II.
1. Bahwa menurut UU No. 9 Tahun 2009, Pasal 41 ayat (7) menyatakan bahwa
Peserta didik harus ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan harus
menanggung biaya tersebut sesuai dengan kemampuan peserta didik, orang tua,
atau pihak yang bertanggung jawab membiayainya.
2. Bahwa menurut UU No. 9 Tahun 2009, Pasal 41 ayat (8) menyatakan Biaya
penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) yang
ditanggung oleh seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan menengah
berstandar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan pada
BHPP atau BHPPD paling banyak 1/3 (sepertiga) dari biaya operasional.
Bahwa dengan kenyataan seperti itu, Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) UU No. 9
Tahun 2009 pada akhirnya dapat menimbulkan beban pada peserta dalam hal
pendanaan pada Badan Hukum Pendidikan. Hal itu disebabkan karena biaya
penyelenggaraan dari Badan Hukum Pendidikan tersebut harus ikut ditanggung
oleh peserta didik, orang tua, ata pihak yang bertanggung jawab membiayainya.
Dengan demikian hal tersebut menimbulkan akibat bahwa beban pembiayaan
sekolah harus ditanggung oleh peserta didik yang seharusnya biaya tersebut harus
ditanggung oleh pemerintah. Karena pemerintah harus berkewajiban dan
menjamin pendidikan dasar 9 tahun yang layak bagoi setiap warga negara. Hal
tersebut bisa dikatakan sebagai lepas tangan dari tanggung jawab pemerintah
dalam hal pembiayaan pendidikan dari pemerintah kepada masyarakat.
Selain itu bunyi pasal 41 ayat (7) Undang-Undang No. 9 Tahun 2009
menyatakan bahwa peserta didik harus menanggung biaya penyelenggaraan
pendidikan sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Hal tersebut dapat
menimbulkan penafsiran yang berbeda didalam badan hukum pendidikan
mengenai besarnya biaya pendidikan yang harus ikut ditanggunng oleh peserta
didik. Dengan demikian sekolah yang telah menjadi Badan Hukum Pendidikan
dapat menentukan besar kecilnya biaya pendidikan kepada peserta didik sesuai
dengan kewenangan sekolah tanpa adanya aturan yang mengatur tentang hal
tersebut. Bila hal tersebut dilaksanakan maka masyarakat yang tidak mampu atau
masyarakat menengah ke bawah kemungkinan tidak akan mampu membayar
biaya pendidikan yang telah ditentukan oleh sekolah tersebuut sehinga peserta
didik mengalami putus sekolah dan tidak dapat menikmati pendidikan yang layak
dari pemerintah.
IV.
POKOK-POKOK PERMOHONAN
Bahwa Pemohon mempunyai legal standing dalam perkara pengajuan permohonan ini;
1. Bahwa Pemohon telah mengalami kerugian konstitusional, karena Pemohon
sebagai orang tua didik telah kehilangan hak atas pendidikan yang layak bagi
putra-putrinya sebagaimana Pasal 31 ayat (1) UUD 1945.
2. Bahwa Pemohon merasa menjadi korban dari ketidakadilan dari UndangUndang BHP tersebut dikarenakan Pemohon merasa pemerintah telah
melepaskan tanggung jawab biaya pendidikan kepadanya.
3. Bahwa Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) UU NO. 9 Tahun 2009, berpotensi
untuk menimbulkan beban kepada peserta didik atau orang tua dalam hal
pembiayan baiaya pendidikan. Karena peserta didik atau orang tua harus ikut
dalam mengadakan biaya penyelenggaraan sekolah yang telah menjadi Badan
Hukum Pendidikan, dan hal itu akan menimbulkan bebean finansial bagi peserta
didk dalam memperoleh pendidkan yang layak.
V.
4. Bahwa Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) UU NO. 9 Tahun 2009, berpotensi
menimbulkan adannya diskriminasi dalam memperoleh pendidikan yang layak.
Orang tua peserta didik yang tidak mampu membayar biaya pendidikan tersebut
akan memilih untuk tidak menyekolahkan anaknsebut, sehingga peserta didik
yang bersangkutan dapat mengalami putus sekolah.
5. Bahwa Pasal 22 ayat (1) d UU NO. 16 Tahun 2004 tersebut telah merugikan
Pemohon secara aktual, karena :
a. Pemohon merasa merupakan korban dari lepas tangan tanggung jawab
pemerintah dalam bidang pendidikan.
b. Pemohon telah kehilangan hak untuk dapat menikmati pendidikan yang
layak.
c. Pemohon telah merasa mengalami diskriminasi dalam bidang pendidikan,
khususnya dalam hal pendaftaran peserta didik ke sekolah yang telah
menjadi Badan Hukum Pendidikan.
6. Ketentuan Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) UU No. 9 Tahun 2009, merupakan
pasal yang potensial dikualifikasi melanggar prinsip penghormatan dan
pengakuan terhadap hak asasi manusia, dalam hal ini hak untuk memperoleh
pendidikan yang layak. Dengan perumusan Pasal yang demikian, maka Pasal a
quo tidak proporsional dan berlebihan dan dengan sendirinya melanggar Pasal
31 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Provisi
1. Bahwa mengingat Pasal 58 UU Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa
Putusan Mahkamah tidak berlaku surut, maka untuk mencegah terjadinya
pelanggaran terhadap hak konstitusional Pemohon. Pemohon memohon agar
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menerbitkan Putusan Sela yang
memerintahkan penundaan bagi keberlakuan UU BHP tersebut dan merevisi isi
dari Undang-Undang tersebut terutama pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) yang
menjadi tuntutan Pemohon.
2. Adalah benar bahwa pemeriksaan perkara pengujian undang-undang sebagaimana
dikatakan dalam keterangan pers Ketua Mahkamah Konstitusi baru-baru ini
adalah bersifat abstrak, yakni menguji pasal tertentu dari suatu undang-undang
dengan pasal tertentu dari UUD 1945, namun patut disadari bahwa subyek hukum
pemohon yang mengajukan perkara pengujian undang-undang berkewajiban
untuk mendalilkan bahwa telah ada hak konstitusionalnya yang
bersifat kongkrit dan faktual yang dilanggar dengan berlakunya suatu undangundang. Dengan cara itulah subyek hukum itu baru dianggap memiliki legal
standing untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang. Tanpa bukti
kongkrit dan faktual seperti itu, maka subyek hukum tidaklah memiliki legal
standing untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang. Karena itu
tidaklah sepadan dan sebanding, jika permohonan yang wajib dibuktikan telah
ada kerugian hak konstituional, yang berarti perkara dimulai dengankasus yang
nyata dan faktual terjadi, namun proses pemeriksaan pengujian justru
mengabaikannya dan memandang perkara sebagai semata-mata bersifat
abstrak. Kemudian dengan cara pandang abstrak seperti itu, Mahkamah
Konstitusi tidak diberi kewenangan oleh undang-undang untuk memberikan
putusan provisi dalam perkara pengujian undang-undang. Kekosongan
pengaturan mengenai putusan provisi, selain bertentangan dengan norma dasar
keadilan yang justru harus menjiwai perumusan norma-norma hukum, tetapi juga
Hukum Pendidikan atau terdapat aturan mengenai besar kecilnya biaya pendidkan
yang harus ditanggung peserta didik secara proporsional dan berkeadilan.
5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.
Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan
yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)
Hormat Pemohon
Dedi Triyanto