Ilustrasi Kasus CR Anestesi
Ilustrasi Kasus CR Anestesi
Disusun Oleh:
Hapsoro Wibhisono, S.Ked
Ni Made Agusuriyani Diana Putri, S.Ked
Frisca Febe Lumbangaol, S.Ked
Anni Najiyah Ziha Ul Haq, S.Ked
Bobby Setiawan, S.Ked
Ahmad Arbi Anindito, S.Ked
M. Akip Riyan Saputra, S.Ked
Anita Nur Charisma, S.Ked
Sri Puji Hartini, S.Ked
Apga Repindo, S.Ked
Pembimbing:
dr. Putu Junita P, Sp.An
KEPANITERAAN BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. H. ABDUL MOELOEK
BANDAR LAMPUNG
2015
I.
PENDAHULUAN
Pengertian syok terdapat bermacam-macam sesuai dengan konteks klinis dan tingkat
kedalaman analisisnya. Secara patofisiologi syok merupakan
diartikan sebagai kondisi tidak adekuatnya transport oksigen ke jaringan atau perfusi yang
diakibatkan oleh gangguan hemodinamik. Gangguan hemodinamik tersebut dapat berupa
penurunan tahanan vaskuler sitemik terutama di arteri, berkurangnya darah balik, penurunan
pengisian ventrikel dan sangat kecilnya curah jantung. Dengan demikian syok dapat terjadi
oleh berbagai macam sebab dan dengan melalui berbagai proses. Secara umum dapat
dikelompokkan kepada empat komponen yaitu masalah penurunan volume plasma
intravaskuler, masalah pompa jantung, masalah pada pembuluh baik arteri, vena, arteriol,
venule atupun kapiler, serta sumbatan potensi aliran baik pada jantung, sirkulasi pulmonal
dan sitemik.
Penurunan hebat volume plasma intravaskuler merupakan faktor utama yang menyebabkan
gterjadinya syok. Dengan terjadinya penurunan hebat volume intravaskuler apakah akibat
perdarahan atau dehidrasi akibat sebab lain maka darah yang balik ke jantung (venous return)
juga berkurang dengan hebat, sehingga curah jantungpun menurun. Pada akhirnya ambilan
oksigen di paru juga menurun dan asupan oksigen ke jaringan atau sel (perfusi) juga tidak
dapat dipenuhi. Begitu juga halnya bila terjadi gangguan primer di jantung, bila otot-otot
jantung melemah yang menyebabkan kontraktilitasnya tidak sempurna, sehingga tidak dapat
memompa darah dengan baik dan curah jantungpun menurun. Pada kondisi ini meskipun
volume sirkulasi cukup tetapi tidak ada tekanan yang optimal untuk memompakan darah
yang dapat memenuhi kebutuhan oksigen jaringan, akibatnya perfusi juga tidak terpenuhi.
Gangguan pada pembuluh dapat terjadi pada berbagai tempat, baik arteri (afterload), vena
(preload), kapiler dan venula. Penurunan hebat tahanan tahanan vaskuler arteri atau arteriol
akan menyebabkan tidak seimbangnya volume cairan intravaskuler dengan pembuluh
tersebut sehingga menyebabkan tekanan darah menjadi sangat rendah yang akhirnya juga
menyebabkan tidak terpenuhianya perfusi jaringan. Peningkatan tahanan arteri juga dapat
mengganggu sistim sirkulasi yang mengakibatkan menurunya ejeksi ventrikel jantung
sehingga sirkulasi dan oksigenasi jaringan menjadi tidak optimal. Begitu juga bila terjadi
peningkatan hebat pada tonus arteriol, yang secara langsung dapat menghambat aliran
sirkulasi ke jaringan. Gangguan pada vena dengan terjadinya penurunan tahanan atau dilatasi
yang berlebihan menyebabkan sistim darah balik menjadi sehingga pengisian jantung
menjadi berkurang pula. Akhirnya menyebabkan volume sekuncup dan curah jantung juga
menurun yang tidak mencukupi untuk oksigenasi dan perfusi ke jaringan. Ganguan pada
kapiler secara langsung seperti terjadinya sumbatan atau kontriksi sistemik secara langsung
menyebabkan terjadinya gangguan perfusi karena area kapiler adalah tempat terjadinya
pertukaran gas antara vaskuler dengan jaringan sel-sel tubuh.
Berdasarkan bermacam-macam sebab dan kesamaan mekanisme terjadinya itu syok dapat
dikelompokkan menjadi beberapa empat macam yaitu syok hipovolemik, syok distributif,
syok obstrukttif, dan syok kardiogenik.
I.
II.
Identitas Pasien
Nama
: Ny. EY
Usia
: 31 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Alamat
Agama
: Islam
Suku
: Jawa
Warga negara
: Indonesia
Pekerjaan
Nomor RM
: 42.13.99
: 23 Juli 2015
Siklus: 28 hari
Riwayat Perkawinan:
Kawin : 1 kali
Kesadaran
: compos mentis
Tekanan darah
: 110/80 mmHg
Nadi
: 74 X/menit, regular
Pernapasan
: 18 X/menit
Mallapati score
:2
TMD
: > 5 cm
ASA
:3
Status generalis
Mata
Jantung
Paru
Abdomen
Ekstremitas
Status ginekologi
PL
VT
: tidak dilakukan
Hasil Laboratorium
28 Juli 2015
Pemeriksaan
Hematologi
- Hemoglobin
- Hematokrit
- Leukosit
- Trombosit
- Eritrosit
- MCV
- MCH
- MCHC
- Hitung Jenis
- Basofil
- Eosinofil
- Batang
- Segmen
- Limfosit
- Monosit
- LED
- CT
- BT
Hasil
9,5
30
9,3
136
2,3
83
28
34
0
1
0
62
27
11
35
12
3
Riwayat Intraoperatif
Nilai rujukan
-
11.7-15.5 g/dl
33 45 %
5-10 ribu/ul
150-440 ribu/ul
3.8-5.2 juta/ul
76-96 fL
27-32 pg
30-35 g/dl
0-1%
2-4%
3-5 %
50-70%
25-40 %
2-8%
0-10 mm/jam
9-15 menit
1-3 menit
Pasien diantar dari ruang perawatan Delima RSUAM ke OK RSUAM karena telah
dijadwalkan operasi secara elektif pada tanggal 30 Juli 2015 dengan diagnosa masuk
Tumor Trofoblas Ganas. Pasien masuk ruang operasi pukul 10.45 wib.
Pemeriksaan Fisik 30 menit sebelum pasien dibius
Umum :
Keadaan umum
: Sedang
Kesadaran
: Somnolen, E4V4M5
Tekanan darah
: 112/80 mmHg
Nadi
: 145 X/menit
Saturasi pernafasan
: 100%
Status generalis :
Mata
Jantung
Paru
Abdomen
Ekstremitas
Rencana Terapi
Kebutuhan cairan selama operasi
-
: RL 900 mL
: RL 700 mL
: RL 700 mL
Pada pasien ini dilakukan pemilihan anastesi yaitu General Anastesi. Obat obatan
premedikasi yang digunakan yakni Fentanyl 75mg. Pasien di induksi dengan
menggunkan Propofol 100mg dan relaksasi dengan Tracrium 30mg. Dipasang ETT
no. 7, cuff (+), guedel (+) untuk oksigenisasi yang lebih adekuat. Saat pasien sudah
terbius, operasi dimulai.
Pukul 11.00 operasi dimulai dengan operator dr. Sp,OG. Operasi berjalan. Pukul
12.30 saat operasi berjalan, pasien mengalami perdarahan aktif yang bersumber dari
Choriocarcinoma yang diambil. Saat itu keadaan pasien sebagai berikut;
Pemeriksaan Fisik
Umum :
Keadaan umum
: buruk
Kesadaran
Tekanan darah
: 80/50 mmHg
Nadi
: 130 X/menit
Saturasi pernafasan
: 90%
Status generalis :
Mata
Jantung
Paru
Abdomen
Ekstremitas
.
Daftar Masalah
Syok hipovolemik e.c. Perdarahan masif suboptimal debulking tumor trofoblas ganas.
Pasien dikategoikan ke dalam ASA 3 dengan syok hipovolemik
Rencana terapi
Atasi syok dengan resusitasi cairan
Hentikan perdarahan dengan klem sumber perdarahan
Post op rawat di ICU
Resusitasi cairan intraoperatif
Untuk mengembalikan kehilangan cairan pada pasien perlu dilakukan pemberian
cairan dengan cepat. Hal ini dapat dilakukan dengan memperbanyak akses vena,
menggunakan ukuran jarum yang lebih besar, dan menggunakan kanul vena yang
lebih pendek, akses vena terpasang 3 line di tangan kanan, tangan kiri, dan kaki
kanan.
Jumlah cairan yang diberikan dihitung dengan lebih dulu menentukan jumlah volume
darah pasien yang hilang. Hal ini bisa didapat dengan mengalikan 50 (berat badan
pasien) dengan 65 (perkiraan jumlah darah wanita per kilogram), sehingga didapatkan
3250 ml. Kemudian, ditentukan jumlah darah yang hilang. Pada pasien ini,
diperkirakan jumlah darah yang hilang sekitar 61 persen, termasuk syok hipovolemik
grade 4. Jadi, dalam mililiter jumlah darah yang hilang adalah 2000 ml. Pasien sudah
menyediakan darah PRC sebanyak 1 kantong yaitu 200 mL. dan diberikan koloid
sebanyak 3 kolf yaitu 1500 mL dan kristaloid sebanyak 2 kolf yaitu 1000 mL.
Untuk menghentikan perdarahan, pada pasien dilakukan abdominal packing
menggunakan big hoas 3 buah pada sumber perdarahan, secara sementara yang akan
dilepaskan beberapa hari kemudian. Kehilangan darah yang diperbolehkan dalam
operasi adalah 20% dari perkiraan jumlah darah yaitu 720 ml. Jumlah ini masih
ditambah lagi dengan urin yang dikeluarkan selama operasi sebesar 200 ml, sehingga
total normal cairan yang hilang selama operasi 900. Perdarahan yang terjadi selama
operasi 2000 ml.
Setelah dilakukan resusitasi cairan dengan baik, makan keadaan hemodinamik pasien
cukup stabil, dilihat dari perubahan tekanan darah, nadi, saturasi oksigen dan produksi
urin.
Keadaan post operasi
Tekanan darah
: 110/70 mmHg
Nadi
: 68 X/menit, reguler
Sianosis
: (-)
Anemis
: (+)
Refleks
: (-)/(-)
Muntah
: (-)
Diagnosis post op
Observasi Vital Sign (TD, Nadi, RR, Suhu), intake-output, perdarahan drainage
Puasa sampai terdapat bising usus normal (minum sedikit-sedikit bertahap)
Pasang NGT
IVFD Ringer Laktat : D5% = 1:1 xxx gtt/menit
Transfusi Whole Blood 480 mL atau 2 kantong sampai minimal Hb 10 gr/dl
Ceftriaxone 2x1gr IV
Metronidazol 3x500mg
Dopamin 5mcg/kgBB/menit
Ranitidin 2x50mg
`Ketorolac 3x30mg
III. DISKUSI
Pada kasus ini seorang wanita usia 31 tahun dilakukan operasi laparotomi atas indikasi tumor
trofoblas ganas yang sudah diderita pasien selama 4 bulan. Teknik anastesi yang digunakan
adalah anatesia umum (general anastesia).
Berdasarkan teori, pasien yang pasien yang dilakukan laparotomi dengan ekplorasi yang luas
harus dianastesi dengan teknik anastesia umum, dan dalam hal tersebut pasien sebelumnya
harus melakukan puasa minimal selama 8 jam untuk mencegah aspirasi saat dilakukan
anastesia dan pemasangan endotracheal tube (ETT). Pada pasien dilakukan anastesia umum
sesuai dengan teori karena dilakukan operasi berupa laparotomi dan sudah puasa selama 8
jam.
Pada saat proses pembedahan seorang pasien membutuhkan terapi pemeliharan perioperatif :
Untuk 1 jam pertama 900 ml didapat dari rumus (1/2PP+M+SO), 1 jam kedua dan
ketiga dengan masing-masing sebanyak 700 ml didapat dari rumus (1/4PP+M+SO).
Dimana PP adalah pengganti puasa, M adalah maintenance dan SO adalah stress
operasi yang dialami pasien. Dengan rumus sebagai berikut
Maintenance (M)
: 2 x KgBB
2 x 50 Kg = 100 mL
induksi, dan bangun dari anastesia diantaranya : 1) meredakan kecemasan dan ketakutan; 2)
mempelancar induksi; 3) mengurangi sekresi kelenjar ludah; 4) meminimalkan jumlah obat
anestetik; 5) mengurangi mual muntah pasca bedah; 6) menciptakan amnesia; 7) mengurangi
isi cairan lambung; 8) mengurangi refleks yang membahayakan. Pada pasien diberikan
premedikasi berupa fentanyl 75mcg.
Fentanyl merupakan obat analgetik golongan opioid sintetik yang formulasinya sangat
berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang sama. Fentanyl
lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan pethidin dan menembus sawar jaringan dengan
mudah. Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama
dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertamanya melewatinya.
Dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilas dan hidroksilasidan sisa metabolismenya
dikeluarkan oleh urin. Efek depresi napasnya lebih lama dibandingkan efek analgesiknya.
Dosis 1-3 g/KgBB analgesiknya kira-kira berlangsung hanya dipergunkan untuk anastesia
pembedahan dan tidak pasca bedah. Pada pasien yang berat badan 50 kg diberikan fentanyl
sebesar 50 g atau 1 ampul.
Pada pasien diinduksi dengan profopol dengan dosis 2-3 mg/kgbb. Pada pasien dengan berat
badan 60 kg diberikan profopol dengan dosis 120 mg. Karena pada pasien sudah diberikan
midazolam yang mempunyai efek hipnotik maka pasien diberikan profopol dengan dosis
rendah. Pada pasien diberikan sevoflurane sebagai anastesi inhalasi untuk pemeliharaan
dengan MAC sebesar 2 diikuti dengan pemberian O2 : N2O sebesar 3:1.
Pada saat intraoperatif, pasien mengalami gangguan hemodinamik yaitu penurunan > 20%
tekanan dari preoperatif 80/50, nadi 130 dengan melemahnya denyut nadi, saturasi O2
menurun menjadi 90%, volume urin tidak bertambah pada urin bag, akral dingin +/+. Hal ini
disebabkan karena pasien mengalami perdarahan aktif pada saat intraoperatif, yang ditandai
dengan jumlah perdarahan sebanyak 2000 mL atau 61 % dari EBV pasien ini (EBV : 3250).
Maka dengan kondisi tersebut pasien sedang mengalami syok hipovolemik grade 4.
Resusitasi yang dilakukan dalam mengatasi syok hemorargik terdiri atas dua tahap yaitu
resusitasi dini (early resuscitation) dan resusitasi lambat (late resuscitation).6 Pembagian
kedua tahapan ini dikarenakan adanya suatu siklus yang menyebabkan resusitasi tidak dapat
dilakukan hanya di awal saja. Ketika terjadi syok hemorargik dan dilakukan resusitasi cairan,
akan terjadi dilusi dari sel darah merah yang akan mengurangi pengantaran oksigen. Hal
tersebut akan menyebabkan hipotermia dan koagulopati. Selain itu, cairan tubuh yang
meningkat akan meningkatkan tekanan darah, dan karena adanya efek reversal dari
vasokonstriksi pembuluh darah akan menyebabkan perdarahan yang semakin banyak
sehingga membutuhkan lebih banyak cairan resusitasi. Pada akhirnya, siklus kenaikan
tekanan darah dalam waktu singkat, perdarahan yang makin banyak, dan kembali ke
hipotensi akan terjadi terus menerus bila resusitasi tidak dilakukan dalam dua tahap.
Resusitasi dini dilakukan ketika perdarahan aktif masih berlangsung pada pasien.
Resusitasi lambat dilakukan setelah seluruh perdarahan dapat dikontrol. Karena dilakukan
pada kondisi yang berbeda, maka tujuan dari kedua resusitasi ini berbeda.
Tujuan dari resusitasi dini adalah:6
-
Pada pasien dilakukan resusitasi cairan dini untuk menggantikan jumlah perdarahan yang
keluar. Menurut teori pada pasien yang mengalami syok hipovolemik grade 4 penggantian
cairan yang digunakan berupa kristaloid, + koloid dan transfusi. Jadi, dalam mililiter jumlah
darah yang hilang adalah 2000 ml. Pasien sudah menyediakan darah PRC sebanyak 1
kantong yaitu 200 mL. dan diberikan koloid sebanyak 3 kolf yaitu 1500 mL dan kristaloid
sebanyak 2 kolf yaitu 1000 mL. penatalaksanaan resusitasi cairan pada pasien ini yang
mengalami syok hipovolemik grade 4 akibat perdarahan sudah tepat sesuai teori yaitu
berdasarkan hukum 3 untuk 1. Hukum ini berasal dari pengamatan empiris bahwa
kebanyakan penderita syok hemoragik memerlukan sebanyak 300 mL larutan elektrolit untuk
setiap 100 mL darah yang hilang. Hal ini disebabkan karena cairan kristaloid yang bersifat
isotonis, seperti RL akan mudah melawati dinding endotel kapiler tetapi tidak mudah
melewati dinding sel, pemberian infuse cairan ini akan berakhir di ruang interstitial sehingga
tidak bertahan lama dalam intravascular, berbeda dengan koloid, plasma atau darah yang
dapat menetap didalam intravaskuler sebab tidak dapat melewati dinding endotel kepiler
kecuali dalam keadaan patologis seperti keadaan kombusio.
Pada pasien ini diberikan kristaloid Ringer Lactat karena pergeseran keseimbangan asam basa
tidak terlalu besar dikarenakan kandungan Natrium dan Clorida tidak sama,selain itu juga
adanya tambahan laktat yang nantinya akan dimetabolisme dalam siklus Kreb yang kemudian
akan di buffer oleh bicarbonate dan akhirnya akan dilepas melalui paru-paru sehingga tidak
akan menggeser kesimbangan asam basa secara berlebihan ke salah satu sisi. Pada pasien ini
tidak diberikan NaCl karena akan memperngaruhi kesimbangan asam basa Stewart sehingga
akan meningkatkan
kesimbangan kadar natrium dan clorida dalam cairan. Sedangkan saat syok, selalu diiringi
oleh keadaan asidosis. Ini yang mendasari penggunaan RL bukan NaCl
karena dapat
Pada pasien ini sudah disiapkan darah berupa whole blood sebanyak 1 kantong 200 mL
karena Hb preoperatif pasien sebesar 9,5 gr/dl. Hal ini sesuai dengan teori bahwa bila Hb
antara 6-10 g/dl, menentukan perlu tidaknya transfusi adalah dengan melihat apakah ada
organ iskemia, potensi perdarahan berlanjut, status volume intravaskular pasien, dan faktor
risiko komplikasi terhadap oksigenasi inadekuat, sedangkan pada pasien yang akan
melakukan laparotomi mempunyai faktor resiko yang lebih besar mengalami perdarahan.
Pada saat intraoperatif pasien mengalami perdarahan sebanyak 2000 mL, sehingga persediaan
darah yang dimiliki pasien sebanyak 200 mL ditransfusikan untuk menggantikan kehilangan
darah tersebut. Dan sisa kekurangan dari volume darah yang hilang digantikan dengan cairan
yaitu kristaloid dan koloid yang sudah dipaparkan diatas.
Setelah perdarahan terkontrol, resusitasi akan memasuki fase selanjutnya yaitu fase lambat.
Tujuan dari resusitasi fase lambat adalah: 6
-
Pada saat resusitasi fase lambat ini dilakukan, pemberian cairan tetap dilakukan sampai
diyakini sudah terjadi perfusi sistemik yang adekuat. Pada pasien resusitasi fase lambat ini
diberikan dengan maintenance cairan kristaloid berupa RL : D5% dengan perbandingan 1 : 1
tetasan 20 tpm, menyiapkan whole blood sebanyak 1 kantong untuk mengoreksi Hb diberikan
samapai Hb minimal 10 gr/dl.
Indikasi Pasien Masuk ICU
Pasien dengan satu atau lebih gagal sistem / organ akut atau pasien dengan ancaman
gagal sistem / organ akut yang membutuhkan pemantauan dan alat-alat bantu
Dibagi 3 prioritas:
Harapan kesembuhannya
ICU memberikan pelayanan antara lain pemantauan yang canggih dan terapi yang intensif.
Dalam keadaan penggunaan tempat tidur yang tinggi, pasien yang memerlukan terapi intensif
(prioritas satu-1) didahulukan rawat ICU dibandingkan pasien yang memerlukan pemantauan
intensif (prioritas dua-2) dan pasien sakit kritis atau terminal dengan prognosis yang jelek
untuk sembuh (prioritas tiga-3). Penilaian obyektif atas beratnya penyakit dan prognosis
hendaknya digunakan untuk menentukan prioritas masuk pasien.
Prioritas I :
Pasien sakit berat dan kritis "Pasien tidak stabil yang memerlukan" terapi intensif seperti
bantuan ventilator, pemberian obat-obatan, vaso aktif melalui infus secara continue.
Contoh:
Pasien yang kehidupannya terancam dan memerlukan pemantauan terus menerus serta
terapi titrasi agar penyakit dapat diantisipasi, misal :
- Pasien infark miokard akut
- Pasien hipertensi emergency
- Pasien disritmia jantung maligna
- Pasien yang memerlukan obat vasoaktif secara titrasi
- Pasien kontusio serebri
- Pasien gangguan pembuluh darah otak
- Pasien pasca resusitasi atau sedang dalam resusitasi
- Pasien koma mendadak yang bukan mati batang otak
- Pasien eklampsia
Prioritas II :
Pasien yang memerlukan pemantauan intensif, invasive dan non invasive
Misalnya:
1. Pasca bedah besar dan luas
Contoh:
- Bedah traktus digestifus
- Bedah Tumor
- Bedah Syaraf ( Neuro Surgery )
2. Pasien dengan penyakit primer:
- Jantung
- Paru
- Ginjal
- Syaraf
- Gangguan Metabolisme
Untuk mengurangi atau menghindari komplikasi yang lebih berat.
Prioritas III
Pasien yang memerlukan terapi intensif untuk mengatasi komplikasi-komplikasi akut,
meskipun kemungkinan untuk pulih kembali sangat kecil ( manfaat ICU sedikit ).
Contoh :
1. Pasien dengan metastase tumor ganas dengan komplikasi infeksi berat.
2. Komplikasi gagal nafas pernafasan dengan prognose buruk untuk sembuh.
Pasien-pasien yang tidak memenuhi kriteria / tidak perlu masuk ICU:
Jenis pasien berikut umumnya tidak mempunyai kriteria yang sesuai untuk masuk ICU, dan
hanya dapat masuk dengan pertimbangan seperti pada keadaan luar biasa, atas persetujuan
Kepala ICU. Lagi pula pasien-pasien tersebut bila perlu harus dikeluarkan dari ICU agar
fasilitas yang terbatas tersebut dapat digunakan untuk pasien prioritas 1, 2, 3 (satu, dua, tiga).
1. Pasien yang telah dipastikan mengalami brain death. Pasien-pasien seperti itu dapat
dimasukkan ke ICU bila mereka potensial donor organ, tetapi hanya untuk tujuan
menunjang fungsi-fungsi organ sementara menunggu donasi organ.
2. Pasien-pasien yang kompeten tetapi menolak terapi tunjangan hidup yang agresif dan
hanya demi perawatan yang aman saja. Ini tidak menyingkirkan pasien dengan
perintah DNR. Sesungguhnya pasien-pasien ini mungkin mendapat manfaat dari
tunjangan canggih yang tersedia di ICU untuk meningkatkan kemungkinan survivalnya.
3. Pasien dalam keadaan vegetatif permanen.
4. Pasien yang secara fisiologis stabil yang secara statistik resikonya rendah untuk
memerlukan terapi ICU. Contoh-contoh pasien kelompok ini antara lain, pasien pasca
bedah vaskuler yang stabil, pasien diabetic ketoacidosis tanpa komplikasi, keracunan
obat tetapi sadar, concusion, atau payah jantung kongestif ringan. Pasien-pasien
semacam ini lebih disukai dimasukkan ke suatu unit intermediet untuk terapi definitif
dan /atau observasi.
Pada pasien ini mengalami syok, sehingga ini masuk dalam kriteria I.