PENDAHULUAN
1.1.
LatarBelakang
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di dunia.
Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) memperkirakan
sepertiga dari populasi dunia telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis
masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama di dunia. Setiap tahun
terdapat 9 juta kasus baru dan kasus kematian hampir mencapai 2 juta manusia. Di semua
negara telah terdapat penyakit ini, tetapi yang terbanyak di Afrika sebesar 30%, Asia
sebesar 55%, dan untuk China dan India secara tersendiri sebesar 35% dari semua kasus
tuberkulosis.(Universitas Sumatera Utara)
Laporan WHO (global reports 2010), menyatakan bahwa pada tahun 2009 angka kejadian
TB di seluruh dunia sebesar 9,4 juta (antara 8,9 juta hingga 9,9 juta jiwa) dan meningkat
terus secara perlahan pada setiap tahunnya dan menurun lambat seiring didapati
peningkatan per kapita. Prevalensi kasus TB di seluruh dunia sebesar 14 juta (berkisar 12
juta sampai 16 juta). Jumlah penderita TB di Indonesia mengalami penurunan, dari
peringkat ke tiga menjadi peringkat ke lima di dunia, namun hal ini dikarenakan jumlah
penderita TB di Afrika Selatan dan Nigeria melebihi dari jumlah penderita TB di
Indonesia. Estimasi prevalensi TB di Indonesia pada semua kasus adalah sebesar 660.000
dan estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat
TB diperkirakan 61.000 kematian per tahun. Selain itu, kasus resistensi merupakan
tantangan baru dalam program penanggulangan TB. Pencegahan meningkatnya kasus TB
yang resistensi obat menjadi prioritas penting. (Universitas Sumatera Utara)
Laporan WHO tahun 2007 menyatakan persentase resistensi primer di seluruh dunia telah
terjadi poliresistensi 17,0%, monoresistensi terdapat 10,3%, dan Tuberculosis - Multidrug
Resistant (TB-MDR) sebesar 2,9 %. Sedangkan di Indonesia resistensi primer jenis MDR
terjadi sebesar 2%. Kontak penularan M. tuberculosis yang telah mengalami resistensi
obat akan menciptakan kasus baru penderita TB yang resistensi primer, pada akhirnya
mengarah pada kasus multi-drug resistance (MDR). Ketika dilaporkan adanya beberapa
kasus resistensi obat TB di beberapa wilayah di dunia hingga tahun 1990-an, masalah
resistensi ini belum dipandang sebagai masalah yang utama. Penyebaran TB-MDR telah
meningkat oleh karena lemahnya program pengendalian TB, kurangnya sumber dana dan
isolasi yang tidak adekuat, tindakan pemakaian ventilasi dan keterlambatan dalam
menegakkan diagnosis suatu TB-MDR. (Universitas Sumatera Utara)
1.2.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1. PENGERTIAN
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan
setelah pemberian antibiotika non OAT.
b. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
2.2.3. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit
TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks
memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses far
advanced), dan atau keadaan umum pasien buruk.
TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
o TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa
unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
o TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis,
pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih
dan alat kelamin.
2.2.4. Tipe Pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe
pasien yaitu:
Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan
OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
Kasus kambuh (Relaps)
intraselular
yakni
dalam
sitoplasma
makrofag.
Makrofag
yang
semula
pencairan, dimana bahan cair lepas kedalam bronkus dan menimbulkan kavitas.
Materi tuberkular yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk ke dalam
percabangan trakeobronkhial. Proses ini dapat akan terulang kembali ke bagian lain
dari paru-paru, atau basil dapat terbawa sampai ke laring, telinga tengah atau usus.
Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan
jaringan parut bila peradangan mereda lumen bronkus dapat menyempit dan
tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dekat perbatasan rongga bronkus. Bahan
perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran
penghubung sehingga kavitas penuh dengan bahan perkejuan dan lesi mirip dengan
lesi berkapsul yang tidak terlepas keadaan ini dapat menimbulkan gejala dalam
waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat
peradangan aktif. Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh
darah. Organisme yang lolos dari kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah
dalam jumlah kecil dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis
penyebaran ini dikenal sebagai penyebaran limfohematogen, yang biasanya
sembuh sendiri. Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut yang
biasanya menyebabkan tuberkulosis milier. Ini terjadi apabila fokus nekrotik
merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk kedalam sistem
vaskular dan tersebar ke organ-organ tubuh.
Pathway
5. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, ginjal dan sebagainya.
6. insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency)
dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah
normal lagi.
Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman
BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Disamping itu
pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan
yang sudah diberikan.
Tes Tuberkulin
Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang atau
pernah mengalami infeksi M. Tuberculosae, M. Bovis, vaksinasi BCG dan
Myobacteria patogen lainnya.
2.8. PENATALAKSANAAN
1. Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT.
2. Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
a.
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi) . Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap
(OAT KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b.
c.
Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk
memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu
(1) masa pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
1.
2.
3.
Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
2.9.
PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Pengumpulan data
Dalam pengumpulan data ada urutan urutan kegiatan yang dilakukan yaitu :
a.
Identitas klien
Nama, umur, kuman TBC menyerang semua umur, jenis kelamin, tempat
tinggal (alamat), pekerjaan, pendidikan dan status ekonomi menengah
kebawah dan satitasi kesehatan yang kurang ditunjang dengan padatnya
penduduk dan pernah punya riwayat kontak dengan penderita TB patu
yang lain.
e.
Riwayat psikososial
Pada penderita yang status ekonominya menengah ke bawah dan sanitasi
kesehatan yang kurang ditunjang dengan padatnya penduduk dan pernah
punya riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis paru yang lain
f.
BAB III
REVIEW JURNAL
3.1 INTERVENSI / PENCEGAHAN
4.1
hal ini dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan
minum sebanyak 2 liter dan diajarkan melakukan reflek batuk19. Untuk
mempermudah pengeluaran sputum dapat dipengaruhi beberapa faktor yaitu
batuk efektif, postural drainase, vibrating dan clapping.
Cara melakukan batuk efektif posisi badan agak condong kedepan,
kemudian hirup napas dalam 2 kali secara perlahan-lahan melalui hidung dan
hembuskan melalui mulut hirup napas dalam ketiga kalinya ditahan 3 detik
kemudian batukkan dengan kuat 2 atau 3 kali secara berturut turut tanpa
menghirup napas kembali selama melakukan batuk kemudian napas ringan.
Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar.
Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk
baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah
berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk
dimulai dari batuk kering (non-produktif) setelah timbul peradangan menjadi
produktif (menghasilkan sputum)3. Batuk berdahak terus menerus selama 3
minggu atau lebih, pada tahap lanjut dahak bercampur darah dan batuk darah.
Batuk dipicu secara refleks ataupun disengaja. Sebagai reflek pertahanan
diri, batuk dipengaruhi oleh jalur saraf relaksasi diagfragma dan kontraksi otot
melawan glotis yang menutup. Hasilnya akan terjadi tekanan yang positif pada
intra thorak yang menyebabkan penyempitan trakea. Sekali glotis terbuka,
bersama dengan penyempitan trakea akan menghasilkan aliran udara yang cepat
melalui trakea. Kekuatan eksposif ini akan menyapu sekret dan benda asing
yang ada di saluran nafas.
Pasien sebelum mendapatkan pelatihan batuk efektif seluruhnya tidak bisa
mengeluarkan sputum yang maksimal, sebagian besar yang dikeluarkan adalah
ludah hal ini dikarenakan pasien belum tahu bagaimana cara batuk efektif.
Mereka hanya melakukan batuk dengan cara biasa sehingga tidak bisa maksimal
pengeluaran sputumnya.
Ketidak mampuan responden dalam pengeluaran sputum dapat dipengaruhi
beberapa hal yaitu sebagian besar responden sudah masuk bulan berobat 3 bulan
sampai 6 bulan sehingga produktifitas pengeluaran sputum menjadi berkurang
dengan begitu batuk efektif sangat perlukan supaya pengeluaran sputum
menjadi maksimal dan 1 hari sebelumnya disarankan minum air 2 liter.
resisten dan tidak resisten pada masing-masing obat. Menurut Reviono, hasil
pengobatan yang berbeda secara bermakna itu disebabkan oleh adanya resistensi
pada obat Rifampisin (p=0,003), Pirazinamid (p=0,041) dan Streptomisin
(p=0,049).6 Pada penelitian ini, keberhasilan pengobatan hanya ditemukan pada
kasus Monoresisten dan Polyresisten (nonMDR TB), sedangkan keseluruhan
pasien MDR TB menemui kegagalan pengobatan. Hasil penelitian Reviono
menemukan bahwa angka kesembuhan kasus MDR TB cukup rendah (35,71%)
dibandingkan dengan kasus resistensi non MDR (90,57%) dan mendapati
perbedaan ini bermakna antara kasus MDR dan non MDR (p=0,00).6
Persentase pasien TB paru resisten obat TB dengan riwayat Diabetes
Mellitus (17,7%) jumlahnya lebih rendah, dibandingkan pasien yang tidak
memiliki riwayat Diabetes Mellitus (82,2%). Hasil ini bertentangan dengan
penelitian Simion yang mendapati lebih banyak pasien TB Paru dengan Diabetes
Mellitus yang menderita MDR TB (32%) dibandingkan dengan yang tidak (4%).11
Diabetes Mellitus merupakan faktor risiko terjadinya MDR TB dengan RR=37,9
(95% CI, 3.1-459.5).12 Pada pasien Diabetes Mellitus didapatkan beberapa
defisiensi imunitas seluler. Kadar gula darah yang tinggi akan memicu terjadinya
defek imunologis yang berdampak pada penurunan fungsi neutrofil, monosit
maupun limfosit. Selain itu, Hiperglikemi kronik dapat menyebabkan gangguan
fungsi paru dengan menyebabkan penebalan dan perubahan struktur pada
membran basalis.13
Pada penelitian ini, keteraturan berobat berpengaruh kuat terhadap hasil
pengobatan (p=0,00; r=0,7). Sebanyak 21 pasien (46,7%) berobat secara teratur,
persentase tersebut lebih rendah dibandingkan jumlah pasien yang berobat tidak
teratur (53,3%). Hasil ini berbeda dengan penelitian Sri Melati Munir di Rumah
Sakit Persahabatan yang menunjukkan bahwa persentase keteraturan pasien untuk
datang berobat mencapai 78,9%.8 Kenyataan ini mungkin disebabkan karena pada
penelitian Munir letak Rumah Sakit Persahabatan berada pada tengah kota dan
dapat diakses dengan mudah oleh angkutan umum dan kendaraan pribadi.
12
Berbeda dengan RSPAW yang memiliki jarak tempuh cukup jauh dan harus
ditempuh dengan menggunakan Bus Antarkota Dalam Provinsi (AKDP). Kondisi
tersebut menimbulkan rendahnya aksesibilitas pasien karena tingginya biaya
perjalanan dan jauhnya jarak tempuh. Pernyataan ini serupa dengan hasil
lebih banyak pasien yang tidak mengalami konversi sputum. Resistensi OAT
banyak berkembang di negara dengan sosial ekonomi lemah, dimana dengan
kondisi yang lemah daya beli untuk pemenuhan kebutuhan gizi juga mengalami
kendala sehingga banyak dijumpai status gizi yang kurang, status gizi yang
kurang akan menyebabkan daya tahan yang lemah sehingga kuman M.
tuberkulosis mudah berkembangbiak dan hal tersebut akhirnya menghambat
kejadian konversi.9
Data yang diperoleh peneliti menunjukkan bahwa terdapat 12 pasien yang
sembuh walaupun sebagian besar pasien memiliki tingkat sosial ekonomi rendah.
Hal ini dikarenakan kemungkinan pasien tersebut berobat secara teratur, dan
memiliki tempat tinggal yang jarak tempuhnya tidak terlalu jauh dengan tempat
pengobatan. Selain itu, pasien memiliki keluarga yang berperan sebagai Pengawas
Minum Obat sehingga dapat membantu meringankan biaya pengobatan dan
menjaga agar pasien tetap teratur berobat.
Pada Tabel 1 tampak bahwa pasien TB resisten sebagian besar memiliki
gizi kurang (73,3%). Hasil serupa ditemukan pada penelitian Setyarini di
Yogyakarta yang mendapati bahwa sebagian besar pasien TB yang resisten OAT
memiliki status gizi kurang (61,5%). Infeksi TB dapat menyebabkan penurunan
berat badan, status gizi yang buruk meningkatkan risiko infeksi dan penyebaran
penyakit TB. Selain itu, gizi kurang akan menyebabkan daya tahan tubuh rendah
sehingga pertahanan tubuh terhadap kuman TB akan berkurang.9 Status gizi yang
kurang disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi yang rendah. Analisis statistik
yang dilakukan pada penelitian ini menemukan hubungan yang bermakna
(p=0,037) antara tingkat pendapatan dan status gizi. Nutrition assessment dan
14
monitoring berkala gizi pasien penting dilakukan oleh ahli gizi dan klinisi selama
pengobatan.16 Hal ini ditunjang dengan hasil studi Dhingra di India bahwa
peningkatan status gizi selama 6 bulan saat pengobatan berpengaruh terhadap
keberhasilan pengobatan (p=0,00).17 Selain itu, Seung et al juga menunjukkan
bahwa pasien MDR TB dengan BMI<18,4 berpengaruh terhadap risiko kematian
saat pengobatan MDR TB sedang berlangsung (OR=2,2 (95% CI 0,8-6,3)).18
Berdasarkan data pada penelitian ini, jumlah pasien yang tidak merokok
(71,1%) lebih banyak dibandingkan pasien yang merokok (28,9%) (Tabel 23).
Hasil ini berbeda dengan penelitian Ahmad Khan di Karachi, dimana kasus
samping obat, penyediaan OAT dan distribusi OAT serta alat kesehatan,
pencatatan dan pelaporan, upaya promosi kesehatan dan pencegahan. Upaya
pemerintah ini dilakukan dengan harapan bahwa pasien TB resisten OAT dapat
memperoleh perhatian kesehatan baik dari fasilitas pelayanan kesehatan maupun
tempat kerja. Dengan demikian angka success rate terhadap penyakit ini dapat
meningkat.
Dalam penelitian ini, peneliti mengalami beberapa keterbatasan penelitian,
antara lain keterbatasan waktu dan biaya untuk menemukan kasus TB paru
resisten, sehingga jumlah subyek tidak memenuhi kriteria jumlah sampel minimal.
Tidak lengkapnya data pada catatan medik sehingga variabel ada tidaknya
Pengawas Minum Obat (PMO), riwayat penyakit HIV dan tingkat pendidikan
tidak dapat dianalisis pada penelitian ini. Keterbatasan waktu dan tenaga
sehingga tidak dapat meneliti faktor perancu. Penelitian ini hanya menggunakan
catatan medik sehingga tidak dapat mengetahui secara detail data pasien.
16
Sebagian besar subyek pada penelitian ini status gizi normal sebesar 65,3%. Hal ini
disebabkan karena menurut Soedibyo,dkk pengobatan berkaitan dengan status gizi
penderita,
semakin baik system imunitas dalam tubuh maka penggunaan zat gizi untuk
melawan infeksi
berkurang sehingga zat gizi dapat digunakan secara optimal untuk proses pertumbuhan
sehingga status gizi anak dapat meningkat. Selain pengobatan juga terdapat faktor lain
yaitu asupan energy dan protein dalam jumlah cukup juga diperlukan untuk mendukung
proses penyembuhan dan peningkatan status gizi anak dengan infeksi tuberkulosis.20
Sebagian besar subyek pada penelitian ini menjalani pengobatan fase lanjutan karena
pada penelitian ini mengggunakan desain penelitian cross sectional hanya melakukan
observasi sekali
dan sekaligus dalam waktu yang sama. Pengobatan tuberkulosis dibagi dalam dua fase yaitu
fase awal dan fase lanjutan. Fase awal merupakan pengobatan yang berlangsung selama 2
bulan. Sedangkan fase lanjutan berlangsung selama 6-12 bulan.Obat yang diberikan pada fase
awal yaitu Isoniazid, Rifampisin dan Pirazinamid. Sedangkan pada faselanjutan yaitu
Isoniazid dan Rifampisin. Obat ini berfungsi untuk membunuh bakteri tuberkulosis. Efek
samping obat ini rasa mual, muntah, anoreksia, dan nyeri kepala. Efek tersebut dapat
berakibat pada penurunan nafsu makan.5 Hasil uji Chi Square fase pengobatan dengan status
gizi tuberkulosis anak menunjukkan adanya hubungan yang bermakna secara signifikan (p =
0,020). Hasil penelitian ini sesuai dengan teori bahwa pengobatan tuberkulosis berhubungan
dengan status gizi pasien tuberkulosis. Pengobatan dapat meningkatkan mekanisme
pertahanan tubuh dengan mengurangi jumlah bakteri di dalam tubuh.Semakin baik
mekanisme pertahanan tubuh, maka zat gizi untuk mengganti penghancuran jaringan tubuh
bagi pembentukan protein atau enzim dapat ditekan sehingga status gizi meningkat.
Penelitian yang dilakukan pada anak berusia kurang dari 5 tahun menunjukkan bahwa
keberhasilan pengobatan merupakan salah satu faktor yang mendukung terhadap peningkatan
status gizi. Dalam penelitian ini masih memiliki keterbatasan yaitu dalam data rekam medis
tidak terdapat tinggi badan penderita dan data pengobatan juga masih kurang lengkap.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 PENGARUH BATUK EFEKTIF TERHADAP PENGELUARAN SPUTUM
PADA PASIEN TUBERKULOSIS DI PUSKESMAS PETERONGAN
KABUPATEN JOMBANG
Menurut jurnal yang di buat oleh Yuliati Alie1, Rodiyah2 dengan judul
pengaruh batuk efektif terhadap pengeluaran sputum pada pasien tuberkulosis di
puskesmas peterongan kabupaten jombang. Dari analisis data sebagai berikut:
Pengeluaran sputum sebelum dilatih batuk efektif pada pasien TB
Dari hasil pemeriksaan pada specimen 1 (sebelum dilatih batuk efektif),
didapatkan rata-rata volume sputum dari 24 responden 0,32 cc, sebanyak 13
responden (54,2%) tidak dapat mengeluarkan sputum dan hanya mengeluarkan
ludah.
Pasien dengan batuk lama akan menghasilkan sputum. Batuk yang sangat
hebat menyebabkan spasme bronkial dan obstruksi. Lebih jauh mengiritasi bronki
dan mengakibatkan sinkop (pingsan). Batuk hebat berulang, atau tidak terkontrol
yang tidak produktif akan sangat melelahkan dan berpotensi membahayakan.
Pembentukan sputum adalah reaksi paru-paru terhadap setiap iritan yang kambuh
secara konstan.
Batuk adalah merupakan pengeluaran udara dari paru-paru yang tiba-tiba
dapat didengar. Saat individu menghirup napas, maka glotis akan menutup
sebagian dan otot bantu pernafasan berkontraksi untuk mengeluarkan udara
secara paksa. Batuk merupakan reflek membersihkan trakea, bronkus dan paruparu untuk melindungi organ-organ tersebut dari iritasi dan sekresi.
Batuk diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Karena
terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada
setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah bermingguminggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk
kering kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan
sputum). Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mengeluarkan sputum.
Terutama pada pasien yang tidak batuk atau batuk yang non produktif. Dalam hal
ini dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan minum
sebanyak 2 liter dan diajarkan melakukan reflek batuk19. Untuk mempermudah
pengeluaran sputum dapat dipengaruhi beberapa faktor yaitu batuk efektif,
postural drainase, vibrating dan clapping.
Cara melakukan batuk efektif posisi badan agak condong kedepan, kemudian
hirup napas dalam 2 kali secara perlahan-lahan melalui hidung dan hembuskan
melalui mulut hirup napas dalam ketiga kalinya ditahan 3 detik kemudian
batukkan dengan kuat 2 atau 3 kali secara berturut turut tanpa menghirup napas
kembali selama melakukan batuk kemudian napas ringan.
Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar.
Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk
baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah
berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai
dari batuk kering (non-produktif) setelah timbul peradangan menjadi produktif
(menghasilkan sputum)3. Batuk berdahak terus menerus selama 3 minggu atau
lebih, pada tahap lanjut dahak bercampur darah dan batuk darah.
Batuk dipicu secara refleks ataupun disengaja. Sebagai reflek pertahanan
diri, batuk dipengaruhi oleh jalur saraf relaksasi diagfragma dan kontraksi otot
melawan glotis yang menutup. Hasilnya akan terjadi tekanan yang positif pada
intra thorak yang menyebabkan penyempitan trakea. Sekali glotis terbuka,
bersama dengan penyempitan trakea akan menghasilkan aliran udara yang cepat
melalui trakea. Kekuatan eksposif ini akan menyapu sekret dan benda asing
yang ada di saluran nafas.
Pasien sebelum mendapatkan pelatihan batuk efektif seluruhnya tidak bisa
mengeluarkan sputum yang maksimal, sebagian besar yang dikeluarkan adalah
ludah hal ini dikarenakan pasien belum tahu bagaimana cara batuk efektif.
Mereka hanya melakukan batuk dengan cara biasa sehingga tidak bisa maksimal
pengeluaran sputumnya.
Ketidak mampuan responden dalam pengeluaran sputum dapat dipengaruhi
beberapa hal yaitu sebagian besar responden sudah masuk bulan berobat 3 bulan
sampai 6 bulan sehingga produktifitas pengeluaran sputum menjadi berkurang
dengan begitu batuk efektif sangat perlukan supaya pengeluaran sputum
menjadi maksimal dan 1 hari sebelumnya disarankan minum air 2 liter.
Pendidikan yang rendah mengakibatkan pengetahuan yang kurang sehingga
pasien TB kurang tahu bagaimana cara batuk yang benar dan sebelumnya tidak
pernah mendapat informasi bagaimana mengeluarkan sputum dengan benar dari
petugas kesehatan sehingga menggakibatkan pengeluaran sputum tidak dapat
maksimal. Jika demikian bisa mengakibatkan petugas laborat membuat
diagnosa yang salah karena jumlah sputum tidak sesuai dengan jumah yang
diharapkan.
Melakukan batuk yang benar bukan saja dapat mengeluarkan sputum secara
maksimal tetapi juga dapat menghemat energi. Batuk efektif memberikan
kontribusi yang positif terhadap pengeluaran volume sputum. Seluruh
responden melakukan batuk efektif dengan baik, Walaupun melakukan batuk
efektif dengan baik masih ada yang tidak dapat mengeluarkan sputum dapat
juga dikarenakan faktor mulai berobat sudah bulan terahir bulan pengobatan dan
sebagian kecil responden yang berusia lansia.
Usia yang cukup juga mempermudah mengajarkan cara batuk efektif
sehingga pasien TB cepat tanggap apa yang disarankan peneliti dengan batuk
efektif pasien menjadi tahu tentang bagaimana cara mengeluarkan sputum
secara maksimal dan cara batuk yang benar. Pengeluaran sputum yang
dihasilkan dengan maksimal menyebabkan lebih mudahnya petugas laborat
memeriksa sputum pasien. Karena untuk menegakkan diagnosa secara tepat
salah satu diantaranya adalah dengan pemeriksaan sputum (dahak). Penting
untuk mendapatkan sputum yang benar, bukan ludah ataupun sekret hidung
sehingga dapat diketemukan diagnosa yang pasti.
Berdasarkan analisa data pada specimen 1 dan specimen post 2 dengan
analisa data menggunakan uji chi square diperoleh = 0,021 < 0,05 berarti H0
ditolak dan Ha diterima, sehingga ada pengaruh batuk efektif terhadap
pengeluaran sputum pada pasien TB di Puskesmas Peterongan Kabupaten
Kabupaten Jombang.
Batuk efektif adalah merupakan latihan batuk untuk mengeluarkan
sekret13. Batuk efektif adalah merupakan suatu metode batuk dengan benar,
dimana klien dapat menghemat energi sehingga tidak mudah lelah dan dapat
mengeluarkan dahak secara maksimal17. Jika sputum terlalu kental untuk dapat
dikeluarkan, ada baiknya mengurangi viskositasnya dengan meningkatkan
kandungan airnya melalui hidrasi yang adekuat4.
Pada beberapa kondisi paru, seperti bronkhitis kronis, emfisema, dan
fibrosis kistik, lendir kental berkumpul didalam paru-paru. Kondisi ini membuat
anda lebih sulit bernafas dan meningkatkan kemungkinan anda menderita
pneumonia atau infeksi lain. Untuk membantu mengencerkan lendir dan
mengeluarkannya dari paru-paru, dokter telah menganjukan supaya anda
melakukan fisioterapi dada. Tindakan ini meliputi drainase postural, perkusi
persentase
pasien
MDR
TB
laki-laki
mencapai
53,73%
dari
klinis yang dirasakan pasien tersebut dan melihat adanya perubahan konversi
sputum menjadi negatif pada akhir masa intensif. Selain itu, terputusnya
pengobatan pasien disebabkan oleh rendahnya tingkat kondisi sosial ekonomi
pasien TB, sehingga tidak dapat meneruskan pengobatan karena mahalnya biaya
transportasi dan biaya pengobatan. Dalam penelitian ini, nilai rerata jarak tempat
asal pasien ke fasilitas pengobatan adalah 56,98 km (SD 81,28). Pasien TB
resisten OAT terbanyak berasal dari Grobogan 32,2%. Kemungkinan sebagian
besar pasien ditemani keluarga saat berobat sehingga ongkos perjalanan dibiayai
oleh keluarga. Selain itu, pasien terus diberikan edukasi dan motivasi oleh
petugas kesehatan sehingga pasien memiliki keinginan yang kuat untuk sembuh
dan rela menempuh jarak yang jauh untuk berobat di fasilitas kesehatan baik di
RSPAW maupun ke RSDM. Berdasarkan data pada penelitian ini, dapat diketahui
bahwa sebagian besar pasien memiliki tingkat kehidupan sosial yang rendah
(66,7%). Hasil ini serupa dengan penelitian Pant R yang menemukan bahwa 90%
pasien MDR TB di Nepal berasal dari keluarga dengan kehidupan sosial ekonomi
yang rendah. Penelitian Setyarini menyebutkan pada kelompok sosial ekonomi
rendah relatif
lebih banyak pasien yang tidak mengalami konversi sputum. Resistensi OAT
banyak berkembang di negara dengan sosial ekonomi lemah, dimana dengan
kondisi yang lemah daya beli untuk pemenuhan kebutuhan gizi juga mengalami
kendala sehingga banyak dijumpai status gizi yang kurang, status gizi yang
kurang akan menyebabkan daya tahan yang lemah sehingga kuman M.
tuberkulosis mudah berkembangbiak dan hal tersebut akhirnya menghambat
kejadian konversi.9
Data yang diperoleh peneliti menunjukkan bahwa terdapat 12 pasien yang
sembuh walaupun sebagian besar pasien memiliki tingkat sosial ekonomi rendah.
Hal ini dikarenakan kemungkinan pasien tersebut berobat secara teratur, dan
memiliki tempat tinggal yang jarak tempuhnya tidak terlalu jauh dengan tempat
pengobatan. Selain itu, pasien memiliki keluarga yang berperan sebagai Pengawas
Minum Obat sehingga dapat membantu meringankan biaya pengobatan dan
menjaga agar pasien tetap teratur berobat.
Pada Tabel 1 tampak bahwa pasien TB resisten sebagian besar memiliki
gizi kurang (73,3%). Hasil serupa ditemukan pada penelitian Setyarini di
Yogyakarta yang mendapati bahwa sebagian besar pasien TB yang resisten OAT
Sebagian besar subyek pada penelitian ini status gizi normal sebesar 65,3%. Hal ini
disebabkan karena menurut Soedibyo,dkk pengobatan berkaitan dengan status gizi
penderita,
semakin baik system imunitas dalam tubuh maka penggunaan zat gizi untuk
melawan infeksi
berkurang sehingga zat gizi dapat digunakan secara optimal untuk proses pertumbuhan
sehingga status gizi anak dapat meningkat. Selain pengobatan juga terdapat faktor lain
yaitu asupan energy dan protein dalam jumlah cukup juga diperlukan untuk mendukung
proses penyembuhan dan peningkatan status gizi anak dengan infeksi tuberkulosis.20
Sebagian besar subyek pada penelitian ini menjalani pengobatan fase lanjutan karena
pada penelitian ini mengggunakan desain penelitian cross sectional hanya melakukan
observasi sekali
dan sekaligus dalam waktu yang sama. Pengobatan tuberkulosis dibagi dalam dua fase yaitu
fase awal dan fase lanjutan. Fase awal merupakan pengobatan yang berlangsung selama 2
bulan. Sedangkan fase lanjutan berlangsung selama 6-12 bulan.Obat yang diberikan pada fase
awal yaitu Isoniazid, Rifampisin dan Pirazinamid. Sedangkan pada faselanjutan yaitu
Isoniazid dan Rifampisin. Obat ini berfungsi untuk membunuh bakteri tuberkulosis. Efek
samping obat ini rasa mual, muntah, anoreksia, dan nyeri kepala. Efek tersebut dapat
berakibat pada penurunan nafsu makan.5 Hasil uji Chi Square fase pengobatan dengan status
gizi tuberkulosis anak menunjukkan adanya hubungan yang bermakna secara signifikan (p =
0,020). Hasil penelitian ini sesuai dengan teori bahwa pengobatan tuberkulosis berhubungan
dengan status gizi pasien tuberkulosis. Pengobatan dapat meningkatkan mekanisme
pertahanan tubuh dengan mengurangi jumlah bakteri di dalam tubuh.Semakin baik
mekanisme pertahanan tubuh, maka zat gizi untuk mengganti penghancuran jaringan tubuh
bagi pembentukan protein atau enzim dapat ditekan sehingga status gizi meningkat.
Penelitian yang dilakukan pada anak berusia kurang dari 5 tahun menunjukkan bahwa
keberhasilan pengobatan merupakan salah satu faktor yang mendukung terhadap peningkatan
status gizi. Dalam penelitian ini masih memiliki keterbatasan yaitu dalam data rekam medis
tidak terdapat tinggi badan penderita dan data pengobatan juga masih kurang lengkap.
BAB V
PENUTUP
5.1. KESIMPULAN
5.2. SARAN