1. Definisi
Gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks berat badan menurut umur
(BB/U) yang merupakan padanan istilah severely underweight (Kemenkes RI, 2011),
sedangkan menurut Depkes RI 2008, keadaan kurang gizi tingkat berat pada anak
berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) <-3 SD dan atau ditemukan
tanda-tanda klinis marasmus, kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor.1,4
2. Epidemiologi
Gizi buruk masih merupakan masalah di Indonesia, walaupun Pemerintah Indonesia
telah berupaya untuk menanggulanginya. Data Susenas menunjukkan bahwa jumlah balita
yang BB/U <-3SD Z-score WHO-NCHS sejak tahun 1989 meningka tdari 6,3% menjadi
7,2% tahun 1992 dan mencapai puncaknya 11,6 % padatahun 1995. Upaya pemerintahan tara
lain melalui Pemberian Makanan Tambahan dalam Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan
peningkatan pelayanan gizi melalui pelatihan-pelatihan Tatalaksana Gizi Buruk kepada
tenaga kesehatan, berhasil menurunkan angka gizi buruk menjadi 10,1 % pada tahun 1998;
8,1% tahun 1999 dan 6,3 % tahun 2001. Namun pada tahun 2002 terjadi peningkatan kembali
menjadi 8% dan pada tahun 2003 menjadi 8,15 %. Kenyataan di lapangan menunjukkan
bahwa anak gizi buruk dengan gejala klinis (marasmus, kwashiorkor, marasmuskwashiorkor) umumnya disertai dengan penyakit infeksi seperti diare, Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA). Tuberkulosis (TB) serta penyakit infeksi lainnya. Data dari WHO
menunjukkan bahwa 54 % angka kesakitan pada balita disebabkan karena gizi buruk, 19 %
diare, 19% ISPA, 18% perinatal, 7% campak, 5% malaria dan 32 % penyebab lain.5
Masalah gizi pada anak balita di Indonesia telah mengalami perbaikan. Hal ini dapat
dilihat antara lain dari penurunan prevalensi gizi buruk pada anak balita dari 5,4% pada tahun
2007 menjadi 4,9% pada tahun 2010. Meskipun terjadi penurunan, tetapi jumlah nominal
anak gizi buruk masih relatif besar.
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, prevalensi provinsi NTB
untuk gizi buruk dan kurang adalah 24,8%. Bila dibandingkan dengan target pencapaian
program perbaikan gizi tahun 2015 sebesar 20% dan target MDG untuk NTB sebesar 24,8%
berada di atas nasional yang 18,5% maka NTB belum melampaui target nasional 2015
sebesar 20%. Berdasarkan Riskesdas tahun 2010, dikatakan bahwa prevalensi gizi buruk
NTB sebesar 10,6% (Tim Penyusun, 2011). Sedangkan menurut data hasil pemantauan status
gizi (PSG) tahun 2009 tahun 2009 prevalensi gizi buruk di NTB sebesar 5,49 dan tahun 2010
turun menjadi 4,77. 1
atau kenaikan angka metabolik yang disebabkan oleh infeksi kronik, akibat defisiensi vitamin
dan mineral dapat turut menimbulkan tanda-tanda dan gejala-gejala tersebut. Bentuk
malnutrisi yang paling serius dan paling menonjol di dunia saat ini terutama berada di daerah
industri belum bekembang.6
Bentuk klinik awal malnutrisi protein tidak jelas tetapi meliputi letargi, apatis atau
iritabilitas. Bila terus berlanjut, mengakibatkan pertumbuhan tidak cukup, kurang stamuna,
kehilangan jaringan muskuler, meningkatnya kerentanan terhadap infeksi, dan udem.
Imunodefisiensi sekunder merupakan salah satu dari manifestasi yang paling serius dan
konstan. Pada anak dapat terjadi anoreksia, kekenduran jaringan subkutan dan kehilangan
tonus otot. Hati membesar dapat terjadi awal atau lambat, sering terdapat infiltrasi lemak.
Udem biasanya terjadi awal, penurunan berat badan mungkin ditutupi oleh udem, yang sering
ada dalam organ dalam sebelum dapat dikenali pada muka dan tungkai. Aliran plasma ginjal,
laju filtrasi glomerulus, dan fungsi tubuler ginjal menurun. Jantung mungkin kecil pada awal
stadium penyakit tetapi biasanya kemudian membesar. Pada kasus ini sering terdapat
dermatitis. Penggelapan kulit tampak pada daerah yang teriritasi tetapi tidak ada pada daerah
yang terpapar sinar matahari. Dispigmentasi dapat terjadi pada daerah ini sesudah deskuamasi
atau dapat generalisata. Rambut sering jarang dan tipis dan kehilangan sifat elastisnya. Pada
anak yang berambut hitam, dispigmentasi menghasilkan corak merah atau abu-abu pada
warna rambut (hipokromotrichia) .6
Infeksi dan infestasi parasit sering ada, sebagaimana halnya anoreksia, mual, muntah,
dan diare terus menerus. Otot menjadi lemah, tiois, dan atrofi, tetapi kadang-kadang mungkin
ada kelebihan lemak subkutan. Perubahan mental, terutama iritabilitas dan apati sering ada.
Stupor, koma dan meninggal dapat menyertai.6
Berikut ciri-ciri dari kwashiorkor secara garis besar adalah :
a. Perubahan status mental : cengeng, rewel, kadang apatis
b. Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut, pada
penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala kusam.
c. Wajah membulat dan sembab
d. Pandangan mata anak sayu
e. Pembesaran hati, hati yang membesar dengan mudah dapat diraba dan terasa kenyal
pada rabaan permukaan yang licin dan pinggir yang tajam.
f. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah menjadi coklat
kehitaman dan terkelupas
3.3 Marasmik-Kwashiorkor
Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor dan
marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein dan juga energi untuk
pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian disamping menurunnya berat badan <
60% dari normal memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut,
kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula.4
4. Etiologi
Menurut Hasaroh, (2010) masalah gizi pada balita dipengaruhi oleh berbagai faktor,
baik faktor penyebab langsung maupun faktor penyebab tidak langsung. Menurut Depkes RI
(1997) dalam Mastari (2009), faktor penyebab langsung timbulnya masalah gizi pada balita
adalah penyakit infeksi serta kesesuaian pola konsumsi makanan dengan kebutuhan anak,
sedangkan faktor penyebab tidak langsung merupakan faktor sepertitingkat sosial ekonomi,
pengetahuan ibu tentang kesehatan, ketersediaan pangan ditingkat keluarga, pola konsumsi,
serta akses ke fasilitas pelayanan. Selain itu, pemeliharaan kesehatan juga memegang peranan
penting. Di bawah ini dijelaskan beberapa faktor penyebab tidak langsung masalah gizibalita,
yaitu:
a. Tingkat Pendapatan Keluarga.
Tingkat penghasilan ikut menentukan jenis pangan apa yang disediakan untuk
konsumsi balita serta kuantitas ketersediaannya. Pengaruh peningkatan penghasilan terhadap
perbaikan kesehatan dan kondisi keluarga lain yang mengadakan interaksi dengan status gizi
yang berlawanan hampir universal.
Selain itu diupayakan menanamkan pengertian kepada para orang tua dalam hal
memberikan makanan anak dengan cara yang tepat dan dalam kondisi yang higienis.
b. Tingkatan Pengetahuan Ibu tentang Gizi.
Suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan
pada
Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu
menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal.
Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar
menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi.
Pengetahuan gizi yang baik akan menyebabkan seseorang mampu menyusun menu
yang baik untuk dikonsumsi. Semakin banyak pengetahuan gizi seseorang,maka ia akan
semakin memperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang diperolehnya untuk dikonsumsi.
Pengetahuan gizi yang dimaksud disini termasuk pengetahuan tentang penilaian status
gizi balita. Dengan demikian ibu bias lebih bijak menanggapi tentang masalah yang berkaitan
dengan gangguan status gizi balita.
c. Tingkatan Pendidikan Ibu.
Pendidikan ibu merupakan faktor yang sangat penting. Tinggi rendahnya tingkat
pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan terhadap perawatan kesehatan,
kebersihan pemeriksaan kehamilan dan pasca persalinan, serta kesadaran terhadap kesehatan
dan gizi anak-anak dan keluarganya. Disamping itu pendidikan berpengaruh pula pada factor
social ekonomi lainnya seperti pendapatan, pekerjaan, kebiasaan hidup, makanan, perumahan
dan tempat tinggal.
Tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan
memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Hal ini bias dijadikan landasan untuk
membedakan metode penyuluhan yang tepat. Dari kepentingan gizi keluarga, pendidikan
diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi di dalam keluarga dan
bias mengambil tindakan secepatnya.
Tingkat pendidikan ibu banyak menentukan sikap dan tindak-tanduk menghadapi
berbagai masalah, missal memintakan vaksinasi untuk anaknya, memberikan oralit waktu
diare, atau kesediaan menjadi peserta KB. Anak-anak dari ibu yang mempunyai latar
pendidikan lebih tinggi akan mendapat kesempatan hidup serta tumbuh lebih baik.
Keterbukaan mereka untuk menerima perubahan atau hal baru guna pemeliharaan kesehatan
anak maupun salah satu penjelasannya.
d. Akses Pelayanan Kesehatan.
Sistem akses kesehatan mencakup pelayanan kedokteran (medical service)dan
pelayanan kesehatan masyarakat (public health service). Secara umum akses kesehatan
masyarakat adalah merupakan subsistem akses kesehatan, yang tujuan utamanya adalah
pelayanan preventif (pencegahan) dan promotif (peningkatan kesehatan) dengan sasaran
masyarakat. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa akses kesehatan masyarakat tidak
melakukan pelayanan kuratif (pengobatan) dan rehabilitatif (pemulihan).
Upaya akses kesehatan dasar diarahkan kepada peningkatan kesehatan danstatus gizi
pada golongan rawan gizi seperti pada wanita hamil, ibu menyusui, bayi dan anak-anak kecil,
sehingga dapat menurunkan angka kematian. Pusat kesehatan yang paling sering melayani
e. Pemberian ASI yang terlalu lama tanpa pemberian makanan tambahan yang
cukup
f. Gangguan metabolik, misalnya renal asidosis, idiopathic hypercalcemia,
galactosemia, lactose intolerance
g. Tumor hypothalamus, kejadian ini jarang dijumpai dan baru ditegakkan bila
penyebab maramus yang lain disingkirkan
h. Penyapihan yang terlalu dini desertai dengan pemberian makanan tambahan
yang kurang akan menimbulkan marasmus
1. Kemenkes RI. 2011. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang Standar
Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Jakarta : Dirjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu
dan Anak.
2. Krisnansari, Diah. 2010. Nutrisi dan Gizi Buruk. Mandala of Health. Volume 4, Nomor 1
3. Depkes RI. 2007. Pedoman Pendampingan Keluarga Menuju Kadarzi. Jakarta : Dirjen
Bina Kesehatan Masyarakat dan Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
4. Depkes RI. 2008. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB-Gizi Buruk. Jakarta : Direktorat
Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
5. Depkes RI. 2007. Buku Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Jakarta : Dirjen Bina
Kesehatan Masyarakat dan Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
6. Berhman dkk. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volume 1. Jakarta : EGC.
7. WHO. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta : Tim
Adaptasi Indonesia-WHO Indonesia.
Pato
Murray, Robert K., Daryl K., Peter A. M., Viictor W. R. 2003. Biokimia Harper Edisi
25. Jakarta : EGC.
Nency, Yetty. Arifin, Muhamad Thohar. 2005. Gizi Buruk, Ancaman Generasi yang
Hilang.
Nelson, WE.2007. Malnutrition.In Nelson WE.(ed) Mitchel Nelson Text Book of
Pediactrics 5thed. WB Saunders Co. Philadelphia & London.