other similar nature, and calls upon all States to prevent such acts and, if not
prevented, to ensure that such acts are punished by penalties consistent with
their grave nature.1
Jika berkiblat pada definisi tersebut, tidaklah selalu bisa dikatakan bahwa tindakan terorisme
merupakan suatu tindak pidana yang hanya diarahkan pada individu, melainkan dapat pula di
arahkan pada suatu kelompok masyarakat tertentu, bahkan pada suatu negara.
Kerugian yang disebabkan aksi terorisme dapat menimbulkan kerugian yang tidak
hanya menyangkut kerugian materil namun juga kerugian psikis. Merupakan suatu
kemungkinan jika korban-korban dari setiap serangan teroris akan mengalami trauma terkait
tindakan yang dilakukan teroris, sehingga itu akan menggangu keberlangsungan hidup
korban. Belum lagi kerugian materil yang di alami suatu negara, terutama jika serangan
teroris sudah menggunakan bahan peledak. Suatu negara juga bisa mendapati kerugian dari
aspek pariwisata, dimana serangan teroris membuat turis dari negara lain memilih -atau
dilarang oleh negaranya- untuk tidak mengunjungi negara yang mendapat serangan teroris.
Berkurangnya turis secara drastis pernah terjadi beberapa saat pasca terjadinya bom Bali 1 di
Bali pada 12 Oktober 2002.2
Kini, aksi terorisme memiliki metode lain yang pada dasarnya sudah diterapkan bertahuntahun lamanya, yaitu menjadikan perwakilan negara asing sebagai targetnya. Salah satu
contoh satu tindakan teroris yang menjadikan gedung maupun staff perwakilan negara lain
pernah terjadi pada pemboman Kedutaan Besar Amerika di Kenya dan Tanzania pada 7
Agustus 1998 yang menewaskan 220 orang dan melukai 4000 orang. Pemboman tersebut
merupakan aksi terorisme yang berada dibawah pertanggung jawaban Al-Qaeda.3
Contoh lain dari serangan teroris yang menjadikan perwakilan negara asing sebagai target
adalah penyerangan terhadap John Gordon Mein, Duta Besar Amerika untuk Guatemala,
pada 28 Agustus 1968. Duta Besar Mein dibunuh setelah usaha penculikan yang dilakukan
terhadapnya oleh kelompok gerilya gagal dilakukan.4 Penyerangan terhadap Duta Besar
Amerika juga pernah terjadi di Afghanistan pada 14 Februari 1979, dimana Dubes Adolph
Dubbs diculik dan dibunuh oleh sekelompok orang tak dikenal. Pada saat yang bersamaan,
juga terjadi penyerangan ke Kedutaan Besar Amerika di Iran yang memakan korban tewas
sebanyak 6 orang dan 70 orang, termasuk dubesnya, dijadikan sandera. Penyanderaan 70
perwakilan Amerika di Iran tersebut hanya memakan waktu beberapa jam dan kemudian
dikembalikan ke Kedutaan Besar Amerika setelah sebelumnya Deputi Perdana Menteri Iran,
didampingi beberapa pasukannya, meminta kepada kelompok radikal penculik staff
perwakilan Amerika tersebut agar melepaskan sandera dari pihak Amerika.5
Di Indonesia, penyerangan terhadap perwakilan asing juga kerap terjadi. Salah satu
contohnya adalah meledaknya bom yang dipasang didalam mobil yang terparkir didepan
rumah Duta Besar Filipina di Menteng, Jakarta Pusat, yang merenggut nyawa 2 orang dan
melukai 21 orang lainnya termasuk Duta Besar Filipina, Leonides T. Caday.6
Masih ada lagi beberapa serangan teroris yang ditujukan kepada staff perwakilan asing di
Indonesia, imana pelakunya menggunakan metode layaknya yang sudah digunakan di Iran
dan Kenya, dimana perwakilan asing menjadi targetnya.
Berkaca pada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa aksi terorisme di Indonesia
kerap diarahkan pada kedutaan besar asing. Permasalahan tersebut menarik perhatian
penyusun untuk meneliti apa motif dibalik adanya serangan teroris terhadap perwakilan asing
di Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapan menjawab apa yang menjadi motif dari teroris
untuk melakukan penyerangan yang ditujukkan pada perwakilan asing, dan diharapkan akan
ada pemahaman baru terkait motif teroris menyerang kedutaan asing maupun perwakilannya
di Indonesia, juga memberikan kontribusi baru terkait pencegahan dan penanggulangan aksi
teroris terhadap kedutaan maupun perwakilan negara lain di Indonesia.
perwakilan negara asing yang di akibatkan oleh adanya suatu tindakan maupun
kebijakan yang di ambil oleh negara asing yang menyebabkan penyerangan terhadap
perwakilannya di Indonesia.
4. Bagi perwakilan asing di Indonesia: memberikan gambaran terkait motif serangan
teroris terhadap gedung perwakilannya, sehingga dapat meningkatkan kewaspadaan
dan juga pencegahan dini yang bisa dilakukan negaranya terhadap serangan teroris.
BAB 2. Tinjauan Pustaka
2.1. Definisi Korps Diplomatik
Istilah Korps Diplomatik sendiri muncul dengan adanya hubungan antar satu negara
dengan negara lain, yang mana tugasnya sendiri sudah di atur secara spesifik pada Konvensi
Wina tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik, yang mana disebutkan pada pasal 3 bahwa:
1. Fungsi dari misi diplomatik terdiri dari, antara lain:
a) mewakili negara pengirim di negara penerima;
b) melindungi kepentingan negara pengirim di negara penerima dengan batasan yang
diperbolehkan hukum internasional;
c) berunding dengan pemerintah negara penerima;
d) mengikuti, dengan batasan hukum, kondisi dan perkembangan negara penerima,
dan melaporkannya kemudian kepada pemerintah negara pengirim;
e) mempromosikan hubungan baik antara negara pengirim dengan negara penerima,
dan memajukan perekonomian, budaya, dan hubungan keilmuan mereka.
2. Tidak ada dalam perundang-undangan ini sesuatu hal yang ditafsirkan untuk mencegah
terlaksananya hubungan konsuler oleh misi diplomatik.
Dari penjelasan Konvensi Wina di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak
sekali pertanggung jawaban korps diplomatik terhadap negaranya. Ini menjadikan korps
diplomatik suatu sasaran serangan karena sosok korps diplomatik juga menggambarkan suatu
negara.
2.2. Pengertian Target Simbolis
Istilah Korps Diplomatik yang menjadi Target Simbolis sendiri sebenarnya sudah di
ungkapkan Hevener, dimana ia mengatakan: the protection of diplomats merits special
attention because diplomats are especially vulnerable symbolic targets of political violence
(perlindungan terhadap diplomat memang sangat pantas mendapat perhatian khusus
6
mengingat diplomat adalah target simbolis yang rentan terhadap kekerasan yang bersifat
politis).7
Hal yang menjadi perhatian disini bukan hanya kepada Korps diplomatiknya itu
sendiri,namun juga apa yang menjadikan korps diplomatik menjadi target simbolis. Jika
Hevener mengatakan bahwasannya korps diplomatik rentan hanya terhadap kekerasan yang
bersifat politis, maka perhatian khusus untuk korps diplomatik akan tersangkut hanya pada
beberapa cara saja. Namun lain halnya jika kekerasan yang mengincar korps diplomatik
sudah mencakup kekerasan yang berkaitan dengan konflik yang terjadi antara negara yang
diwakilinya dengan kelompok radikal yang membenci negaranya.
2.3. Konsep Asas Inviolabilitas
Menurut Konvensi Wina tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik, disebutkan pada
pasal 22 bahwa:
Article 22
1. The premises of the mission shall be inviolable. The agents of the receiving state may
not enter them, except with the consent of the head of the mission.
2. The receiving state is under a special duty to take all appropriate steps to protect the
premises of the mission against any intrusion or damage and to prevent any
disturbance of the peace of the mission or impairment of its dignity.
3. The premises of the mission, their furnishings and other property thereon and the
means of transport of the mission shall be immune from search, requisition,
attachment or execution.
Pada dasarnya, menurut pasal tersebut, gedung-gedung perwakilan diplomatik tidak
dapat diganggu gugat (prinsip inviolabilitas). Perwakilan dari negara penerima hanya boleh
memasuki gedung perwakilan diplomatik negara pengirim atas izin dari kepala perwakilan
diplomatik. Terlebih lagi, berdasarkan ayat 2 (dua) pasal tersebut, dapat diketahui bahwa
negara penerima memiliki tugas khusus untuk melindungi gedung-gedung perwakilan
diplomatik dari segala jenis gangguan maupun hal-hal yang dapat merendahkan martabat.
Maka dengan adanya penyerangan teroris terhadap bangunan-bangunan perwakilan
asing, dapat disimpulkan bahwa negara penerima, dalam penelitian ini Indonesia, belum
memenuhi tanggung jawab khusus untuk menghindari bangunan-bangunan perwakilan asing
menjadi target serangan teroris.
7 Hevener, 1986, Diplomacy in a Dangerous World, Westview Press, New York,
hal. 5.
7