Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
Sirosis hati (liver cirrhosis) merupakan perjalanan patologi akhir berbagai macam
penyakit hati. Istilah sirosis diperkenalkan pertama kali oleh Laennec pada tahun 1826.
Diambil bahasa Yunani scirrhus atau kirrhos yang artinya warna oranye dan dipakai untuk
menunjukan warna oranye atau kuning kecoklatan permukaan hati yang tampak saat otopsi.
Batasan fibrosis sendiri adalah penumpukan berlebihan matriks ekstaselular (seperti
kolagen, glikoprotein, proteoglikan) dalam hati. Secara anatomis sirosis hati ialah terjadinya
fibrosis yang sudah meluas dengan terbentuknya nodul-nodul pada semua bagian hati, tidak
hanya pada satu lobulus saja.
Sirosis hepatis merupakan penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan
adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Dimulai dengan adanya proses peradangan,
nekrosis hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi
arsitektur hati ini akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak
teratur akibat pertumbuhan jaringan ikat dan nodul tersebut.1,2
Lebih dari 40% pasien sirosis tampak asimtomatis. Keseluruhan insidensi sirosis di
Amerika diperkirakan 360 per 100000 penduduk. Penyebabnya sebagian besar akibat
penyakit hati alkoholik maupun infeksi virus kronik. Di Indonesia, sirosis hati adalah
penyakit hati yang berada pada posisi teratas setelah karsinoma hepatoseluler dan hepatitis
kronis. Akan tetapi belum ada data yang lengkap tentang prevalensi sirosis di Indonesia, data
yang ada hanya berupa laporan-laporan dari beberapa pusat pendidikan saja. Di RS
Dr.Sardjito Yogyakarta, jumlah pasien sirosis hati sekitar 4,1% dari pasien yang dirawat di
Bagian Penyakit Dalam (dalam kurun waktu 1 tahun (2004)). Di Medan dalam kurun waktu 4
tahun, dijumpai pasien sirosis hati sebanyak 819 (4%) pasien dari seluruh pasien yang
dirawat di Bagian Penyakit Dalam. Angka kejadian di Indonesia menunjukkan pria lebih
banyak menderita sirosis dibanding wanita (2-4,5 : 1), dan terbanyak didapatkan pada dekade
kelima kehidupan.2,3

BAB II
LAPORAN KASUS SIROSIS HEPATIS
2. 1 Identitas Umum Pasien
Nama

: Tn. S

Umur

: 55 Tahun

Alamat

: Muara Tembesi

Pekerjaan

: Swasta

Agama

: Islam

Tanggal Masuk

: 07 September 2016

2. 2 Anamnesis
Keluhan Utama : Muntah darah
Telaah

Pasien mengeluhkan muntah darah 2 hari SMRS. Muntah darah berwarna merah
kehitaman, banyaknya kurang lebih satu gelas air mineral, frekuensi muntah lebih dari dua
kali per hari. Pasien juga mengeluhkan nyeri perut dan ulu hati pedih. Perut terasa sedikit
membesar dari sebelumnya. Mata pasien tampak kuning sejak 2 minggu SMRS. Keluhan lain
pasien merasa mudah lelah dan badan lemas, nafsu makan menurun. BAK berwarna kuning
pekat seperti air teh sejak 2 minggu SMRS, jumlah sedikit-sedikit. BAB : frekuensi 1x/hari,
keras, berwarna hitam
Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelumnya pasien pernah 2 tahun yang lalu pasien mendapatkan terapi obat Fixed Drug
Combination (FDC) selama 6 bulan dan selesai diminum.
dirawat dengan keluhan yang sama karna sirosis hepatis 5 bulan SMRS, namun sejak
keluar dri RS pasien mengaku belum pernah kontrol lagi. Obat-obatan yang rutin diminum
oleh pasien adalah Furosemid, Ranitidine dan antasida. Pasien memiliki riwayat hepatitis
B(+) dan varises oesophasus (+) sekitar 7 tahun yang lalu. Riwayat kencing manis dan
tekanan darah tinggi disangkal pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga pasien yang mengalami hal yang sama seperti pasien. Riwayat
kencing manis dan tekanan darah tinggi dalam keluarga disangkal pasien.
Riwayat Kebiasaan
Pasien merokok aktif sejak muda (20 tahun-an), merokok kira-kira 2 batang rokok
sehari, dan berhenti total sejak 7 tahun lalu. Ketika muda pasien minum minuman beralkohol
tetapi tidak rutin, berhenti total sejak 7 tahun lalu juga.
2.3

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan umum
-

Kesadaran: CM

Keadaan umum: Tampak sakit sedang

Keadaan gizi: kesan gizi kurang

Tekanan darah: 110/60

Nadi: 80x/menit, regular, isi cukup, ekual

Suhu: 38,70 C

Pernapasan: 22x/menit

BB/TB: 50 kg/ 150 cm BMI : 50/ (1,5)2 = 22,2 kg/m2 (gizi baik menurut Asia
Pasifik tapi bias karna pasien mengalami asites dan edema)

Sianosis: -

Edema: terdapat edema pada ekstremitas bawah dan ascites

Anemis: +

Ikterus: +

Kulit

:-

Kelenjar getah bening : KGB membesar


Kepala

: normocephal

Rambut

: hitam dan mudah dicabut

Mata

Telinga
Hidung

Konjunctiva anemis (+/+)

Sclera ikterik (+/+)


: tidak ada kelainan
: tidak ada kelainan

Tenggorokan

: tidak ada kelainan

Gigi dan mulut

: tidak ada kelainan

Leher

: JVP 5 + 4 cmH2O

Thorax

:
Paru:

Inspeksi

: bentuk dada kiri dan kanan simetris, gerakan pernafasan simetris, spider naevi (-)
- Palpasi

: fremitus kanan = kiri

- Perkusi

: sonor pada kedua lapangan paru

- Auskultasi

: Vesikuler +/+

Jantung :
-

Inspeksi: ictus kordis tidak terlihat


- Palpasi : ictus kordis teraba di RIC V LCMS
- Perkusi
batas jantung kiri
-

Auskultasi
Abdomen

: batas jantung kanan : Linea Sternalis Dekstra RIC IV


: RIC V 2 jari medial LMCS

: BJ I normal, BJ II normal, teratur, bunyi tambahan (-)

Inspeksi: perut membuncit, vena kolateral ( +), venektasi ( +), smilling umbilicus(-),
hernia umbilicalis (+)
Palpasi: hepar teraba 2 jari di bawah arcus costarum dan lien teraba S1. Nyeri tekan
(+ ) pada perut kanan atas, perut kiri atas dan epigastrium.
Perkusi: shifting dullness (+)
Auskultasi:

BU (+) normal

Bruit (-)

Punggung
CVA, nyeri tekan (-) dan nyeri ketok (-)
Alat kelamin : tidak diperiksa
Anus

: tidak diperiksa

Anggota gerak:
o RF +/+
o RP -/o Edema = terdapat pitting oedem pada tungkai kanan dan kiri

o Palmar eritema= +/+


2.4

Pemeriksaan Penunjang

(Tanggal 26/6/2013)
Darah Rutin
No

Pemeriksaan

Hasil

Nilai Normal

1.

Hemoglobin

8.7 g/dl

L 14-18 g/dl; P 12-16 g/dl

2.

Hematokrit

28 vol %

L 40-48 vol%, P 37-43 vol%

3.

Leukosit

6.100/l

5.000-10.000/l

4.

Trombosit

50.000/ mm3

200000-500000 mm3

Kimia Darah

2.5

No

Pemeriksaan

Hasil

Nilai normal

1.

Protein total

7.2 g/dL

6.0-7.8 g/dL

2.

Albumin

2.4 g/dL

3.5-5.0 g/dL

3.

Globulin

4.6 g/dL

2.6-3.4 g/dL

4.

Bilirubin total

3.06 mg/dL

0.1-1.0 mg/dL

5.

Bilirubin direk

1.30 mg/dL

<0.25 mg/dL

6.

Bilirubin indirek

1.76 mg/dL

<0.75 mg/dL

7.

SGOT

99 U/L

<40 U/L

8.

SGPT

41

<41 U/L

9.

Ureum

22 mg/dL

15-39 mg/dL

10.

Kreatinin

0.7 mg/dL

L 0.9-1.3 P 0.6-1.0 mg/dL

11.

Natrium

133 mmol/L

135-155 mmol/L

12.

Kalium

3.3 mmol/L

3.5-5.5 mmol/L

Diagnosis Kerja

Sirosis Hepatis Dekompensata et causa Hepatitis B kronik


Anemia

2.6

Penatalaksanaan
Rawat inap (tirah baring)
Diet Lunak
Medikamentosa
Infus Asering: aminoleban = 1:1 = 12 tpm
Inj. Lasix 1 x 1 amp
Inj. Lefotaxine 2 x 1 gr
Inj. Ondancentron 3 x 8 mg
Inj. Buscopan 3 x 1 amp
Curcuma 3 x 1
Sistenol 3 x 1
Propanolol 2 x 10 mg

2.7

Follow Up

30/6/2013
S

Sesak
(+),
begah

nafas Keadaan umum


perut
TTV:
Compos mentis
100/60 mmHg
78 x/menit

Sirosis
Hepatis Non Farmakologis
dekompensata
Istirahat
Diet Hati II
Farmakologis

Infus

Asering:

aminoleban = 1:1 =

20 x/ menit
36 C

12 tpm
Inj. Lasix 1 x 1 amp
Inj. Lefotaxine 2 x

Kepala & leher:

1 gr
Inj. Ondancentron 3

Conjungtiva palpebra pucat


(+)

x 8 mg
Inj. Buscopan 3 x 1

amp
Curcuma 3 x 1
Sistenol 3 x 1
Propanolol 2 x 10

Sclera ikterik (+)


JVP (5+2) cm H2O
Pembesaran KGB (-)

mg
Thorax
Dbn
Abdomen:
I : cembung (ascites)
P : Tegang, nyeri tekan
epigastrium (+),hepar-lien
sulit ditentukan, undulasi
(+)
P : Shifting dullnes (+)
A : bising usus (+) normal

Extremitas:
Palmar eritema (+) pada
manus dextra sinistra
Edema pada ekstremitas
inferior dextra et sinistra

3/7/2013
S
Sesak
(+),
begah

nafas Keadaan umum


perut
TTV:
Compos mentis
100/70 mmHg
78 x/menit

Sirosis
Hepatis Non Farmakologis
dekompensata
Istirahat
Diet Hati II
Farmakologis

Infus

Asering:

aminoleban = 1:1 =

28 x/ menit

12 tpm
Inj. Lasix 1 x 2 amp
Curcuma 3 x 1
Propanolol 2 x 10

36 C

Kepala & leher:

mg
Fujimin 3 x 2
Letonal 1 x 1

Conjungtiva palpebra pucat


(+)
Sclera ikterik (+)
JVP (5+2) cm H2O
Pembesaran KGB (-)

Thorax
Dbn
Abdomen:
I : cembung (ascites) LP :
103 cm
P : Tegang, nyeri tekan
epigastrium (+),hepar-lien
sulit ditentukan, undulasi
(+)
P : Shifting dullnes (+)
A : bising usus (+) normal

Extremitas:
Palmar eritema (+) pada

manus dextra sinistra


Edema pada ekstremitas
inferior dextra et sinistra

Lab:
Protein total: 6.3
Albumin: 2.2
Globulin 4.1

5/7/13

Keadaan umum
TTV:

Sesak
(+),
begah

nafas Compos mentis


perut
110/80 mmHg

Sirosis
Hepatis Non Farmakologis
dekompensata
Istirahat
Diet Hati II
Rawat jalan
Farmakologis

86 x/menit

Lasix tab 2 x 1

18 x/ menit

Curcuma 3 x 1

360C

Propanolol 2 x 10
Fujimin 3 x 2

Kepala & leher:

Ranitidin 2 x 1

Conjungtiva palpebra pucat


(-)

Letonal 1 x 1

Sclera ikterik (+)


JVP (5+2) cm H2O
Pembesaran KGB (-)

Thorax
Dbn
Abdomen:
I : cembung (ascites), LP:
95 cm
P : Tegang, nyeri tekan
epigastrium (+),hepar-lien
sulit ditentukan, undulasi
(-)
P : Shifting dullnes (+)
A : bising usus (+) normal

Extremitas:
Palmar eritema (+) pada
manus dextra sinistra
Edema pada ekstremitas
inferior dextra et sinistra

BAB III
ANALISIS KASUS

Anamnesis

P.Fisik

Teori
Perut membesar
Kuning (ikterus)
BAK warna seperti teh pekat
Melena
Perut kembung
Perasaan mudah lelah dan
lemas
Nafsu makan Berkurang
Bb menurun
Gang. Pembekuan darah
(epistaksis, perdarahan gusi,
dll)
RPD: Hep. B, Hep. c
R. kebiasaan: alkoholisme
Temuan klinis sirosis meliputi :

Sclera Ikterik

Spider nevi

Eritema Palmaris

Kuku-kuku Muchrche

Pasien
Demam 2 hari SMRS
Perut membesar
Nyeri ulu hati
Mual
Sesak
Mudah lelah dan lemas
Nafsu makan menurun
Mata kuning
BAB hitam
BAK warna air teh
Riwayat Hep.B

Sclera Ikterik +/+


Ascites
Shifting dullness +
Undulasi +
Hepar dan lien sulit diraba

karna ascites
Vena collateral
Kontraktur
Dupuytren Eritema Palmaris
Edema pretibial (pitting
akibat
fibrosis
fasia
oedem)
Palmaris
Ikterik

Ginekomastia(laki-laki)

Atrofi testis(laki-laki)

Splenomegali

Hepatomegali

Asites

Fetor hepatikum

Ikterus

Asterixis-bilateral

Peningkatan

P. laboratorik

dan Darah Rutin


Hb
: 8,7 gr% ()
SGPT,
SGOT
lebih
Leukosit
: 6100 /mm3
meningkat dari SGPT tetapi
Trombo: 50.000/mm3()
Eritrosit :2,80 juta/mm3()
bila
normal
tidak
Hematokrit : 28 vol%()
mengenyampingkan adanya
Kimia Darah
sirosis.
Glukosa
: 110 mg/dl
Protein total : 7.2
Peningkatan alkali fosfatase
Albumin
: 2.4()
Peningkatan
GammaGlobulin
: 4.6()
Bil.
Total
: 3.06()
glutamil transpeptidase
Bil.direct
: 1.30()
Peningkatan bilirubin
Bil. Indirect : 1.76()
OT
: 99()
Peningkatan globulin
PT
: 41
Ureum
: 22
Penurunan albumin
Creatinin
: 0.7
Na
: 133()
Pemanjangan waktu PT
K+
: 3.3()
Anemia
Cl
: 97

Pemeriksaan barium meal

SGOT

dapat melihat varises

Pemeriksaan Imaging seperti


CT scan dan MRI utuk
melihat perubahan morfologi
hati

Tirah baring

Tirah baring
Diet hati II
Diet rendah garam (5,2 g atau
Farmakologi:
90 mmol/hri)
Infus Asering: aminoleban =

Penatalaksanaan

Diuretic:
1. Spironolakton 100-200 mg
1x1
2. Furosemid 20-40 mg/hari
Propanolol (untuk perdarahan

e.c varises esophagus)


Antibiotic: sefotaksim
amksisilin
aminoglikosida

iv,
atau

1:1 = 12 tpm
Inj. Lasix 1 x 1 amp
Inj. Lefotaxine 2 x 1 gr
Inj. Ondancentron 3 x 8 mg
Inj. Buscopan 3 x 1 amp
Curcuma 3 x 1
Sistenol 3 x 1
Propanolol 2 x 10 mg

Transplantasi hati (sesuai child


pugh kriteria)

Sirosis hati secara klinis dibagi menjadi sirosis hati kompensata yang berarti belum
adanya gejala klinis yang nyata dan sirosis hati dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan
tanda klinis yang jelas. Sirosis hati kompensata merupakan kelanjutan dari proses hepatitis
kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaannya secara klinis, tetapi dapat dibedakan
melalui pemeriksaan biopsi hati.4
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium disimpulkan
bahwa pasien mengalami sirosis hepatis dekompensata et causa hepatitis b kronik. Dari
anamnesa pasien memiliki riwayat hepatitis b (+) 7 tahun yll yang memiliki peranan terhadap
timbulnya sirosis hepatis pada pasien. Dari anamnesis dan hasil pemeriksaan fisik ditemukan
stigmata dari sirosis hepatis yaitu ascites, edema ekstremitas, palmar eritema, inverted
albumin-globulin ratio, dan collateral vein, serta melena. Semua temuan ini sugestif untuk
keberadaan sirosis hepatis dan memenuhi lima dari tujuh tampilan klinis sirosis hepatis
(splenomegali, eritema palmar, collateral vein, ascites, spider nevi, inverted albumin-globulin
ratio, hematemesis-melena).
Asites dan edema pada kedua tungkai pada pasien ini ditandai dengan adanya keluhan
perut membuncit yang semakin lama semakin membesar hingga ada penonjolan di
umbilicus, pembesaran pada perut diikuti dengan pembengkakan pada kedua tungkai. Pada
perkusi abdomen didapatkan adanya tanda shifting dullness yang mana merupakan tanda
khas dari asites. Asites yang terjadi dapat dipikirkan pada kelainan pada organ paru, jantung,
ginjal, atau hati. Asites bisa terjadi disebabkan penimbunan cairan dalam rongga peritoneum
akibat hipertensi porta dan hipoalbuminemia.
Pada pasien dengan sirosis hepatis, edema yang pertama akan muncul adalah pada
bagian abdomen. Hal ini dapat dijelaskan karena pada sirosis hepatis terjadi jaringan fibrosis
yang mengakibatkan terjadinya tahanan pada vena porta akibatnya terjadi peningkatan
tekanan dari vena tersebut. Akibat dari peningkatan ini, terjadi pengalihan aliran darah ke
pembuluh darah mesenterika sehingga terjadi filtrasi bersih cairan keluar dari pembuluh
darah ke rongga peritoneum. Cairan tersebut mengandung albumin yang tinggi sehingga pada
darah terjadi penurunan kadar albumin. Pada keadaan lanjut karena ada kerusakan pada

hepatosit yang menyebabkan terjadinya kegagalan fungsi hati, salah satunya adalah gagalnya
sintesis dari albumin. Akibat ketidakseimbangan yang terjadi, lama kelamaan asites yang
terjadi akan semakin jelas hingga mendorong ke lokus minorus sehingga terjadi edema
hingga hernia pada skrotum, umbilikus, atau diafragma.2,5,6
Pada pasien ini juga terjadi peningkatan temperatur tubuh (febris). Peningkatan
temperatur tubuh bisa dihubungkan dengan infeksi bakteri maupun virus, oleh infeksi saluran
kencing, infeksi saluran pernafasan, toksemia,

karena keganasan atau reaksi terhadap

pemakaian obat. Pada pasien ini terjadinya demam dipikirkan karena virus. Hal ini
disebabkan karena pada hasil laboratorium, jumlah leukosit tidak mengalami peningkatan
atau masih dalam nilai normal, dan demam yang terjadi mendadak lebih sering disebabkan
oleh infeksi virus.7,8
Eritema palmar, seperti juga spider nevi, berhubungan dengan paparan jaringan
terhadap estrogen yang meningkat. Kombinasi dari penurunan sintesis steroid hormonebinding globulin dan penurunan klirens estrogen endogen oleh hati mengalami kerusakan
menyebabkan peningkatan estrogen. Androgen, yang mengalami peningkatan waktu paruh,
juga dapat berubah menjadi esrogen melalui aromatisasi perifer, yang meningkatkan kadar
estrogen lebih lanjut.4,5 Vena kolateral merupakan hasil dari hipertensi porta, yang disebabkan
peningkatan resistansi intrahepatis. Darah yang tidak dapat melewati sistem porta akan
berjalan di vena-vena di sekitar vena porta, menyebabkan shunting porta-sistemik.4,5
Hematemesis-melena disebabkan oleh hipertensi porta. Hipertensi porta menyebabkan
dilatasi vena-vena kolateral yang menghubungkan aliran balik darah dari nyaris seluruh
bagian tractus gastrointestinalis. Salah satu jejaring vena yang dapat mengalami dilatasi
sebagai akibat hipertensi porta adalah jejaring vena oesophagus. Ruptur pada varises yang
terjadi pada jejaring vena ini dapat berujung pada hematemesis maupun melena.5
Pada pasien sirosis dapat juga terjadi trombositopenia. Salah satu mekanisme
trombositopenia pada pasien sirosis hati adalah terjadi peningkatan pooling trombosit pada
splenomegali, sebagai akibat perubahan hemodinamik yang disebabkan oleh hipertensi
portal. Trombositopenia pada sirosis hepatis sering diakibatkan oleh adanya hipersplenisme,
disfibrinogenemia dan penurunan produksi trombopoietin oleh hati. Hati merupakan tempat
sintesis plasminogen dan anti-plasmin. Dan sebaliknya berfungsi untuk membersihkan
activator plasminogen dan membuat tidak aktif beberapa faktor pembekuan. Maka dapat
dimengerti, mengapa pada penyakit hati dapat terjadi disfibrinogenemia dimana hal ini juga

menyebabkan terjadinya trombositopenia. Akan tetapi hal ini jarang menyebabkan trombosit
sampai kurang dari 50.000/mL kecuali jika diiringi suatu koagulopati oleh sebab yang lain.9
Anemia pada penyakit kronis ditandai dengan pemendekan masa hidup eritrosit,
gangguan metabolisme besi, dan gangguan produksi eritrosit akibat tidak efektifnya
rangsangan eritropoetin. Pada umumnya anemia derajat sedang, dengan mekanisme yang
belum jelas. Gambaran klinis pada anemia karena kelainan kronis terdiri dari berbagai
macam, yaitu kadar Hb yang berkisar 7-11 gr/dl, kadar Fe serum menurun disertai TIBC yang
rendah, cadangan Fe jaringan tinggi, dan produksi sel darah merah berkurang. Pada anemia
derajat ringan dan sedang, sering kali gejalanya tertutup oleh gejala penyakit dasarnya karena
kadar Hb sekitar 7-11 gr/dl umumnya asimtomatik. Anemia pada penyakit kronis tidak
menunjukkan kelainan yang khas, diagnosis didapat dari hasil laboratorium. 10 Anemia pada
pasien ini dipikirkan karena perdarahan gastrointestinal dan kurangnya asupan makanan.
Inverted albumin-globulin ratio terjadi karena penurunan produksi albumin oleh hati
yang disertai peningkatan produksi globulin. Hati merupakan tempat produksi protein seperti
albumin dan globulin, sehingga kerusakan hepar akan membuat produksi protein ter sebut
berkurang. Globulin tidak hanya diproduksi di hepar saja tapi juga dapat diproduksi oleh
sistem RES sehingga pada kerusakan hepar akan terjadi penurunan albumin dan peningkatan
globulin.
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium yang dijelaskan diatas, pasien ini
dapat didiagnosis mengalami sirosis hepatis karena memenuhi ascites, edema ekstremitas,
palmar eritema, inverted albumin-globulin ratio, dan collateral vein, dan melena. Akan tetapi
pada pasien ini masih belum dilakukan USG abdomen untuk melihat aliran darah vena porta
dan ukuran dari hati dan limpanya. Pada pasien juga dapat dianjurkan pemeriksaan radiologi
barium meal untuk melihat varises dan konfirmasi adanya hipertensi porta.

Patofisiologi

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Definisi
Sirosis hati (liver cirrhosis) merupakan perjalanan patologi akhir berbagai macam
penyakit hati. Istilah sirosis diperkenalkan pertama kali oleh Laennec pada tahun1826.
Diambil bahasa Yunani scirrhus atau kirrhos yang artinya warna oranye dan dipakai untuk
menunjukan warna oranye atau kuning kecoklatan permukaan hati yang tampak saat otopsi.
Batasan fibrosis sendiri adalah penumpkan berlebihan matriks ekstaselular (seperti
kolagen, glikoprotein, proteoglikan) dala hati.
Menurut SHERLOCK; secara anatomis sirosis hati ialah terjadinya fibrosis yang
sudah meluas dengan terbentuknya nodul-nodul pada semua bagian hati, tidak hanya pada
satu lobulus saja.
Menurut GALL; sirosis hati ialah penyakit hati kronis dimana terjadi kerusakan sel
hati ynag terus menerus, dan terjadi regenerasi noduler serta proliferasi jaringan ikat yang
difus untuk menahan terjadinya nekrose parenkim atau timbulnya inflamasi.
1.2. Klasifikasi
Klasifikasi secara morfologi sirosis hati dibagi berdasarkan besar kecilnya nodul yaitu:
1. Makronoduler (ireguler, multilobuler).
2. Mikronoduler (regular, monolobuler).
3. Kombinasi (noduler dan mikronoduler)
Klasifikasi berasarkan etiologi :
1. Penyakit infeksi
2. Penyakit keturunan dan metabolik
3. Obat dan toksin

4. Penyebab lain atau tidak terbukti


1.3. Etiologi
Penyebab pasti sirosis hati belum jelas, tapi di antaranya disebutkan:
1. Factor kekurangan gizi.
Protein hewani terutama kholin dan methionin memegang peranan penting, demikian
pula bahan makanan lainnya seperti vitamin B kompleks, tokoferol, cystine yang jika
kekurangan dapat menyebabkan terjadinya sirosis.
2. Hepatitis virus.
Hepatitis kronis menyebabkan terjadinya nekrose sel hati yang akhirnya terjadi sirosis
hati.
3. Zat hepatotoksik
Obat obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan kerusakan hati secara akut berupa
nekrosis atau degenerasi lemak, secara kronis berupa sirosis hati. Pemberian zat
hepatotoksik terus menerus akan menyebabkan kerusakan hati yang merata dan
akhirnya terjadi sirosis hati. Misalnya alkohol yang berefek penimbunan lemak pada
hati, etanol menyebabkan nekrosis dan distorsi dalam jaringan hati.
4. Penyakit Wilson
Penyakit yang jarang ditemukan, biasanya pada orang muda ditandai sirosis hati,
degenerasi basal ganglia dari otak, dan terdapat cincin cokelat kehijauan (Kayser
Fleischer Ring) pada kornea. Diduga disebabkan oleh defisiensi bawaan
seruloplasmin yang juga berhubungan dengan penimbunan tembaga dalam jaringan
hati.
5. Hemokromatosis
Dua kemungkinan timbulnya hemokromatosis yaitu:
1. Penderita mengalami kenaikan absorbs Fe sejak lahir.
2. Didapat setelah lahir (acquisita) pada penderita penyakit hati alkoholik yang
menyebabkan bertambahnya absorbsi dari Fe sehingga menimbulkan sirosis hati.
6. Sebab sebab lain;
1. Kelemahan jantung yang lama mengakibatkan sirosis kardiak.
2. Obstruksi saluran empedu menyebabkan sirosis biliaris primer.
1.4. Patogenesis

Terjadinya fibrosis hati menggambarkan kondisi ketidak keseimbangan antara


produksi matriks ekstraseluler dan proses degradasinya. Matriks ekstraseluler, yang
merupakan tempat perancah (scaffolding) normal untuk hepatosit, tediri dari jaringan kolagen
(terutama tipe I, III, dan V), glikoprotein, dan proteoglikan. Sel-sel stelata, berada dalam
ruangan perisinusoidal, merupakan sel yang penting untuk memproduksi matrik ekstraseluler.
Sel-sel stelata, dulu bernama sel-sel Ito, juga liposit, atau sel-sel perisinusoidal, dapat mulai
diaktifasi menjadi sel pembentuk kolagen oleh berbagai faktor parakrin. Beberapa faktor
dapat dilepas atau diproduksi oleh sel-sel hepatosit, sel-sel Kupfer, dan endotel sinusoid pada
saat terjadi kerusakan sel hati. Sebagai contoh, peningkatan kadar TGF -1 (transforming
growth factor -1) dijumpai pada pasien dengan hepatitis C kronik dan sirosis. TGF -1,
selanjutnya kan merangsang sel-sel stelata yang aktif untuk memproduksi kolagen tipe I.
Peningkatan deposisi kolagen dalam ruang Disse (ruang antara hepatosit dan
sinusoid) dan pengurangan ukuran fenestra endotel akan menimbulkan kapilarisasi sinusoid.
Sel-sel stelata yang aktif juga mempunyai sifat kontriksi. Kapilarisasi dan kontriksi sinusoid,
oleh sel-sel stelata, dapat memacu hipertensi portal. Pemakaian obat-obat dimasa depan untuk
mencegah timbulnya fibrosis ini dapat difokuskan terutama untuk menekan terjadi
peradangan hati, menghambat aktivasi sel-sel stelata, menghb ambat aktivitas fibrogenesis sel
stelata dan merangsang degradasi matriks.
1.5. Manifestasi klinis
1.5.1.

Gejala-gejala Sirosis
Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga ditemukan pada waktu pasien
melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau kerena kelainan penyakit lain. Gejala awal
sirosis (kompensata) meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang,
perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, pada laki-laki dapat timbul impotensi,
testis mengecil, buah dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas.
Bila sudah lanjut (sirosis dekompensata), gejala-gejala yang lebih menonjol terutama
bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi hilangya rambut badan,
gangguan tidur, dan demam tak begitu tinggi. Dapat disertai gangguan pembekuaan darah,
perdarahan gusi, epiktasis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih seperti teh pekat,
muntah darah atau/dan melena, serta perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar
konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma.

1.5.2.

Temuan Klinis

Temuan klinis sirosis meliputi :

Spider nevi

Splenomegali

Eritema Palmaris

Hepatomegali

Kuku-kuku Muchrche

Asites

Kontraktur

Fetor hepatikum

fibrosis fasia Palmaris

Ikterus

Ginekomastia

Asterixis-bilateral

Atrofi testis

Dupuytren

akibat

Gambar 1. gambaran klinis pada sirosis hati

1.5.3.

Gambaran Laboratoris

Adanya sirosis dicurigai apabila ditemukan kelaninan pemeriksaan laboratorium

meliputi :

Peningkatan SGOT dan SGPT, SGOT lebih meningkat dari SGPT tetapi bila normal
tidak mengenyampingkan adanya sirosis.

Peningkatan alkali fosfatase

Peningkatan Gamma-glutamil transpeptidase

Peningkatan bilirubin

Peningkatan globulin

Pemanjangan waktu PT

Penurunan albumin

Anemia

Pemeriksaan barium meal dapat melihat varises

Pemeriksaan Imaging seperti CT scan dan MRI utuk melihat perubahan morfologi
hati

1.6. Komplikasi
1. Edema dan asites

Dengan makin beratnya sirosis, terjadi pengiriman sinyal ke ginjal untuk

melakukan retensi garam dan air dalam tubuh. Garam dan air yang berlebihan, pada
awalnya akan berkumpul dalam jaringan di bawah kulit disekitar tumit dan kaki,
karena efek gravitasi pada saat duduk atau berdiri dan berkurang pada malam hari
sebagai hasil menghilangnya efek gravitasi pada waktu tidur. Dengan makin beratnya
sirosisdan makin banyak air dan garam yang diretensi, air akhirnya akan berkumpul
dalam rongga abdomen antara diding perut dan organ dalam perut. Penimbunan
cairang ini disebut asites yang berakibat pembesaran perut, keluhan tak enak dalam
perut dan peningkatan berat badan.
2. Perdarahan gastrointestinal akibat hipertensi portal sehingga timbul varises esophagus
yang gampang pecah.

Gambar 2. obstruksi aliran darah dalam sirkulasi portal,


dengan hipertensi portal dan pengalihan aliran darah ke jalur
vena yang lain, termasuk vena di lambung dan esofagus.
Pada pasien sirosis, jaringan ikat dari hati menghambat aliran darah dari usus

yang kembali ke jantung. Kejadian ini dapat meningkatkan tekanan dalam vena porta
(hipertensi portal). Sebagai hasil peningkatan aliran darah dan peningkatan tekanan

vena porta ini, vena-vena di bagian bawah esofagus dan bagian atas lambung akan
melebar, sehingga timbul varises esofagus dan lambung. Makin tinggi tekanan
portalnya, makin besar varisesnya, dan makin besar kemungkinannya pasien
mengalami perdarahan varises. Perdarahan varises biasanya hebat dan tanpa
pengobatan yang cepat dapat berakibat fatal. Keluhan perdarahan varises bisa berupa
muntah darah atau hematemesis. Bahan muntahan dapat berwarna merah bercampur
bekuan darah, atau seperti kopi (coffee grounds appearance) akibat efek asam
lambung terhadap darah. Buang air besar berwarna hitam lembek (melena), dan
keluhan lemah dan pusing pada saat posisi berubah (orthostatic dizziness atau
fainting), yang disebabkan penurunan tekanan darah mendadak saat melakukan
perubahan posisi berdiri dari berbaring.
3. Ensefalopati hepatik

Beberapa protein makanan yang masuk ke dalam usus akan digunakan oleh

bakteri-bakteri normal usus. Dalam proses pencernaan ini, beberapa bahan akan
terbentuk dalam usus. Bahan-bahan ini sebagian akan terserap kembali ke dalam
tubuh. Beberapa diantaranya, misalnya amonia, berbahaya terhadap otak. Dalam
keadaan normal bahan-bahan toksik dibawa dari usus lewat vena porta masuk ke
dalam hati untuk didetoksifikasi. Pada sirosis, sel-sel hati tidak berfungsi normal, baik
akibat kerusakan maupun akibat hilangnya hubungan normal sel-sel ini dengan darah.
Akibatnya bahan-bahan toksik dalam darah tidak dapat masuk sel hati,sehingga
terjadi akumulasi bahan ini dalam darah.

Jika bahan-bahan ini terkumpul cukup banyak, fungsi otak akan terganggu.

Kondisi ini disebut ensefalopati hepatik. Tidur lebih banyak pada siang dibanding
malam (perubahan pola tidur) merupakan tanda awal ensefalopati hepatik. Keluhan
lain dapat berupa mudah tersinggung, tidak mampu konsentrasi atau menghitung,
kehilangan memori, bingung, dan penurunan kesadaran bertahap. Akhirnya
ensefalopati hepatik yang berat dalam menimbulkan koma dan kematian.
4. Sindroma hepatorenal

Pasien dengan sirosis yang memburuk dapat berkembang menjadi sindroma

hepatorenal. Sindroma ini merupakan komplikasi serius Karena terdpat penurunan


fungs ginjal namn ginjal secara fisik sebenarnya tidak mengalami kerusakan sama
sekali. Penurunan fungsi ginjal ini disebabkan perubahan aliran darah ke dalam
ginjal. Batasan sindroma hepatorenal adalah kegagalan ginjal secara progresif ntuk

membersihkan bahan-bahan toksik dari darah dan kegagalan memproduksi urin


dalam jumlah adekuat, meskipun fungsi lain ginjal yang penting, misalnya retensi
garam tidak terganggu. Bila fungsi hati membaik atau dilakukan transplantasi hati,
ginjal akan bekerja normal lagi.
5. Karsinoma hepatoseluler. Beberapa penderita sirosis ditemukan juga karsinoma hati
akibat hiperplasi yang menjadi karsinoma.
6. Infeksi akibat penurunan daya tahan tubuh seperti peritonitis, pneumoni, sistitits,
endokarditis, glomerulonefritis, pielonefritis, sepsis.

1.7. Pengobatan

Etiologi sirosis mempengaruhi penanganannya. Terapi ditujukan mengurangi


progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakkan hati,
pencegahan dan penanganan komplikasi. Bila tidak ada koma hepatik diberikan diet
yang mengandung protein 1g/Kg BB dan kalori sebanyak 2000-3000 kkal/hari.

Tatalaksana pasien sirosis kompensata ditujukan untuk mengurangi progresi


kerusakkan hati. Terapi ini ditujukan untuk menghilangkan etiologi, diantaranya :
alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik dan dapat mencederai hati.

Hepatitis autoimun bisa diberikan kortikosteroid atau imunosupresif. Pada


hemokromatosis flebotomi setiap minggu sampai konsentrasi besi menjadi normal
dan diulang sesuai kebutuhan. Pada penyakit non-alkoholik; menurunkan berat badan
akan mencegah terjadinya sirosis.

Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin merupakan terapi utama.


Lamvudin sebagai terapi lini pertama diberikan 100 mg secara oral setiap hari selama
setahun. Interferon alfa diberikan secara subkutan 3 MIU, tiga kali seminggu 4-6
bulan, namun ternyata juga banyak yang kambuh.

Pada hepatitis C kronik; kombinasi interferon dan ribavirin merupakan terapi


standar. Interferon diberikan secara suntikan subkutan dengan dosis 5 MIU tiga kali
seminggu dan dikombinasi ribavirin 800-1000 mg/hari selama 6 bulan.

Pada pengobatan fibrosis hati; pengobatan antifibrotik pada saat ini lebih
mengarah kepada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di masa datang,
menempatkan sel stelata sebagai target pengobatan dan mediator fibrogenik akan
merupakan terapi utama.

1.8. Pengobatan sirosis dekompensata


1.8.1. Asites

Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2
gram atau 90 mmol/hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-obatan diuretic.
Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg sekali sehari.
Penurunan berat badan dimonitor 0.5kg/hari, tanpa adanya edema kaki atau 1Kg/hari
dengan adanya edema kaki. Bilamana pemberian spironolakton tidak adekuat bisa
dikombinasi dengan furosemid 20-40 mg/hari dengan dosis maksimal 160mg/hari.
Parasintesis dilakukan jika asites terlampau besar. Pengeluaran asites bisa sampai 4-6
liter dan dilindungi dengan pemberian albumin.

1.8.2. Ensefalopati hepatik

Laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan ammonia. Neomisin bisa


digunakan unuk menurangi bakteri sus penghasil ammonia, diet prtein dikurangi
sampai 0,5 gr/kg berat badan per hari, terutama diberikan yang kaya asam amino
rantai cabang.

1.8.3. Varises esophagus

Sebelum berdarah dan sesudah berdarah dapat diberikan obat beta-blocker

(propanolol). Waktu perdarahan akut, bisa diberikan prearat somatostatin atau oktreotid,
diteruskan dengan tindakan skleroterapi aau ligasi endoskopi.
1.8.4. Peritonitis bakerial spontan

Diberikan

antibiotik

seperti

sefotaksim

intravena,

amoksisilin,

atau

aminoglikosida.
1.8.5. Sindrom hepaorenal

Mengatasi perubahan sirkulasi darah di hati, mengatur keseimbangan garam

dan air.
1.8.6. Transpatasi hati

Terapi definitif pada pasien sirosis deompensata. Namun sebelum dilakukan

transplantasi ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi resipien dahulu.


1.9. Prognosis

Prognosis pasien sirosis tergantung ada tidaknya komplikasi sirosis. Pasien

sirosis kompensata mempunyai harapan hidup lebih lama, jika tidak berkembang menjadi
sirosis dekompensata.

Untuk pasien sirosis hati yang direncanakan tindakan bedah, penilaian

prognosis pasien dilakukan dengan melakukan penilaian skor menurut Child-Turcotte-Pough


(skor CTP). Sementara untuk penilaian pasien sirosis yang direncanakan transplantasi hati
menggunakan skor MELD (Model for End-stage Liver Disease) atau PELD (Pediatric for
End-stage Liver Disease).

CTP score :

Klasifikasi CTP

Bilirubin (mg/dL)

23

>3

Pasien PBC dan PSC

<2

4 10

>10

<4

2.8 3.5

<2.8

46

>6

1.8 2.3

>23

Sedikit

Sedang atau

terkontrol obat
12

berat
34

Albumin (g/dL)

>3

PT memanjang

>3

INR

<1

Asites

Ensefalopati

atau

Skor MELD atau PELD :

Skor MELD : 3.8*log (bilirubin) + 11,2*log (INR) + 9.6* (kreatinin) +6.4

Interval skor MELD = 6 40

Menurut SHERLOCK, sirosis hati bukanlah penyakit yang progresif. Dengan

terapi yang adekuat dapat terjadi perbaikan. Menurut READ, STEIGMAN jika sudah
terdapat kegagalan hati dan hipertensi portal prognosanya jelek.

DAFTAR PUSTAKA

1. Tarigan P. Sirosis Hati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ketiga. Jakarta; Balai
penerbit FK UI, 1996. 271-9

2. Sherlock S. Diseases of The Liver and Biliary System. 11th Ed. London : Blackwell
Science, 2002 ; 365

3. Nurdjanah S. Sirosis Hati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi 4. Jakarta. Pusat
Penerbitan Departmen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia.
2006. 445-8

4. Compean DG, Quintana JO, Gonzalez JA, Garza HM. Liver cirrhosis and diabetis: Risk
factors, pathophysiology, clinical implications and management. World J Gastroenterol
2009; 15(3): 280-8
5. Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo Dl, Jamerson JL. Harrisons
principles of internal medicine. 16th edition. New York: McGraw-Hills, 2005. 1483-95

6. Underwood J. Patologi Umum dan Sistemik. Volume II. Edisi 2. Jakarta : EGC, 1998. 489

7. Nelwan RHH. Demam: tipe dan pendekatan. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.
Edisi 4. Pusat Penerbitan Departmen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Univesitas Indonesia. 2006. 1697-9

8. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi 4. Pusat Penerbitan Departmen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia. 2006. 1709-13

9. Hidayat G, Ratnasari N, Maduseno S, Purnama PB, Nurdjanah S, Indrati F, dkk. Korelaso


skor Apri dengan tingkat keparahan penyakit pada penderita sirosis hati. Sub-Bagian
Gastroenterologi-Hepatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada/ RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. 2009

10. Supandiman I, Fadjari H. Anemia pada penyakit kronis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid III. Edisi 4. Pusat Penerbitan Departmen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Univesitas Indonesia. 2006. 641-2

Anda mungkin juga menyukai