Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Demensia adalah suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual
progresif yang menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional, sehingga
mengakibatkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan aktivitas sehari-hari.
Demensia bukanlah suatu penyakit yang spesifik. Demensia merupakan istilah
yang digunakan untuk mendeskripsikan kumpulan gejala yang bisa
disebabkan oleh berbagai kelainan yang mempengaruhi otak. Seorang
penderita demensia memiliki fungsi intelektual yang

terganggu dan

menyebabkan gangguan dalam aktivitas sehari-hari maupun hubungan dengan


orang sekitarnya. Penderita demensia juga kehilangan kemampuan untuk
memecahkan masalah, mengontrol emosi, dan bahkan bisa mengalami
perubahan kepribadian dan masalah tingkah laku seperti mudah marah dan
berhalusinasi. Seseorang didiagnosa demensia bila dua atau lebih fungsi otak,
seperti ingatan dan keterampilan berbahasa menurun secara signifikan tanpa
disertai penurunan kesadaran (Turana, 2006).
Nugroho (2008) berpendapat bahwa demensia (pikun) adalah
kemunduran kognitif yang sedemikian berat sehingga mengganggu aktivitas
hidup sehari-hari dan aktivitas sosial. Kemunduran kognitif pada demensia
biasanya diawali dengan kemunduran memori atau daya ingat (pelupa).
Demensia terutama yang disebabkan oleh penyakit Alzheimer berkaitan erat
dengan usia lanjut. Penyakit alzheimer ini 60% menyebabkan kepikunan atau
demensia dan diperkirakan akan meningkat terus.
Demensia dengan penyakit yang etiologi dasarnya tidak dikenal,
Sering pada golongan ini tidak ditemukan atrofia serebri, mungkin kelainan
terdapat pada tingkat subseluler atau secara biokimiawi pada sistem enzim,
atau pada metabolisme seperti yang ditemukan pada penyakit alzheimer dan
demensia senilis (Nugroho, 2008).

Perjalanan penyakit demensia biasanya dimulai secara perlahan dan


makin lama makin parah, sehingga keadaan ini pada mulanya tidak disadari.
Terjadi penurunan dalam ingatan, kemampuan untuk mengingat waktu dan
kemampuan untuk mengenali orang, tempat dan benda. Penderita memiliki
kesulitan dalam menemukan dan menggunakan kata yang tepat dan dalam
pemikiran abstrak (misalnya dalam pemakaian angka). Sering terjadi
perubahan kepribadian dan gangguan perilaku. Gejala awal biasanya adalah
lupa akan peristiwa yang baru saja terjadi tetapi bisa juga bermula sebagai
depresi, ketakutan, kecemasan, penurunan emosi atau perubahan kepribadian
lainnya. Terjadi perubahan ringan dalam pola berbicara sehingga penderita
menggunakan kata-kata yang lebih sederhana, menggunakan kata-kata yang
tidak

tepat

atau

tidak

mampu

menemukan

kata-kata

yang

tepat.

Ketidakmampuan mengartikan tanda-tanda bisa menimbulkan kesulitan dalam


mengemudikan kendaraan dan pada akhirnya penderita tidak dapat
menjalankan fungsi sosialnya (Turana, 2006).
Demensia ini terjadi oleh berbagai penyebab seperti demensia
idiopatik disebabkan karena gangguan degenerasi primer atau metabolik serta
penyakit kronis seperti: alzhaimer, stroke. Demensia vaskuler ialah sindrom
demensia yang disebabkan oleh disfungsi otak yang diakibatkan oleh penyakit
serebrovaskuler. Demensia sekunder memiliki kriteria disebabkan oleh
penyakit yang sebelumnya telah diderita serta penyebab-penyebab lain seperti
nutrisi dan vitamin yang diperoleh, infeksi, gangguan metabolik dan endokrin,
lesi desak ruang, stress, gangguan nutrisi, obat-obatan, gangguan oto-imun,
intoksikasi, dan trauma (Nugroho, 2008).
Menurut laporan Access Economics (2006), pada tahun 2005 penderita
demensia di kawasan Asia Pasifik berjumlah 13,7 juta orang dan diperkirakan
menjelang tahun 2050 jumlah ini akan meningkat menjadi 64,6 juta orang. Di
Indonesia menurut laporan yang sama diketahui prevalensi demensia pada
tahun sebanyak 600.100 orang dan diperkirakan pada tahun 2020 prevalensi
demensia sebanyak 1.016.800 orang. Prevalensi demensia di Indonesia pada
tahun 2005 sebanyak 191.400 orang

dan diperkirakan pada tahun 2020,

diperkirakan sebanyak 314.100 orang akan mengalami demensia (Access


Economics, 2006).
Penyakit demensia menyerang usia manula, bertambahnya usia maka
makin besar peluang menderita penyakit demensia. Peningkatan angka
kejadian dan prevalensi kasus demensia mengikuti meningkatnya usia
seseorang setelah lewat usia 60 tahun, prevalensi dari demensia berlipat dua
kali setiap kenaikan 5 tahun usia. Secara biologis penduduk lanjut usia adalah
penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus menerus, yang
ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik. Perubahan fisik dan tingkah
laku yang dapat diramalkan yang terjadi pada semua orang pada saat mereka
mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu (Stanley, 2007).
Demensia seringkali luput dari pemeriksaan dan tidak terkaji oleh tim
kesehatan. Tidak semua tenaga kesehatan memiliki kemampuan untuk dapat
mengkaji dan mengenali gejala demensia. Mengkaji dan mendiagnosa
demensia bukanlah hal yang mudah dan cepat, perlu waktu yang panjang
sebelum memastikan seseorang positif menderita demensia. Setidaknya ada
lima jenis pemeriksaan penting yang harus dilakukan, mulai dari pengkajian
latar belakang individu, pemeriksaan fisik, pengkajian syaraf, pengkajian
status mental dan sebagai penunjang perlu dilakukan juga tes laboratorium
(Wati, 2012),
Merawat pasien dengan demensia sangat penting peranan dari perawat.
Apakah ia anggota keluarga atau tenaga yang diupah, ia harus mempunyai
pengetahuan yang memadai tentang demensia dan mau belajar terus untuk
mendapatkan cara-cara efektif dalam mengasuh pasien. Perawat perlu
berdiskusi dan berkonsultasi dengan dokter yang merawat pasien sehingga
dapat dibuat suatu program pengobatan yang tepat. (Turana, 2006)
Pemberian obat anti demensia pada fase demensia dini akan lebih jelas
manfaatnya dibandingkan demensia fase berat. Karenanya semakin cepat
didiagnosa adalah semakin baik hasil terapinya. Kadang-kadang orang takut
mengetahui kondisi yang sebenarnya, lalu menunda mencari pertolongan
dokter. Pemeriksaan kondisi mental dan evaluasi kognitif yang rutin (6 bulan

sekali) sangat dianjurkan bagi orang yang berusia sekitar 60 tahun supaya
dapat segera diketahui jika ada kemunduran kognitif yang mengarah pada
demensia, dan dapat segera dilakukan intervensi guna mencegah kondisi yang
lebih parah (Turana, 2006).
Kurangnya kemampuan tenaga kesehatan dalam melakukan perawatan
terhadap penderita demensia dapat dikarenakan kurang pengetahuan yang
dimiliki khususnya tentang demensia. Sehingga pengetahuan tentang
demensia sangat penting guna untuk melakukan perawatan terhadap lansia
yang mengalami demensia. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan
perawat dan tingkat pengalaman dalam penanganan lansia yang mengalami
demensia sangat dibutuhkan didalam pemberian asuhan keperawatan terhadap
lansia yang mengalami demensia. Penanganan lansia dengan demensia
membutuhkan perhatian yang besar dari perawat, sehingga bainya
pengetahuan yang dimiliki perawat mengenai demensia sangat membantu
meningkatkan taraf kesehatan lansia (Wati, 2012).
Penelitian mengenai hubungan pengetahuan dengan perawatan lansia
pernah dilakukan, penelitian Melda Elvarida (2010), menelitian hubungan
karakteristik perawat dengan asuhan keperawatan lanjut usia. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan pengetahuan perawat dengan
asuhan keperawatan lansia. Penelitian tersebut menunjukkan semakin baik
pengetahuan perawat akan semakin baik asuhan keperawatan yang dihasilkan.
Sri Astuti Nurohim (2005), meneliti hubungan karaketristik, pengetahuan dan
sikap ibu terhadap praktik dalam merawat lansia. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu
dengan praktik ibu dalam merawat lansia.
Studi pendahuluan yang dilakukan di Panti Wredha Pengayoman
dengan melakukan wawancara terhadap 6 orang pengasuh, diketahui 3 orang
pengasuh (60%) belum mengetahui dengan baik mengenai pengertian
demensia, tanda dan gejalanya, tahapan-tahapan lansia mengalami demensia
dan cara pencegahan yang harus dilakukan agar lansia tidak mengalami
demensia serta perawatan yang harus dilakukan jika lansia telah mengalami

demensia. Banyaknya pengasuh yang belum mengetahui dengan baik tentang


demensia ini akan berdampak pada kurang tepatnya cara-cara perawatan yang
harus dilakukan pada lansia yang mengalami demensia. Berdasarkan observasi
yang peneliti lakukan juga menemukan bahwa pengasuh dalam memberikan
perawatan terhadap lansia yang mengalami demensia ternyata diberikan
perlakuan yang sama dengan lansia yang tidak mengalami demensia. Hal ini
menyebabkan lansia yang mengalami demensia sering kali mengalami
kebingungan karena tidak memahami instruksi dari pengasuh.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul Hubungan Pengetahuan Pengasuh Tentang Demensia
Dengan Perawatan Lansia Yang Mengalami Demensia di Panti Wredha
Pengayoman dan Panti Wredha Usia Betani di Kota Semarang.

B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana hubungan
Pengetahuan Pengasuh Tentang Demensia Dengan Perawatan Lansia Yang
Mengalami Demensia di Panti Wredha Pengayoman dan Panti Wredha Usia
Betani di Kota Semarang?.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui Pengetahuan Pengasuh Unit Rehabilitasi Sosial
Tentang Demensia Dengan Perawatan Lansia Yang Mengalami Demensia
Panti Wredha Pengayoman dan Panti Wredha Usia Betani di Kota
Semarang.
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan pengetahuan pengasuh di Panti Wredha Pengayoman
dan Panti Wredha Usia Betani tentang demensia.
b. Mendeskripsikan praktik perawatan lansia yang mengalami demensia
di Panti Wredha Pengayoman dan Panti Wredha Usia Betani

c. Menganalisis hubungan pengetahuan pengasuh tentang demensia


dengan perawatan lansia yang mengalami demensia di Panti Wredha
Pengayoman dan Panti Wredha Usia Betani di Kota Semarang.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat bagi Unit Rehabilitasi Sosial
Sebagai masukan bagi pengasuh Unit Rehabilitasi Sosial dalam
menghadapi lansia yang mengalami gangguan demensia, dengan cara
memperbanyak aktivitas yang berhubungan dengan fungsi otak misalnya
olah raga, sosialisasi dan berkarya sehingga demensia dapat diperlambat.
2. Manfaat bagi usia lanjut
Meningkatkan kesejahteraan usia lanjut dengan cara mendapatkan
perawatan yang lebih optimal.
3. Manfaat bagi institusi pelayanan kesehatan
Penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi untuk pengelola program
kesehatan usia lanjut khususnya dalam perawatan usia lanjut di Unit
Rehabilitasi

Sosial,

dalam upaya

peningkatan

sikap

memelihara

kebersihan diri lanjut usia dengan melibatkan peran aktif keluarga.


4. Manfaat bagi peneliti selanjutnya.
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk
penelitian lebih lanjut khususnya mengenai perawatan lansia yang
mengalami demensia.

Anda mungkin juga menyukai