Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar belakang
Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan

masalah kesehatan masayarakat yang serius di berbagai Negara di seluruh dunia.


Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas. Akan tetapi, dapat
bersifat menetap dan mengganggu aktivitas bahkan kegiatan harian. Produktivitas
menurun dan dapat menimbulkan disability (kecacatan), sehingga menambah
penurunan produktivitas

serta menurunkan kualitas

hidup. Kesepakatan

bagaimana menangani asma dengan benar yang dilakukan oleh National Institute
of Health National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI) bekerja sama dengan
World Health Organization (WHO) bertujuan memberikan petunjuk bagi para
dokter dan tenaga kesehatan untuk melakukan penatalaksanaan asma yang optimal
sehingga menurunkan angka kesakitan dan kematian asma.
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia

lobularis

yaitu

suatu

peradangan pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai


bronkiolus dan juga mengenai alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anakanak dan orang dewasa, yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti
bakteri, virus, jamur dan benda asing. Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan
oleh mikroorganisme, tetapi ada juga sejumlah penyebab non infeksi yang perlu
dipertimbangkan. Bronkopneumonia lebih sering merupakan infeksi sekunder
terhadap berbagai keadaan yang melemahkan daya tahan tubuh tetapi bisa juga
sebagai infeksi primer.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk menyelesaikan tugas Kepaniteraan Klinik Senior bagian Paru di
RSUD DR. Achmad Mochtar Bukittinggi.

1.2.2 Tujuan Khusus


1. Untuk mengetahui dan memahami penyakit asma bronkial.
2. Untuk mengetahui dan memahami penyakit bronkopneumonia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ASMA BRONKIAL


2.1.1 Defenisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan
hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa
mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau
dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas,
bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.

Gambar 1. Inflamasi bronkus dan bronkus normal


2.1.2 Patogenesa
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi
berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel
epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau

pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada
berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten.
Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asma
nonalergik, asma kerja dan asma yang dicetuskan aspirin.

Gambar 2. Inflamasi dan remodeling pada asma


1. Inflamasi Akut
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain
alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri
atas reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe
lambat.
a. Reaksi Asma Tipe Cepat
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi
degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed
mediator seperti histamin, protease dan newly generated mediator seperti
leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos
bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.
b. Reaksi Fase Lambat
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan
pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.

2. Inflamasi Kronik
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut
ialah limfosit T, eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos
bronkus.
2.1.3

Faktor Resiko

Secara umum factor resiko asma dipengaruhi atas factor genetic dan factor
lingkungan.
a. Faktor Genetik
1.) Atopi/alergi
Asma adalah penyakit yang diturunkan telah terbukti dari berbagai penelitian.
Predisposisi

genetik

untuk

berkembangnya

asma

memberikan

bakat/

kecenderungan untuk terjadinya asma.


2.) Hiperaktivitas bronkus
Saluran napas sensitive terhadap berbagai rangsangan allergen maupun iritan.
3.) Jenis kelamin
4.) Ras/etnik
5.) Obesitas
b. Faktor Lingkungan dan faktor lain
Faktor lingkungan dan faktor lain adalah faktor yang mencetuskan
eksaserbasi atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap seperti:
1) Alergen di dalam dan di luar ruangan
2)

Polusi udara di dalam dan di luar ruangan

3)

Infeksi pernapasan

4)

Allergen makanan

5)

Allergen obat-obatan tertentu

6)

Bahan yang mengiritasi

7)

Exercise dan hiperventilasi

8)

Perubahan cuaca

9)

Sulfur dioksida

10) Makanan, aditif (pengawet, penyedap, pewarna makanan),

11) Ekspresi emosi yang berlebihan


12) Asap rokok
13) Status ekonomi
14) Iritan (parfum, bau-bauan merangsang, household spray)

2.1.4

Gambar 3. Mekanisme dasar kelainan asma


Diagnosis Asma

Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa
batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan
cuaca. Anamnesis yang baik cukup membantu diagnosis ditambah dengan
pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal
paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.
1. Anamnesis, didapatkan gejala :
1)

Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan

2)

Gejala berupa batuk , berdahak, sesak napas, rasa berat di dada. Gejala
timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari

3)

Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu

4)

Respons terhadap pemberian bronkodilator


Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :

1)

Riwayat keluarga (atopi)

2)

Riwayat alergi / atopi

3)

Penyakit lain yang memberatkan

4)

Perkembangan penyakit dan pengobatan

2. Pemeriksaan Fisik
Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah mengi
pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal
walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan
napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan
hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi penderita
bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi
Menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan
menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi. Pada
serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun
demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat
berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara,
takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas
3. Pemeriksaan Penunjang
A. Faal Paru
Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai:
1). obstruksi jalan napas
2). reversibiliti kelainan faal paru
3). variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif
jalan napas
B. Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti
vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur
yang standar.
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
7

1)

Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau
VEP1 < 80% nilai prediksi.

2)

Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 15% secara spontan, atau setelah


inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian
bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid
(inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis asma

3)

Menilai derajat berat asma

C. Arus Puncak Ekspirasi (APE)


Manfaat APE dalam diagnosis asma
1)

Reversibiliti,

yaitu

perbaikan

nilai APE

15%

setelah

inhalasi

bronkodilator (uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau


respons terapi kortikosteroid (inhalasi/ oral , 2 minggu).
2)

Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti


APE harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai
derajat berat penyakit (lihat klasifikasi) .

D. Peran Pemeriksaan Lain untuk Diagnosis


a. Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada
penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji
provokasi bronkus . Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai sensitiviti
yang tinggi tetapi spesifisiti rendah, artinya hasil negatif dapat menyingkirkan
diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti bahwa penderita
tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti rinitis alergik,
berbagai gangguan dengan penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis
dan fibrosis kistik.
b. Pengukuran Status Alergi
Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui pemeriksaan uji
kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai kecil

untuk mendiagnosis asma, tetapi membantu mengidentifikasi faktor risiko/


pencetus sehingga dapat dilaksanakan kontrol lingkungan dalam penatalaksanaan.
2.1.5

Diagnosis Banding

Diagnosis banding asma antara lain:


1. Dewasa
a) Penyakit Paru Obstruksi Kronik
b) Bronkitis kronik
c) Gagal Jantung Kongestif
d) Batuk kronik akibat lain-lain
e) Disfungsi larings
f) Obstruksi mekanis (misal tumor)
g) Emboli Paru
2. Anak
a) Benda asing di saluran napas
b) Laringotrakeomalasia
c) Pembesaran kelenjar limfe
d) Tumor
e) Stenosis trakea
f) Bronkiolitis
2.1.6 Klasifikasi
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting
bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat
asma semakin tinggi tingkat pengobatan. Berat penyakit asma diklasifikasikan
berdasarkan gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai.

Tabel 1. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis


Derajat Asma
Gejala
I. Intermiten
* Gejala < 1x/minggu

Gejala Malam
Faal paru
Bulanan
APE 80%
*
2
kali * VEP1 80% nilai prediksi

* Tanpa gejala di luar

sebulan

APE 80% nilai terbaik

serangan

* Variabiliti APE < 20%

* Serangan singkat
II. Persisten Ringan
* Gejala > 1x/minggu,

Mingguan
APE > 80%
* > 2 kali * VEP1 80% nilai prediksi

tetapi < 1x/ hari

sebulan

APE 80% nilai terbaik

* Serangan dapat

* Variabiliti APE 20-30%

mengganggu aktiviti
dan tidur
III. Persisten Sedang
* Gejala setiap hari

Harian
* > 1x

* Serangan mengganggu

seminggu

APE 60 80%
/ * VEP1 60-80% nilai prediksi

aktiviti dan tidur

APE 60-80% nilai terbaik


* Variabiliti APE > 30%

*Membutuhkan
bronkodilator
setiap hari
IV. Persisten Berat
* Gejala terus menerus

Kontinyu
* Sering

APE 60%
* VEP1 60% nilai prediksi

* Sering kambuh

APE 60% nilai terbaik

* Aktiviti fisik terbatas

* Variabiliti APE > 30%

2.1.7 Penatalaksanaan Komprehensif Asma


Tujuan penatalaksanaan asma yaitu:
-

Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma

Mencegah eksaserbasi akut

Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin

Menupayakan aktifitas normal termasuk exercise

Menghindari efek samping obat

10

Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) irreversible

Mencegah kematian karena asma


Program penatalaknaan asma, yang melputi 7 komponen, yaitu:

1. Edukasi
Edukasi yang baik akan menurunkan morbidti dan menjaga penderita agar
tetap masuk sekolah/ kerja dan mengurangi biaya pengobatan. Edukasi tidak
hanya pada penderita tetapi juga kepada keluarga.
2. Menilai dan Monitor Berat Asma secara berkala
Penilaian klinis berkala anatara 1-6 bulan dan monitoring asma oleh
penderita sendiri mutlak dilakukan pada penatalaksanaan asma.
3. Identifikasi dan Mengendalikan Faktor Pencetus
Sebagian penderita dengan mudah mengenali faktor pencetus akan tetapi
sebagian lagi tidak dapat mengetahui faktor pencetus asmanya. Sehingga
identifikasi faktor pencetus harus dilakukan untuk mencegah timbulnya serangan
berulang.
4. Perencanaan Pengobatan Jangka Panjang
Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut
sebagai asma terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam
waktu satu bulan. Dalam menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka
panjang untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol,
terdapat 3 faktor yang perlu dipertimbangkan :
a) Medikasi (obat-obatan)
b) Tahapan pengobatan
c) Penanganan asma mandiri (pelangi asma)
1). Medikasi Asma
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi
jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.
A. Pengontrol (Controllers)

11

Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,


diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma
terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang
termasuk obat pengontrol :
a) Kortikosteroid inhalasi
b) Kortikosteroid sistemik
c) Sodium kromoglikat
d) Nedokromil sodium
e) Metilsantin
f) Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi
g) Agonis beta-2 kerja lama, oral
h) Leukotrien modifiers
i) Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1)
B. Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala
akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi
jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas.
Termasuk pelega adalah :
a) Agonis beta-2 kerja singkat; termasuk golongan ini adalah salbutamol,
terbutalin, fenoterol, dan prokaterol.
b) Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega
bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum
tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).
c) Metilsantin
d) Antikolinergik
e) Aminofillin
f) Adrenalin
2). Pengobatan berdasarkan derajat berat asma
12

Tabel 2. Pengobatan sesuai berat asma


Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila
dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari.
Berat Asma
Medikasi
Alternatif
Asma

pengontrol harian
Tidak perlu

/ Alternatif lain

Pilihan lain
--------

Intermiten
Asma Persisten Glukokortikosteroid
Ringan

------------

Teofilin lepas

inhalasi

(200-400 ug BD/hari lambat


atau ekivalennya)

Kromolin
Leukotriene
modifiers

Asma Persisten Kombinasi


Sedang

inhalasi Glukokortikoste

glukokortikosteroid

roid

Ditambah

inhalasi beta-2

kerja

agonis
lama

(400-800 ug BD/hari (400-800 ug BD oral, atau


atau

ekivalennya) atau

dan agonis
kerja lama

beta-2 ekivalennya)
ditambah
Teofilin

Ditambah

teofilin

lepas lambat
lepas

lambat ,atau
Glukokortikoste
roid

inhalasi

(400-800 ug BD
atau
ekivalennya)
ditambah agonis
beta-2

kerja

lama oral, atau

13

Glukokortikoste
roid

inhalasi

dosis
(>800

tinggi
ug

BD

atau
ekivalennya)
atau
Glukokortikoste
roid

inhalasi

(400-800 ug BD
atau
ekivalennya)
ditambah
leukotriene
modifiers
Asma Persisten Kombinasi
Berat

inhalasi Prednisolon/

glukokortikosteroid

metilprednisolon

(> 800 ug BD atau

oral

ekivalennya)

selang

dan sehari 10 mg

agonis beta-2 kerja ditambah agonis


lama, ditambah 1 beta-2

kerja

di bawah ini:

oral,

teofilin

lama
lepas ditambah

lambat
-

teofilin

lepas

leukotriene lambat

modifiers
- glukokortikosteroid
oral
Semua tahapan: bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3
bulan, kemudian turunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin

14

dengan kondisi asma tetap terkontrol.

5. Menetapkan Pengobatan pada Serangan Akut


Serangan akut adalah keadaan darurat dan membutuhkan bantuan medis
segera. Penanganan harus cepat, dilakukan penilaian berat serangan berdasarkan
riwayat serangan, gejala, pemeriksaan fisik, dan jika memungkinkan pemeriksaan
faal paru agar dapat diberikan pengobatan yang tepat.
Tabel 3. Klasifikasi Berat Serangan Asma Akut
Gejala dan
Tanda

Berat Serangan Akut


Ringan

Sesak nafas

Berjalan

Posisi

Dapat

Sedang
Berbicara

tidur Duduk

terlentang
Cara berbicara Satu kalimat

Keadaan
Berat

Mengancam Jiwa

Istirahat
Duduk
Membungkuk

Beberapa kata

Kata

demi

kata
Kesadaran

Mungkin

Gelisah

Gelisah

gelisah

Mengantuk,
gelisah, kesadaran
menurun

Frekuensi

<20/menit

20-30/menit

>30/menit

<100/menit

100-

>120/menit

Nafas
Nadi

Bradikardia

120/menit
Pulsus
paradoksus
Otot

Bantu

10mmHg

10-20mmHg

+
>25mmHg
+

Kelelahan Otot
Torakoabdominal

15

Napas

dan

Paradoksal

retraksi
suprasternal
Mengi

Akhir

Akhir

Inspirasi dan Silent Chest

ekspirasi

ekspirasi

ekspirasi

paksa
APE

>80%

60-80%

<60%

PaO2

>80 mmHg

60-80 mmHg

<60 mmHg

PaCO2

<45 mmHg

<45 mmHg

>45 mmHg

SaO2

>95%

91-95%

<90%

Penatalaksanaan Serangan Asma di Rumah Sakit


Penilaian awal
Riwayat dan Pemeriksaan Fisik (Auskultasi, otot bantu nafas, denyut jantung,
frekuensi nafas) dan bila mungkin faal paru (APE atau VEP1 Saturasi O2 ) dan
pemeriksaan lain atas indikasi

Serangan Asma
Ringan

Serangan Asma
Sedang/Berat

Serangan Asma
Mengancam Nyawa

Pengobatan Awal
-Oksigenasi dengan kanul nasal
-Inhalasi agonis beta2 kerja singkat (nebulasi), setiap 20 menit dalam
satu jam atau agonis beta-2 injeksi (Terbutalin 0,5 ml subkutan atau
Adrenalim 1/1000 0,3 ml subkutan)
-Kortikosteroid sistemik : untuk serangan asma berat, tidak ada respon
segera dengan pengobatan bronkodilator, dalam kortikosteroid oral.

16

Penilaian ulang setelah 1 jam


Pem. Fisis, saturasi O2 dan pemeriksaaan lain atas indikasi

Respon baik
(dalam 60 menit)
Pem. Fisis Normal
APE > 70%
SaO2 >90%

Respon Tidak Sempurna


Risiko tinggi distres
Pem. Fisis: gejala ringan-sdang
APE 50-70%
SaO2 tidak ada perbaikan

Pulang
-Pengobatan dlnjtkn
-dg inhalasi agonis
beta-2O2
-Mmbutuhkan
kortikosteroid oral
-Edukasi penderita
O2

Dirawat di RS
inhalasi agonis beta-2
+anti-kolinergik
- kortikosteroid sistemik
-Aminophilin drip
-terapi O2
-Pantau APE, sat O2,
Nadi, kadar teofilin

Perbaikan

Tidak
perbaikan
dalam 6-12
jam

Respon buruk(dlm 1jam)


Risiko tinggi distres
Pem. Fisis: gelisah, berat,
dan kesdrn menurun
APE <30%
PaCO2 >45 mmHg
PaO2 <60 mmHg
Dirawat di ICU
inhalasi agonis beta-2
+anti-kolinergik
- kortikosteroid IV
-Pertimbangkan agonis
beta-2 injeksi SC/IM/IV
-Aminophilin drip
-terapi O2 mgnk masker
venturi
-Mungkin perlu intubasi
dan ventilasi mekanik

Pulang
Bila APE >60%
prediksi/terbaik.
Tetap berikan
pengobatan
oral
6. Kontrol
Secara Teratur
atau inhalsi
Penatalaksanaan jangka panjang terdapat 2 hal yang penting diperhatikan
oleh dokter yaitu:
1)

Tindak lanjut (follow-up) teratur

2)

Rujuk ke ahli paru untuk konsultasi atau penanganan lanjut jika diperlukan

7. Pola Hidup Sehat

17

1)

Meningkatkan kebugaran fisis

2)

Berhenti atau tidak pernah merokok

3)

Lingkungan kerja

2.2.1

2.2 PNEUMONIA
Definisi
Secara klinis pneumonia merupakan peradangan akut parenkim
paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit).

Gambar 4. Pneumonia
2.2.2

Etiologi
Pneumonia

dapat

disebabkan

oleh

berbagai

macam

mikroorganisme yaitu bakteri, virus, jamur, protozoa. Data dari beberapa


RS di Indonesia tahun 2012 menunjukkan bahwa penyebab terbanyak
pneumonia komunitas di rawat inap adalah bakteri gram negatif.
2.2.3

Patogenesa dan patologi


Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan: inokulasi
langsung, penyebaran melalui pembuluh darah, inhalasi bahan aerosol, dan
kolonisasi dipermukaan mukosa.
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan
mikroorganisme, keadaan ini disebabkan adanya mekanisme pertahanan
paru. Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan
antara daya tahan tubuh, sehinggan mikroorganisme dapat berkembang
biak dan berakibat timbulnya infeksi penyakit. Setelah mikroorganisme

18

sampai di alveoli dan membentuk proses peradangan kondisi klinik pada


pasien akan menunjukkan empat stadium yaitu :
1. Stadium I (4-12 jam pertama/ kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel
mast setelah pengaktifan sel imun dan cidera jaringan. Mediator-mediator
tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga
mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan
histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru
dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan
perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi
pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan antar
kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh
oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah. Eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh pejamu (host) sebagai
bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat karena
adanya penumpukan leokosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru
menjadi merah, dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara
alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga akan menimbulkan sangat
sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu 48 jam.
3. Stadium III (3-8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi diseluruh daerah yang cidera dan terjadi fagositosis sisa-sisa
sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi. Lobus masih

19

tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat
kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti
4. Stadium IV (7-11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali kestukturnya semula
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli
menyebebkan reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan
infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan
fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri
ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui
psedopodosis sitiplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian dimakan.
Pada waktu terjadi peperangan antara host dan bakteri maka akan tampak
4 zona pada daerah parasitik yaitu :
1. Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema
2. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi
sel darah merah.
3. Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang
aktif dengan jumlah PMN yang banyak
4. Zona resolusi : daerah tempat terjadinya resolusi dengan banyak
bakteri yang mati, leukosit dan alveolar makrofag.
2.2.4 Klasifikasi Pneumonia.
1. Berdasarkan Kuman Penyebab
a. Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa
bakteri mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya
Klebsiella pada penderita alkoholik, Staphyllococcus pada penderita
pasca infeksi influenza.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan

Mycoplasma,

Legionella

dan

Chlamydia
c. Pneumonia virus, disebabkan oleh virus RSV, Influenza virus
d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi
terutama

pada

penderita

dengan

daya

tahan

lemah

(immunocompromised).

20

2. Berdasarkan klinis dan epidemiologi


a. Pneumonia komuniti (Community-acquired

pneumonia=

CAP)

pneumonia yang terjadi di lingkungan rumah atau masyarakat, juga


termasuk pneumonia yang terjadi di rumah sakit dengan masa inap
kurang dari 48 jam.
b. Penumonia nosokomial

(Hospital-acquired

Pneumonia=

HAP)

merupakan pneumonia yang terjadi di rumah sakit, infeksi terjadi


setelah 48 jam berada di rumah sakit. Kuman penyebab sangat beragam,
yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bakteri
dengan gramm negatif lainnya seperti E.coli, Klebsiella pneumoniae,
Pseudomonas aeroginosa, Proteus, dll. Tingkat resistensi obat
tergolong tinggi untuk bakteri penyebab HAP.
c. Pneumonia aspirasi terjadi pada pasien yang mengalami diabilitas berat
atau mereka yang menghirup isi lambung selagi tidak sadar seperti pada
stroke atau muntah berulang. Pasien ini mengalami reflak tersedak dan
menelan yang mempermudah aspirasi. Pneumoni yang terjadi sebagian
bersifat kimiawi karena efek dari asam lambung yang sangat iritatif dan
sebagian bakteri. Bakteri penyebab adalah flora oral anaerob
bacteroides, prevotella, fusobacterium, peptosterptococcus dan bakteri
aerob s. aureus, s. pnumoniae, h. influenzae dan ps. aeruginosa.
Pneumoni jenis ini sering menyebabkan nekrosis dan sering menjadi
penyebab kematian pada pasien yang rentan mengalami aspirasi
3. Berdasarkan lokasi infeksi
a. Pneumonia lobaris
Pneumonia focal yang melibatkan satu / beberapa lobus paru.
Bronkus besar umumnya tetap berisi udara sehingga memberikan
gambaran airbronchogram. Konsolidasi yang timbul merupakan hasil
dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn. Penyebab
terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae. Jarang
pada bayi dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau
segmen. Kemungkinan sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi
bronkus seperti aspirasi benda asing, atau adanya proses keganasan.
b. Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)

21

Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis.


Bronkiolus terminalis menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen
membentuk bercak-bercak konsolidasi di lobulus yang bersebelahan.
Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal pada
lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus. Sering
pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus.
c. Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga, yaitu interstitial dinding bronkus
dan peribronkial. Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan
mycoplasma. Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan
interstisial prebronkial. Radiologis berupa bayangan udara pada
alveolus masih terlihat, diliputi perselubungan yang tidak merata.
2.2.5 Gejala Klinis
a. Demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 400C.
b. Batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah.
c. Sesak nafas.
d. Nyeri dada.

Gambar 5. Gejala Pneumonia


2.2.6 Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi : dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas
b. Palpasi : fremitus dapat mengeras pada bagian yang sakit
22

c. Perkusi : redup pada bagian yang sakit


d. Auskultasi : bunyi nafas bronkovesikular sampai bronchial yang
mungkin disertai dengan ronki basah halus , yang kemudian menjadi
ronki basah kasar pada stadium resolusi.

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang


a. Gambaran Radiologis
Foto toraks (PA/ lateral ) merupakan pemeriksaan utama untuk
menegakan diagnosis. Gambaran radiologi dapat berupa infiltrate sampai
konsolidasi dengan air broncogram, penyebaran bronkogenik dan
intertital serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas
menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk kearah
diagnosis etiologi misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering
disebabkan oleh steptococus pneumonia, pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrate bilateral.atau gambaran bronkopneumonia
sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan
meskipun dapat mengenai beberapa lobus.
b. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit,
biasanya lebih dari 10.000/ul kadang kadang mencapai 30.000/ul, dan
pada hitung jenis leukosisit terdapat pergeseran kekiri serta terjadi
peningkatan LED. Untuk menentukan diagnose etiologi diperlukan
pemeriksaan dahak , kultur dan serologi. Kultur darah dapat positif pada
20-25 penderita yang tidak diobati. Analisis gas dan menunjukan
hipoksemia dan hipokarbia pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis
respiratorik.

23

Pneumonia
Lobaris

Pneumonia
Segmentalis

Pneumonia
Lobularis
(Bronkopneumonia

Gambar 6. Tipe Pneumonia


2.2.8

Penegakan Diagnosis

1. Diagnosis Klinis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan


fisik. Untuk diagnosis defenitif dilakukan pemeriksaan penunjang.
2. Diagnosis pasti ditegakkan jika pada foto thorak terdapat infiltrat baru atau
infiltrat progresif ditambah dengan dua atau lebih gejala dibawah ini :
-

Batuk-batuk.

Perubahan karakteristik dahak/purulen.

Suhu tubuh >380 C (aksila) / riwayat demam.

Pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara nafas


bronkial dan ronki.

2.2.9

Leukosit > 10.000 atau < 4500.

Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian
antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data
mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi karena beberapa
alasan yaitu :
1. penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
2. bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab
pneumonia.
3. hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris.

24

Secara umum pemilihan antibiotik berdasarkan bakteri penyebab


pneumonia dapat dilihat sebagai berikut :
a.

Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)


-

b.

Golongan Penisilin
TMP-SMZ
Makrolid

Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)


-

c.

Pseudomonas aeruginosa
-

d.

Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)


Sefotaksim, Seftriakson dosis tinggi
Marolid baru dosis tinggi
Fluorokuinolon respirasi
Aminoglikosid
Seftazidim, Sefoperason, Sefepim
Tikarsilin, Piperasilin
Karbapenem : Meropenem, Imipenem
Siprofloksasin, Levofloksasin

Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)


Vankomisin

-Teikoplanin
e.

Linezolid

Hemophilus influenzae
- TMP-SMZ
- Azitromisin
- Sefalosporin gen. 2 atau 3
- Fluorokuinolon respirasi

f.

Legionella
- Makrolid
- Fluorokuinolon
- Rifampisin

g.

Mycoplasma pneumoniae
-

h.

Doksisiklin
Makrolid
Fluorokuinolon

Chlamydia pneumoniae
-

Doksisikin
Makrolid
25

Fluorokuinolon

Terapi Suportif Umum


1. Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96%
berdasarkan pemeriksaan analisis gas darah.
2. Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang
kental, dapat disertai nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila
terdapat bronkospasme.
3. Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak, khususnya anjuran untuk
batuk dan napas dalam. Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing
untuk melancarkan ekspirasi dan pengeluarn CO2. Posisi tidur
setengah duduk untuk melancarkan pernapasan.
Pengaturan cairan. Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada

4.

pneumonia, dan paru lebih sensitif terhadap pembebanan cairan


terutama bila terdapat pneumonia bilateral. Pemberian cairan pada
-

pasien harus diatur dengan baik, termasuk pada keadaan gangguan


sirkulasi dan gagal ginjal. Overhidrasi untuk maksud mengencerkan
5.

dahak tidak diperkenankan.


Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan.

Terapi ini tidak bermanfaat pada keadaan renjatan septik.


6. Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang
diperlukan bila terdapat komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal
prerenal.
7. Ventilasi mekanis, indikasi intubasi dan pemasangan ventilator
pada pneumonia adalah:
a. Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100% dengan
menggunakaan masker. Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan
penurunan pulmonary compliance hingga tekanan inflasi meninggi.

26

Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk memperbaiki


oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50% atau lebih rendah.
b. Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress,
dengan atau didapat asidosis respiratorik.
c. Respiratory arrest.
d. Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif.
8. Drainase empiema bila ada.
9. Bila terdapat gagal napas, diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang
didapatkan terutama dari lemak (>50%), hingga dapat dihindari
pembentukan CO2 yang berlebihan.
2.3 BRONKOPNEUMONIA
2.3.1 Defenisi
Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru dan disebut juga
pneumonia lobularis. Bronkopneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut
bagian bawah yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis
yang mencakup bronkiolus respiratoris dan alveoli, serta menimbulkan
konsolidasi jaringan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme yaitu bakteri,
virus, jamur maupun parasit.

Gambar 7. Bronkopneumonia
2.3.2 Etiologi

27

Penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai adalah:


a. Faktor Infeksi
1. Pada neonatus: Streptokokus group B, Respiratory Syncytial Virus (RSV).
2. Pada bayi:
-

Virus:

virus

parainfluenza,

virus

influenza,

adenovirus,

RSV,

cytomegalovirus.
-

Organisme atipikal : Chlamidia trachomatis, pneumocystis.

Bakteri: Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza, Mycobacterium


tuberculosa, Bordetella pertusis.

3. Pada anak-anak:
-

Virus: virus parainfluenza, virus influenza, adenovirus, RSV.

Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia

Bakteri: Pneumokokus, M. Tuberculosis.

4. Pada Dewasa:
-

Organisme Atipikal: Mycoplasma pneumonia, Chlamidia trachomatis.

Bakteri: Pneumokokus, Bordetella pertussis, M. Tuberculosis.

b. Faktor Non Infeksi: terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks


esophagus, meliputi:
-

Bronkopneumonia hidrokarbon: terjadi oleh karena aspirasi selama


penelanan muntah atau sonde lambung.

Bronkopneumonia lipoid

28

2.3.3 Patogenesa
Bronkopneumonia selalu didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas
yang disebabkan oleh bakteri staphylococcus, Haemophilus influenza atau
karena aspirasi makanan dan minuman. Dalam keadaan sehat pada paru tidak
akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh
adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di dalam paru
merupakan

ketidakseimbangan

antara

daya

tahan

tubuh

sehingga

mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya infeksi


penyakit. Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat
melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding
alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli
membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu :
1.

Stadium I/Hiperemia (4 12 jam pertama/kongesti)

2.

Stadium II/Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya)

3.

Stadium III/Hepatisasi Kelabu (3 8 hari)

4.

Stadium IV/Resolusi (7 11 hari)

2.3.4 Klasifikasi
Tabel 4. Klasifikasi bronkopneumonia
Tanda dan gejala
Onset
Suhu
Batuk
Dahak
Gejala lain

Atipik
Gradual
Kurang tinggi
Non produktif
Mukoid
Nyeri kepala, myalgia,

Tipik
Akut
Tinggi, menggigil.
Produktif
Purulen
Jarang

sakit tenggorokan, suara


Gejala diluar paru
Pewarnaan gram

parau, nyeri telinga


Sering
Flora
normal

Radiologis
Laboratorium

spesifik
patchy atau normal
Konsolidasi lobar
Leukosit normal kadang Lebih tinggi

Lebih jarang
atau Kokus gram (+)

rendah

29

Gangguan fungsi hati

Sering

Jarang

2.2.5 Manifestasi Klinis


Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian
atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 3940oC dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Pasien
tampak dyspnea, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping
hidung, dan sianosis disekitar mulut dan hidung. Batuk pada awalnya
berupa batuk kering kemudian menjadi produktif.
Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya
daerah yang terkena. Pada perkusi thorak sering dijumpai adanya kelainan.
Pada auskultasi mungkin hanya terdengar rhonki basah gelombang halus
sampai sedang. Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens)
mungkin pada paru ditemukan suara yang meredup dan suara pernafasan
pada auskultasi mengeras. Pada stadium resolusi rhonki dapat terdengar
lagi.
2.2.6 Diagnosis
1. gejala klinis
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut:
-

Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan

dinding dada
Demam
Batuk
Ronkhi basah halus-sedang nyaring (crackles) pada basal paru.
Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difus
Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm 3 dengan
limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang

5.

predominan).
pemeriksaan fisik didapatkan:
- inspeksi: pernafasan cuping hidung, sianosis sekitar hidung dan
-

mulut, retraksi sela iga.


Palpasi: fremitus yang meningkat pada sisi yang sakit
Perkusi: sonor-redup
30

6.

- Auskultasi: rhonki pada basal paru.


Pemeriksaan Penunjang

Untuk dapat membantu menegakkan diagnosa dapat digunakan cara:


1. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit.
Hitung

leukosit

dapat

membantu

membedakan

pneumoni

viral

dan

bakterial.Infeksi virus leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi


20.000/mm3 dengan limfosit predominan) dan bakteri leukosit meningkat 15.00040.000 /mm3 dengan neutrofil yang predominan. Pada hitung jenis leukosit
terdapat pergeseran ke kiri serta peningkatan LED.Analisa gas darah
menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi
asidosis respiratorik.Isolasi mikroorganisme dari paru, cairan pleura atau darah
bersifat invasif sehingga tidak rutin dilakukan.
2. Pemeriksaan Radiologi
Pada bronkopneumonia, bercak-bercak infiltrate didapati pada satu atau
beberapa lobus. Gambaran radiologis mempunyai bentuk difus bilateral dengan
peningkatan corakan bronkhovaskular dan infiltrat kecil dan halus yang tersebar
di pinggir lapang paru. Bayangan bercak ini sering terlihat pada lobus bawah.
Foto rontgen dapat juga menunjukkan adanya komplikasi seperti pleuritis,
atelektasis, abses paru, pneuumotoraks atau perikarditis.

Gambar 8. Rontgen Thorax Bronkopneumonia


31

2.2.7 Komplikasi
-

Atelektasis yaitu pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau


kolaps paru merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau reflex batuk

hilang.
Empiema
Abses paru

2.2.8 Prognosis
Dengan penggunaan antibiotic yang tepat dan cukup, mortalitas dapat
diturunkan sampai kurang dari 1 %. Pada bronkopneumonia prognosis baik, tetapi
tergantung dari status gizi dan ketepatan waktu datang ke sarana kesehatan.
2.2.9 Penatalaksanaan
a. pengobatan suportif seperti istirahat di tempat tidur dan minum
b.
c.
d.
e.

secukupnya untuk mengatasi dehidrasi.


Pemberian oksigen 2-4 L/menit sampai sesak nafas hilang
Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.
Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak
diberikan pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi

f.

reaksi antibiotik awal.


Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu

tinggi, takikardi, atau penderita kelainan jantung


g. Terapi definitive dapat dilakukan menggunakan antibiotik sebagai
1.

berikut:
Penisilin sensitif streptococcus pneumonia (PSSP), yaitu:
- Golongan penisilin: penisilin V, 4x250-500 mg/hari (anak 25-50
mg/kgbb dalam 4 dosis), amoksisilin 3x250-500 mg/hari (anak 20-40
mg/kgbb dalam 3 dosis), atau sefalosforin golongan 1 (sefadroksil
500-1000 mg dalam 2 dosis, pada anak 30 mg/kgbb/hari dalam 2

2.

dosis).
- TMP-SMZ
- Makrolid
Penisilin resisten streptococcus pneumonia (PRSP), yaitu:

32

Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan), sefotaksim,

seftriakson dosis tinggi.


Makrolid: Azitromisin 1x 500 mg selama 3 hari (anak 10

mg/kgbb/hari dosis tunggal).


Fluorokuinolon respirasi: ciprofloksasin 2x500 mg//hari.

Pada pneumonia yang bersifat atipik antibiotic yang digunakan adalah:


-

Golongan macrolide: roksitromisin, klaritromisin, dan azitromisin.

Berdasarkan PDPI, kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap pada
pneumonia adalah:
-

Skor PORT > 70


Bila Skor PORT 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila

dijumpai salah satu kriteria dibawah ini:


frekuensi napas > 30/menit
PaO2/FiO2 < 250 mmHg
Foto thorak paru menunjukkan kelainan bilateral
Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
Tekanan sistolik < 90 mmHg
Tekanan diastolic < 60 mmHg
Pneumonia pada pengguna NAPZA

2.2.10 Pencegahan
Penyakit beronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak
dengan penderita atau mengobati secara dini penyakit yang dapat menyebabkan
bronkopneumonia ini.
Selain itu, hal-hal yang harus dilakukan adalah dengan meningkatkan daya
tahan tubuh terhadap berbagai pnyakit saluran nafas seperti gaya hidup sehat,
makan makanan bergizi dan teratur, menjaga kebersihan, istirahat yang cukup, dan
berolahraga. Melakukan vaksinasi juga dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi
antara lain:
-

Vaksinasi pneumokokus
Vaksinasi influenza

33

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1. Identitas Pasien
Nama

: Tn. Frdaus

Umur

: 59 ahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Pekerjaan

:-

Agama

: Islam

Alamat

: ujuang guguak baso

3.2. Anamnesa
Keluhan Utama
Sesak napas sejak 1 minggu yang lalu sebelum masuk Rumah
Sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang
-

Sesak nafas sejak 1 minggu ,sesak hilang timbul, dirasakan semakin

memberat saat beraktivitas,.


Batuk sejak 1 minggu yang lalu, hilang timbul, berdahak dengan jumlah

dahak sedikit, bewarna kehijauan, tidak bdrdarah


Dada terasa nyeri saat batuk
Demam tidak ada
Keringat malam tidak ada
Penurunan berat badan tidak ada
Mual dan muntah tidak ada
Nafsu makan baik
BAB dan BAK normal

Nafsu makan baik.


BAK dan BAB normal.

Riwayat Penyakit Dahulu


-

Pasien sudah mengalami sesak nafas sejak 2 tahun yang lalu


Riwayat DM, hipertensi, jantung tidak ada
Riwayat batuk berdarah tidak ada.

34

Riwayat minum OAT tidak ada.

Riwayat Penyakit Keluarga


- Ibu pasien menderita penyakit asma.
Riwayat Pribadi dan Sosial
- Pekerjaan : - Kebiasaan Merokok : (-)
- Narkoba : (-)
- Alkohol : (-)
3.3. Pemeriksaan Fisik
Umum

Keadaan umum
Kesadaran
Tekanan darah
Nadi
Pernafasan
Suhu
Tinggi badan
Berat badan

: sakit sedang
: compos mentis cooperative
: 120/70 mmHg
: 63 kali/ menit
: 24 kali/ menit
: afebris
: 167 cm
: 65 kg

Kepala

: normocephal

Mata
- pupil

: isokor

- Konjungtiva : anemis (-/-)


- sclera

: ikterik (-/-)

Telinga

: tidak di temukan kelainan

Hidung
Mulut

: tidak di temukan kelainan


: lidah tidak kotor, tidak sianosis.

Leher

JVP : 5-2 cmH2O

KGB: tidak ada pembesaran

Thorax
35

Paru

Inspeksi

: normothorak, simetris kiri dan kanan pada

saat statis dan dinamis, tidak ada retraksi dinding dada saat

Jantung

bernafas, tidak ada venektasi, tidak ada sikatrik.


Palpasi
: fremitus taktil kanan dan kiri sama, expansi

dinding dada kiri dana kanan sama, tidak tertinggal.


Perkusi
: sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi
: vesikuler, ronkhi +/+, wheezing +/+

Inspeksi
Palpasi
Perkusi

: Ictus cordis tidak terlihat


: ictus cordis teraba pada LMCS RIC V
:
Batas kiri
: RIC V linea midclavicularis
sinistra
Batas kanan
Batas atas

: RIC IV linea sternalis dextra


: RIC II linea parasternalis

sinistra
Batas pinggang jantung RIC III linea

Abdomen

Auskultasi

parasternalis sinistra
: regular, bising (-) murmur (-)

Inspeksi

: perut tidak terlihat membuncit, venektasi

(-) sikatrik (-)


Palpasi
: tidak teraba massa, hepar dan lien tidak

teraba, nyeri tekan (-) nyeri lepas (-) defans muscular (-)
Perkusi
: timpani
Auskultasi
: bising usus (+) normal
Ekstremitas superior dan inferior : edema (-), sianosis (-)

3.5. Diagnosis
Diagnosis Kerja

: Asma bronkial+ bronkopneumonia

Diagnosis Banding

PPOK

36

Pneumonia

3.6. Terapi

Bed rest
O2 2-4 L/menit
IVFD RL 8 Jam/Kolf + Drip aminofilin 1,5 ampul
Inj Fosmicin 2x2
Inj Fluimucil 3x1
Bromhexin 3x1
Combivent nebu 4x1
Esome 1x1
Inj Metil prednisolone 2x125mg

3.7 Pemeriksaan Anjuran

Rontgen Thorax

Pemeriksaan sputum

BAB V
KESIMPULAN
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan
peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik
berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama
malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan
napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa
pengobatan. Asma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di
berbagai negara di seluruh dunia. Asma dapat bersifat ringan dan tidak
mengganggu aktivifitas, akan tetapi dapat bersifat menetap dan mengganggu
aktivifitas bahkan kegiatan harian. Produktiviti menurun akibat mangkir kerja atau
sekolah, dan dapat menimbulkan disability (kecacatan), sehingga menambah
penurunan produktiviti serta menurunkan kualiti hidup.
Bronkopenumonia adalah peradangan pada parenkim paru dan disebut
juga pneumonia lobularis. Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut pada
paru yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil disebabkan

37

oleh penyebab non-infeksi yang akan menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan
gangguan pertukaran gas setempat.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinik Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer Edisi Revisi. Jakarta: IDI. 2014
2. Iris Rengganis. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FK UI RSCM. 2008
3. Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia. Jakarta:
Pustaka Populer Obor.
4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia . Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Asma di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia. 2004
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Komunitas. 2014. Jakarta:
Badan Penerbit FK UI.

38

Anda mungkin juga menyukai