptechial haemorhagic). Parasitemia yang berat (toksemia) dapat mengakibatkan
kematian pada penderita.
3. Fase kronik (Meningoencephalitic stage)
Pada fase ini terjadi invasi parasit ke dalam susunan saraf pusat dan mengakibatkan
terjadinya meningoenchepalitis difusa dan meningomyelitis. Demam dan sakit kepala menjadi
lebih nyata. Terjadi gangguan pola tidur, insomnia pada malam hari dan mengantuk pada siang
hari. Gangguan ekstrapiramidal dan keseimbangan otak kecil menjadi nyata. Pada kondisi yang
lain dijumpai juga perubahan mental yang sangat nyata. Gangguan gizi umumnya terjadi dan
diikuti dengan infeksi sekunder oleh karena immunosupresi. Jumlah lekosit normal atau sedikit
meningkat. Bila tercapai stadium tidur terakhir, penderita sukar dibangunkan. Kematian dapat
terjadi oleh karena penyakit itu sendiri atau diperberat oleh penyakit lain seperti malaria, disentri,
pneumonia atau juga kelemahan tubuh.
B.6. PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
Cara pencegahan yang utama adalah berusaha agar tidak tergigit oleh Tsetse, menghindari
wilayah yang merupakan habitat Tsetse, kemudian berusaha agar tubuh senantiasa sehat.
Trypanosomiasis secara natural dapat terbasmi oleh kekebalan tubuh yang baik. Akan tetapi
korban gigitan baik yang selamat karena memiliki kekebalan tubuh yang baik atau yang berhasil
diobatipun telah menjadi carrier bagi Trypanosomiasis, sehingga berpotensi menularkan
penyakitnya melalui transfusi atau perantara Tsetse.
Pengobatan tripanosomiasis dapat bervariasi dan biasanya berhasil bila dimulai pada
permulaan penyakit. Bila susunan saraf pusat telah terlibat, biasanya pengobatan kurang baik
hasilnya. Obat-obat yang sering digunakan antara lain :
1. Eflornithine dengan dosis 400 mg/kg/hari IM atau IV dalam 4 dosis bagi, selama 14 hari dan
dilanjutkan dengan pemberian oral 300 mg/kg/hari sampai 30 hari.
2. Suramin dengan dosis 1 gr IV pada hari ke 1,3,7,14,21 dimulai dengan 200 mg untuk test secara
IV. Dosis diharapkan memcapai 10 gram. Obat ini tidak menembus blood-brain barrier
dan bersifat toksis pada ginjal.
3. Pentamadine, dengan dosis 4 mg/kg/hari/hari IM selama 10 hari.
4. Melarsoprol, dengan dosis 20 mg/kg IV dengan pemberian pada hari ke 1,2,3,10,11,12,19,20,21
dan dosis perharinya tidak lebih dari 180 mg. Enchephalopati dapat muncul sebagai efek

pemberian obat ini . Hai ini terjadi oleh karena efek langsung dari arsenical (kandungan
dari melarsoprol) dan juga oleh karena reaksi penghancuran dari Trypanosma (reactive
enchepalopathy). Bila efek tersebut muncul, pengobatan harus dihentikan. Eflornithine,
Suramin dan Pentamine digunakan pada pasien pada fase awal dan penyebaran. Sementara
Melarsoprol dapat digunakan pada ketiga fase tersebut.

Pengendalian Vektor secara Kimiawi


Cara ini dapat dilakukan untuk nyamuk dewasa maupun larva. Larvicides diaplikasikan pada
penampungan air di mana larvae atau pupae sedang berkembang, misalnya padang rumput,
sumur, parit irigasi, kolam, teluk, bak, dan pinggir jalan parit Untuk nyamuk dewasa dilakukan
dengan cara pengasapan (thermal fogging) atau pengabutan (colg Fogging = Ultra low volume).
Pemberantasan nyamuk dewasa Aedes aegypti tidak dengan menggunakan cara penyemprotan
pada dinding (residual spraying) karena nyamuk Ae.aegypti tidak suka hinggap pada dinding,
melainkan pada benda-benda yang tergantung seperti kelambu dan pakaian yang tergantung.
Untuk pemakaian di rumah tangga dipergunakan berbagai jenis insektisida yang
disemprotkan ke dalan kamar atau ruangan misalnya golongan organophospat atau pyrethroid
synthetic. Untuk pemberantasan larva dapat digunakan abate 1 % SG. Cara ini biasannya
digunakan dengan menaburkan abate ke dalam bejana tempat penampungan air seperti bak
mandi, tempayan, drum dapat mencegah adanya jentik selama 2-3 bulan.
Penyemprotan di dalam suatu rumah juga harus dilakukan secara selektif di tempat-tempat
tertentu, misalnya di atap jerami, bagian atas dinding dan atap, yang dimungkinkan sebagai
resting places beberapa vektor dan area di mana insektisida dapat bertahan selama kurun waktu
yang lama. Efek biologik dari insektisida hanya berlangsung singkat jika disemprotkan pada
dinding yang berlumpur, sehingga penyemprotan tidak dilakukan pada bagian tersebut.
Investigasi sangat diperlukan untuk mengetahui selektifitas penyemprotan pada populasi vector
dan insidensi malaria.

Pengendalian Mekanik

Pengendalian yang langsung dengan menggunakan alat yang dapat membunuh, menangkap,
menghalau, menyisir dan mengeluarkan serangga dari jaringan-jaringan tubuh.

Contoh : memakai baju pelindung, memasang kawat kasa di jendela.

BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Pengendalian vektor dan binatang pengganggu adalah upaya untuk mengurangi atau
menurunkan populasi vektor atau binatang pengganggu dengan maksud pencegahan atau

pemberantasan penyakit yang ditularkan atau gangguan (nuisance) oleh vektor dan binatang
pengganggu tersebut.
Ada beberapa cara pengendalian vektor dan binatang pengganggu diantaranya adalah
sebagai berikut.
1. Pengendalian kimiawi
2. Pengendalian Fisika-Mekanika
3. Pengendalian Biologis
Pengendalian vektor penyakit ini merupakan konsep yang relative baru. Pada awalnya
orang berpikir tentang pembasmian vektor. Akan tetapi kemudian tampak bahwa pembasmian itu
sulit dicapai dan kurang realistis dilihat dari sisi ekologis. Oleh karenanya pengendalian vektor
saat ini akan ditujukan untuk mengurangi dan mencegah penyakit bawaan vektor sejauh dapat
dicapai dengan keadaan social-ekonomi yang ada serta keadaan endemic penyakit yang ada.
Oleh karenanya pemantauan keadaan populasi insekta secara kontinu menjadi sangat penting.
B.Saran
Pengendalian harus dilakukan secara terpadu direncanakan dan dilaksanakan untuk
jangka panjang, ditunjang dengan pemantuan yang kontinu.

DAFTAR PUSTAKA
http://files.buku-kedokteran.webnode.com/200000024-3716638102/Vektor%20Penyakit.pdf

di

akses pada tanggal 1 April 2011 8:51 pm


http://files.artikelkesehatan.webnode.com/200000024-11b8012b1b/Commnicable
%20Disease.pdf di akses pada tanggal 1 april 2011 8:40 pm
Budiman dan Suyono. 2010. Ilmu Kesehatan Masyarakat dalam Konteks Kesehatan
Lingkungan.Jakarta : EGC
Soemirat Slamet, Juli.2009.Kesehatan Lingkungan.Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

Anda mungkin juga menyukai