enselopati: telihat dalam bulan atau tahun setelah menerima metotreksat; biasanya
diasosiasikan dengan iradiasi kranial atau kemoterapi sistemik yang lain. 5.Dermatologi:
Kulit menjadi kemerahan.Endokrin dan metabolik: Hipoerurikemia,detektif oogenesis, atau
spermatogenesis. 6. GI: Ulserativ stomatitis, glossitis, gingivitis, mual, muntah, diare,
anoreksia, perforasi intestinal, mukositis (tergantung dosis; terlihat pada 3-7 hari setelah
terapi, terhenti setelah 2 minggu) 7.Hematologi: Leukopenia, trombositopenia.Ginjal: Gagal
ginjal, azotemia,nefropati.Pernafasan: Faringitis. 1%-10% 8. Kardiovaskular: Vaskulitis.SSP,
pusing, malaise, enselopati, seizure, demam, chills. 9. Myelosupresif : Terutama faktor
batas-dosis (bersama dengan mukositis) dari metotreksat, terjadi sekitar 5-7 hari setelah
terapi, dan harus dihentikan selama 2 minggu. 10. WBC : Ringan, Platelet: Sedang, Onset:
7 hari, Nadir: 10 hari, Recovery: 21 hari 11. Hepatik : Sirosis dan fibrosis portal pernah
diasosiasikan dengan terapi kronik metotreksat, evaliasi akut dari enzym liver adalah biasa
terjadi setelah dosis tinggi dan biasanya resolved dalam 1 hari.Neuromuskular dan skeletal:
Arthalgia.Okular: Pandanga 12. Renal : Disfungsi ginjal. Manifestasi karena abrupt rise
pada serum kreatinin dan BUN dan penurunan output urin, biasa terjadi pada dosis tinggi
dan berhubungan dengan presipitasi dari obat. 13. Respirator (Penumositis) : Berhubungan
dengan demam, batuk, dan interstitial pulmonari infitrates; pengobatan dengan metotreksat
selama reaksi akut; interstitial pneumisitis pernah dilaporkan terjadi dengan insiden dari 1%
pasien dengan RA (dosis 7.5-15 mg/minggu) <1% (terbatas sampai penting untuk
penyelamatan hidup): Neurologi akut sindrom (pada dosis tinggi- simptom termasuk
kebingungan, hemiparesis, kebutaan transisi,dan koma); anafilaksis alveolitis; disfungsi
kognitif (pernah dilaporkan pada dosis rendah),penurunan resistensi infeksi,eritema
multiforma, kegagalan hepatik, leukoenselopati (terutama mengikuti irasiasi spinal atau
pengulangan terapi dosis tinggi),disorder limpoproliferatif, osteonekrosis dan nekrosis
jaringan lunak (dengan radioterapi), perikarditis, erosions plaque (Psoriasis), seizure (lebih
sering pada pasien dengan ALL),sindrom Stevens Johnson, tromboembolisme.
-Interaksi : 1. Dengan Obat lain Efek meningkatkan/toksisitas: Pengobatan bersama
dengan NSAID telah menghasilkan supresi sum-sum tulang berat, anemia aplastik dan
toksisitas pada saluran gastrointestinal. NSAID tidak boleh digunakan selama
menggunakan metotreksat dosis sedang atau tinggi karena dapat meningkatkan level
metotreksat dalam darah (dapat menaikkan toksisitas): NSAID digunakan selama
pengobatan dari reumatoid artritis tidak pernah amati, tapi kelanjutan dari regimen
terdahulu pernah diikuti pada beberapa keadaan, dengan peringatan monitoring. Salisilat
bisa meningkatkan level metotreksat, bagaimanapun penggunaan salisilat untuk profilaksis
dari kejadian kardiovaskular tidak mendapat perhatian. 2. Dengan Makanan Serum level
metotreksat bisa menurun jika bersama dengan makanan. Makanan dengan banyak susu
dapat menurunkan absorpsi metotreksat. Folat dapat menurunkan respons obat. Hindari
echinacea (mempunyai sifat sebagai imunostimulan). -Pengaruh : 1. Kehamilan Faktor
resiko X 2. Ibu menyusui Metotreksat didistribusikan ke dalam air susu, dikontraindikasikan
untuk ibu menyusui. -Bentuk Sediaan : Tablet 2.5 ml, Vial 5 mg/2ml, Vial 50 mg/2 ml, Ampul
5 mg/ml, Vial 50mg/5ml Zat-zat lain 1. Kortikosteroda Hormon anak ginjal berkhasiat anti
radang, imunosupresif, dan antialergis. Kedua efek terakhir untuk sebagian besar
berhubungan dengan kerja antiradangnya dan terutama nampak pada reaksi imun di
jaringan. Misalnya migrasi sel dan aktivitas fagocytose dari makrofag/monocyt dikurangi.
Juga jaringan lymfatis dirombak, dimana limfosit-T dan B berperan. Pembentukan
antibodies hanya ditekan pada dosis amat tinggi. Kortikosteroida banyak digunakan
sebagai obat tambahan pada penyakit auto-imun seperti rema, Sjogren, SLE, dan MS
(multiple scerosis), juga pada terapi kanker. Efektif sekali untuk menekan dengan pesat
exacerbatio penyakit (mendadak menjadi parahnya gejala penyakit).Untuk memelihara
remisi pada penyakit-usus beradang kronis ternyata kurang efektif. 2. Siklosporin
(Sandimmun, Neoral) Endecapeptida siklis ini (1983) diperoleh dari fungi Tolypocladium
inflatum dan terdiri dari 11 asam amino. Bersifat Immunosupresif istimewa dengan jalan
menghambat secara spesifik respons-imun seluler. Proliferasi T-helpercells dan cytotoxic
cells dihambat secara selektif dan reversible. Juga merintangi produksi/pelepasan IL-2 dan
banyak limfokin lain. Produksi Limfo-T supressorcells justru distimulasi . Tidak berkhasiat
myelosupressif. Siklosporin terutama digunakan berkat sifat-sifat ini pada transplantasi
organ atau sumsum untuk profilakse dan penanganan reaksi penolakan. Juga pada
psioriasis, colitis dan penyakit Crohn. Siklosporin dapat dikombinasi dengan kortikoida atau
immunosupressiva yang lain dengan maksud mengurangi nefrotoksisitasnya. Resorbsi dari
usus sangat variable, BA-nya 10-15%, PP-nya 98%, plasma T1/2-nya ca 20 jam. Bersifat
sangat lipofil, maka distribusinya baik kesemua jaringan tubuh. Dalam hati dirombak
menjadi 15 metabolityang terutama diekskresikan melalui empedu dengan siklus
enterohepatis. Hanya 6% dieksresikan lewat kemih. Efek samping utamanya adalah yang
tergantung dari dosis dengan turunya nilai kreatinin (reversible). Juga hipertensi,
hiperlipidemia, hipertrichosis, gangguan lambung-usus,nyeri kepala, tangan rasa terbakar,
konvulsi, gangguan darah dan lain-lain. Bersifat karsinogen terutama bila digunakan lama
dengan dosis tinggi (limfoma, kanker kulit). Dosis : 4-12 jam sebelum transplantasi, oral 2,515 mg/kg selama 1-2 bulan, juga sebagai infuse intravena. Dosis disesuaikan dengan kadar
siklosporin dalam darah. 3. Tacrolimus (prograf) Senyawa makrolida ini diekstraksi dari
jamur streptomyces tsukubaensis (1993). Khasiat dan mekanisme immunosupressivenya
sama dengan sikolosporin, tetapi ca lebih kuat 50x dalam hal pencegahan sintesa IL-2 yang
mutlak perlu untuk proliferasi sel T. Juga bersifat sangat lipofil dan sama efektifnya dengan
siklosporin pada transplantasi hati, jantung, paru-paru, dan ginjal. Terutama digunakan
bersama kortikosteroida. Lebih sering menimbulkan efek samping berupa toksisitas bagi
ginjal dan saraf. Dosis : infuse i.v. 0,05-0,1 mg /kg/hari, 6 jam setelah transplantasi selama
2-3 hari, lalu dilanjutkan oral 0,15-0,3 mg/kg/hari dalam 2 dosis. 4. Mycofenolat-mofetil
(CellCept) Obat terbaru ini (1996) adalah prodrug dengan khasiat menekan perbenyakan
dari khusus limfosit melalui inhibisi enzim dehidrogenasi yang diperlukan untuk sintese
purin (DNA/RNA). Ternyata sangat efektif untuk melawan penolakan akut setelah
transplantasi ginjal. Dibandingkan dengan obat-obat lainya , yaitu azatioprin dan siklosporin
( dan prednisone), persentase penolakan dikurangi sampai 50%. Lagi pula efek
sampingnya lebih sedikit. Mungkin berdaya pula untuk menghambat penolakan menahun
(jangka panjang) yang smpai kini merupakan maslah besar. Resorpsinya dari usus baik,
dengan BA 90%. Dalam hati segera diubah menjadi asam mycofenolat aktif . Ekskresinya