Tinjauan Pustaka
2.1 Definisi
Kegawatdaruratan adalah kejadian yang tidak diduga atau terjadi secara
tiba-tiba seringkali merupakan kejadian yang berbahaya.1
Kegawatdaruratan obstetri adalah kondisi kesehatan yang mengancam jiwa
yang terjadi dalam kehamilan atau selama dan sesudah persalinan dan
kelahiran. Terdapat sekian banyak penyakit dan gangguan dalam kehamilan
yang mengancam keselamatan ibu dan bayinya.2
2.2 Penilaian awal
Dalam menentukan kondisi kasus obsetri yang dihadapi apakah dalam
keadaan gawatdarurat atau tidak secara prinsip harus dilakukan pemeriksaan
secara sistematis meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik umum, dan
pemeriksaan obsetrik. Dalam praktik, oleh Karena pemeriksaan sistematis
yang lengkap membutuhkan waktu agak lama padahal penilaian harus
dilakukan secara cepat, maka dilakukan penilaian awal.2
Penialaian awal ialah langkah pertama untuk menentukan dengan cepat
kasus obsetri yang dicurigai dalam keadaan gawatdarurat dan membutuhkan
pertolongan segera dengan mengidentifikasi penyulit atau komplikasi yang
dihadapi. Dalam penilaian awal ini, anamnesis lengkap belum dilakukan.
Anamnesis awal dilakukan bersama-sama periksa pandang (inspeksi), periksa
raba (palpasi) dan penialain awal tanda vital dan hanya untuk mendapatkan
informasi yang sangat penting berkaitan dengan kasus. Misalnya, apakah
harus mengalami perdarahan, demam, tidak sadar, kejang, sudah mengejan
atau bersalin berapa lama, dan sebagainya. Fokus utama penilaian adalah
apakah pasien mengalami syok hipovolemik, syok septik, syok jenis lain (syok
kardiogenik, syok neurologic, dan sebagainya), koma, kejang-kejang, atau
koma disertai kejang-kejang dan hal itu terjadi dalam kehamilan, persalinan,
pascasalin, atau masa nifas. Syok kardiogenik, syok neurogenik, dan syok
anafilaktik jarang terjadi, pada kasus obsetri. Syok kardiogenik dapat terjadi
pada kasus penyakit jantung dalam kehamilan/persalinan. Angka kematian
sangat tinggi. Syok neurogenik dapat terjadi pada kasus inversion uteri
sebagai akibat rasa nyeri hebat disebabkan oleh tarikan kuat pada peritoneum,
kedua ligamentum infundibulopelvikum dan ligamentum rotundum. Syok
anafilaktik dapat terjadi pada kasus emboli air ketuban.2
Pemeriksaan yang dilakukan untuk penilaian awal sebagai berikut:
Penilaian dengan inspeksi:
- Menilai kesadaran penderita: pingsan/koma, kejang-kejang, gelisah,
tampak kesakitan
- Menilai wajah penderita: pucat, kemerahan, banyak berkeringat
- Menilai pernapasan: cepat, sesak napas
- Menilai perdarahan dari kemaluan
Penilaian dengan palpasi:
- Kulit: dingin, demam
- Nadi: lemah/kuat, cepat/normal
- Kaki/tungkai bawah: bengkak
Penilaian tanda vital:
- Tekanan darah, nadi, suhu, dan pernapasan
Hasil penilaian awal ini, berfokus pada apakah pasien mengalami syok
hipovolemik, syok septik, syok jenis lain, koma, kejang-kejang atau koma
disertai kejang-kejang menjadi dasar pemikiran apakah kasus mengalami
penyulit perdarahan, infeksi, hipertensi/preeklampsia/eclampsia,atau penyulit
lain. Dasar pemikiran ini harus dilengkapi dan diperkuat dengan melakukan
pemeriksaan klinik lengkap, tetapi sebelum pemeriksaan klinik lengkap selesai
dilakukan, langkah-langkah untuk melakukan pertolongan pertama sudah
dapat dikerjakan sesuai hasil penilaian awal, misalnya ditemukan kondisi
syok, pertolongan pertama untuk mengatasi syok harus sudah dilakukan.2
(aspirasi). Putarlah kepala pasien dan kalau perlu putar juga badannya ke
samping dengan demikian bila ia muntah, tidak sampai terjadi aspirasi.
Jagalah agar kondisi badannya tetap hangat karena kondisi hipotermia
berbahaya, berbahaya dan dapat memperberat syok. Naikanlah kaki pasien
untuk membantu aliran darah balik ke jantung. Jika posisi berbaring
menyebabkan pasien merasa sesak napas, kemungkinan hal ini
dikarenakan gagal jantung dan edema paru-paru. Pada kasus demikian,
tungkai diturunkan dan naikkanlah posisi kepala untuk mengurangi cairan
2.3.2
dalam paru-paru.
Pemberian Oksigen1,3,4
Oksigen diberikan dalam kecepatan 6 8 liter/menit. Intubasi ataupun
2.3.3
ventilasi tekanan positif hanya dilakukan kalau ada indikasi yang jelas.
Pemberian Cairan Intravena1-4
Cairan intravena diberikan pada tahap awal untuk persiapan
mengantisipasi kalau kemudian penambahan cairan dibutuhkan.
Pemberian cairan infus intravena selanjutnya baik jenis cairan, banyaknya
cairan yang diberikan, dan kecepatan pemberian cairan harus sesuai
dengan diagnosis kasus. Misalnya, pemberian cairan untuk mengganti
cairan tubuh yang hilang Karena pada syok hipovolemik seperti pada
perdarahan berbeda dengan pemberian cairan pada syok septik. Pada
umumnya dipilih cairan isotonic, misalnya NaCl 0,9% atau Ringer Laktat.
Jarum infus yang digunakan sebaiknya nomor 16 18 agar cairan dapat
dimasukkan secara cepat. Pengukuran banyaknya cairan infus yang
diberikan sangat penting. Berhati-hatilah agar tidak berlebihan
memberikan cairan intravena terlebih lagi pada syok septik. Setiap tanda
pembengkakan, napas pendek, dan pipi bengkak, kemungkinan adalah
tanda kelebihan pemberian cairan. Apabila hal ini terjadi, pemberian cairan
dihentikan. Diuretika mungkin harus diberikan bila terjadi edema paru-
2.3.4
paru.
Pemberian Transfusi darah2,4
Pada kasus perdarahan yang banyak, terlebih lagi apabila disertai syok,
transfusi darah sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan jiwa penderita.
Walaupun demikian, transfusi darah bukan tanpa risiko dan bahkan dapat
berakibat komplikasi yang berbahaya dan fatal. Oleh karena itu, keputusan
untuk memberikan transfusi darah harus dilakukan dengan sangat hatihati. Risiko yang serius berkaitan dengan transfusi darah mencakup
penyebaran mikroorganisme infeksius (misalnya human immunodeficiency
virus atau HIV dan virus hepatitis), masalah yang berkaitan dengan
imunologik (misalnya hemolysis intravascular), dan kelebihan cairan
2.3.5
2.3.6
2.3.8
2.3.9
dapat timbul lagi dan bahkan mungkin dalam kondisi yang lebih buruk.
Rujukan
Apabila fasilitas medik di tempat kasus diterima terbatas untuk
menyelesaikan kasus dengan tindakan klinik yang adekuat, maka kasus
harus dirujuk ke fasilitas kesehatan lain yang lebih lengkap. Seharunya
infeksi virus.
Kelainan pada plasenta. Kelainan ini bisa berupa gangguan pembentukan
pembuluh darah pada plasenta yang disebabkan oleh karena penyakit
toxoplasma.
Kelainan yang terjadi pada organ kelamin ibu seperti gangguan pada mulut
rahim, kelainan bentuk rahim terutama rahim yang lengkungannya ke
belakang (secara umum rahim melengkung ke depan), mioma uteri, dan
kelainan bawaan pada rahim.
c. Klasifikasi
c.1 Abortus spontan
c.2 Abortus Imminens
Abortus tingkat permulaan, terjadi perdarahan per vaginam, sedangkan
jalan lahir masih tertutup, uterus sesuai usia gestasi, dan hasil konsepsi
masih baik di dalam rahim.
Penatalaksanaan : Tirah baring total, tidur berbaring merupakan unsur
penting dalam pengobatan karena cara ini akan mengurangi rangsangan
mekanis dan menambah aliran darah ke rahim.
c.3 Abortus Insipiens
Abortus yang mengancam yang ditandai dengan serviks yang telah
mendatar, sedangkan hasil konsepsi masih berada lengkap di dalam rahim.
Penatalaksanaan : Biasanya dilakukan tindakan kuretase bila umur
kehamilan kurang dari 12 minggu yang disertai dengan perdarahan.
hiperplasia dan displasia. Vili khorialis terisi cairan, membengkak, dan hanya
terdapat sedikit pembuluh darah.
2.4.2.2 Klasifikasi
a. Mola Hidatidosa Sempurna
Villi korionik berubah menjadi suatu massa vesikel vesikel jernih.
Ukuran vesikel bervariasi dari yang sulit dilihat, berdiameter sampai beberapa
sentimeter dan sering berkelompok-kelompok menggantung pada tangkai
kecil. Temuan Histologik ditandai oleh adanya, antara lain:
1) Degenerasi hidrofobik dan pembengkakan stroma vilus
2) Tidak adanya pembuluh darah di vilus yang membengkak
3) Proliferasi epitel tropoblas dengan derajat bervariasi
4) Tidak adanya janin dan amnion
Mola sempurna tidak memiliki jaringan fetus. 90% merupakan genotip
46XX dan sisanya 46XY.
abortion yakni Perdarahan vagina dan hilangnya denyut jantung janin, Pada
mola parsial, jaringan fetus biasanya didapatkan, eritrosit dan pembuluh darah
fetus pada villi merupakan penemuan yang seringkali ada. Komplemen
kromosomnya yaitu 69,XXX atau 69,XXY. Ini diakibatkan dari fertilisasi
ovum haploid dan duplikasi kromosom haploid paternal atau akibat
pembuahan dua sperma. Tetraploid juga biasa didapatkan. Seperti pada mola
sempurna, ditemukan jaringan trofoblastik hyperplasia dan pembengkakan
villi chorioni.
b.1 Manifestasi Klinis
1. Amenorrhoe dan tanda-tanda kehamilan.
2. Perdarahan pervaginam dari bercak sampai perdarahan berat.
Merupakan gejala utama dari mola hidatidosa, sifat perdarahan bisa
intermiten selama berapa minggu sampai beberapa bulan sehingga
dapat menyebabkan anemia defisiensi besi.
3. Uterus sering membesar lebih cepat dari biasanya tidak sesuai dengan
usia kehamilan.
4. Tidak dirasakan tanda-tanda adanya gerakan janin maupun
ballottement.
5. Hiperemesis, pasien dapat mengalami mual dan muntah cukup berat.
6. Preklampsi dan eklampsi sebelum minggu ke-24
7. Keluar jaringan mola seperti buah anggur, yang merupakan diagnosa
pasti
8. Gejala Tirotoksikosis
b.2 Penatalaksanaan
3. Mual.
4. Nyeri bahu.
5. Membran mukosa anemis.
Jika terjdi syok, akan ditemukan nadi lemah dan cepat, tekanan darah di
bawah 100 mmHg, wajah tampak kurus dan bentuknya menonjol-terutama
hidung, keringat dingin, ekstremitas pucat, kuku kebiruan, dan mungkin
terjadi gangguan kesadaran.
2.4.3.3 Penatalaksanaan
Penanganan Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
1. Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah laparotomi.
2. Pada laparotomi perdarahan selekas mungkin dihentikan dengan menjepit
bagian dari adneksa yang menjadi sumber perdarahan.
3. Keadaan umum penderita terus diperbaiki dan darah dalam rongga perut
sebanyak mungkin dikeluarkan.
Dalam tindakan demikian, beberapa hal yang harus dipertimbangkan yaitu :
1. Kondisi penderita pada saat itu,
2. Keinginan penderita akan fungsi reproduksinya,
3. Lokasi kehamilan ektopik.
4. Hasil ini menentukan apakah perlu dilakukan salpingektomi (pemotongan
bagian tuba yang terganggu) pada kehamilan tuba. Dilakukan pemantauan
terhadap kadar HCG (kuantitatif). Peninggian kadar HCG yang
3. Pada perdarahan yang tetap hebat atau meningkat karena plasenta previa
totalis atau parsialis, segera lakukan seksio sesaria; karena plasenta letak
rendah (plasenta tidak terlihat jika lebar mulut serviks sekitar 4-5 cm),
pecahkan selaput ketuban dan berikan infuse oksitosin; jika perdarahan
tidak berhenti, lakukan persalinan pervagina dengan forsep atau ekstraksi
vakum; jika perdarahan tidak berhenti lakukan seksio sesaria.
4. Tindakan setelah melahirkan.
2.4.5.5 Penatalaksanaan
Umum :
1. Transfusi darah : Transfusi darah harus segera diberikan tidak peduli
bagaimana keadaan umum penderita waktu itu. Karena jika diagnosis
solusio placenta dapat ditegakkan itu berarti perdarahan telah terjadi
sekurang-kurangnya 1000ml.
2. Pemberian O2
3. Pemberian antibiotik.
4. Pada syok yang berat diberi kortikosteroid dalam dosis tinggi.
observasi ketat.
Solusio plasenta sedang dan berat
Apabila perdarahannya berlangsung terus, dan gejala solusio plasenta
bertambah jelas, atau dalam pemantauan USG daerah solusio plasenta
bertambah luas, maka pengakhiran kehamilan tidak dapat dihindarkan lagi.
Apabila janin hidup, dilakukan sectio caesaria. Sectio caesaria dilakukan
bila serviks panjang dan tertutup, setelah pemecahan ketuban dan
pemberian oksitosin dalam 2 jam belum juga ada his. Apabila janin mati,
ketuban segera dipecahkan untuk mengurangi regangan dinding uterus
disusul dengan pemberian infuse oksitosin 5 iu dalam 500cc glukosa 5%
untuk mempercepat persalinan.
Keadaan dimana plasenta belum lahir dalam waktu 1 jam setelah bayi
lahir. Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya plasenta tidak lahir
spontan dan tidak yakin apakah plasenta lengkap.
2.4.6.1 Sebab-sebab terjadinya retensio plasenta ini adalah:
1. Plasenta belum terlepas dari dinding uterus karena tumbuh melekat lebih
dalam. Perdarahan tidak akan terjadi jika plasenta belum lepas sama sekali
dan akan terjadi perdarahan jika lepas sebagian. Hal ini merupakan
indikasi untuk mengeluarkannya. Menurut tingkat perlekatannya dibagi
menjadi:
a. Plasenta adhesiva, melekat pada endometrium, tidak sampai
membran basal.
b. Plasenta inkreta, vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus
desidua sampai ke miometrium.
c. Plasenta akreta, menembus lebih dalam ke miometrium tetapi
belum menembus serosa.
d. Plasenta perkreta, menembus sampai serosa atau peritoneum
dinding rahim.
2. Plasenta sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar,
disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah
penanganan kala III, sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian
bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta (plasenta inkarserata)
2.4.6.2 Penatalaksanaan
1. Resusitasi. Pemberian oksigen 100%. Pemasangan IV-line dengan
kateter yang berdiameter besar serta pemberian cairan kristaloid
(sodium klorida isotonik atau larutan ringer laktat yang hangat, apabila
memungkinkan). Monitor jantung, nadi, tekanan darah dan saturasi
oksigen. Transfusi darah apabila diperlukan yang dikonfirmasi dengan
hasil pemeriksaan darah.
2.4.7.2 Diagnosis
1. Anamnesis dan inspeksi
Pada suatu his yang kuat sekali, pasien merasa kesakitan yang luar biasa,
menjerit seolah-olah perutnya sedang dirobek kemudian jadi gelisah, takut,
pucat, keluar keringat dingin sampai kolaps.
jalan lahir.
Kadang-kadang ada perasaan nyeri yang menjalar ketungkai bawah dan
dibahu.
Kontraksi uterus biasanya hilang.
Mula-mula terdapat defansmuskuler kemudian perut menjadi kembung
dan meteoristis (paralisis khusus).
2. Palpasi
subkutan
Bila kepala janin belum turun, akan mudah dilepaskan dari PAP
Bila janin sudah keluar dari kavum uteri, jadi berada dirongga perut, maka
teraba bagian-bagian janin langsung dibawah kulit perut, dan di
sampingnya kadang-kadang teraba uterus sebagai suatu bola keras sebesar
kelapa.
Nyeri tekan pada perut, terutama pada tempat yang robek
3. Auskultasi
Biasanya denyut jantung janin sulit atau tidak terdengar lagi beberapa
menit setelah rupture, apalagi kalau plasenta juga ikut terlepas dan masuk
kerongga perut.
4. Pemeriksaan dalam
Kepala janin yang tadinya sudah jauh turun kebawah, dengan mudah dapat
didorong keatas, dan ini disertai keluarnya darah pervaginam yang agak
banyak
Kalau rongga rahim sudah kosong dapat diraba robekan pada dinding
rahim dan kalau jari atau tangan kita dapat melalui robekan tadi maka
5. Catatan
2.4.7.3 Penatalaksanaan
Tindakan pertama adalah mencegah syok, memperbaiki keadaan umum
penderita dengan pemberian infus cairan dan tranfusi darah, kardiotinika,
antibiotika, dsb. Bila keadaan umum mulai baik, tindakan selanjutnya adalah
melakukan laparatomi dengan tindakan jenis operasi:
1. Histerektomi baik total maupun sub total
2.4.8
2.4.8.1 Definisi
Pendarahan pasca persalinan (post partum) adalah pendarahan pervaginam
500 ml atau lebih sesudah anak lahir. Penyebab gangguan ini adalah kelainan
pelepasan dan kontraksi, rupture serviks dan vagina (lebih jarang laserasi
perineum), retensio sisa plasenta, dan koagulopati. Perdarahan pascapersalinan
tidak lebih dari 500 ml selama 24 jam pertama, kehilangan darah 500 ml atau
lebih berarti bahaya syok. Perdarahan yang terjadi bersifat mendadak sangat
parah (jarang), perdarahan sedang (pada kebanyakan kasus), dan perdarahan
sedang menetap (terutama pada ruptur). Peningkatan anemia akan mengancam
terjadinya syok, kegelisahan, mual, peningkatan frekuensi nadi, dan
penurunan tekanan darah.
2.4.8.2 Klasifikasi
1. Perdarahan Pasca Persalinan Dini (Early Postpartum Haemorrhage, atau
Perdarahan Postpartum Primer, atau Perdarahan Pasca Persalinan Segera).
Perdarahan pasca persalinan primer terjadi dalam 24 jam pertama.
Penyebab utama perdarahan pasca persalinan primer adalah atonia uteri,
retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir dan inversio uteri.
Terbanyak dalam 2 jam pertama.
2. Perdarahan masa nifas (PPH kasep atau Perdarahan Persalinan Sekunder
atau Perdarahan Pasca Persalinan Lambat, atau Late PPH). Perdarahan
pascapersalinan sekunder terjadi setelah 24 jam pertama. Perdarahan pasca
persalinan sekunder sering diakibatkan oleh infeksi, penyusutan rahim
yang tidak baik, atau sisa plasenta yang tertinggal.
2.4.8.3 Gejala Klinis
Gejala klinis berupa pendarahan pervaginam yang terus-menerus setelah
bayi lahir. Kehilangan banyak darah tersebut menimbulkan tanda-tanda syok
yaitu penderita pucat, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil,
ekstrimitas dingin, dan lain-lain. Penderita tanpa disadari dapat kehilangan
banyak darah sebelum ia tampak pucat bila pendarahan tersebut sedikit dalam
waktu yang lama.
2.4.8.4 Diagnosis
Perdarahan yang langsung terjadi setelah anak lahir tetapi plasenta belum
lahir biasanya disebabkan oleh robekan jalan lahir. Perdarahan setelah plasenta
lahir, biasanya disebabkan oleh atonia uteri. Atonia uteri dapat diketahui
dengan palpasi uterus ; fundus uteri tinggi di atas pusat, uterus lembek,
kontraksi uterus tidak baik. Sisa plasenta yang tertinggal dalam kavum uteri
dapat diketahui dengan memeriksa plasenta yang lahir apakah lengkap atau
tidak kemudian eksplorasi kavum uteri terhadap sisa plasenta, sisa selaput
ketuban, atau plasenta suksenturiata (anak plasenta). Eksplorasi kavum uteri
dapat juga berguna untuk mengetahui apakan ada robekan rahim. Laserasi
(robekan) serviks dan vagina dapat diketahui dengan inspekulo. Diagnosis
pendarahan pasca persalinan juga memerlukan pemeriksaan laboratorium
antara lain pemeriksaan Hb, COT (Clot Observation Test), kadar fibrinogen,
dan lain-lain.
2.4.8.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi perdarahan pasca persalinan
1. Perdarahan pascapersalinan dan usia ibu
Wanita yang melahirkan anak pada usia dibawah 20 tahun atau lebih
dari 35 tahun merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan
pascapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Hal ini
dikarenakan pada usia dibawah 20 tahun fungsi reproduksi seorang wanita
belum berkembang dengan sempurna, sedangkan pada usia diatas 35 tahun
fungsi reproduksi seorang wanita sudah mengalami penurunan
dibandingkan fungsi reproduksi normal sehingga kemungkinan untuk
terjadinya komplikasi pascapersalinan terutama perdarahan akan lebih
besar. Perdarahan pascapersalinan yang mengakibatkan kematian maternal
pada wanita hamil yang melahirkan pada usia dibawah 20 tahun 2-5 kali
lebih tinggi daripada perdarahan pascapersalinan yang terjadi pada usia
20-29 tahun. Perdarahan pascapersalinan meningkat kembali setelah usia
30-35tahun.
Syok Hemoragik2,3,7
2.4.9.1 Definisi
Semua keadaan perdarahan diatas, dapat menyebabkan syok pada
penderita, khususnya syok hemoragik yang di sebabkan oleh berkurangnya
volume darah yang beredar akibat perdarahan atau dehidrasi.
2.4.9.2 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan tekanan darah dan nadi; pemeriksaan
suhu, warna kulit, dan membrane mukosa perbedaab suhu antara bagian pusat
dan perifer badan; evaluasi keadaan pengisian (kontraksi) vena dan evaluasi
palung kuku; keterlambatan pengisian daerah kapiler setelah kuku ditekan;
dan ekskresi urin tiap jam.
2.4.9.3 Penatalaksanaan
Pada syok hemoragik tindakan yang esensial adalah menghentikan
perdarahan dan mengganti kehilangan darah. Setelah diketahui adanya syok
hemoragik,:
1. Penderita dibaringkan dalam posisi Trendelenburg, yaitu dalam posisi
terlentang biasa dengan kaki sedikit tinggi ( 30 derajat ).
2. Dijaga jangan sampai penderita kedinginan badannya. Setelah
kebebasan jalan napas terjamin, untuk meningkatkan oksigenasi dapat
diberi oksigen 100% kira-kira 5 liter/menit melalui jalan napas.
Pengobatan
insufisiensi
ginjal
dengan
pengenalan
dini
bagi