Chapter II PDF
Chapter II PDF
TINJUAN KEPUSTAKAAN
2.1.1. DEFINISI
OMSK adalah stadium dari penyakit telinga tengah dimana terjadi peradangan
kronis dari telinga tengah dan mastoid dan membran timpani tidak intak (perforasi)
dan ditemukan sekret (otorea), purulen yang hilang timbul. Istilah kronik digunakan
apabila penyakit ini hilang timbul atau menetap selama 2 bulan atau lebih.
(Djaafar, 1997).
2.1.2. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi OMSK pada beberapa negara antara lain disebabkan, kondisi
sosial, ekonomi, suku, tempat tinggal yang padat, higiene dan nutrisi yang jelek.
Kebanyakan melaporkan prevalensi OMSK pada anak termasuk anak yang
mempunyai kolesteatom, tetapi tidak mempunyai data yang tepat, apalagi insiden
OMSK saja, tidak ada data yang tersedia. Otitis media kronis merupakan penyakit
THT yang paling banyak di negara sedang berkembang. Di negara maju seperti
Inggris sekitar 0, 9% dan di Israel hanya 0, 0039%. Di negara berkembang dan negara
maju prevalensi OMSK berkisar antara 1-46%, dengan prevalensi tertinggi terjadi
pada populasi di Eskimo (12-46%), sedangkan prevalensi terendah terdapat pada
populasi di Amerika dan Inggeris kurang dari 1% (Lasminingrum L, 2000). Menurut
survei yang dilakukan pada 7 propinsi di Indonesia pada tahun 1996 ditemukan
insidens Otitis Media Supuratif Kronik (atau yang oleh awam sebagai congek)
sebesar 3% dari penduduk Indonesia. Dengan kata lain dari 220 juta penduduk
Indonesia diperkirakan terdapat 6, 6 juta penderita OMSK. Di Indonesia menurut
Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran, Depkes tahun 1993-1996
prevalensi OMSK adalah 3, 1%-5, 20% populasi. Usia terbanyak penderita infeksi
telinga tengah adalah usia 7-18 tahun, dan penyakit telinga tengah terbanyak adalah
OMSK. Prevalensi OMSK di RS Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tahun 1989
sebesar 15, 21%. Di RS Hasan Sadikin Bandung dilaporkan prevalensi OMSK
selama periode 1988 1990 sebesar 15,7%
prevelensi
OMSK
10,96%.
2. Genetik
Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah insiden OMSK
berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai faktor genetik.
Sistem sel-sel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis media, tapi belum
diketahui apakah hal ini primer atau sekunder.
4. Infeksi
Bakteri yang diisolasi dari mukopus atau mukosa telinga tengah hampir tidak
bervariasi pada otitis media kronik yang aktif menunjukkan bahwa metode kultur
yang digunakan adalah tepat. Organisme yang terutama dijumpai adalah Gramnegatif, flora tipe-usus, dan beberapa organisme lainnya.
6. Autoimun
Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insiden lebih besar terhadap otitis
media kronis.
7. Alergi
Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih tinggi dibanding
yang bukan alergi. Yang menarik adalah dijumpainya sebagian penderita yang alergi
terhadap antibiotik tetes telinga atau bakteria atau toksin-toksinnya, namun hal ini
belum terbukti kemungkinannya.
2.1.4. KLASIFIKASI
OMSK dapat dibagi atas 2 tipe yaitu:
a. Kolesteatom kongenital.
Kriteria untuk mendiagnosa kolesteatom kongenital, menurut Derlaki dan Clemis
(1965) adalah:
1. Berkembang dibelakang dari membran timpani yang masih utuh.
2. Tidak ada riwayat otitis media sebelumnya.
3. Pada mulanya dari jaringan embrional dari epitel skuamous atau dari epitel
undiferential yang berubah menjadi epitel skuamous selama perkembangan.
Kongenital kolesteatom lebih sering ditemukan pada telinga tengah atau tulang
temporal, umumnya pada apeks petrosa. Dapat menyebabkan fasialis parese, tuli saraf
berat unilateral, dan gangguan keseimbangan.
b. Kolesteatom didapat.
1. Primary acquired cholesteatoma.
Koelsteatom yang terjadi pada daerah atik atau pars flasida
2. Secondary acquired cholesteatoma.
2.1.5. PATOGENESIS
Patogenesis OMSK belum diketahui secara lengkap, tetapi dalam hal ini
merupakan stadium kronis dari otitis media akut (OMA) dengan perforasi yang sudah
terbentuk diikuti dengan keluarnya sekret yang terus menerus. Perforasi sekunder
pada OMA dapat terjadi kronis tanpa kejadian infeksi pada telinga tengah missal
perforasi kering. Beberapa penulis menyatakan keadaan ini sebagai keadaan inaktif
dari otitis media kronis. Suatu teori tentang patogenesis dikemukan dalam buku
modern yang umumnya telah diterima sebagai fakta. Hipotesis ini menyatakan bahwa
terjadinya otitis media nekrotikans, terutama pada masa anak-anak, menimbulkan
perforasi yang besar pada gendang telinga. Setelah penyakit akut berlalu, gendang
telinga tetap berlubang, atau sembuh dengan membran yang atrofi yang kemudian
dapat kolaps kedalam telinga tengah, memberi gambaran otitis atelektasis. Hipotesis
ini
mengabaikan
beberapa
kenyataan
yang
menimbulkan
keraguan
atas
ii.
iii.
2. Gangguan pendengaran
Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang pendengaran. Biasanya di jumpai
tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Gangguan pendengaran mungkin
ringan sekalipun proses patologi sangat hebat, karena daerah yang sakit ataupun
kolesteatom, dapat menghambat bunyi dengan efektif ke fenestra ovalis. Bila tidak
dijumpai kolesteatom, tuli konduktif kurang dari 20 db ini ditandai bahwa rantai
tulang pendengaran masih baik. Kerusakan dan fiksasi dari rantai tulang pendengaran
menghasilkan penurunan pendengaran lebih dari 30 db. Beratnya ketulian tergantung
dari besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem
pengantaran suara ke telinga tengah.
Pada OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat karena putusnya
rantai tulang pendengaran, tetapi sering kali juga kolesteatom bertindak sebagai
penghantar suara sehingga ambang pendengaran yang didapat harus diinterpretasikan
secara hati-hati. Penurunan fungsi kohlea biasanya terjadi perlahan-lahan dengan
berulangnya infeksi karena penetrasi toksin melalui jendela bulat (foramen rotundum)
atau fistel labirin tanpa terjadinya labirinitis supuratif. Bila terjadinya labirinitis
supuratif akan terjadi tuli saraf berat, hantaran tulang dapat menggambarkan sisa
fungsi kokhlea.
4. Vertigo
Vertigo pada penderita OMSK merupakan gejala yang serius lainnya. Keluhan
vertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat erosi dinding
labirin oleh kolesteatom. Vertigo yang timbul biasanya akibat perubahan tekanan
udara yang mendadak atau pada panderita yang sensitif keluhan vertigo dapat terjadi
hanya karena perforasi besar membran timpani yang akan menyebabkan labirin lebih
mudah terangsang oleh perbedaan suhu. Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga
akan meyebabkan keluhan vertigo. Vertigo juga bisa terjadi akibat komplikasi
serebelum
(Helmi S, 1990).
i) Pemeriksaan Audiometri
Pada pemeriksaan audiometri penderita OMSK biasanya didapati tuli
konduktif. Tapi dapat pula dijumpai adanya tuli sensotineural, beratnya ketulian
tergantung besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas
sistim penghantaran suara ditelinga tengah.
Paparela, Brady dan Hoel (1970) melaporkan pada penderita OMSK
ditemukan tuli sensorineural yang dihubungkan dengan difusi produk toksin ke dalam
skala timpani melalui membran fenstra rotundum, sehingga menyebabkan penurunan
ambang hantaran tulang secara temporer/permanen yang pada fase awal terbatas pada
lengkung basal kohlea tapi dapat meluas kebagian apek kohlea. Gangguan
pendengaran dapat dibagi dalam ketulian ringan, sedang, sedang berat, dan ketulian
total, tergantung dari hasil pemeriksaan (audiometri atau test berbisik). Derajat
ketulian ditentukan dengan
membandingkan
rata-rata kehilangan
intensitas
pendengaran pada frekuensi percakapan terhadap skala ISO 1964 yang ekivalen
dengan skala ANSI 1969. Derajat ketulian dan nilai ambang pendengaran menurut
ISO 1964 dan ANSI 1969.
Dengan menggunakan audiometri nada murni pada hantaran udara dan tulang serta
penilaian tutur, biasanya kerusakan tulang-tulang pendengaran dapat diperkirakan,
dan bisa ditentukan manfaat operasi rekonstruksi telinga tengah untuk perbaikan
pendengaran. Untuk melakukan evaluasi ini, observasi berikut bias membantu:
1. Perforasi biasa umumnya menyebabkan tuli konduktif tidak lebih dari 15-20 dB
2. Kerusakan rangkaian tulang-tulang pendengaran menyebabkan tuli konduktif
30-50 dB apabila disertai perforasi.
3. Diskontinuitas rangkaian tulang pendengaran di belakang membran yang masih
utuh menyebabkan tuli konduktif 55-65 dB.
4. Kelemahan diskriminasi tutur yang rendah, tidak peduli bagaimanapun keadaan
hantaran tulang, menunjukan kerusakan kohlea parah. Pemeriksaan audiologi pada
OMSK harus dimulai oleh penilaian pendengaran dengan menggunakan garpu tala
dan test Barani. Audiometri tutur dengan masking adalah dianjurkan, terutama pada
tuli konduktif bilateral dan tuli campur (Boesoirie S, 2007).
2. Proyeksi Mayer atau Owen, diambil dari arah dan anterior telinga tengah. Akan
tampak gambaran tulang-tulang pendengaran dan atik sehingga dapat diketahui
apakah kerusakan tulang telah mengenai struktur-struktur.
3. Proyeksi Stenver, memperlihatkan gambaran sepanjang piramid petrosus dan yang
lebih jelas memperlihatkan kanalis auditorius interna, vestibulum dan kanalis
semisirkularis. Proyeksi ini menempatkan antrum dalam potongan melintang
sehingga dapat menunjukan adanya pembesaran akibat kolesteatom.
4. Proyeksi Chause III, memberi gambaran atik secara longitudinal sehingga dapat
memperlihatkan kerusakan dini dinding lateral atik. Politomografi dan atau CT scan
dapat menggambarkan kerusakan tulang oleh karena kolesteatom, ada atau tidak
tulang-tulang pendengaran dan beberapa kasus terlihat fistula pada kanalis
semisirkularis horizontal. Keputusan untuk melakukan operasi jarang berdasarkan
hanya dengan hasil X-ray saja. Pada keadaan tertentu seperti bila dijumpai sinus
lateralis terletak lebih anterior menunjukan adanya
penyakit mastoid.
iii) Bakteriologi
Walapun perkembangan dari OMSK merupakan lanjutan dari mulainya infeksi akut,
bakteriologi yang ditemukan pada sekret yang kronis berbeda dengan yang ditemukan
pada otitis media supuratif akut. Bakteri yang sering dijumpai pada OMSK adalah
Pseudomonas aeruginosa, Stafilokokus aureus dan Proteus. Sedangkan bakteri pada
OMSA Streptokokus pneumonie, H. influensa, dan Morexella kataralis. Bakteri lain
yang dijumpai pada OMSK E. Coli, Difteroid, Klebsiella, dan bakteri anaerob adalah
Bacteriodes sp. Infeksi telinga biasanya masuk melalui tuba dan berasal dari hidung,
sinus parasanal, adenoid atau faring. Dalam hal ini penyebab biasanya adalah
pneumokokus, streptokokus, atau hemofilius influenza. Tetapi pada OMSK keadaan
ini agak berbeda. Karena adanya perforasi membran timpani, infeksi lebih sering
berasal dari luar yang masuk melalui perforasi tadi (Ballenger JJ, 1997).
2.1.8. PENATALAKSANAAN
Penyebab penyakit telinga kronis yang efektif harus didasarkan pada faktorfaktor penyebabnya dan pada stadium penyakitnya. Bila didiagnosis kolesteatom,
maka mutlak harus dilakukan operasi, tetapi obat -obatan dapat
digunakan untuk mengontrol infeksi sebelum operasi. Prinsip pengobatan tergantung
dari jenis penyakit dan luasnya infeksi, di mana pengobatan dapat dibagi atas:
1. Konservatif
2. Operasi
karena
meningkatnya
resistensi.
Polimiksin
efektif
melawan
Pseudomonas aeruginosa dan beberapa gram negatif tetapi tidak efektif melawan
organisme gram positif (Fairbanks, 1984). Biasanya tetes telinga mengandung
kombinasi neomisin, polimiksin dan hidrokortison, bila sensitif dengan obat ini dapat
digunakan sulfanilaid-steroid tetes mata. Kloramfenikol tetes telinga tersedia dalam
acid carrier dan telinga akan sakit bila diteteskan. Kloramfenikol aktif melawan basil
gram positif dan gram negatif kecuali Pseudomonas aeruginosa, tetapi juga efektif
melawan kuman anaerob, khususnya B. fragilis (Fairbanks, 1984). Pemakaian jangka
panjang lama obat tetes telinga yang mengandung aminoglikosida akan merusak
foramen rotundum, yang akan menyebabkan ototoksik.
Antibiotika topikal yang dapat dipakai pada otitis media kronik adalah
Polimiksin B atau polimiksin E, Neomisin dan Kloramfenikol. Polimiksin B atau
polimiksin E bersifat bakterisid terhadap kuman gram negatif, Pseudomonas, E. Koli
Klebeilla, Enterobakter, tetapi resisten terhadap gram positif, Proteus dan.B.fragilis.
Ia bersifat toksik terhadap ginjal dan susunan saraf. Neomisin merupakan obat
bakterisid pada kuman gram positif dan negatif serta menyebabkan toksik terhadap
ginjal dan telinga.
OMSK MALIGNA
Pengobatan yang tepat untuk OMSK maligna adalah operasi. Pengobatan
konservatif dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara sebelum
dilakukan pembedahan. Bila terdapat abses subperiosteal, maka insisi abses
sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum kemudian dilakukan mastoidektomi. Ada
beberapa jenis pembedahan atau teknik operasi yang dapat dilakukan pada OMSK
dengan mastoiditis kronis, baik tipe benigna atau maligna, antara lain mastoidektomi
sederhana (simple mastoidectomy), mastoidektomi radikal, mastoidektomi radikal
dengan modifikasi, miringoplasti, timpanoplasti dan pendekatan ganda timpanoplasti
(Combined approach tympanoplasty).
Tujuan operasi adalah menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki
membran timpani yang perforasi, mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan
pendengaran yang lebih berat, serta memperbaiki pendengaran (Millis R.P, 1997).
2.1.9. KOMPLIKASI
Otitis media supuratif mempunyai potensi untuk menjadi serius karena
komplikasinya yang sangat mengancam kesehatan dan dapat menyebabkan kematian.
Tendensi otitis media mendapat komplikasi tergantung pada kelainan patologik yang
menyebabkan otorea. Biasanya komplikasi didapatkan pada pasien OMSK tipe
maligna, tetapi suatu otitis media akut atau suatu eksaserbasi akut oleh kuman yang
virulen pada OMSK tipe benigna pun dapat menyebabkan komplikasi. Komplikasi
intra kranial yang serius lebih sering terlihat pada eksaserbasi akut dari OMSK
berhubungan dengan kolesteatom. Adam dkk mengemukakan klasifikasi sebagai
berikut:
i.
ii.
Komplikasi telinga dalam yaitu fistel labirin, labirinitis supuratif dan tuli
saraf (sensorineural).
iii.
iv.