Anda di halaman 1dari 4

Kasus-kasus Penistaan Agama dan Penyelesaiannya

Peserta Aksi Bela Islam II, 4 November 2016 di Jakarta. Foto: dok.JPNN.com

GUBERNUR nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dituding
menistakan agama. Kasus penistaan agama sudah sering terjadi di tengah
kemajemukan agama di Indonesia.
-------------------------------SETIAP terjadi kasus penistaan agama, tidak pernah luput dari perhatian Kementerian
Agama (Kemenag).
Tim peneliti dari Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemenag turun ke
lapangan untuk meneliti.
Tujuannya bukan ikut mencampuri penanganan pidana, tetapi melakukan kajian
mendalam.
Kepala Balitbang Kemenag Abdul Rahman Masud menuturkan selama ini menjalankan
riset kualitatif terhadap kasus-kasus penistaan agama.
Jadi kalau bilang ada berapa angka kasus penistaan agama, belum ada rekapnya,
jelasnya. Tetapi untuk kajian kasus satu per satu, mereka memiliki hasil penelitian yang
mendalam.
Banyak sekali kasus penistaan agama yang mereka teliti. Paling baru adalah kasus
penistaan agama kelompok Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar).
Kemudian juga penistaan agama berbaju Syiah di Madura yang dimotori Tajul Muluk di
Sampang, Madura.
Kami mengkaji setiap kasus penistaan agama itu berbasis Undang-Undang PNPS
(Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, red), katanya.
Selain itu saat ini sedang dibahas rancangan undang-undang (RUU) tentang
Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB).

Abdul Rahman menuturkan tujuan utama RUU PUB itu melindungi umat beragama dari
potensi penodaan agama (defamation of religion).
Dia menjelaskan Indonesia sebagai negara beragama, berbeda dengan negara-negara
di Barat.
Menurutnya di Barat sudah banyak negara yang tidak lagi menggunakan aturan hukum
untuk urusan keberagamaan. Di Indonesia tidak bisa seperti itu, tegasnya.
Dia menjelaskan setiap ada kasus penistaan agama, harus diproses hukum. Perkara
hasilnya nanti seperti apa, yang penting ada proses penindakan hukum dahulu.
Sebab ada hukum yang mengatur soal penistaan agama. Dia menjelaskan pemerintah
bisa disalahkan jika membiarkan penistaan agama.
Abdul Rahmad menuturkan dalam sejarah kasus penistaan agama di Indonesia,
penyelesaiannya ada tiga macam.
Yakni hukuman pidana berupa kurungan penjara, mediasi, dan penyelesaian ketiga
adalah dikeluarkannya surat keputusan bersama (SKB) Menteri Agama dan
kementerian/lembaga terkait lainnya.
Peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan Balitbang Kemenag Abdul Jamil Wahab
menjelaskan lebih detail soal kasus-kasus penistaan agama.
Lebih dulu Jamil menceritakan kasus-kasus penistaan agama yang berujung pada
putusan pengadilan atau pidana.
Yaitu pada kasus Tajul Muluk di Sampang (2012) dan Ahmad Musadeq dengan Qiyadah
Islamiyah (2007).
Jamil menjelaskan pada kasus Tajul Muluk telah terjadi penistaan agama yang bisa
dibuktikan.
Dia menegaskan bukan karena tuduhan Syiah-nya, tetapi pada ajarannya yang
menyimpang dari kaidah Islam.
Kalau soal Syiah, di sejumlah daerah banyak orang Syiah yang menikah dengan orang
Islam bukan Syiah. Tidak masalah, paparnya.
Dari sejumlah penelusuran, banyak sekali ajaran Tajul Muluk yang menyimpang dari
ajaran Islam. Diantaranya adalah salat hanya tiga waktu dalam sehari.
Selain itu juga banyak penyimpangan dalam rukun iman dan rukun Islam. Kemudian
juga penyimpangan-penyimpangan lainnya.
Selanjutnya pada kasus Ahmad Musadeq dia jelas-jelas terbukti mengaku sebagai nabi.
Ujungnya dia dipenjara karena terbukti telah menistakan agama dan memiliki jamaah
yang cukup banyak di kawasan Depok.
Setelah bebas dari penjara atas vonis penistaan agama ini, Musadeq kambuh lagi
dengan membuat Gafatar.

Selain kasus penistaan yang berujung pidana, Jamil menjelaskan ada yang berakhir
mediasi.
Bisa dimediasi karena pelakunya bisa mengklarifikasi dan menyatakan kembali ke jalan
yang benar, jelasnya.
Klarifikasi dan pengakuan kembali ke jalan yang benar itu, harus mendapatkan respon
dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat maupun daerah.
Kasus penistaan agama yang berakhir mediasi seperti yang dialami oleh Gus Jari warga
Jombang, Jawa Timur.
Dia dikabarnya menyebarkan paham bahwa dialah nabi akhir zaman. Tetapi setelah
didatangi oleh perwakilan MUI, Jari mengatakan tobat dan tidak bermaksud mengklaim
dirinya sebagai nabi akhir zaman.
Kasus salat dua bahasa yang dipelopori Yusman Roy di Malang, Jawa Timur, juga
sempat membuat heboh.
Tetapi kasus ini berujung mediasi setelah perwakilan MUI bertemu langsung dengan
Roy.
Kemudian Roy bersedia mediasi dan mengatakan kembali ke jalan Islam yang benar.
Disinggung terkait tudingan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok, Jamil
mengatakan bukan kapasitas Kemenag untuk memutuskannya.
Dia menjelaskan masyarakat sebaiknya menunggu proses hukum yang sudah berjalan
saat ini.
Kata kunci penistaan agama itu adalah adanya unsur kesengajaan atau tidak. Sebab di
KUHP bunyinya seperti itu, jelasnya.
Pada kasus-kasus yang dia sebutkan tadi, unsur kesengajaannya terbukti ada.
Untuk menguji adanya unsur kesengajaan atau tidak, Jamil mengatakan ada tiga
pendekatan.
Pertama adalah melihat hanya dari aspek kalimat yang telah diucapkan.
Melalui ilmu bahasa (linguistik) ucapan itu bisa dikaji kebenarannya secara gramatikal.
Kedua adalah mempelajari kalimat yang diucapkan dengan orang yang
mengucapkannya. Apakah dalam ucapan yang dia sampaikan itu, sesuai dengan jati
dirinya.
Sehingga perlu ada konfirmasi dari yang mengucapkannya, jelasnya.
Dan yang ketiga adalah pendekatan wacana kritis. Pendekatan ini mengkaji lebih jauh
penyebab seseorang mengucapkan sesuatu yang kemudian dinilai sebagai penistaan
agama.
Mengapa kalimat itu diucapkan, sebaiknya juga harus ditelusuri, paparnya.

Jamil menyimpulkan jika dari ketiga pendekatan itu terjadi konsistensi kesimpulan yang
sama, maka delik pidana bisa diputusakan.
Sebaliknya jika dari ketiga pendekatan itu tidak terjadi konsistensi, maka tuduhan
penodaan agama terhadap seseorang tersebut sulit dipercayai.
Wakil Ketua Umum MUI Pusat Zinut Tahid Saadi berharap pemerintah tanggap
terhadap upaya pencegahan penistaan agama.
Diantaranya adalah melakukan sosialisasi peraturan tentang kehidupan umat beragama.
Upaya lainnya adalah dengan memberdayakan forum komunikasi antar umat beragama,
membangun dialog, dan silaturahmi.
Dalam RUU PUB perlu diatur hak, kewajiban, dan sanksi terkait penanganan penistaan
agama, jelasnya. Supaya penanganan penistaan agama tidak hanya merujuk pada
KUHP dan UU PNPS saja. (wan)
Di antara kasus penistaan agama
Gafatar (2015-2016) : Muncul laporan keresahan organisasi Gafatar. Dituding
menistakan agama dan makar karena ingin membentuk sebuah negara. Penanganan :
Sejumlah petingginya diproses hukum dan keluar Surat Keputusan Bersama (SKB).
Ahmadiyah : Meresahkan karena dituding menistakan agama. Yakni terkait pengakuian
nabi atau rosul yang bernama Mirza Ghulam Ahmad. Penanganan : Keluar SKB yang
berisi tidak boleh menyiarkan secara terbuka di tengah umum ajarab Ahmadiyah.
Tajul Muluk (2012) : Mengajarkan paham Syiah yang dinilai para ulama sebagai Syiah
yang salah. Penanganan : Tajul Muluk secara individu divonis pidana karena
mengajarkan alirannya.
Ahmad Musadeq (2007) : Mengakui sebagai nabi akhir zaman. Penanganan : Musadeq
divonis penjara.
Kasus Gus Jari (2016) : Mengaku dirinya sebagai nabi akhir zaman. Penanganan :
Mediasi dan Jari tidak terkena pidana.
Kasus Yusman Roy (2005) : Melakukan salat dengan dua bahasa (Arab dan Indonesia) :
Mediasi dan Yusman menyampaikan permintaan maaf.
Kasus Jamiiyatul Islamiyah (2010-an) : Ajaran di Jambi dengan tokoh Alm. Buya Karim
Jama. Diantara ajarannya adalah berhaji cukup di Kerinci. Penanganan : Mediasi dan
sudah tidak lagi mengajarkan ajaran lama kini jadi organisasi.
Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) : Ketika masih bernama Islam Jamaah,
menganggap orang Islam selain mereka najis. Penanganan : Mediasi dan kini telah
meninggalkan ajaran yang lama.

Sumber: Kemenag

Anda mungkin juga menyukai