Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Artritis Rumatoid (AR) adalah penyakit inflamasi kronik yang tidak
diketahui pasti penyebabnya yang ditandai dengan poliarthritis perifer dan
simetris. Keduanya pada umumnya merupakan akibat dari inflamasi arthritis
dan kerusakan sendi, serta gangguan fisik. Karena AR merupakan penyakit
sistemik, AR menimbulkan berbagai manifestasi ekstraartikular, termasuk
kelelahan, nodul pada lapisan subkutaneus, lung involvement, pericarditis,
neuropati perifer, vaskulitis, dan keabnormalan dari hematologi.1
Artritis reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh
inflamasi sistemik kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target
utama. Penyakit ini adalah salah satu dari sekelompok penyakit jaringan ikat
difus yang diperantarai oleh imunitas dan tidak diketahui penyebabnya.
Pada pasien biasanya terjadi destruksi sendi progresif, walaupun episode
peradangan sendi dapat mengalami masa remisi.1,8
B. Epidemiologi
Pada kebanyakan populasi di dunia, prevalensi AR relatif konstan yaitu
berkisar antara 0,5 1%. Prevalensi yang tinggi didapatkan di Pima Indian
dan Chippewa Indian masing-masing sebesar 5,3% dan 6,8%. Prevalensi
AR di India dan di negara barat kurang lebih sama yaitu sekitar 0,75%.
Sedangkan di China, Indonesia, dan Filipina prevalensinya < 0,4% baik di
daerah urban maupun rural. Hasil survei yang dilakukan di Jawa Tengah
mendapatkan prevalensi AR sebesar 0,2% di daerah rural dan 0,3% di
daerah urban. Sedangkan penelitian yang dilakukan di Malang pada
penduduk berusia di atas 40 tahun mendapatkan prevalensi AR sebesar
0,5% di daerah Kotamadya dan 0,6% di daerah kabupaten.6,7
Di poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta,
kasus baru AR merupakan 4,1% dari seluruh kasus baru tahun 2000 dan
pada periode Januari Juni 2007 didapatkan sebanyak 1.346 orang (15,1%).

Prevalensi AR lebih banyak ditemukan pada perempuan dibandingkan


dengan laki-laki dengan rasio 3:1 dan dapat terjadi pada semua kelompok
umur, dengan angka kejadian tertinggi didapatkan pada dekade keempat dan
kelima.6,7
C. Etiologi
1. Faktor Genetik
Penyebab penyakit artritis reumatoid (AR) belum diketahui secara
pasti. Terdapat interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan
lingkungan. Faktor genetik berperan penting terhadap kejadian AR,
dengan angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60%. Hubungan
HLA class II histocompatibility antigen, DRB1-9 beta chain (HLADRB1) dengan kejadian AR telah diketahui dengan baik, walaupun
beberapa lokus non-HLA juga berhubungan dengan AR seperti daerah
18q21 dari gen TNFRSR11A yang mengkode aktivator reseptor nuclear
factor kappa B (NF-B).8
Gen ini berperan penting dalam resorpsi tulang pada AR. Faktor
genetik juga berperanan penting dalam terapi AR karena aktivitas
enzim seperti methylenetetrahydrofolate reductase dan thiopurine
methyltransferase untuk metabolisme methoraxate dan azathioprine
ditentukan oleh faktor genetik. Pada kembar monozigot mempunyai
angka kesesuaian untuk berkembangnya AR lebih dari 30% dan pada
orang kulit putih dengan AR yang mengekspresikan HLA-DL1 atau
HLA-DR4 mempunyai angka kesesuain sebesar 80%.8
2. Hormon Seks
Prevelansi AR lebih besar pada perempuan dibandingkan dengan
laki-laki,

sehingga

diduga

hormon

seks

berperanan

dalam

perkembangan penyakit ini. Pada observasi didapatkan bahwa terjadi


perbaikan gejala AR selama kehamilan. Perbaikan ini diduga karena
adanya aloantibodi dalam sirkulasi maternal yang menyerang HLA-DR
sehingga terjadi hambatan fungsi epitop HLA-DR yang mengakibatkan
perbaikan penyakit. Selain itu, terdapat juga perubahan profil hormon.
Placental

corticotropin

releasing

hormone

secara

langsung

menstimulasi sekresi dehidroepiandrosteron (DHEA), yang merupakan


androgen utama pada perempuan yang dikeluarkan oleh sel-sel adrenal
fetus.8
Androgen bersifat imunosupresi terhadap respon imun selular dan
humoral. DHEA merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen
plasenta. Estrogen dan progesteron menstimulasi respon imun humoral
(Th2) dan menghambat respon imun selular (Th1). Oleh karena pada
AR respon Th1 lebih dominan sehingga estrogen dan progesteron
mempunyai efek yang berlawanan terhadap perkembangan AR.
Pemberian kontrasepsi oral dilaporkan mencegah kemungkinan AR
atau berhubungan dengan penurunan insiden AR yang lebih berat.8
3. Faktor Infeksi
Beberapa virus dan bakteri diduga sebagai agen penyebab.
Organisme diduga menginfeksi sel induksi sel (host) dan merubah
reaktivitas atau respon sel T sehingga mencetuskan timbulnya penyakit.
Walaupun belum ditemukan agen infeksi yang secara nyata terbukti
sebagai penyakit.8
Tabel 1. Agen Infeksi yang Diduga sebagai Penyebab AR
Agen infeksi
Mycoplasma
Parvovirus B19
Retrovirus
Enteric bacteria
Mycobacteria
Epstein-Barr Virus
Bacterial Cell Walls

Mekanisme patogenik
Infeksi sinovial langsung, superantigen
Infeksi sinovial langsung
Infeksi sinovial langsung
Kemiripan molekul
Kemiripan molekul
Kemiripan molekul
Aktivasi mikrofag

4. Protein heat shock (HSP).


HSP adalah keluarga protein yang diproduksi oleh sel pada semua
spesies sebagai respon terhadap stres.Protein ini mengandung untaian
(sequence) asam amino homolog. HSP tertentu manusia dan HSP
mikobakterium tuberkulosis mempunyai 65% untaian yang homolog.
Hipotesisnya adalah antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada
5

agen infeksi dan sel host. Hal ini memfasilitasi reaksi silang limfosit
dengan sel host sehingga mencetuskan reaksi imunologis. Mekanisme
ini dikenal sebagai kemiripan molekul (molecular mimicry).8
D. Faktor Resiko
Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan terjadinya AR
antara lain jenis kelamin perempuan, ada riwayat keluarga yang menderita
AR, umur lebih tua, paparan salisilat dan merokok.Konsumsi kopi lebih dari
tiga cangkir sehari, khususnya kopi decaffeinated mungkin juga berisiko.
Makanan tinggi vitamin D, konsumsi teh dan penggunaan kontrasepsi oral
berhubungan dengan penurunan risiko. Tiga dari empat perempuan dengan
AR mengalami perbaikan gejala yang bermakna selama kehamilan dan
biasanya akan kambuh kembali setelah melahirkan.8
E. Patofisiologi
Kerusakan sendi pada AR dimulai dari proliferasi makrofag dan
fibroblas sinovial setelah adanya faktor pencetus, berupa autoimun atau
infeksi.Limfosit menginfiltrasi daerah perivaskular dan terjadi proliferasi
sel-sel endotel, yang selanjutnya terjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah
pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuan-bekuan kecil atau
sel-sel inflamasi. Terjadi pertumbuhan yang iregular pada jaringan sinovial
yang mengalami inflamasi sehingga membentuk jaringan pannus. Pannus
menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang. Berbagai macam sitokin,
interleukin, proteinase dan faktor pertumbuhan dilepaskan, sehingga
mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik.9

Gambar 1. Destruksi sendi oleh jaringan pannus.


Peranan sinovial mediator pada AR sinovial mediator ataupun sitokin
yang dihasilkan akibat adanya aktivasi berbagai sel imunokompeten
mengaktivasi endotel vaskuler, dan sel-sel inflamasi lainnya yang akhirnya
sel-sel

tersebut

mensekresi

sitokin.

Pada

AR

tampak

gangguan

keseimbangan sitokin pro inflamasi dan anti inflamasi yang menyebabkan


otoimunitas berjalan. Berbagai sitokin terlibat pada kerusakan dan inflamasi
sinovium. Interleukin-1 dan TNF- merupakan sitokin yang memiliki peran
penting dalam pathogenesis AR. Kedua sitokin ini merupakan stimulator
yang kuat sel-sel fibroblastsinovium, osteoklas dan kondrosit.9
Suatu antigen penyebab AR yang berada pada membran sinovial, akan
diproses oleh antigen presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai jenis
sel seperti sel sinoviosit A, sel dendritik atau makrofag yang semuanya
mengekspresi determinan HLA-DR pada membran selnya. Antigen yang
telah diproses akan dikenali dan diikat oleh sel CD4+ bersama dengan
determinan HLA-DR yang terdapat pada permukaan membran APC tersebut
membentuk suatu kompleks trimolekular. Kompleks trimolekular ini dengan
bantuan interleukin-1 (IL-1) yang dibebaskan oleh monosit atau makrofag
selanjutnya akan menyebabkan terjadinya aktivasi sel CD4+.9

Tabel 2. Sitokin- sitokin yang terlibat dalam patologi AR

Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolekular tersebut akan


mengekspresi reseptor interleukin-2 (IL-2) Pada permukaan CD4+. IL-2
yang diekskresi oleh sel CD4+ akan mengikatkan diri pada reseptor spesifik
pada permukaannya sendiri dan akan menyebabkan terjadinya mitosis dan
proliferasi sel tersebut. Proliferasi sel CD4+ ini akan berlangsung terus
selama antigen tetap berada dalam lingkunan tersebut. Selain IL-2, CD 4+
yang telah teraktivasi juga mensekresi berbagai limfokin lain seperti
gamma-interferon, tumor necrosis factor (TNF-), interleukin-3 (IL-3),

interleukin-4 (IL-4), granulocyte-macrophage colony stimulating factor


(GM-CSF) serta beberapa mediator lain yang bekerja merangsang makrofag
untuk meningkatkan aktivitas fagositosisnya dan merangsang proliferasi dan
aktivasi sel B untuk memproduksi antibodi. Produksi antibodi oleh sel B ini
dibantu oleh IL-1, IL-2, dan IL-4.9

Gambar 2. Patogenesis artritis reumatoid.


Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan
akan membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam
ruang sendi. Pengendapan kompleks imun akan mengaktivasi sistem
komplemen

yang

akan

membebaskan

komponen-komplemen

C5a.

Komponen-komplemen C5a merupakan faktor kemotaktik yang selain


meningkatkan permeabilitas vaskular juga dapat menarik lebih banyak sel
polimorfonuklear (PMN) dan monosit ke arah lokasi tersebut. Pemeriksaan

histopatologis membran sinovial menunjukkan bahwa lesi yang paling dini


dijumpai pada AR adalah peningkatan permeabilitas mikrovaskular
membran sinovial, infiltrasi sel PMN dan pengendapan fibrin pada
membran sinovial.9
Fagositosis kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh
pembentukan

dan

pembebasan

radikal

oksigen

bebas,

leukotrien,

prostaglandin dan protease neutral (collagenase dan stromelysin) yang akan


menyebabkan erosi rawan sendi dan tulang. Radikal oksigen bebas dapat
menyebabkan terjadinya depolimerisasi hialuronat sehingga mengakibatkan
terjadinya penurunan viskositas cairan sendi. Selain itu radikal oksigen
bebas juga merusak kolagen dan proteoglikan rawan sendi.9
Prostaglandin E2(PGE2) memiliki efek vasodilator yang kuat dan dapat
merangsang terjadinya resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan IL-1 dan
TNF. Rantai peristiwa imunologis ini sebenarnya akan terhenti bila antigen
penyebab dapat dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada AR,
antigen atau komponen antigen umumnya akan menetap pada struktur
persendian, sehingga proses destruksi sendi akan berlangsung terus. Tidak
terhentinya destruksi persendian pada AR kemungkinan juga disebabkan
oleh terdapatnya faktor reumatoid. Faktor reumatoid adalah suatu
autoantibodi terhadap epitop fraksi Fc IgG yang dijumpai pada 70-90 %
pasien AR. Faktor reumatoid akan berikatan dengan komplemen atau
mengalami agregasi sendiri, sehingga proses peradangan akan berlanjut
terus. Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan terjadinya
degranulasi mast cell yang menyebabkan terjadinya pembebasan histamin
dan berbagai enzim proteolitik serta aktivasi jalur asam arakidonat.9

10

Gambar 3. Peran sitokin dalam patogenesis artritis reumatoid.


F. Manifestasi Klinis
Gejala klinis utama AR adalah poliartritis yang mengakibatkan adanya
kerusakan rawan sendi dan tulang disekitarnya. Kerusakan yang terjadi
terutama menyerang sendi perifer tangan dan kaki yang umumnnya bersifat
simetris. Pada masa permulaan penyakit seringkali gejala AR tidak
bermanifestasi jelas, sehingga kadang-kadanag timbul kesulitan dalam
menegakkan diagnosis.
Terdapat beberapa gambaran klinis yang sering ditemukan pada
penderita AR yang waktu munculnya tidak harus berbarengan karena
penyakit ini memiliki gambaran klinis yang sangat bervariasi. Gejala-gejala
tersebut antara lain:

11

1. Kaku sendi pada pagi hari yang terjadi selama lebih dari 1 jam.
Kekakuan ini dapat pula bersifat generalisata tetapi pada umumnya
menyerang ke sendi-sendi. Sedangkan pada osteoartritis umumnya
kekakuan terjadi unilateral dan biasanya hanya berlangsung selama
beberapa menit dan kurang dari 1 jam.
2. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan
menurun dan demam.
3. Pada semua sendi jenis sinovial dapat terserang poliartritis terutama
pada sendi perifer tetapi tidak pada sendi-sendi interfalang distal.
4. Artritis erosif merupakan gambaran radiologic yang khas pada penyakit
ini, terlihat gambaran peradangan sendi yang kronik sehingga terjadi
erosi pada tepi tulang.
5. Dapat ditemukan adanya nodul-nodul reumatoid yaitu massa subkutan
yang ditemukan pada 1/3 orang dewasa yang menderita RA.
Predileksi tersering adalah bursa olekranon (sendi siku) atau
disepanjang permukaan ekstensor dari lengan. Namun, nodul-nodul
reumatoid ini dapat pula timbul pada tempat-tempat lainnya. Nodul
reumatoid ini juga dapat menjadi petunjuk suatu penyakit yang aktif
dan lebih berat.
6. Seiring perjalanan penyakit akan terjadi deformitas dari strukturstruktur penunjang sendi. Beberapa deformitas yang sering dijumpai
adalah deviasi ulnar, subluksasi sendi metakarpofalangeal, deformitas
boutonniere dan leher angsa. Pada sendi kaki sering dijumpai protrusi
dari kaput metatarsal akibat dari subluksasi metatarsal. Disamping itu,
sendi-sendi besar juga dapat mengalami penurunan fungsi terutama
dalam melakukan gerakan ekstensi.
7. Manifestasi ekstra-artikular sering dijumpai pada organ jantung
(perikarditis), paru-paru (pluritis), mata, dan pembuluh darah.
Dari segi awitan, 2/3 penderita AR, awitan terjadi secara perlahan,
terjadinya artritis simetris dalam hitungan minggu sampai bulan dari
perjalanan penyakit.15% dari penderita mengalami gejala awal yang lebih
cepat yaitu antara beberapa hari sampai minggu.10-15% penderita

12

mengalami awitan fulminant berupa artritis poliartikular, sehingga diagnosis


AR lebih mudah ditegakkan.Pada 8-15% penderita mengalami gejala
setelah kejadian tertentu, misalnya infeksi.
Manifestasi artikular pada umumnya datang dengan keluhan nyeri dan
kaku pada banyak sendi, walaupun ada 1/3 penderita mengalami gejala
awal pada satu atau beberapa sendi saja. Walaupun tanda cardinal inflamasi
seperti nyeri, bengkak, kemerahan, dan teraba hangat mungkin dapat
ditemukan pada awal penyakit atau selama kekambuhan (flare) tetapi
kemerahan dan perabaan hangat mungkin tidak dijumpai pada AR kronik.
Tabel 3. Sendi yang terlibat pada artritis reumatoid3
Predileksi sendi yang terlibat pada AR
Sendi
Metakarpofalangeal (MCP)
Pergelangan tangan
Proksimal Interfalangeal
Lutut
Metatarsofalangeal (MTP)
Pergelangan kaki (tibiotalar+subtalar)
Bahu
Midfoot (Tarsus)
Panggul (Hip)
Siku
Akromioklavikular
Vertebra servikal
Temporomandibular
Sternoklavikular

Frekuensi keterlibatan(%)
85
80
75
75
75
75
60
60
50
50
50
40
30
30

Penyebab artritis pada AR adalah sinovitis, yaitu adanya inflamasi pada


membrane sinovial yang membungkus sendi. Pada umumnya sendi yang
terkena adalah persendian tangan, kaki, dan vertebral servikal, tetapi
persendian besar seperti bahu dan lutut juga dapat terkena. Sendi yang
terlibat pada umumnya simetris, walaupun pada presentasi awal dapat tidak
simetris. Sinovitis akan mengakibatkan erosi pada permukaan sendi,
sehingga terjadi deformitas dan kehilangan fungsi. Ankilosis tulang
13

(destruksi sendi disertai kolaps dan pertumbuhan tulang yang berlebihan)


bisa terjadi pada beberapa sendi khususnya pada tangan dan kaki.Sendi
pergelangan tangan hampir selalu terlibat, demikian juga sendi interfalang
proksimal dan metakarpofalangeal, seperti yang dijelaskan di atas. Sendi
interfalang distal dan sakroiliaka hampir tidak pernah terlibat.
Tabel 4. Manifestasi ekastraartikular dari artritis reumatoid.
Manifestasi Ekstraartikular dari Artritis Reumatoid
Sistem organ
Manifestasi
Konstitusional
Demam, anoreksia, kelelahan (fatigue), kelemahan,
(Sistemik)
limfadenopati
Kulit
Nodul
reumatoid,
accelerated
rheumatoid
nodulosis, rheumatoid vasculitis, pyoderma
gangrenosum,
interstitial
granulomatosus
dermatitis with arthritis, palisaded neutrophilic
dermatitis, dan adult-onset still disease
Mata
Sjogren syndrome (keratokonjungtivitis sikka),
skleritis, episkleritis, skleromalasia
Kardiovaskular
Perikarditis, efusi pericardial, endocarditis,
valvulitis
Paru-paru
Pleuritis, efusi pleura, interstitial fibrosis, nodul
reumatoid pada paru, Caplans syndrome (infiltrat
nodular pada paru dengan pneumokoniosis)
Hematologi
Anemia
penyakit
kronik,
trombositosis,
eosinophilia, Felty syndrome (AR dengan
neutropenia dan splenomegali)
Gastrointestinal
Sjogren syndrome (xerostomia), amyloidosis,
vaskulitis
Neurologi
Entrapment neuropati, mielopati/miosistis
Ginjal
Amiloidosis, renal tubular asidosis, interstitial
nefritis
Metabolik
Osteoporosis
Di sisi lain, walaupun artritis merupakan klinis utama, tetapi AR
merupakan penyakit sistemik sehingga banyak penderita juga mempunyai
manifestasi ekstrartikular. Manifestasi ekstrartikular pada umumnya
didapatkan pada penderita yang mempunyai titer faktor reumatoid (RF)

14

serum yang tinggi. Nodul reumatoid merupakan manifestasi yang paling


sering dijumpai, tetapi biasanya tidak memerlukan intervensi khusus.Nodul
reumatoid hanya ditemukan pada penderita AR dengan RF positif (sering
titernya tinggi) dan mungkin dikelirukan dengan tofus gout, kista ganglion,
tendon xanthoma atau nodul yang berhubungan dengan demam reumatik,
lepra. Manifestasi paru juga bisa didapatkan, tetapi beberapa perubahan
patologik hanya ditemukan saat otopsi. Beberapa manifestasi ekstraartikuler
seperti vaskulitis dan Felty syndrome jarang dijumpai, tetapi sering
memerlukan terapi spesifik.
Tabel 5. Bentuk-bentuk deformitas pada artritis reumatoid.
Bentuk-bentuk deformitas pada AR
Bentuk deformitas
Keterangan
Deformitas leher Hiperekstensi PIP dan fleksi DIP
angsa (swan-neck)
Deformitas
Fleksi PIP dan hiperekstensi DIP
boutonniere
Deviasi ulna

Deviasi MCP dan jari-jari tangan kearah ulna

Deformitas kunci Dengan penekanan manual akan terjadi pergerakan


piano (piano key)
naik dan turun dari ulnar styloid, yang disebabkan
oleh rusaknya sendi radioulnar
Deformitas
Z- Fleksi dan subluksasi sendi MCP I dan
thumb
hiperekstensi dan sendi interfalang
Artritis mutilans
Sendi MCP, PIP, tulang karpaldan kapsul sendi
mengalami kerusakan sehingga terjadi instabilitas
sendi dan tangan tampak mengecil (operetta glass
hand)
Hallux valgus
MTP I terdesak kearah medial dan jempol kaki
mengalami deviasi kearah luar yang terjadi secara
bilateral
G. Pemeriksaan Penunjang dan Diagnostik
Tidak ada tes diagnostik tunggal yang definitif untuk konfirmasi
diagnosis AR. The American College of Rheumatology Subcommittee on
Rheumatoid

Arthritis

(ACRSRA)

merekomendasikan

pemeriksaan

laboratorium dasar untuk evaluasi antara lain : darah perifer lengkap

15

(complete blood cell count), faktor reumatoid (RF), laju endap darah atau Creactive protein (CRP). Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal juga
direkomendasikan karena akan membantu dalam pemilihan terapi. Bila hasil
pemeriksaan RF dan anti-CCP negatif bisa dilanjutkan dengan pemeriksaan
anti-RA33 untuk membedakan penderita AR yang mempunyai risiko tinggi
mengalami prognosis buruk.
Pemeriksaan pencitraan (imaging) yang bisa digunakan untuk menilai
penderita AR antara lain foto polos (plain radiograph) dan MRI (Magnetic
Resonance Imaging). Pada awal perjalanan penyakit mungkin hanya
ditemukan pembengkakan jaringan lunak atau efusi sendi pada pemeriksaan
foto polos, tetapi dengan berlanjutnya penyakit mungkin akan lebih banyak
ditemukan kelainan. Osteopenia juxtaarticular adalah karakteristik untuk
AR dan chronic inflammatory arthritides lainnya. Hilangnya tulang rawan
artikular dan erosi tulang mungkin timbul setelah beberapa bulan dari
aktivitas penyakit. Kurang lebih 70% penderita AR akan mengalami erosi
tulang dalam 2 tahun pertama penyakit, dimana hal ini menandakan
penyakit berjalan secara progresif. Erosi tulang bisa tampak pada semua
sendi, tetapi paling sering ditemukan pada sendi metacarpophalangeal,
metatarsophalangeal dan pergelangan tangan. Foto polos bermanfaat dalam
membantu menentukan prognosis, menilai kerusakan sendi secara
longitudinal, dan bila diperlukan terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI
mampu mendeteksi adanya erosi lebih awal bila dibandingkan dengan
pemeriksaan radiografi konvensional dan mampu menampilkan struktur
sendi secara rinci, tetapi membutuhkan biaya yang lebih tinggi.2

Tabel 6. Pemeriksaan penunjang diagnostik untuk artritis reumatoid.


Pemeriksaan penunjang

Penemuan yang berhubungan

C-reactive protein (CRP)*

Umumnya meningkat sampai > 0,7


picogram/mL, bisa digunakan untuk monitor
perjalanan penyakit.
Sering meningkat > 30 mm/jam, bisa

Laju endap darah (LED)*

16

digunakan untuk monitor perjalanan


penyakit.
Hemoglobin/hematokrit*
Sedikit menurun, Hb rata-rata sekitar 10
g/dL, anemia normokromik, mungkin juga
normositik atau mikrositik
Jumlah lekosit*
Mungkin meningkat.
Jumlah trombosit*
Biasanya meningkat.
Fungsi hati*
Normal atau fosfatase alkali sedikit
meningkat.
Faktor reumatoid (RF)*
Hasilnya negatif pada 30% penderita RA
stadium dini. Jika pemeriksaan awal negatif
dapat diulang setelah 6 12 bulan dari onset
penyakit. Bisa memberikan hasil positif
pada beberapa penyakit seperti SLE,
skleroderma, sindrom Sjgrens, penyakit
keganasan, sarkoidosis, infeksi (virus,
parasit atau bakteri). Tidak akurat untuk
penilaian perburukan penyakit.
Foto polos sendi*
Mungkin normal atau tampak adanya
osteopenia atau erosi dekat celah sendi pada
stadium dini penyakit. Foto pergelangan
tangan dan pergelangan kaki penting untuk
data dasar, sebagai pembanding dalam
penelitian selanjutnya.
MRI
Mampu mendeteksi adanya erosi sendi lebih
awal dibandingkan dengan foto polos,
tampilan struktur sendi lebih rinci.
Anticyclic
citrullinated Berkorelasi dengan perburukan penyakit,
peptide antibody (anti- sensitivitasnya meningkat bila dikombinasi
CCP)
dengan pemeriksaan RF. Lebih spesifik
dibandingkan dengan RF. Tidak semua
laboratorium
mempunyai
fasilitas
pemeriksaan anti-CCP.
Anti-RA33
Merupakan pemeriksaan lanjutan bila RF
dan anti-CCP negatif.
Antinuclear
antibody Tidak terlalu bermakna untuk penilaian RA
(ANA)
Konsentrasi komplemen
Normal atau meningkat.
Imunoglobulin (Ig)
Ig -1 dan -2 mungkin meningkat.
Pemeriksaan cairan sendi
Diperlukan bila diagnosis meragukan. Pada
RA tidak ditemukan kristal, kultur negatif

17

dan kadar glukosa rendah.


Tidak ada hubungan langsung dengan RA,
diperlukan untuk memonitor efek samping
terapi.
Urinalisis
Hematuria mikroskopik atau proteinuria bisa
ditemukan pada kebanyakan penyakit
jaringan ikat.
* Direkomendasikan untuk evaluasi awal RA
Fungsi ginjal

H. Kriteria Diagnosis
Pada

penelitian

klinis, AR

didiagnosis

secara

resmi

dengan

menggunakan 7 kriteria dari American College of Reumatology. Pada


penderita AR stadium awal mungkin sulit untuk menegakkan diagnosis
definitive dengan menggunakan kriteria ini. Pada kunjungan awal, penderita
harus ditanyakan tentang derajat nyeri, durasi dari kekakuan dan kelemahan
serta keterbatasan fungsional. Pemeriksaan sendi dilakukan secara teliti
untuk mengamati adanya ciri-ciri dari AR. Diagnosis AR ditegakkan bila
terpenuhi 3 dari 6 kriteria. Kriteria diagnosis ini ternyata memperbaiki
sensitivitas kriteria ACR, tetapi spesifisitasnya lebih rendah dari ACR.

Tabel 7. Kriteria diagnosis artritis reumatoid menurut ACR.


Kriteria Diagnosis AR Menurut ACR
Gejala dan Tanda
Kaku pagi hari
Artritis
persendian

pada

Definisi
Berlangsung selama 1 jam sebelum perbaikan
maksimal
3 3 sendi secara bersamaan; 14 daerah yang
mungkin terlibat : PIP,MCP,pergelangan
tangan, siku, lutut, pergelangan kaki, MTP
18

kanan atau kiri


Artritis pada persendian 1 pembengkakkan (pergelangan tangan, PIP,
tangan
MCP)
Atritis yang simetrik
Keterlibatan sendi pada kedua sisi tubuh secara
bersamaan
Nodul reumatoid
Nodul subkutan pada tonjolan tulang
Faktor reumatoid serum RF (+), dapat positif pada <5% subyek normal
positif
Perubahan
gambaran Foto X-ray PA tangan dan pergelangan tangan
radiologis
berupa erosi atau dekalsifikasi tulang yang
terdapat pada sendi atau daerah yang
berdekatan dengan sendi
Diagnosis ditegakkan bila memenuhi 4 atau lebih dari kriteria diatas, kriteria
1 4 sudah berlangsung minimal selama 6 minggu.
Diagnosis klinis RA sebagian besar didasarkan pada tanda-tanda dan
gejala dari arthritis inflamasi kronis, dengan laboratorium dan hasil
radiografi memberikan informasi tambahan yang penting. Pada tahun 2010,
upaya kolaborasi antara American College of Rheumatology (ACR) dan
European League Against Rheumatism (EULAR) merevisi kriteria 1987
klasifikasi ACR untuk RA dalam upaya untuk meningkatkan diagnosis dini
dengan tujuan untuk mengidentifikasi pasien yang akan mendapat manfaat
dari awal pengenalan terapi penyakit-memodifikasi (Tabel 321-1).
Penerapan kriteria baru direvisi menghasilkan skor 0-10, dengan skor 6
memenuhi persyaratan untuk RA yang pasti. Kriteria klasifikasi baru
berbeda dalam beberapa cara dari kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.
Kriteria baru termasuk tes positif untuk serum anti-cyclic antibodi peptida
citrullinated sebagai item, yang membawa spesifisitas yang lebih besar
untuk diagnosis RA dari tes positif untuk faktor rheumatoid.

19

I. Diagnosis Banding
Gambaran
Radiologi
Soft tissue
swelling
Subluksasi
Mineralisasi

Artritis
Reumatoid
Periartrikular,
simetris
Ya
Menurun di
periartrikular

Kalsifikasi

Tidak

Celah sendi

Menyempit

Erosi

Tidak

Produksi tulang

Tidak

Simetri

Bilateral, simetri

Gout

Osteoartritis

Tidak biasa

Intermitten, tidak
sejelas yang lain
Kadang-kadang

Baik

Baik

Esentrik, tophi

Kadang-kadang pada
tophi
Baik hingga
menyempit
Punched out dengan
garis sklerotik
Menjalar ke tepi
korteks
Asimetri

20

Tidak
Menyempit
Ya, pada
intraartikular
Ya
Bilateral, simetri

Lokasi

Proksimal ke distal

Karakteristik
yang
membedakan

Poliartrikular

Kaki, pergelangan
kaki, tangan dan siku

Distal ke
proksimal

Pembentukan kristal

Seagull
appearance pada
sendi
interfalangeal

J. Tatalaksana
Destruksi sendi pada AR dimulai dalam beberapa minggu sejak
timbulnya gejala, terapi sedini mungkin akan menurunkan angka
perburukan penyakit. Oleh karena itu sangat penting untuk melakukan
diagnosis dan memulai terapi sedini mungkin.ACRSRA mekomendasikan
bahwa penderita dengan kecurigaan AR harus dirujuk dalam 3 bulan sejak
timbulnya gejala untuk konfirmasi diagnosis dan inisiasi terapi DMARDs
(Disease-modifying antirheumatic drugs). Modalitas terapi untuk AR
meliputi terapi non farmakologik dan farmakologik.8
Tujuan terapi pada penderita AR adalah :

1.

Mengurangi nyeri
Mempertahankan status fungsional
Mengurangi inflamasi
Mengendalikan keterlibatan sistemik
Proteksi sendi dan struktur ekstraartikular
Mengendalikan progresivitas penyakit
Menghindari komplikasi yang berhubungan dengan terapi
Terapi Non Farmakologis
a) Edukasi
Edukasi yang cukup penting bagi pasien, keluarga, dan orangorang yang berhubungan dengan penderita.:
1) Pengertian tentang patofisiologi
2) Penyebab penyakit
3) Prognosis penyakit
4) Semua komponen program penatalaksanaan termasuk regimen
obat yang kompleks
5) Sumber-sumber bantuan untuk mengatasi penyakit ini
6) Metode-metode efektif tentang penatalaksanaan yang diberikan
oleh tenaga kesehatan.
21

b) Istirahat
Perencanaan aktivitas mutlak diperlukan bagi pasien rheumatoid
arthritis karena penderita biasanya disertai dengan rasa lelah yang
hebat. Kekakuan dan rasa kurang nyaman biasanya dapat
diperingan dengan beristirahat.9
c) Latihan-latihan spesifik
Latihan spesifik ini dapat berupa :
1) Gerakan aktif dan pasif pada semua sendi yang sakit, minimal
dua kali dalam sehari.
2) Kompres panas pada sendi. Tujuan dari kompres panas ini
untuk mengurangi nyeri pada sendi.
3) Mandi parafin dengan suhu yang dapat diatur. Latihan ini
paling baik diatur dan diawasi oleh tenaga kesehatan yang
sudah mendapat latihan khusus, seperti fisioterapi atauterapis
kerja.
Latihan latihan ini bertujuan untuk mempertahankan fungsi sendi.9
a) Alat pembantu dan adaptif
Alat pembantu dan adaptif ini mungkin diperlukan saat
melakukan

aktivitas

sehari-hari,

seperti

tongkat

untuk

membantu berdiri dan berjalan.9

b) Terapi yang lain


Terapi lain yang dimaksud yaitu : terapi puasa, suplementasi
asam lemak esensial, terapi spa dan latihan, suplementasi
minyak ikan (cod liver oil) sebagai NSAID-sparing agent.8
2. Terapi Farmakologi
Farmakoterapi untuk penderita AR pada umumnya meliputi obat antiinflamasi non steroid (OAINS) untuk mengendalikan nyeri, glukokortikoid
dosis rendah atau intraartikular dan DMARD. Analgetik lain juga mungkin
digunakan seperti acetaminophen, opiat, diproqualone dan lidokain topikal.
Pada dekade terdahulu, terapi farmakologik untuk AR menggunakan
pendekatan piramid yaitu : pemberian terapi untuk mengurangi gejala
dimulai saat diagnosis ditegakkan dan perubahan dosis atau penambahan
terapi hanya diberikan bila terjadi perburukan gejala. Tetapi saat ini

22

pendekatan piramid terbalik (reverse pyramid) lebih disukai, yaitu


pemberian DMARD sedini mungkin untuk menghambat perburukan
penyakit.8 Perubahan pendekatan ini merupakan hasil yang didapat dari
beberapa penelitian yaitu : 1. kerusakan sendi sudah terjadi sejak awal
penyakit; 2. DMARD memberikan manfaat yang bermakna bila diberikan
sedini mungkin; 3. Manfaat DMARD bertambah bila diberikan secara
kombinasi; 4. Sejumlah DMARD yang baru sudah tersedia dan terbukti
memberikan efek menguntungkan.8
Penderita dengan penyakit ringan dan hasil pemeriksaan radiologis
normal, bisa dimulai dengan terapi hidroksiklorokuin/klorokuin fosfat,
sulfasalazin atau minosiklin, meskipun methotrexate (MTX) juga menjadi
pilihan.Penderita dengan penyakit yang lebih berat atau ada perubahan
radiologis harus dimulai dengan terapi MTX. Jika gejala tidak bisa
dikendalikan secara adekuat, maka pemberian leflunomide, azathioprine
atau terapi kombinasi (MTX ditambah satu DMARD yang terbaru) bisa
dipertimbangkan.4 Katagori obat secara individual akan dibahas dibawah
ini.
OAINS. OAINS digunakan sebagai terapi awal untuk mengurangi nyeri
dan pembengkakan. Oleh karena obat-obat ini tidak merubah perjalanan
penyakit maka tidak boleh digunakan secara tunggal. 8 Penderita AR
mempunyai risiko dua kali lebih sering mengalami komplikasi serius akibat
penggunaan OAINS dibandingkan dengan penderita osteoartritis, oleh
karena itu perlu pemantauan secara ketat terhadap gejala efek samping
gastrointestinal.
GLUKOKORTIKOID. Steroid

dengan dosis ekuivalen dengan

prednison kurang dari 10 mg per hari cukup efektif untuk meredakan gejala
dan dapat memperlambat kerusakan sendi.4 Dosis steroid harus diberikan
dalam dosis minimal karena risiko tinggi mengalami efek samping seperti
osteoporosis, katarak, gejala Cushingoid, dan gangguan kadar gula darah.8
ACR

merekomendasikan

bahwa

penderita

yang

mendapat

terapi

glukokortikoid harus disertai dengan pemberian kalsium 1500 mg dan

23

vitamin D 400 800 IU per hari. Bila artritis hanya mengenai satu sendi dan
mengakibatkan disabilitas yang bermakna, maka injeksi steroid cukup aman
dan efektif, walaupun efeknya bersifat sementara. Adanya artritis infeksi
harus disingkirkan sebelum melakukan injeksi.8 Gejala mungkin akan
kambuh kembali bila steroid dihentikan, terutama bila menggunakan steroid
dosis tinggi, sehingga kebanyakan Rheumatologist menghentikan steroid
secara perlahan dalam satu bulan atau lebih, untuk menghindari rebound
effect. Steroid sistemik sering digunakan sebagai bridging therapy selama
periode inisiasi DMARD sampai timbulnya efek terapi dari DMARD
tersebut, tetapi DMARD terbaru saat ini mempunyai mula kerja relatif
cepat.
DMARD. Pemberian DMARD harus dipertimbangkan untuk semua
penderita AR. Pemilihan jenis DMARD harus mempertimbangkan
kepatuhan, beratnya penyakit, pengalaman dokter dan adanya penyakit
penyerta.

DMARD

hidroksiklorokuin
infliximab

yang

atau

paling

umum digunakan

klorokuin

fosfat,

sulfasalazin,

adalah

MTX,

leflunomide,

dan etanercept.Sulfasalazin atau hidroksiklorokuin atau

klorokuin fosfat sering digunakan sebagai terapi awal, tetapi pada kasus
yang lebih berat, MTX atau kombinasi terapi mungkin digunakan sebagai
terapi lini pertama.Banyak bukti menunjukkan bahwa kombinasi DMARD
lebih efektif dibandingkan dengan terapi tunggal. Perempuan pasangan usia
subur (childbearing) harus menggunakan alat kontrasepsi yang adekuat bila
sedang dalam terapi DMARD, oleh kerena DMARD membahayakan fetus.4
Leflunomide bekerja secara kompetitif inhibitor terhadap enzim
intraselular yang diperlukan untuk sintesis pirimidin dalam limfosit yang
teraktivasi.Leflunomide memperlambat perburukan kerusakan sendi yang
diukur secara radiologis dan juga mencegah erosi sendi yang baru pada 80%
penderita dalam periode 2 tahun.Antagonis TNF menurunkan konsentrasi
TNF-, yang konsentrasinya ditemukan meningkat pada cairan sendi
penderita AR. Etanercept adalah suatu soluble TNF-receptor fusion protein,
dimana efek jangka panjangnya sebanding dengan MTX, tetapi lebih cepat

24

dalam memperbaiki gejala, sering dalam 2 minggu terapi. Antagonis TNF


yang lain adalah infliximab, yang merupakan chimeric IgG1 anti-TNF-
antibody. Penderita AR dengan respon buruk terhadap MTX, mempunyai
respon yang lebih baik dengan pemberian infliximab dibandingkan
plasebo.5,8 Adalimumab juga merupakan rekombinan human IgG1 antibody,
yang mempunyai efek aditif bila dikombinasi dengan MTX. Pemberian
antagonis TNF berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya infeksi,
khususnya reaktivasi tuberkulosis.8
Anakinra adalah rekombinan antagonis reseptor interleukin-1. Beberapa
uji klinis tersamar ganda mendapatkan bahwa anakinra lebih efektif
dibandingkan dengan plasebo, baik diberikan secara tunggal maupun
dikombinasi dengan MTX. Efek sampingnya antara lain iritasi kulit pada
tempat suntikan, peningkatan risiko infeksi dan leukopenia. 8 Rituximab
merupakan antibodi terhadap reseptor permukaan sel B (anti-CD20)
menunjukkan efek cukup baik.8 Antibodi terhadap reseptor interleukin-6
juga sedang dalam evaluasi.
Tabel 8 DMARD yang digunakan dalam terapi AR

25

TERAPI KOMBINASI. Kombinasi terbukti memiliki efikasi terapi


yang lebih tinggi daripada terapi tunggal. Beberapa kombinasi yang sudah
banyak diteliti dan memiliki efektivitas yang lebih besar yaitu :
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)

MTX + hidroksiklorokuin
MTX + hidroksiklorokuin + sulfasalazine
MTX + sulfasalazine + prednisolon
MTX + leflunomide
MTX + infiximab
MTX + etanercept
MTX + adalimumab
MTX + anakinra
MTX + rituximab
Terapi kombinasi ini memberikan respon yang lebih baik dan efektif

dalam menghambat progresivitas penyakit dan kerusakan radiografi.8


EMAS. Natrium auritiomalat diberikan melalui injeksi IM dengan dosis
50 mg/minggu sampai terdapat bukti remisi (biasanya setelah pemberian
500 mg). pasien yang memberikan respons, interval dosis ditingkatkan
secara bertahap setiap bulan. Pengobatan bisa dilanjutkan sampai mencapai
5 tahun. Diperlukan pemeriksaan darah dan urinalisis rutin. Leucopenia dan
trombositopenia atau proteinuria biasanya bersifat reversible jika pemberian
emas dihentikan.8

26

Gambar 4. Rekomendasi penggunaan DMARD sintesis dan biologic pada


pasien AR bDMARD = biologik DMARD
PENATALAKSANAAN

BEDAH.

Tindakan

bedah

perlu

dipertimbangkan bila :
1) Terdapat nyeri berat yang berhubungan dengan kerusakan sendi yang
ekstensif
2) Keterbatasan gerak yang bermakna atau keterbatasan fungsi yang berat
3) Ada ruptur tendon
Sinovektomi, khususnya pada sendi lutut berguna untuk meluruskan
kembali dan memperbaiki tendon. Sendi buatan dapat dilakukan misalnya
pada sendi panggul, lutut, jari-jari tangan. Artrodesis mungkin perlu
dilakukan pada nyeri atau deformitas yang berat.8
K. Kriteria Remisi

27

Menurut kriteria ACR, AR dikatakan mengalami remisi bila memenuhi


5 atau lebih dari kriteria dibawah ini dan berlangsung paling sedikit selama
2 bulan berturut-turut :

Kaku pagi hari berlangsung tidak lebih dari 15 menit


Tidak ada kelelahan
Tidak ada nyeri sendi (melalui anamnesis)
Tidak ada nyeri tekan atau nyeri gerak pada sendi
Tidak ada pembengkakan jaringan lunak atau sarung tendon

LED < 30 mm/jam untuk perempuan atau < 20 mm/jam untuk laki-laki
(dengan metode Westergren)
L. Prognosis
Perjalanan penyakit dan hasil pengobatan artritis reumatoid pada setiap

pasien tidak dapat di prediksi. Faktor-faktor yang menjadikan prognosis


buruk
1. Poliartritis generalisata (jumlah sendi yang terkena > 20)
2. LED dan CRP yang tinggi walaupun sudah menjalani terapi
3. Manifestasi ekstraartikuler, misalnya nodul/vaskulitis
4. Ditemukannya erosi pada radiografi polos dalam kurun waktu 2
tahun sejak onset.
M. Komplikasi
Terjadinya penyakit artritis reumatoid (AR) akan meningkatkan resiko
timbulnya berbagai komplikasi seperti :
1. Osteoporosis
Osteoporosis merupakan komplikasi yang paling sering dialami
oleh penderita AR. Hal ini terjadi karena kurangnya aktivitas tubuh
terutama tulang akibat nyeri yang dirasakan. Osteoporosis adalah
penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan densitas masa
tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi
rapuh dan mudah patah.8
Menurut National Institute of Health (NIH), 2001 Osteoporosis
adalah kelainan tulang, ditandai dengan kekuatan tulang yang
mengkhawatirkan dan dipengaruhi oleh meningkatnya risiko patah
28

tulang. Sedangkan kekuatan tulang merefleksikan gabungan dari dua


faktor, yaitu densitas tulang dan kualitas tulang.
2. Carpal Tunnel Sydrome (CTS)
Carpal tunnel syndrome, atau neuropati saraf medianus di
pergelangan tangan, adalah kondisi medis di mana saraf median
dikompresi di pergelangan tangan, menyebabkan parestesia, mati rasa
dan kelemahan otot di tangan. Bangun di malam hari merupakan
karakteristik gejala carpal tunnel syndrome.
Pengobatan definitif untuk sindrom carpal tunnel adalah rilis
operasi dekompresi saraf. Metode ini efektif menghilangkan gejala dan
mencegah kerusakan saraf lebih lanjut, hanya saja disfungsi saraf
biasanya dalam bentuk statis (konstan) mati rasa, atrofi, atau kelemahan
yang bersifat permanen.
Kebanyakan kasus CTS adalah idiopatik (tanpa alasan tertentu).
Beberapa pasien secara genetik cenderung untuk mengembangkan
kondisi tersebut. Diagnosis CTS sering dihubungkan pada pasien yang
memiliki aktivitas yang berhubungan dengan nyeri lengan, seperti AR.
Tabel 9. Komplikasi yang bisa terjadi pada penderita artritis reumatoid.4
Komplikasi

Keterangan

Anemia

Berkorelasi dengan LED dan aktivitas penyakit;


75% penderita AR mengalami anemia karena
penyakit kronik dan 25% penderita tersebut

Kanker

memberikan respon terhadap terapi besi.


Mungkin akibat sekunder dari terapi

yang

diberikan; kejadian limfoma dan leukemia 2 3


kali lebih sering terjadi pada penderita AR;
peningkatan risiko terjadinya berbagai tumor solid;
penurunan risiko terjadinya kanker genitourinaria,
Komplikasi kardiak

diperkirakan karena penggunaan OAINS.


1/3 penderita AR mungkin mengalami efusi

29

perikardial asimptomatik saat diagnosis ditegakkan;


miokarditis bisa terjadi, baik dengan atau tanpa
Penyakit

gejala; blok atrioventrikular jarang ditemukan.


tulang Tenosinovitis pada ligamentum transversum bisa

belakang

leher menyebabkan instabilitas sumbu atlas, hati-hati bila

(cervical

spine

disease)

melakukan

intubasi

endotrakeal;

ditemukan

hilangnya

lordosis

mungkin

servikal

dan

berkurangnya lingkup gerak leher, subluksasi C4C5 dan C5-C6, penyempitan celah sendi pada foto
sevikal lateral. Myelopati bisa terjadi yang ditandai
oleh kelemahan bertahap pada ekstremitas atas dan
Gangguan mata
Pembentukan fistula

parestesia.
Episkleritis jarang terjadi.
Terbentuknya sinus kutaneus dekat sendi yang

terkena, terhubungnya bursa dengan kulit.


Peningkatan infeksi
Umumnya merupakan efek dari terapi AR.
Deformitas
sendi Deviasi ulnar pada sendi metakarpofalangeal;
tangan

deformitas

boutonniere

hiperekstensi
(kebalikan

DIP);
dari

(fleksi

deformitas
deformitas

PIP

dan

swan

neck

boutonniere);

hiperekstensi dari ibu jari; peningkatan risiko


Deformitas

ruptur tendon
sendi Beberapa kelainan yang bisa ditemukan antara

lainnya

lain :frozen shoulder, kista popliteal, sindrom

Komplikasi

terowongan karpal dan tarsal.


Nodul paru bisa bersama-sama dengan kanker dan

pernafasan

pembentukan

lesi

kavitas;

Bisa

ditemukan

inflamasi pada sendi cricoarytenoid dengan gejala


suara serak dan nyeri pada laring; pleuritis
ditemukan pada 20% penderita; fibrosis interstitial
bisa
Nodul rheumatoid

ditandai

dengan

adanya

ronki

pada

pemeriksaan fisik (selengkapnya lihat Tabel 6).


Ditemukan pada 20 35% penderita AR, biasanya

30

ditemukan pada permukaan ekstensor ekstremitas


atau daerah penekanan lainnya, tetapi bisa juga
ditemukan pada daerah sklera, pita suara, sakrum
Vaskulitis

atau vertebra.
Bentuk kelainannya antara lain : arteritis distal,
perikarditis,

neuropati

perifer,

lesi

kutaneus,

arteritis organ viscera dan arteritis koroner; terjadi


peningkatan risiko pada : penderita perempuan,
titer RF yang tinggi, mendapat terapi steroid dan
mendapat beberapa macam DMARD; berhubungan
dengan

peningkatan

risiko

terjadinya

miokard.
PIP = proximal interphalangeal; DIP = distal interphalangeal; RF =
rheumatoid factor

31

infark

Anda mungkin juga menyukai