Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

LatarBelakang
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di dunia.
Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) memperkirakan
sepertiga dari populasi dunia telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis
masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama di dunia. Setiap tahun
terdapat 9 juta kasus baru dan kasus kematian hampir mencapai 2 juta manusia. Di semua
negara telah terdapat penyakit ini, tetapi yang terbanyak di Afrika sebesar 30%, Asia
sebesar 55%, dan untuk China dan India secara tersendiri sebesar 35% dari semua kasus
tuberkulosis.(Universitas Sumatera Utara)
Laporan WHO (global reports 2010), menyatakan bahwa pada tahun 2009 angka kejadian
TB di seluruh dunia sebesar 9,4 juta (antara 8,9 juta hingga 9,9 juta jiwa) dan meningkat
terus secara perlahan pada setiap tahunnya dan menurun lambat seiring didapati
peningkatan per kapita. Prevalensi kasus TB di seluruh dunia sebesar 14 juta (berkisar 12
juta sampai 16 juta). Jumlah penderita TB di Indonesia mengalami penurunan, dari
peringkat ke tiga menjadi peringkat ke lima di dunia, namun hal ini dikarenakan jumlah
penderita TB di Afrika Selatan dan Nigeria melebihi dari jumlah penderita TB di
Indonesia. Estimasi prevalensi TB di Indonesia pada semua kasus adalah sebesar 660.000
dan estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat
TB diperkirakan 61.000 kematian per tahun. Selain itu, kasus resistensi merupakan
tantangan baru dalam program penanggulangan TB. Pencegahan meningkatnya kasus TB
yang resistensi obat menjadi prioritas penting. (Universitas Sumatera Utara)
Laporan WHO tahun 2007 menyatakan persentase resistensi primer di seluruh dunia telah
terjadi poliresistensi 17,0%, monoresistensi terdapat 10,3%, dan Tuberculosis - Multidrug
Resistant (TB-MDR) sebesar 2,9 %. Sedangkan di Indonesia resistensi primer jenis MDR
terjadi sebesar 2%. Kontak penularan M. tuberculosis yang telah mengalami resistensi
obat akan menciptakan kasus baru penderita TB yang resistensi primer, pada akhirnya
mengarah pada kasus multi-drug resistance (MDR). Ketika dilaporkan adanya beberapa
kasus resistensi obat TB di beberapa wilayah di dunia hingga tahun 1990-an, masalah
resistensi ini belum dipandang sebagai masalah yang utama. Penyebaran TB-MDR telah
meningkat oleh karena lemahnya program pengendalian TB, kurangnya sumber dana dan
isolasi yang tidak adekuat, tindakan pemakaian ventilasi dan keterlambatan dalam
menegakkan diagnosis suatu TB-MDR. (Universitas Sumatera Utara)

Rao dan kawan-kawan di Karachi-Pakistan pada tahun 2008, melakukan penelitian


resistensi primer pada penderita tuberkulosis paru kasus baru. Didapatkan dengan hasil
pola resisten sebagai berikut: resistensi terhadap Streptomisin sebanyak 13 orang (26%),
Isoniazid 8 orang (16%), Etambutol 8 orang (16%), Rifampisin 4 orang (8%) dan
Pirazinamid 1 (0,2%). Sedangkan di Indonesia TB-MDR telah diperoleh sebanyak 2
orang (0,4%) pasien. Angka resistensi/TB-MDR paru dipengaruhi oleh kinerja program
penanggulangan TBC parudi kabupaten setempat/kota setempat terutama ketepatan
diagnosis mikroskopik untuk menetapkan kasus dengan BTA (+), dan penanganan kasus
termasuk peran Pengawas Menelan Obat (PMO) yang dapat berpengaruh pada tingkat
kepatuhan penderita untuk minum obat. Faktor lain yang mempengaruhiangka resistensi/
MDR adalah ketersediaan OAT yang cukup dan berkualitas ataupun adanya OAT yang
digunakan untuk terapi selain TBC. (Universitas Sumatera Utara)
Semakin jelas bahwa kasus resistensi merupakan masalah besar dalam pengobatan pada
masa sekarang ini. WHO memperkirakan terdapat 50 juta orang di dunia yang telah
terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis yang telah resisten terhadap OAT dan
dijumpai 273.000 (3,1%) dari 8,7 juta TB kasus baru pada tahun 2000. Berdasarkan
wilayah administratif di Indonesia, Provinsi Jawa Timur menempati urutan ke 8 angka
temuan kasus TBC paru terbesar tahun 2007, meskipun belum mencapai target yang
ditetapkan. Sebaran angka temuan kasus tersebut yaitu DKI Jakarta(88,14%), Sulawesi
Utara (81,36%), Banten (74,62%), Jawa Barat (67,57%), Sumatra Utara (65,48%),
Gorontalo (62,15%), Bali (61,39%), Jawa Timur (59,83%), DI Yokyakarta (53,23%),
Sumatra Barat (51,36%) (Depkes RI, 2007). (Universitas Sumatera Utara)
Tujuan

1.2.

Tujuan untuk menganalisa jurnal tentang tuberkulosis paru

BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1. PENGERTIAN

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang penyakit


parenkim paru (Brunner & Suddarth, 2002).
Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksius yang menyerang paru-paru yang secara
khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan.
Penyakit ini bersifat menahun dan dapat menular dari penderita kepada orang lain
(Santa, dkk, 2009).
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Myobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat
juga mengenai organ tubuh lainnya. (Depkes RI, 2007).
Tuberkulosis (TBC atau TB) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium Tubercolosis. Bakteri ini lebih sering menginfeksi organ paruparu dibandingkan bagian lain dari tubuh manusia, sehingga selama ini kasus
tuberkulosis yang sering terjadi di Indonesia adalah kasus tuberkulosis paru/TB Paru
(Indriani et al., 2005). Penyakit tuberculosis biasanya menular melalui udara yang
tercemar dengan bakteri Mycobacterium Tubercolosis yang dilepaskan pada saat
penderita batuk. Selain manusia, satwa juga dapat terinfeksi dan menularkan penyakit
tuberkulosis kepada manusia melalui kotorannya (Wiwid, 2005).
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim paru
Tuberkulosis dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, termasuk meningens,
ginjal, tulang, dan nodus limfe. (Suzanne C. Smeltzer & Brenda G. Bare, 2002 ).
2.2. KLASIFIKASI PENYAKIT DAN TIPE PASIEN
Menurut Depkes (2006), klasifikasi penyakit TB dan tipe pasien digolongkan:
2.2.1. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
(parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain
paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe,
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
2.2.2. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB Paru:
a.

Tuberkulosis paru BTA positif.


Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan
setelah pemberian antibiotika non OAT.
b. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
2.2.3. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit
TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks
memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses far
advanced), dan atau keadaan umum pasien buruk.
TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
o TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa
unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
o TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis,
pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih
dan alat kelamin.
2.2.4. Tipe Pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe
pasien yaitu:
Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan
OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
Kasus kambuh (Relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan


tuberculosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis
kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA
positif.
Kasus setelah gagal (failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi
positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk
melanjutkan pengobatannya.
Kasus lain :
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini
termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulangan.
2.3. ETIOLOGI
Penyebab tuberkulosis adalah Myobacterium tuberculosae, sejenis kuman berbentuk
batang dengan ukuran panjang 1-4/Um dan tebal 0,3-0,6/Um. Tergolong dalam kuman
Myobacterium tuberculosae complex adalah :
1. M. Tuberculosae
2. Varian Asian
3. Varian African I
4. Varian African II
5. M. bovis.
Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak (lipid). Lipid inilah yang
membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut
bakteri tahan asam (BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan
fisis. Kuman dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin
(dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman bersifat
dormant, tertidur lama selama bertahun-tahun dan dapat bangkit kembali
menjadikan tuberkulosis aktif lagi. Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit

intraselular

yakni

dalam

sitoplasma

makrofag.

Makrofag

yang

semula

memfagositasi malah kemudian disenanginya karena banyak mengandung lipid


(Asril Bahar,2001).
Cara penularan TB (Depkes, 2006)
Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk

percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan

sekitar 3000 percikan dahak.


Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara
sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan
selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.
Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan
dahak, makin menular pasien tersebut.
Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
2.4. PATOFISIOLOGI
Tempat masuk kuman M.tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran
pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi tuberkulosis terjadi
melalui udara (airborne), yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kumankuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi. Saluran pencernaan
merupakan tempat masuk utama jenis bovin, yang penyebarannya melalui susu
yang terkontaminasi.
Tuberkulosis adalh penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas
perantara sel. Sel efektornya adalah makrofag, sedangkan limfosit (biasanya sel T)
adalah sel imunoresponsifnya. Tipe imunitas seperti ini biasanya lokal, melibatkan
makrofag yang diaktifkan di tempat infeksi oleh limfosit dan limfokinnya. Respon
ini disebut sebagai reaksi hipersensitivitas (lambat)
Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat dan
seperti keju, lesi nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang mengalami
nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi di sekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid

dan fibroblast, menimbulkan respon berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih


fibrosa membentuk jaringan parut yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul
yang mengelilingi tuberkel. Lesi primer paru-paru dinamakan fokus Gohn dan
gabungan terserangnya kelenjar getah bening regional dan lesi primer dinamakan
kompleks Gohn

respon lain yang dapat terjadi pada daerah nekrosis adalah

pencairan, dimana bahan cair lepas kedalam bronkus dan menimbulkan kavitas.
Materi tuberkular yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk ke dalam
percabangan trakeobronkhial. Proses ini dapat akan terulang kembali ke bagian lain
dari paru-paru, atau basil dapat terbawa sampai ke laring, telinga tengah atau usus.
Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan
jaringan parut bila peradangan mereda lumen bronkus dapat menyempit dan
tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dekat perbatasan rongga bronkus. Bahan
perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran
penghubung sehingga kavitas penuh dengan bahan perkejuan dan lesi mirip dengan
lesi berkapsul yang tidak terlepas keadaan ini dapat menimbulkan gejala dalam
waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat
peradangan aktif. Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh
darah. Organisme yang lolos dari kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah
dalam jumlah kecil dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis
penyebaran ini dikenal sebagai penyebaran limfohematogen, yang biasanya
sembuh sendiri. Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut yang
biasanya menyebabkan tuberkulosis milier. Ini terjadi apabila fokus nekrotik
merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk kedalam sistem
vaskular dan tersebar ke organ-organ tubuh.
Pathway

Pathway TBC (Tuberkulosis)

2.5. MANIFESTASI KLINIS


Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu
bulan (Depkes, 2006).
Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam-macam atau malah
banyak pasien ditemikan Tb paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan
kesehatan. Gejala tambahan yang sering dijumpai (Asril Bahar. 2001):
1. Demam
Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang dapat
mencapai 40-41C. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi

kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya sehingga pasien merasa


tidak pernah terbebas dari demam influenza ini.
2. Batuk/Batuk Darah
Terjadi karena iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang
produk-produk radang keluar. Keterlibatan bronkus pada tiap penyakit tidaklah
sama, maka mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam
jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan
bermula. Keadaan yang adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh
darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada
kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.
3. Sesak Napas
Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak napas. Sesak
napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah
meliputi setengah bagian paru-paru.
4. Nyeri Dada
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah
sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura
sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya.
5. Malaise
Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan berupa anoreksia (tidak ada nafsu makan), badan makin kurus (berat
badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, dan keringat pada malam hari
tanpa aktivitas. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang
timbul secara tidak teratur.
2.6. KOMPLIKASI
Komplikasi pada penderita tuberkulosis stadium lanjut (Depkes RI, 2005) :
1.

Hemoptosis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat


mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas.

2. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.


3. Bronkiektasis ( pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan
ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
4.

Pneumotorak (adanya udara di dalam rongga pleura) spontan : kolaps spontan


karena kerusakan jaringan paru.

5. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, ginjal dan sebagainya.
6. insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency)

2.7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


Diagnosis TB menurut Depkes (2006):
1. Diagnosis TB paru
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya
kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui
pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain
seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai
penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.

Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto


toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB
paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas
penyakit.
Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru.
2. Diagnosis TB ekstra paru.
Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada
Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe
superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada
spondilitis TB dan lainlainnya.
Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat
ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan
menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung
pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat
diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks
dan lain-lain.
Diagnosis TB menurut Asril Bahar (2001):
1. Pemeriksaan Radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk
menemukan lesi tuberkulosis. Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah
apeks paru (segmen apikal lobus atas atau segmen apikal lobus bawah), tetapi
dapat juga mengenai lobus bawah (bagian inferior) atau di daerah hilus
menyerupai tumor paru.
2. Pemeriksaan Laboratorium
Darah
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya kadangkadang meragukan, hasilnya tidak sensitif dan juga tidak spesifik. Pada saat
tuberkulosis baru mulai sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke
kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju endap darah mulai
meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal

dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah
normal lagi.
Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman
BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Disamping itu
pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan
yang sudah diberikan.
Tes Tuberkulin
Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang atau
pernah mengalami infeksi M. Tuberculosae, M. Bovis, vaksinasi BCG dan
Myobacteria patogen lainnya.
2.8. PENATALAKSANAAN
1. Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT.
2. Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
a.

OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi) . Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap
(OAT KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

b.

Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan


langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).

c.

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.


1) Tahap awal (intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasisecara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)


dalam 2 bulan.
2) Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama
Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan
3. Jenis, sifat dan dosis OAT

4. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis di Indonesia:
o Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
o Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
o Kategori Anak: 2HRZ/4HR
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket
berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak
sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak.
Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu
tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas
dalam satu paket untuk satu pasien.
Paket Kombipak.
Terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam satu paket, yaitu Isoniasid,
Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol. Paduan OAT ini disediakan
program untuk mengatasi pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk
memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu
(1) masa pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
1.

Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin


efektifitas obat dan mengurangi efek samping.

2.

Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko


terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan
resep

3.

Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien

2.9.

PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Pengumpulan data
Dalam pengumpulan data ada urutan urutan kegiatan yang dilakukan yaitu :
a.

Identitas klien
Nama, umur, kuman TBC menyerang semua umur, jenis kelamin, tempat
tinggal (alamat), pekerjaan, pendidikan dan status ekonomi menengah
kebawah dan satitasi kesehatan yang kurang ditunjang dengan padatnya
penduduk dan pernah punya riwayat kontak dengan penderita TB patu
yang lain.

b. Riwayat penyakit sekarang


Meliputi keluhan atau gangguan yang sehubungan dengan penyakit yang di
rasakan saat ini. Dengan adanya sesak napas, batuk, nyeri dada, keringat
malam, nafsu makan menurun dan suhu badan meningkat mendorong
penderita untuk mencari pengonbatan.
c.

Riwayat penyakit dahulu


Keadaan atau penyakit penyakit yang pernah diderita oleh penderita yang
mungkin sehubungan dengan tuberkulosis paru antara lain ISPA efusi
pleura serta tuberkulosis paru yang kembali aktif.

d. Riwayat penyakit keluarga


Mencari diantara anggota keluarga pada tuberkulosis paru yang menderita
penyakit tersebut sehingga sehingga diteruskan penularannya.

e.

Riwayat psikososial
Pada penderita yang status ekonominya menengah ke bawah dan sanitasi
kesehatan yang kurang ditunjang dengan padatnya penduduk dan pernah
punya riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis paru yang lain

f.

Pola fungsi kesehatan


1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada klien dengan TB paru biasanya tinggal didaerah yang berdesak
desakan, kurang cahaya matahari, kurang ventilasi udara dan tinggal
dirumah yang sumpek.
2) Pola nutrisi dan metabolik
Pada klien dengan TB paru biasanya mengeluh anoreksia, nafsu makan
menurun.
3) Pola eliminasi
Klien TB paru tidak mengalami perubahan atau kesulitan dalam miksi
maupun defekasi
4) Pola aktivitas dan latihan
Dengan adanya batuk, sesak napas dan nyeri dada akan menganggu
aktivitas
5) Pola tidur dan istirahat
Dengan adanya sesak napas dan nyeri dada pada penderita TB paru
mengakibatkan terganggunya kenyamanan tidur dan istirahat.
6) Pola hubungan dan peran
Klien dengan TB paru akan mengalami perasaan asolasi karena
penyakit menular.
7) Pola sensori dan kognitif
Daya panca indera (penciuman, perabaan, rasa, penglihatan, dan
pendengaran) tidak ada gangguan.
8) Pola persepsi dan konsep diri
Karena nyeri dan sesak napas biasanya akan meningkatkan emosi dan
rasa kawatir klien tentang penyakitnya.
9) Pola reproduksi dan seksual
Pada penderita TB paru pada pola reproduksi dan seksual akan berubah
karena kelemahan dan nyeri dada.
10) Pola penanggulangan stress

Dengan adanya proses pengobatan yang lama maka akan


mengakibatkan stress pada penderita yang bisa mengkibatkan
penolakan terhadap pengobatan.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Karena sesak napas, nyeri dada dan batuk menyebabkan terganggunya
aktifitas ibadah klien.
g. Pemeriksaan fisik
Berdasarkan sistem sistem tubuh
1) Sistem integumen
Pada kulit terjadi sianosis, dingin dan lembab, tugor kulit menurun
2) Sistem pernapasan
Pada sistem pernapasan pada saat pemeriksaan fisik dijumpai
inspeksi : adanya tanda tanda penarikan paru, diafragma,
pergerakan napas yang tertinggal, suara napas melemah.
Palpasi : Fremitus suara meningkat.
Perkusi

: Suara ketok redup.

Auskultasi : Suara napas brokial dengan atau tanpa ronki basah,


kasar dan yang nyaring.
3) Sistem pengindraan
Pada klien TB paru untuk pengindraan tidak ada kelainan
4) Sistem kordiovaskuler
Adanya takipnea, takikardia, sianosis, bunyi P2 syang mengeras.
5) Sistem gastrointestinal
Adanya nafsu makan menurun, anoreksia, berat badan turun.
6) Sistem muskuloskeletal
Adanya keterbatasan aktivitas akibat kelemahan, kurang tidur dan
keadaan sehari hari yang kurang meyenangkan.
7) Sistem neurologis
Kesadaran penderita yaitu komposments dengan GCS : 456
8) Sistem genetalia
Biasanya klien tidak mengalami kelainan pada genitalia

BAB III
REVIEW JURNAL
3.1 INTERVENSI / PENCEGAHAN
4.1

PENGARUH BATUK EFEKTIF TERHADAP PENGELUARAN SPUTUM


PADA PASIEN TUBERKULOSIS DI PUSKESMAS PETERONGAN
KABUPATEN JOMBANG
Menurut jurnal yang di buat oleh Yuliati Alie1, Rodiyah2 dengan judul
pengaruh batuk efektif terhadap pengeluaran sputum pada pasien tuberkulosis
di puskesmas peterongan kabupaten jombang. Dari analisis data sebagai
berikut:
Pengeluaran sputum sebelum dilatih batuk efektif pada pasien TB
Dari hasil pemeriksaan pada specimen 1 (sebelum dilatih batuk efektif),
didapatkan rata-rata volume sputum dari 24 responden 0,32 cc, sebanyak 13
responden (54,2%) tidak dapat mengeluarkan sputum dan hanya mengeluarkan
ludah.
Pasien dengan batuk lama akan menghasilkan sputum. Batuk yang sangat
hebat menyebabkan spasme bronkial dan obstruksi. Lebih jauh mengiritasi
bronki dan mengakibatkan sinkop (pingsan). Batuk hebat berulang, atau tidak
terkontrol yang tidak produktif akan sangat melelahkan dan berpotensi
membahayakan. Pembentukan sputum adalah reaksi paru-paru terhadap setiap
iritan yang kambuh secara konstan.
Batuk adalah merupakan pengeluaran udara dari paru-paru yang tiba-tiba
dapat didengar. Saat individu menghirup napas, maka glotis akan menutup
sebagian dan otot bantu pernafasan berkontraksi untuk mengeluarkan udara
secara paksa. Batuk merupakan reflek membersihkan trakea, bronkus dan paruparu untuk melindungi organ-organ tersebut dari iritasi dan sekresi.
Batuk diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Karena
terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru
ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah bermingguminggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk
kering kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan
sputum). Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mengeluarkan sputum.
Terutama pada pasien yang tidak batuk atau batuk yang non produktif. Dalam

hal ini dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan
minum sebanyak 2 liter dan diajarkan melakukan reflek batuk19. Untuk
mempermudah pengeluaran sputum dapat dipengaruhi beberapa faktor yaitu
batuk efektif, postural drainase, vibrating dan clapping.
Cara melakukan batuk efektif posisi badan agak condong kedepan,
kemudian hirup napas dalam 2 kali secara perlahan-lahan melalui hidung dan
hembuskan melalui mulut hirup napas dalam ketiga kalinya ditahan 3 detik
kemudian batukkan dengan kuat 2 atau 3 kali secara berturut turut tanpa
menghirup napas kembali selama melakukan batuk kemudian napas ringan.
Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar.
Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk
baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah
berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk
dimulai dari batuk kering (non-produktif) setelah timbul peradangan menjadi
produktif (menghasilkan sputum)3. Batuk berdahak terus menerus selama 3
minggu atau lebih, pada tahap lanjut dahak bercampur darah dan batuk darah.
Batuk dipicu secara refleks ataupun disengaja. Sebagai reflek pertahanan
diri, batuk dipengaruhi oleh jalur saraf relaksasi diagfragma dan kontraksi otot
melawan glotis yang menutup. Hasilnya akan terjadi tekanan yang positif pada
intra thorak yang menyebabkan penyempitan trakea. Sekali glotis terbuka,
bersama dengan penyempitan trakea akan menghasilkan aliran udara yang cepat
melalui trakea. Kekuatan eksposif ini akan menyapu sekret dan benda asing
yang ada di saluran nafas.
Pasien sebelum mendapatkan pelatihan batuk efektif seluruhnya tidak bisa
mengeluarkan sputum yang maksimal, sebagian besar yang dikeluarkan adalah
ludah hal ini dikarenakan pasien belum tahu bagaimana cara batuk efektif.
Mereka hanya melakukan batuk dengan cara biasa sehingga tidak bisa maksimal
pengeluaran sputumnya.
Ketidak mampuan responden dalam pengeluaran sputum dapat dipengaruhi
beberapa hal yaitu sebagian besar responden sudah masuk bulan berobat 3 bulan
sampai 6 bulan sehingga produktifitas pengeluaran sputum menjadi berkurang
dengan begitu batuk efektif sangat perlukan supaya pengeluaran sputum
menjadi maksimal dan 1 hari sebelumnya disarankan minum air 2 liter.

Pendidikan yang rendah mengakibatkan pengetahuan yang kurang sehingga


pasien TB kurang tahu bagaimana cara batuk yang benar dan sebelumnya tidak
pernah mendapat informasi bagaimana mengeluarkan sputum dengan benar dari
petugas kesehatan sehingga menggakibatkan pengeluaran sputum tidak dapat
maksimal. Jika demikian bisa mengakibatkan petugas laborat membuat
diagnosa yang salah karena jumlah sputum tidak sesuai dengan jumah yang
diharapkan.
Pengeluaran sputum sesudah dilatih batuk efektif pada pasien TB.
Pengeluaran sputum sesudah dilatih batuk efektif dari 24 responden 19
responden (79,2%) dapat mengeluarkan sputum dan responden (20,8%) tidak
dapat mengeluarkan sputum.
Pemeriksaan specimen menunjukkan adanya peningkatan rata-rata volume
sputum yaitu pada specimen 1 (sebelum batuk efektif) sebesar 0,32 cc menjadi
0,88 cc pada specimen 1 (sesudah dilatih batuk efektif), sedangkan pada
specimen 2 (sesudah dilatih batuk efektif) rata- rata volume sputum menjadi 1,6
cc.
Pemeriksaan specimen menunjukkan adanya peningkatan volume sputum
yang dihasilkan dari pasien TB paru yang telah diajarkan bagaimana batuk
efektif. Berdasakan hasil penelitian perbandingan specimen 1 (sebelum batuk
efektif) dengan specimen post 2 (setelah batuk efektif) sebanyak 19 responden
(79,2%) mengalami peningkatan volume sputum (cc) yang dihasilkan setelah
bantuk efektif. Sedangkan 5 responden (20,8) tidak mengalami peningkatan
sputum (cc) yang dihasilkan setelah batuk efektif
Batuk efektif adalah merupakan suatu metode batuk dengan benar, dimana
klien dapat menghemat energi sehingga tidak mudah lelah dan dapat
mengeluarkan dahak secara maksimal17.
Caranya sebelum batuk efektif pasien posisi duduk agak membungkuk,
kemudian dianjurkan minum air hangat dan satu hari sebelumnya disarankan
minum air 2 liter. Kemudian hirup napas 2 kali dan hirupan napas ke 3 ditahan 3
detik setelah itu batukan dengan kuat 2-3 kali secara berturut-turut kemudian
napas ringan9.
Latihan batuk efektif merupakan aktivitas perawat untuk membersihkan
sekresi pada jalan nafas. Tujuan batuk efektif adalah meningkatkan mobilisasi
sekresi dan mencegah resiko tinggi retensi sekret. Pemberian batuk efektif

dilaksanakan terutama pada klien dengan masalah keperawatan ketidak


efektifan jalan nafas dan masalah resiko tinggi infeksi saluran pernafasan bagian
bawah yang berhubungan dengan akumulasi sekret pada jalan nafas yang sering
disebabkan oleh kemampuan batuk yang menurun atau adanya nyeri setelah
pembedahan thoraks atau pembedahan abdomen bagian atas sehingga klien
merasa malas untuk melakukan batuk. Hal tersebut merupakan masalah yang
sering di temukan perawat praktisi diklinik keperawatan14.
Melakukan batuk yang benar bukan saja dapat mengeluarkan sputum secara
maksimal tetapi juga dapat menghemat energi. Batuk efektif memberikan
kontribusi yang positif terhadap pengeluaran volume sputum. Seluruh
responden melakukan batuk efektif dengan baik, Walaupun melakukan batuk
efektif dengan baik masih ada yang tidak dapat mengeluarkan sputum dapat
juga dikarenakan faktor mulai berobat sudah bulan terahir bulan pengobatan dan
sebagian kecil responden yang berusia lansia.
Usia yang cukup juga mempermudah mengajarkan cara batuk efektif
sehingga pasien TB cepat tanggap apa yang disarankan peneliti dengan batuk
efektif pasien menjadi tahu tentang bagaimana cara mengeluarkan sputum
secara maksimal dan cara batuk yang benar. Pengeluaran sputum yang
dihasilkan dengan maksimal menyebabkan lebih mudahnya petugas laborat
memeriksa sputum pasien. Karena untuk menegakkan diagnosa secara tepat
salah satu diantaranya adalah dengan pemeriksaan sputum (dahak). Penting
untuk mendapatkan sputum yang benar, bukan ludah ataupun sekret hidung
sehingga dapat diketemukan diagnosa yang pasti.
Berdasarkan analisa data pada specimen 1 dan specimen post 2 dengan
analisa data menggunakan uji chi square diperoleh = 0,021 < 0,05 berarti H0
ditolak dan Ha diterima, sehingga ada pengaruh batuk efektif terhadap
pengeluaran sputum pada pasien TB di Puskesmas Peterongan Kabupaten
Kabupaten Jombang.
Batuk efektif adalah merupakan latihan batuk untuk mengeluarkan
sekret13. Batuk efektif adalah merupakan suatu metode batuk dengan benar,
dimana klien dapat menghemat energi sehingga tidak mudah lelah dan dapat
mengeluarkan dahak secara maksimal17. Jika sputum terlalu kental untuk dapat

dikeluarkan, ada baiknya mengurangi viskositasnya dengan meningkatkan


kandungan airnya melalui hidrasi yang adekuat4.
Pada beberapa kondisi paru, seperti bronkhitis kronis, emfisema, dan
fibrosis kistik, lendir kental berkumpul didalam paru-paru. Kondisi ini membuat
anda lebih sulit bernafas dan meningkatkan kemungkinan anda menderita
pneumonia atau infeksi lain. Untuk membantu mengencerkan lendir dan
mengeluarkannya dari paru-paru, dokter telah menganjukan supaya anda
melakukan fisioterapi dada. Tindakan ini meliputi drainase postural, perkusi
dada, dan batuk efektif. Ingatlah meminum banyak cairan (sekurang-kurangnya
1893 ml per hari) juga akan membantu mengencerkan lendir.
Batuk efektif jika dilakukan dengan baik dan tepat akan terlihat perbedaan
yang cukup mencolok terhadap pengeluaran sputum dibandingkan dengan batuk
biasa karena batuk efektif adalah cara batuk yang benar. Batuk yang benar
caranya pertama yang dilakukan duduk agak condong kedepan kemudian tarik
nafas dalam dua kali lewat hidung keluarkan lewat mulut kemudian nafas yang
ketiga ditahan 3 detik dan batukan 2 sampai 3 kali batukkan dan sebelum batuk
efektif dianjurkan minum air hangat dan minum air sebanyak 2 liter 1 hari
sebelumnya dengan tujuan dahak menjadi encer dan mempermudah pengeluaran
sputum supaya dapat maksimal. Sedangkan pada batuk biasa tidak
menggunakan teknik yang benar karena tidak ada perlakuan-perlakuan khusus
sehingga penggeluaran sputum tidak maksimal.

4.2 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN


PENGOBATAN PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU DENGAN
RESISTENSI OBAT ANTI TUBERKULOSIS DI WILAYAH JAWA TENGAH
Bertin Tanggap Tirtana1, Musrichan

Berdasarkan jurnal yang berjudul Faktor- faktor yang mempengaruhi keberhasilan


pengobatan pada pasien tubeerkulosis paru dengan resistensi obat anti tuberkulosis di
wilayah jawa tengah.
Berdasarkan hasil yang diperoleh peneliti, proporsi jenis kelamin pasien
TB resisten Obat TB lebih banyak laki-laki dibandingkan perempuan yaitu 51,1 %
berbanding 48,9%. Hasil ini serupa dengan penelitian yang dilakukan Reviono

bahwa persentase pasien MDR TB laki-laki mencapai 53,73% dari total


keseluruhan, sedangkan persentase pasien MDR TB berjenis kelamin perempuan
mencapai 46,27%.6 Serupa dengan penelitian Pant di Nepal yang menyatakan
bahwa 70% pasien MDR TB adalah laki-laki.7 Rata-rata usia pasien pada
penelitian ini adalah 39 tahun, angka ini hampir sama dengan penelitian Munir di
Jakarta yang mendapati bahwa rerata umur pasien adalah 37 tahun.8 Tingginya
angka pasien laki-laki pada usia produktif memungkinkan penularan yang lebih
luas. Hal ini dikarenakan kelompok laki-laki kebanyakan keluar rumah mencari
nafkah pada usia produktif, dengan frekuensi keluar rumah yang sering dapat
dimungkinkan terjadinya penularan.9 Tingginya proporsi laki-laki ini dihubungkan
oleh riwayat putus pengobatan dimana laki-laki memiliki keteraturan berobat
yang lebih rendah dibandingkan perempuan.7
Pola resistensi yang didapatkan pada penelitian ini menunjukkan bahwa
kasus monoresisten terjadi mayoritas resistensi Ethambutol dengan persentase
mencapai 31,1%, diikuti dengan resistensi Streptomisin dengan persentase 17,7%.
Hasil ini bertentangan dengan penelitian Setyarini di Yogyakarta yang
menunjukkan kasus resistensi terbanyak adalah resistensi INH dengan persentase
61,35%, diikuti 46,2% untuk resistensi Streptomisin, dan 30,8% untuk
Ethambutol.9 Hal serupa juga diutarakan Munir yang menyatakan bahwa jenis
resistensi yang banyak ditemukan adalah resistensi INH dan Rifampisin dengan
50,5%.8
Dalam penelitian ini diketahui bahwa pasien TB Paru Resisten dengan
riwayat resistensi primer lebih banyak dibandingkan riwayat resistensi sekunder.
Hasil ini serupa dengan penelitian Setyarini yang menyatakan bahwa pasien
resisten sebagian besar tidak memiliki riwayat penyakit dan pengobatan TB
sebelumnya atau resistensi primer, diduga pasien tersebut kontak dengan pasien
yang resisten terhadap salah satu OAT atau lebih.9 Pasien yang resisten terhadap
OAT terjadi karena adanya riwayat kontak dengan orang yang berasal dari daerah
yang berisiko resisten terhadap OAT.
Dalam penelitian ini proporsi keberhasilan pengobatan lebih rendah
dibandingkan kegagalan pengobatan. Hal ini disebabkan oleh adanya resistensi
11
obat. Hal penelitian tersebut didukung oleh penelitian Reviono yang menyatakan
adanya perbedaan dalam perbandingan hasil pengobatan antara pasien yang

resisten dan tidak resisten pada masing-masing obat. Menurut Reviono, hasil
pengobatan yang berbeda secara bermakna itu disebabkan oleh adanya resistensi
pada obat Rifampisin (p=0,003), Pirazinamid (p=0,041) dan Streptomisin
(p=0,049).6 Pada penelitian ini, keberhasilan pengobatan hanya ditemukan pada
kasus Monoresisten dan Polyresisten (nonMDR TB), sedangkan keseluruhan
pasien MDR TB menemui kegagalan pengobatan. Hasil penelitian Reviono
menemukan bahwa angka kesembuhan kasus MDR TB cukup rendah (35,71%)
dibandingkan dengan kasus resistensi non MDR (90,57%) dan mendapati
perbedaan ini bermakna antara kasus MDR dan non MDR (p=0,00).6
Persentase pasien TB paru resisten obat TB dengan riwayat Diabetes
Mellitus (17,7%) jumlahnya lebih rendah, dibandingkan pasien yang tidak
memiliki riwayat Diabetes Mellitus (82,2%). Hasil ini bertentangan dengan
penelitian Simion yang mendapati lebih banyak pasien TB Paru dengan Diabetes
Mellitus yang menderita MDR TB (32%) dibandingkan dengan yang tidak (4%).11
Diabetes Mellitus merupakan faktor risiko terjadinya MDR TB dengan RR=37,9
(95% CI, 3.1-459.5).12 Pada pasien Diabetes Mellitus didapatkan beberapa
defisiensi imunitas seluler. Kadar gula darah yang tinggi akan memicu terjadinya
defek imunologis yang berdampak pada penurunan fungsi neutrofil, monosit
maupun limfosit. Selain itu, Hiperglikemi kronik dapat menyebabkan gangguan
fungsi paru dengan menyebabkan penebalan dan perubahan struktur pada
membran basalis.13
Pada penelitian ini, keteraturan berobat berpengaruh kuat terhadap hasil
pengobatan (p=0,00; r=0,7). Sebanyak 21 pasien (46,7%) berobat secara teratur,
persentase tersebut lebih rendah dibandingkan jumlah pasien yang berobat tidak
teratur (53,3%). Hasil ini berbeda dengan penelitian Sri Melati Munir di Rumah
Sakit Persahabatan yang menunjukkan bahwa persentase keteraturan pasien untuk
datang berobat mencapai 78,9%.8 Kenyataan ini mungkin disebabkan karena pada
penelitian Munir letak Rumah Sakit Persahabatan berada pada tengah kota dan
dapat diakses dengan mudah oleh angkutan umum dan kendaraan pribadi.
12
Berbeda dengan RSPAW yang memiliki jarak tempuh cukup jauh dan harus
ditempuh dengan menggunakan Bus Antarkota Dalam Provinsi (AKDP). Kondisi
tersebut menimbulkan rendahnya aksesibilitas pasien karena tingginya biaya
perjalanan dan jauhnya jarak tempuh. Pernyataan ini serupa dengan hasil

penelitian Ahmad Rozali di BP4 Palembang yang menyatakan jarak ke tempat


pengobatan berpengaruh terhadap keteraturan berobat (p<0,05, OR= 2,171 (95%
CI 1,173-4,017)).14
Selain dipengaruhi oleh jarak ke tempat pengobatan, keteraturan
pengobatan dapat dipengaruhi oleh edukasi yang dilakukan petugas kesehatan dan
dokter, serta peningkatan komunikasi pada saat pasien berobat. Petugas kesehatan
juga diharapkan menghubungi pasien untuk mengontrol keteraturan berobat. Pada
penelitian Ahmad, biaya pengobatan (p<0,05;OR=2,2) dan edukasi manfaat
berobat teratur (p<0,05;OR=2,9) berhubungan bermakna dengan keteraturan
berobat.14 Penelitian Abdul di Pare-Pare menunjukkan bahwa faktor pengetahuan
berobat (p=0,00;OR=7,0) dan lama pengobatan (p=0,01; OR=6,45) berpengaruh
terhadap keteraturan berobat.15
Lama pengobatan pasien yang berobat berpengaruh kuat terhadap hasil
pengobatan (p=0,00; r=0,6). Kurangnya pemahaman tentang lama pengobatan TB
merupakan penyebab lama berobat yang tidak sesuai dengan standar pengobatan.
Pasien menganggap tidak perlu meneruskan pengobatan hingga selesai karena
perbaikan klinis yang dirasakan pasien tersebut dan melihat adanya perubahan
konversi sputum menjadi negatif pada akhir masa intensif. Selain itu, terputusnya
pengobatan pasien disebabkan oleh rendahnya tingkat kondisi sosial ekonomi
pasien TB, sehingga tidak dapat meneruskan pengobatan karena mahalnya biaya
transportasi dan biaya pengobatan.
Dalam penelitian ini, nilai rerata jarak tempat asal pasien ke fasilitas
pengobatan adalah 56,98 km (SD 81,28). Pasien TB resisten OAT terbanyak
berasal dari Grobogan 32,2%. Kemungkinan sebagian besar pasien ditemani
keluarga saat berobat sehingga ongkos perjalanan dibiayai oleh keluarga. Selain
itu, pasien terus diberikan edukasi dan motivasi oleh petugas kesehatan sehingga
13
pasien memiliki keinginan yang kuat untuk sembuh dan rela menempuh jarak
yang jauh untuk berobat di fasilitas kesehatan baik di RSPAW maupun ke RSDM.
Berdasarkan data pada penelitian ini, dapat diketahui bahwa sebagian
besar pasien memiliki tingkat kehidupan sosial yang rendah (66,7%). Hasil ini
serupa dengan penelitian Pant R yang menemukan bahwa 90% pasien MDR TB di
Nepal berasal dari keluarga dengan kehidupan sosial ekonomi yang rendah.
Penelitian Setyarini menyebutkan pada kelompok sosial ekonomi rendah relatif

lebih banyak pasien yang tidak mengalami konversi sputum. Resistensi OAT
banyak berkembang di negara dengan sosial ekonomi lemah, dimana dengan
kondisi yang lemah daya beli untuk pemenuhan kebutuhan gizi juga mengalami
kendala sehingga banyak dijumpai status gizi yang kurang, status gizi yang
kurang akan menyebabkan daya tahan yang lemah sehingga kuman M.
tuberkulosis mudah berkembangbiak dan hal tersebut akhirnya menghambat
kejadian konversi.9
Data yang diperoleh peneliti menunjukkan bahwa terdapat 12 pasien yang
sembuh walaupun sebagian besar pasien memiliki tingkat sosial ekonomi rendah.
Hal ini dikarenakan kemungkinan pasien tersebut berobat secara teratur, dan
memiliki tempat tinggal yang jarak tempuhnya tidak terlalu jauh dengan tempat
pengobatan. Selain itu, pasien memiliki keluarga yang berperan sebagai Pengawas
Minum Obat sehingga dapat membantu meringankan biaya pengobatan dan
menjaga agar pasien tetap teratur berobat.
Pada Tabel 1 tampak bahwa pasien TB resisten sebagian besar memiliki
gizi kurang (73,3%). Hasil serupa ditemukan pada penelitian Setyarini di
Yogyakarta yang mendapati bahwa sebagian besar pasien TB yang resisten OAT
memiliki status gizi kurang (61,5%). Infeksi TB dapat menyebabkan penurunan
berat badan, status gizi yang buruk meningkatkan risiko infeksi dan penyebaran
penyakit TB. Selain itu, gizi kurang akan menyebabkan daya tahan tubuh rendah
sehingga pertahanan tubuh terhadap kuman TB akan berkurang.9 Status gizi yang
kurang disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi yang rendah. Analisis statistik
yang dilakukan pada penelitian ini menemukan hubungan yang bermakna
(p=0,037) antara tingkat pendapatan dan status gizi. Nutrition assessment dan
14
monitoring berkala gizi pasien penting dilakukan oleh ahli gizi dan klinisi selama
pengobatan.16 Hal ini ditunjang dengan hasil studi Dhingra di India bahwa
peningkatan status gizi selama 6 bulan saat pengobatan berpengaruh terhadap
keberhasilan pengobatan (p=0,00).17 Selain itu, Seung et al juga menunjukkan
bahwa pasien MDR TB dengan BMI<18,4 berpengaruh terhadap risiko kematian
saat pengobatan MDR TB sedang berlangsung (OR=2,2 (95% CI 0,8-6,3)).18
Berdasarkan data pada penelitian ini, jumlah pasien yang tidak merokok
(71,1%) lebih banyak dibandingkan pasien yang merokok (28,9%) (Tabel 23).
Hasil ini berbeda dengan penelitian Ahmad Khan di Karachi, dimana kasus

resistensi obat ganda lebih banyak ditemui pada perokok dibandingkan


nonperokok. Dalam hasil penelitian Ahmad Khan tersebut disimpulkan bahwa
merokok adalah faktor risiko perkembangan penyakit MDR TB (p<0,05).11
Penelitian Pant di Nepal juga menunjukkan bahwa mayoritas pasien MDR TB
(74%) adalah perokok.10
Pada penelitian ini pengobatan pasien TB yang resisten OAT yang
memiliki kebiasaan merokok didapati lebih banyak yang gagal dibandingkan yang
sembuh. Menurut Tjandra Yoga, pada perokok terjadi gangguan makrofag dan
meningkatkan resistensi saluran napas dan permeabilitas epitel paru. Rokok akan
menurunkan sifat responsif antigen. Insiden dan beratnya TB berhubungan dengan
penggunaan rokok.13 Selain itu, rokok memperburuk kesehatan paru47.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar pasien tidak
memiliki pekerjaan berisiko (86,7%). Pekerjaan tidak berisiko tersebut antara lain
Pegawai Negeri Sipil (PNS), petani, pelajar, ibu rumah tangga, dan tidak bekerja.
Pekerjaan berisiko yang ditemukan peneliti hanya jenis pekerjaan swasta dan
buruh. Studi di Yogyakarta menemukan bahwa sebagian besar pasien TB resisten
OAT adalah bekerja sebagai pedagang/ wiraswasta (38,5%).9 Menurut Dimitrova
di Rusia, semua jenis pekerjaan yang menyebabkan subyek penelitian terpapar
oleh zat-zat yang dapat mengganggu fungsi paru dan pekerjaan yang
memungkinkan subyek penelitian yang kontak dengan pasien TB dianggap
sebagai pekerjaan yang berisiko, sedangkan jenis pekerjaan yang lain dianggap
tidak berisiko. Jenis pekerjaan sopir, tukang parkir, pekerja pabrik tekstil, montir,
15
pekerja bengkel las, penjahit, dan buruh bangunan pada penelitian ini
dikelompokkan sebagai jenis pekerjaan yang berisiko.20 WHO telah
merekomendasikan bagi pekerja pelayanan kesehatan yang bekerja di
laboratorium, klinik dan fasilitas pelayanan kesehatan dengan angka prevalensi
kejadian MDR TB tinggi untuk melakukan pemeriksaan Tes Kepekaan Obat
(DST), mengingat pekerja tersebut memiliki risiko tinggi untuk menjadi pasien
MDR TB.21
Pemerintah dalam hal ini Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
bekerja sama dengan Departemen Kesehatan telah melakukan program
penanggulangan TB di tempat kerja. Program tersebut antara lain: 22 Penemuan
pasien TB di tempat kerja, pengobatan, kepatuhan berobat, pelaporan efek

samping obat, penyediaan OAT dan distribusi OAT serta alat kesehatan,
pencatatan dan pelaporan, upaya promosi kesehatan dan pencegahan. Upaya
pemerintah ini dilakukan dengan harapan bahwa pasien TB resisten OAT dapat
memperoleh perhatian kesehatan baik dari fasilitas pelayanan kesehatan maupun
tempat kerja. Dengan demikian angka success rate terhadap penyakit ini dapat
meningkat.
Dalam penelitian ini, peneliti mengalami beberapa keterbatasan penelitian,
antara lain keterbatasan waktu dan biaya untuk menemukan kasus TB paru
resisten, sehingga jumlah subyek tidak memenuhi kriteria jumlah sampel minimal.
Tidak lengkapnya data pada catatan medik sehingga variabel ada tidaknya
Pengawas Minum Obat (PMO), riwayat penyakit HIV dan tingkat pendidikan
tidak dapat dianalisis pada penelitian ini. Keterbatasan waktu dan tenaga
sehingga tidak dapat meneliti faktor perancu. Penelitian ini hanya menggunakan
catatan medik sehingga tidak dapat mengetahui secara detail data pasien.
16

4.2 Hubungan Fase Pengobatan dan Status Gizi Tuberkulosis Anak Di

RumahSakit Umum Daerah Dr. H. Soewondo Kendal Periode Januari


2011 September 2011
Septia Putri

Sebagian besar subyek pada penelitian ini status gizi normal sebesar 65,3%. Hal ini
disebabkan karena menurut Soedibyo,dkk pengobatan berkaitan dengan status gizi
penderita,
semakin baik system imunitas dalam tubuh maka penggunaan zat gizi untuk
melawan infeksi
berkurang sehingga zat gizi dapat digunakan secara optimal untuk proses pertumbuhan
sehingga status gizi anak dapat meningkat. Selain pengobatan juga terdapat faktor lain
yaitu asupan energy dan protein dalam jumlah cukup juga diperlukan untuk mendukung

proses penyembuhan dan peningkatan status gizi anak dengan infeksi tuberkulosis.20
Sebagian besar subyek pada penelitian ini menjalani pengobatan fase lanjutan karena
pada penelitian ini mengggunakan desain penelitian cross sectional hanya melakukan
observasi sekali
dan sekaligus dalam waktu yang sama. Pengobatan tuberkulosis dibagi dalam dua fase yaitu
fase awal dan fase lanjutan. Fase awal merupakan pengobatan yang berlangsung selama 2
bulan. Sedangkan fase lanjutan berlangsung selama 6-12 bulan.Obat yang diberikan pada fase
awal yaitu Isoniazid, Rifampisin dan Pirazinamid. Sedangkan pada faselanjutan yaitu
Isoniazid dan Rifampisin. Obat ini berfungsi untuk membunuh bakteri tuberkulosis. Efek
samping obat ini rasa mual, muntah, anoreksia, dan nyeri kepala. Efek tersebut dapat
berakibat pada penurunan nafsu makan.5 Hasil uji Chi Square fase pengobatan dengan status
gizi tuberkulosis anak menunjukkan adanya hubungan yang bermakna secara signifikan (p =
0,020). Hasil penelitian ini sesuai dengan teori bahwa pengobatan tuberkulosis berhubungan
dengan status gizi pasien tuberkulosis. Pengobatan dapat meningkatkan mekanisme
pertahanan tubuh dengan mengurangi jumlah bakteri di dalam tubuh.Semakin baik
mekanisme pertahanan tubuh, maka zat gizi untuk mengganti penghancuran jaringan tubuh
bagi pembentukan protein atau enzim dapat ditekan sehingga status gizi meningkat.
Penelitian yang dilakukan pada anak berusia kurang dari 5 tahun menunjukkan bahwa
keberhasilan pengobatan merupakan salah satu faktor yang mendukung terhadap peningkatan
status gizi. Dalam penelitian ini masih memiliki keterbatasan yaitu dalam data rekam medis
tidak terdapat tinggi badan penderita dan data pengobatan juga masih kurang lengkap.

BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 PENGARUH BATUK EFEKTIF TERHADAP PENGELUARAN SPUTUM
PADA PASIEN TUBERKULOSIS DI PUSKESMAS PETERONGAN
KABUPATEN JOMBANG

Menurut jurnal yang di buat oleh Yuliati Alie1, Rodiyah2 dengan judul
pengaruh batuk efektif terhadap pengeluaran sputum pada pasien tuberkulosis di
puskesmas peterongan kabupaten jombang. Dari analisis data sebagai berikut:
Pengeluaran sputum sebelum dilatih batuk efektif pada pasien TB
Dari hasil pemeriksaan pada specimen 1 (sebelum dilatih batuk efektif),
didapatkan rata-rata volume sputum dari 24 responden 0,32 cc, sebanyak 13
responden (54,2%) tidak dapat mengeluarkan sputum dan hanya mengeluarkan
ludah.
Pasien dengan batuk lama akan menghasilkan sputum. Batuk yang sangat
hebat menyebabkan spasme bronkial dan obstruksi. Lebih jauh mengiritasi bronki
dan mengakibatkan sinkop (pingsan). Batuk hebat berulang, atau tidak terkontrol
yang tidak produktif akan sangat melelahkan dan berpotensi membahayakan.
Pembentukan sputum adalah reaksi paru-paru terhadap setiap iritan yang kambuh
secara konstan.
Batuk adalah merupakan pengeluaran udara dari paru-paru yang tiba-tiba
dapat didengar. Saat individu menghirup napas, maka glotis akan menutup
sebagian dan otot bantu pernafasan berkontraksi untuk mengeluarkan udara
secara paksa. Batuk merupakan reflek membersihkan trakea, bronkus dan paruparu untuk melindungi organ-organ tersebut dari iritasi dan sekresi.
Batuk diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Karena
terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada
setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah bermingguminggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk
kering kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan
sputum). Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mengeluarkan sputum.
Terutama pada pasien yang tidak batuk atau batuk yang non produktif. Dalam hal
ini dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan minum
sebanyak 2 liter dan diajarkan melakukan reflek batuk19. Untuk mempermudah
pengeluaran sputum dapat dipengaruhi beberapa faktor yaitu batuk efektif,
postural drainase, vibrating dan clapping.
Cara melakukan batuk efektif posisi badan agak condong kedepan, kemudian
hirup napas dalam 2 kali secara perlahan-lahan melalui hidung dan hembuskan
melalui mulut hirup napas dalam ketiga kalinya ditahan 3 detik kemudian

batukkan dengan kuat 2 atau 3 kali secara berturut turut tanpa menghirup napas
kembali selama melakukan batuk kemudian napas ringan.
Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar.
Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk
baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah
berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai
dari batuk kering (non-produktif) setelah timbul peradangan menjadi produktif
(menghasilkan sputum)3. Batuk berdahak terus menerus selama 3 minggu atau
lebih, pada tahap lanjut dahak bercampur darah dan batuk darah.
Batuk dipicu secara refleks ataupun disengaja. Sebagai reflek pertahanan
diri, batuk dipengaruhi oleh jalur saraf relaksasi diagfragma dan kontraksi otot
melawan glotis yang menutup. Hasilnya akan terjadi tekanan yang positif pada
intra thorak yang menyebabkan penyempitan trakea. Sekali glotis terbuka,
bersama dengan penyempitan trakea akan menghasilkan aliran udara yang cepat
melalui trakea. Kekuatan eksposif ini akan menyapu sekret dan benda asing
yang ada di saluran nafas.
Pasien sebelum mendapatkan pelatihan batuk efektif seluruhnya tidak bisa
mengeluarkan sputum yang maksimal, sebagian besar yang dikeluarkan adalah
ludah hal ini dikarenakan pasien belum tahu bagaimana cara batuk efektif.
Mereka hanya melakukan batuk dengan cara biasa sehingga tidak bisa maksimal
pengeluaran sputumnya.
Ketidak mampuan responden dalam pengeluaran sputum dapat dipengaruhi
beberapa hal yaitu sebagian besar responden sudah masuk bulan berobat 3 bulan
sampai 6 bulan sehingga produktifitas pengeluaran sputum menjadi berkurang
dengan begitu batuk efektif sangat perlukan supaya pengeluaran sputum
menjadi maksimal dan 1 hari sebelumnya disarankan minum air 2 liter.
Pendidikan yang rendah mengakibatkan pengetahuan yang kurang sehingga
pasien TB kurang tahu bagaimana cara batuk yang benar dan sebelumnya tidak
pernah mendapat informasi bagaimana mengeluarkan sputum dengan benar dari
petugas kesehatan sehingga menggakibatkan pengeluaran sputum tidak dapat
maksimal. Jika demikian bisa mengakibatkan petugas laborat membuat
diagnosa yang salah karena jumlah sputum tidak sesuai dengan jumah yang
diharapkan.

Pengeluaran sputum sesudah dilatih batuk efektif pada pasien TB.


Pengeluaran sputum sesudah dilatih batuk efektif dari 24 responden 19
responden (79,2%) dapat mengeluarkan sputum dan responden (20,8%) tidak
dapat mengeluarkan sputum.
Pemeriksaan specimen menunjukkan adanya peningkatan rata-rata volume
sputum yaitu pada specimen 1 (sebelum batuk efektif) sebesar 0,32 cc menjadi
0,88 cc pada specimen 1 (sesudah dilatih batuk efektif), sedangkan pada
specimen 2 (sesudah dilatih batuk efektif) rata- rata volume sputum menjadi 1,6
cc.
Pemeriksaan specimen menunjukkan adanya peningkatan volume sputum
yang dihasilkan dari pasien TB paru yang telah diajarkan bagaimana batuk
efektif. Berdasakan hasil penelitian perbandingan specimen 1 (sebelum batuk
efektif) dengan specimen post 2 (setelah batuk efektif) sebanyak 19 responden
(79,2%) mengalami peningkatan volume sputum (cc) yang dihasilkan setelah
bantuk efektif. Sedangkan 5 responden (20,8) tidak mengalami peningkatan
sputum (cc) yang dihasilkan setelah batuk efektif
Batuk efektif adalah merupakan suatu metode batuk dengan benar, dimana
klien dapat menghemat energi sehingga tidak mudah lelah dan dapat
mengeluarkan dahak secara maksimal17.
Caranya sebelum batuk efektif pasien posisi duduk agak membungkuk,
kemudian dianjurkan minum air hangat dan satu hari sebelumnya disarankan
minum air 2 liter. Kemudian hirup napas 2 kali dan hirupan napas ke 3 ditahan 3
detik setelah itu batukan dengan kuat 2-3 kali secara berturut-turut kemudian
napas ringan9.
Latihan batuk efektif merupakan aktivitas perawat untuk membersihkan
sekresi pada jalan nafas. Tujuan batuk efektif adalah meningkatkan mobilisasi
sekresi dan mencegah resiko tinggi retensi sekret. Pemberian batuk efektif
dilaksanakan terutama pada klien dengan masalah keperawatan ketidak
efektifan jalan nafas dan masalah resiko tinggi infeksi saluran pernafasan bagian
bawah yang berhubungan dengan akumulasi sekret pada jalan nafas yang sering
disebabkan oleh kemampuan batuk yang menurun atau adanya nyeri setelah
pembedahan thoraks atau pembedahan abdomen bagian atas sehingga klien
merasa malas untuk melakukan batuk. Hal tersebut merupakan masalah yang
sering di temukan perawat praktisi diklinik keperawatan14.

Melakukan batuk yang benar bukan saja dapat mengeluarkan sputum secara
maksimal tetapi juga dapat menghemat energi. Batuk efektif memberikan
kontribusi yang positif terhadap pengeluaran volume sputum. Seluruh
responden melakukan batuk efektif dengan baik, Walaupun melakukan batuk
efektif dengan baik masih ada yang tidak dapat mengeluarkan sputum dapat
juga dikarenakan faktor mulai berobat sudah bulan terahir bulan pengobatan dan
sebagian kecil responden yang berusia lansia.
Usia yang cukup juga mempermudah mengajarkan cara batuk efektif
sehingga pasien TB cepat tanggap apa yang disarankan peneliti dengan batuk
efektif pasien menjadi tahu tentang bagaimana cara mengeluarkan sputum
secara maksimal dan cara batuk yang benar. Pengeluaran sputum yang
dihasilkan dengan maksimal menyebabkan lebih mudahnya petugas laborat
memeriksa sputum pasien. Karena untuk menegakkan diagnosa secara tepat
salah satu diantaranya adalah dengan pemeriksaan sputum (dahak). Penting
untuk mendapatkan sputum yang benar, bukan ludah ataupun sekret hidung
sehingga dapat diketemukan diagnosa yang pasti.
Berdasarkan analisa data pada specimen 1 dan specimen post 2 dengan
analisa data menggunakan uji chi square diperoleh = 0,021 < 0,05 berarti H0
ditolak dan Ha diterima, sehingga ada pengaruh batuk efektif terhadap
pengeluaran sputum pada pasien TB di Puskesmas Peterongan Kabupaten
Kabupaten Jombang.
Batuk efektif adalah merupakan latihan batuk untuk mengeluarkan
sekret13. Batuk efektif adalah merupakan suatu metode batuk dengan benar,
dimana klien dapat menghemat energi sehingga tidak mudah lelah dan dapat
mengeluarkan dahak secara maksimal17. Jika sputum terlalu kental untuk dapat
dikeluarkan, ada baiknya mengurangi viskositasnya dengan meningkatkan
kandungan airnya melalui hidrasi yang adekuat4.
Pada beberapa kondisi paru, seperti bronkhitis kronis, emfisema, dan
fibrosis kistik, lendir kental berkumpul didalam paru-paru. Kondisi ini membuat
anda lebih sulit bernafas dan meningkatkan kemungkinan anda menderita
pneumonia atau infeksi lain. Untuk membantu mengencerkan lendir dan
mengeluarkannya dari paru-paru, dokter telah menganjukan supaya anda
melakukan fisioterapi dada. Tindakan ini meliputi drainase postural, perkusi

dada, dan batuk efektif. Ingatlah meminum banyak cairan (sekurang-kurangnya


1893 ml per hari) juga akan membantu mengencerkan lendir.
Batuk efektif jika dilakukan dengan baik dan tepat akan terlihat perbedaan
yang cukup mencolok terhadap pengeluaran sputum dibandingkan dengan batuk
biasa karena batuk efektif adalah cara batuk yang benar. Batuk yang benar
caranya pertama yang dilakukan duduk agak condong kedepan kemudian tarik
nafas dalam dua kali lewat hidung keluarkan lewat mulut kemudian nafas yang
ketiga ditahan 3 detik dan batukan 2 sampai 3 kali batukkan dan sebelum batuk
efektif dianjurkan minum air hangat dan minum air sebanyak 2 liter 1 hari
sebelumnya dengan tujuan dahak menjadi encer dan mempermudah pengeluaran
sputum supaya dapat maksimal. Sedangkan pada batuk biasa tidak
menggunakan teknik yang benar karena tidak ada perlakuan-perlakuan khusus
sehingga penggeluaran sputum tidak maksimal.
4.2 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN
PENGOBATAN PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU
DENGANRESISTENSI OBAT ANTI TUBERKULOSIS DI WILAYAH JAWA
TENGAH
Bertin Tanggap Tirtana1, Musrichan

Berdasarkan jurnal yang berjudul Faktor- faktor yang mempengaruhi


keberhasilan pengobatan pada pasien tubeerkulosis paru dengan resistensi obat
anti tuberkulosis di wilayah jawa tengah.
Berdasarkan hasil yang diperoleh peneliti, proporsi jenis kelamin pasien
TB resisten Obat TB lebih banyak laki-laki dibandingkan perempuan yaitu 51,1
% berbanding 48,9%. Hasil ini serupa dengan penelitian yang dilakukan Reviono
bahwa

persentase

pasien

MDR

TB

laki-laki

mencapai

53,73%

dari

totalkeseluruhan, sedangkan persentase pasien MDR TB berjenis kelamin


perempuanmencapai 46,27%.6 Serupa dengan penelitian Pant di Nepal yang
menyatakan bahwa 70% pasien MDR TB adalah laki-laki.7 Rata-rata usia pasien
pada penelitian ini adalah 39 tahun, angka ini hampir sama dengan penelitian
Munir di Jakarta yang mendapati bahwa rerata umur pasien adalah 37 tahun.8
Tingginya angka pasien laki-laki pada usia produktif memungkinkan penularan
yang lebiluas. Hal ini dikarenakan kelompok laki-laki kebanyakan keluar rumah
mencari nafkah pada usia produktif, dengan frekuensi keluar rumah yang sering
dapat dimungkinkan terjadinya penularan.9 Tingginya proporsi laki-laki ini

dihubungkan oleh riwayat putus pengobatan dimana laki-laki memiliki


keteraturan berobat yang lebih rendah dibandingkan perempuan Pola resistensi
yang didapatkan pada penelitian ini menunjukkan bahwa kasus monoresisten
terjadi mayoritas resistensi Ethambutol dengan persentase mencapai 31,1%,
diikuti dengan resistensi Streptomisin dengan persentase 17,7%. Hasil ini
bertentangan dengan penelitian Setyarini di Yogyakarta yang menunjukkan kasus
resistensi terbanyak adalah resistensi INH dengan persentase 61,35%, diikuti
46,2% untuk resistensi Streptomisin, dan 30,8% untuk Ethambutol.9 Hal serupa
juga diutarakan Munir yang menyatakan bahwa jenis resistensi yang banyak
ditemukan adalah resistensi INH dan Rifampisin dengan 50,5%.8 Dalam
penelitian ini diketahui bahwa pasien TB Paru Resisten dengan riwayat resistensi
primer lebih banyak dibandingkan riwayat resistensi sekunder. Hasil ini serupa
dengan penelitian Setyarini yang menyatakan bahwa pasien resisten sebagian
besar tidak memiliki riwayat penyakit dan pengobatan TB sebelumnya atau
resistensi primer, diduga pasien tersebut kontak dengan pasien yang resisten
terhadap salah satu OAT atau lebih.9 Pasien yang resisten terhadap OAT terjadi
karena adanya riwayat kontak dengan orang yang berasal dari daerah yang
berisiko resisten terhadap OAT. Dalam penelitian ini proporsi keberhasilan
pengobatan lebih rendah dibandingkan kegagalan pengobatan. Hal ini disebabkan
oleh adanya resistensi obat. Hal penelitian tersebut didukung oleh penelitian
Reviono yang menyatakan adanya perbedaan dalam perbandingan hasil
pengobatan antara pasien yang resisten dan tidak resisten pada masing-masing
obat. Menurut Reviono, hasil pengobatan yang berbeda secara bermakna itu
disebabkan oleh adanya resistensi pada obat Rifampisin (p=0,003), Pirazinamid
(p=0,041) dan Streptomisin (p=0,049).6 Pada penelitian ini, keberhasilan
pengobatan hanya ditemukan pada kasus Monoresisten dan Polyresisten
(nonMDR TB), sedangkan keseluruhan pasien MDR TB menemui kegagalan
pengobatan. Hasil penelitian Reviono menemukan bahwa angka kesembuhan
kasus MDR TB cukup rendah (35,71%) dibandingkan dengan kasus resistensi
non MDR (90,57%) dan mendapati perbedaan ini bermakna antara kasus MDR
dan non MDR (p=0,00).6 Persentase pasien TB paru resisten obat TB dengan
riwayat Diabetes Mellitus (17,7%) jumlahnya lebih rendah, dibandingkan pasien
yang tidak memiliki riwayat Diabetes Mellitus (82,2%). Hasil ini bertentangan
dengan penelitian Simion yang mendapati lebih banyak pasien TB Paru dengan

Diabetes Mellitus yang menderita MDR TB (32%) dibandingkan dengan yang


tidak (4%).11 Diabetes Mellitus merupakan faktor risiko terjadinya MDR TB
dengan RR=37,9 (95% CI, 3.1-459.5).12 Pada pasien Diabetes Mellitus
didapatkan beberapa defisiensi imunitas seluler. Kadar gula darah yang tinggi
akan memicu terjadinya defek imunologis yang berdampak pada penurunan
fungsi neutrofil, monosit maupun limfosit. Selain itu, Hiperglikemi kronik dapat
menyebabkan gangguan fungsi paru dengan menyebabkan penebalan dan
perubahan struktur pada membran basalis. Pada penelitian ini, keteraturan berobat
berpengaruh kuat terhadap hasil pengobatan (p=0,00; r=0,7). Sebanyak 21 pasien
(46,7%) berobat secara teratur, persentase tersebut lebih rendah dibandingkan
jumlah pasien yang berobat tidak teratur (53,3%). Hasil ini berbeda dengan
penelitian Sri Melati Munir di Rumah Sakit Persahabatan yang menunjukkan
bahwa persentase keteraturan pasien untuk datang berobat mencapai 78,9%.8
Kenyataan ini mungkin disebabkan karena pada penelitian Munir letak Rumah
Sakit Persahabatan berada pada tengah kota dan dapat diakses dengan mudah
oleh angkutan umum dan kendaraan pribadi. Berbeda dengan RSPAW yang
memiliki jarak tempuh cukup jauh dan harus ditempuh dengan menggunakan Bus
Antarkota Dalam Provinsi (AKDP). Kondisi tersebut menimbulkan rendahnya
aksesibilitas pasien karena tingginya biaya perjalanan dan jauhnya jarak tempuh.
Pernyataan ini serupa dengan hasil penelitian Ahmad Rozali di BP4 Palembang
yang menyatakan jarak ke tempat pengobatan berpengaruh terhadap keteraturan
berobat (p<0,05, OR= 2,171 (95% CI 1,173-4,017)Selain dipengaruhi oleh jarak
ke tempat pengobatan, keteraturapengobatan dapat dipengaruhi oleh edukasi yang
dilakukan petugas kesehatan dan dokter, serta peningkatan komunikasi pada saat
pasien berobat. Petugas kesehatan juga diharapkan menghubungi pasien untuk
mengontrol keteraturan berobat. Pada penelitian Ahmad, biaya pengobatan
(p<0,05;OR=2,2) dan edukasi manfaat berobat teratur (p<0,05;OR=2,9)
berhubungan bermakna dengan keteraturan berobat.14 Penelitian Abdul di ParePare menunjukkan bahwa faktor pengetahuan berobat (p=0,00;OR=7,0) dan lama
pengobatan (p=0,01; OR=6,45) berpengaruh terhadap keteraturan berobat Lama
pengobatan pasien yang berobat berpengaruh kuat terhadap hasil pengobatan
(p=0,00; r=0,6). Kurangnya pemahaman tentang lama pengobatan TB merupakan
penyebab lama berobat yang tidak sesuai dengan standar pengobatan. Pasien
menganggap tidak perlu meneruskan pengobatan hingga selesai karena perbaikan

klinis yang dirasakan pasien tersebut dan melihat adanya perubahan konversi
sputum menjadi negatif pada akhir masa intensif. Selain itu, terputusnya
pengobatan pasien disebabkan oleh rendahnya tingkat kondisi sosial ekonomi
pasien TB, sehingga tidak dapat meneruskan pengobatan karena mahalnya biaya
transportasi dan biaya pengobatan. Dalam penelitian ini, nilai rerata jarak tempat
asal pasien ke fasilitas pengobatan adalah 56,98 km (SD 81,28). Pasien TB
resisten OAT terbanyak berasal dari Grobogan 32,2%. Kemungkinan sebagian
besar pasien ditemani keluarga saat berobat sehingga ongkos perjalanan dibiayai
oleh keluarga. Selain itu, pasien terus diberikan edukasi dan motivasi oleh
petugas kesehatan sehingga pasien memiliki keinginan yang kuat untuk sembuh
dan rela menempuh jarak yang jauh untuk berobat di fasilitas kesehatan baik di
RSPAW maupun ke RSDM. Berdasarkan data pada penelitian ini, dapat diketahui
bahwa sebagian besar pasien memiliki tingkat kehidupan sosial yang rendah
(66,7%). Hasil ini serupa dengan penelitian Pant R yang menemukan bahwa 90%
pasien MDR TB di Nepal berasal dari keluarga dengan kehidupan sosial ekonomi
yang rendah. Penelitian Setyarini menyebutkan pada kelompok sosial ekonomi
rendah relatif
lebih banyak pasien yang tidak mengalami konversi sputum. Resistensi OAT
banyak berkembang di negara dengan sosial ekonomi lemah, dimana dengan
kondisi yang lemah daya beli untuk pemenuhan kebutuhan gizi juga mengalami
kendala sehingga banyak dijumpai status gizi yang kurang, status gizi yang
kurang akan menyebabkan daya tahan yang lemah sehingga kuman M.
tuberkulosis mudah berkembangbiak dan hal tersebut akhirnya menghambat
kejadian konversi.9
Data yang diperoleh peneliti menunjukkan bahwa terdapat 12 pasien yang
sembuh walaupun sebagian besar pasien memiliki tingkat sosial ekonomi rendah.
Hal ini dikarenakan kemungkinan pasien tersebut berobat secara teratur, dan
memiliki tempat tinggal yang jarak tempuhnya tidak terlalu jauh dengan tempat
pengobatan. Selain itu, pasien memiliki keluarga yang berperan sebagai Pengawas
Minum Obat sehingga dapat membantu meringankan biaya pengobatan dan
menjaga agar pasien tetap teratur berobat.
Pada Tabel 1 tampak bahwa pasien TB resisten sebagian besar memiliki
gizi kurang (73,3%). Hasil serupa ditemukan pada penelitian Setyarini di
Yogyakarta yang mendapati bahwa sebagian besar pasien TB yang resisten OAT

memiliki status gizi kurang (61,5%). Infeksi TB dapat menyebabkan penurunan


berat badan, status gizi yang buruk meningkatkan risiko infeksi dan penyebaran
penyakit TB. Selain itu, gizi kurang akan menyebabkan daya tahan tubuh rendah
sehingga pertahanan tubuh terhadap kuman TB akan berkurang.9 Status gizi yang
kurang disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi yang rendah. Analisis statistik
yang dilakukan pada penelitian ini menemukan hubungan yang bermakna
(p=0,037) antara tingkat pendapatan dan status gizi. Nutrition assessment dan
14
monitoring berkala gizi pasien penting dilakukan oleh ahli gizi dan klinisi selama
pengobatan.16 Hal ini ditunjang dengan hasil studi Dhingra di India bahwa
peningkatan status gizi selama 6 bulan saat pengobatan berpengaruh terhadap
keberhasilan pengobatan (p=0,00).17 Selain itu, Seung et al juga menunjukkan
bahwa pasien MDR TB dengan BMI<18,4 berpengaruh terhadap risiko kematian
saat pengobatan MDR TB sedang berlangsung (OR=2,2 (95% CI 0,8-6,3)).18
Berdasarkan data pada penelitian ini, jumlah pasien yang tidak merokok
(71,1%) lebih banyak dibandingkan pasien yang merokok (28,9%) (Tabel 23).
Hasil ini berbeda dengan penelitian Ahmad Khan di Karachi, dimana kasus
resistensi obat ganda lebih banyak ditemui pada perokok dibandingkan
nonperokok. Dalam hasil penelitian Ahmad Khan tersebut disimpulkan bahwa
merokok adalah faktor risiko perkembangan penyakit MDR TB (p<0,05).11
Penelitian Pant di Nepal juga menunjukkan bahwa mayoritas pasien MDR TB
(74%) adalah perokok.10
Pada penelitian ini pengobatan pasien TB yang resisten OAT yang
memiliki kebiasaan merokok didapati lebih banyak yang gagal dibandingkan yang
sembuh. Menurut Tjandra Yoga, pada perokok terjadi gangguan makrofag dan
meningkatkan resistensi saluran napas dan permeabilitas epitel paru. Rokok akan
menurunkan sifat responsif antigen. Insiden dan beratnya TB berhubungan dengan
penggunaan rokok.13 Selain itu, rokok memperburuk kesehatan paru47.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar pasien tidak
memiliki pekerjaan berisiko (86,7%). Pekerjaan tidak berisiko tersebut antara lain
Pegawai Negeri Sipil (PNS), petani, pelajar, ibu rumah tangga, dan tidak bekerja.
Pekerjaan berisiko yang ditemukan peneliti hanya jenis pekerjaan swasta dan
buruh. Studi di Yogyakarta menemukan bahwa sebagian besar pasien TB resisten
OAT adalah bekerja sebagai pedagang/ wiraswasta (38,5%).9 Menurut Dimitrova

di Rusia, semua jenis pekerjaan yang menyebabkan subyek penelitian terpapar


oleh zat-zat yang dapat mengganggu fungsi paru dan pekerjaan yang
memungkinkan subyek penelitian yang kontak dengan pasien TB dianggap
sebagai pekerjaan yang berisiko, sedangkan jenis pekerjaan yang lain dianggap
tidak berisiko. Jenis pekerjaan sopir, tukang parkir, pekerja pabrik tekstil, montir,
15
pekerja bengkel las, penjahit, dan buruh bangunan pada penelitian ini
dikelompokkan sebagai jenis pekerjaan yang berisiko.20 WHO telah
merekomendasikan bagi pekerja pelayanan kesehatan yang bekerja di
laboratorium, klinik dan fasilitas pelayanan kesehatan dengan angka prevalensi
kejadian MDR TB tinggi untuk melakukan pemeriksaan Tes Kepekaan Obat
(DST), mengingat pekerja tersebut memiliki risiko tinggi untuk menjadi pasien
MDR TB.21
Pemerintah dalam hal ini Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
bekerja sama dengan Departemen Kesehatan telah melakukan program
penanggulangan TB di tempat kerja. Program tersebut antara lain: 22 Penemuan
pasien TB di tempat kerja, pengobatan, kepatuhan berobat, pelaporan efek
samping obat, penyediaan OAT dan distribusi OAT serta alat kesehatan,
pencatatan dan pelaporan, upaya promosi kesehatan dan pencegahan. Upaya
pemerintah ini dilakukan dengan harapan bahwa pasien TB resisten OAT dapat
memperoleh perhatian kesehatan baik dari fasilitas pelayanan kesehatan maupun
tempat kerja. Dengan demikian angka success rate terhadap penyakit ini dapat
meningkat.
Dalam penelitian ini, peneliti mengalami beberapa keterbatasan penelitian,
antara lain keterbatasan waktu dan biaya untuk menemukan kasus TB paru
resisten, sehingga jumlah subyek tidak memenuhi kriteria jumlah sampel minimal.
Tidak lengkapnya data pada catatan medik sehingga variabel ada tidaknya
Pengawas Minum Obat (PMO), riwayat penyakit HIV dan tingkat pendidikan
tidak dapat dianalisis pada penelitian ini. Keterbatasan waktu dan tenaga
sehingga tidak dapat meneliti faktor perancu. Penelitian ini hanya menggunakan
catatan medik sehingga tidak dapat mengetahui secara detail data pasien.
16

4.2 Hubungan Fase Pengobatan dan Status Gizi Tuberkulosis Anak Di

RumahSakit Umum Daerah Dr. H. Soewondo Kendal Periode Januari


2011 September 2011
Septia Putri

Sebagian besar subyek pada penelitian ini status gizi normal sebesar 65,3%. Hal ini
disebabkan karena menurut Soedibyo,dkk pengobatan berkaitan dengan status gizi
penderita,
semakin baik system imunitas dalam tubuh maka penggunaan zat gizi untuk
melawan infeksi
berkurang sehingga zat gizi dapat digunakan secara optimal untuk proses pertumbuhan
sehingga status gizi anak dapat meningkat. Selain pengobatan juga terdapat faktor lain
yaitu asupan energy dan protein dalam jumlah cukup juga diperlukan untuk mendukung
proses penyembuhan dan peningkatan status gizi anak dengan infeksi tuberkulosis.20
Sebagian besar subyek pada penelitian ini menjalani pengobatan fase lanjutan karena
pada penelitian ini mengggunakan desain penelitian cross sectional hanya melakukan
observasi sekali
dan sekaligus dalam waktu yang sama. Pengobatan tuberkulosis dibagi dalam dua fase yaitu
fase awal dan fase lanjutan. Fase awal merupakan pengobatan yang berlangsung selama 2
bulan. Sedangkan fase lanjutan berlangsung selama 6-12 bulan.Obat yang diberikan pada fase
awal yaitu Isoniazid, Rifampisin dan Pirazinamid. Sedangkan pada faselanjutan yaitu
Isoniazid dan Rifampisin. Obat ini berfungsi untuk membunuh bakteri tuberkulosis. Efek
samping obat ini rasa mual, muntah, anoreksia, dan nyeri kepala. Efek tersebut dapat
berakibat pada penurunan nafsu makan.5 Hasil uji Chi Square fase pengobatan dengan status
gizi tuberkulosis anak menunjukkan adanya hubungan yang bermakna secara signifikan (p =
0,020). Hasil penelitian ini sesuai dengan teori bahwa pengobatan tuberkulosis berhubungan
dengan status gizi pasien tuberkulosis. Pengobatan dapat meningkatkan mekanisme
pertahanan tubuh dengan mengurangi jumlah bakteri di dalam tubuh.Semakin baik
mekanisme pertahanan tubuh, maka zat gizi untuk mengganti penghancuran jaringan tubuh

bagi pembentukan protein atau enzim dapat ditekan sehingga status gizi meningkat.
Penelitian yang dilakukan pada anak berusia kurang dari 5 tahun menunjukkan bahwa
keberhasilan pengobatan merupakan salah satu faktor yang mendukung terhadap peningkatan
status gizi. Dalam penelitian ini masih memiliki keterbatasan yaitu dalam data rekam medis
tidak terdapat tinggi badan penderita dan data pengobatan juga masih kurang lengkap.

BAB V
PENUTUP

5.1. KESIMPULAN
5.2. SARAN

Anda mungkin juga menyukai