Anda di halaman 1dari 24

BAB 2.

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep BPH (Benigna Prostate Hiperplasia)


2.1.1 Pengertian
Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) merupakan perbesaran kelenjar
prostat, memanjang ke atas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin
dengan menutupi orifisium uretra sehingga menyebabkan pengosongan inkomplit
dari kandung kemih serta adanya retensi urin, akibatnya dapat terjadi dilatasi
ureter (hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap (Smeltzer & Bare,
2010). Price & Wilson (2006) menjelaskan bahwa BPH merupakan pertumbuhan
nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut
dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh
dengan menekan kelenjar normal yang tersisa, prostat tersebut mengelilingi uretra
dan, dan pembesaran bagian periuretral menyebabkan obstruksi leher kandung
kemih dan uretra parsprostatika (Price dan Wilson, 2006).
BPH sering terjadi pada pria umur 50 tahun atau lebih yang ditandai dengan
prostat mengalami atrofi dan menjadi nodular, pembesaran dari beberapa bagian
kelenjar ini dapat mengakibatkan obstruksi urine (Baradero dan Dayrit, 2007).
Menurut Pottage (2012) BPH adalah pembesaran kelenjar prostat, dimana terjadi
pada pria yang lebih tua dari usia 50 sekitar 50% dan pria yang lebih tua dari usia
70 seitar 75%. Penyebabnya tidak diketahui, tetapi mungkin terkait dengan
perubahan hormon. Sebagai prostat membesar menyebabkan uretra menyempit
dan menghalangi atau mengganggu urine flow akibatnya terjadi retensi urin yang
dapat menyebabkan iinfeksi saluran kemih (ISK) hasil dari stasis urin.
Dari beberapa pernyataan di atas dapat disimpulkan, bahwa Benigna
Prostate Hiperplasia (BPH) adalah suatu penyakit yang diakibatkan oleh
pembesaran kelenjar prostat yang dapat menyumbat aliran urin dengan menutupi

orifisium uretra akibat terjadinya dilatasi ureter dan ginjal, sehingga menghambat
pengosongan kandung kemih dan menyebabkan gangguan perkemihan.

Gambar 1. BPH

2.1.2 Etiologi
Penyebab pasti BPH belum diketahui. Menurut Pasrson dalam Smeltzer dan
Bare (2010) BPH dapat beresiko terjadi pada pria dengan kondisi mengonsumi
rokok yang lama, konsumsi alkohol berat, obesitas, mengurangi tingkat aktivitas,
hipertensi, penyakit jantung, diabetes, dan diet (tinggi lemak hewani dan protein,
rendah serat). Smeltzer & Bare (2010) menyebutkan bahwa beberapa bukti yang
dapat menyebabkan BPH adalah hormon androgen testis yang menyebabkan
hyperplasia jaringan dan penuaan. Beberapa bukti lain menyebutkan bahwa
penyebab BPH ini berhubungan dengan adanya beberapa teori, yaitu Teori
Dehidrotestosteron (DHT), teori hormon (ketidakseimbangan antara estrogen dan
testosteron), faktor interaksi stroma dan epitel-epitel, teori berkurangnya kematian
sel (apoptosis), teori sel stem.
a Teori Dehidrotestosteron (DHT)
Dehidrotestosteron (DHT) adalah hormon pria yang aktif dalam kelenjar
prostat. Hormon ini dibuat ketika enzim 5-alpha reduktase mengubah
testosteron menjadi dehidrotestosteron, yang merangsang pertumbuhan
kelenjar prostat.DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada

pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Aksis hipofisis testis dan reduksi


testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT) dalam sel prostat merupakan
faktor terjadinya penetrasi DHT kedalam inti sel yang dapat menyebabkan
gangguan pada RNA, sehingga dapat menyebabkan terjadinya sintesis protein
yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai penelitian
dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya
pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5alfareduktase
dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan
sel-sel prostat pada BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel
b

lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal (Purnomo, 2011).


Teori Hormon (Ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron)
Penurunan kadar testosteron sering terjadi pada pria dengan usia lanjut.
Penurunan produksi testosteron dan konversi testosteron menjadi estrogen
pada jaringan adiposa di perifer dapat merangsang terjadinya hiperplasia pada
stroma. Estrogen berberan dalam perkembangan stroma yang awalnya terjadi
akibat proliferasi sel oleh testosteron. Pada keadaan normal hormon
gonadotropin hipofise akan menyebabkan produksi hormon androgen testis
yang akan mengontrol pertumbuhan prostat. Dengan makin bertambahnya
usia, akan terjadi penurunan dari fungsi testikuler (spermatogenesis) yang
akan menyebabkan penurunan yang progresif dari sekresi androgen yang
dapat berpengaruh pada estrogen dan testosteron. Estrogen dalam prostat
berperan dlam proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan
sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, eningkakan
jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat

(apoptosis) (Roehborn, et al., 2007)


Faktor interaksi Stroma dan Epitel
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung
dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator yang disebut Growth
factor. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol,
sel-sel

stroma

mensintesis

suatu

growth

factor

yang

selanjutnya

mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri. Stimulasi itu menyebabkan


terjadinya poliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma. Basic Fibroblast

Growth Factor (bFGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan
konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran prostat jinak.
bFGF dapat diakibatkan oleh adanya mikrotrauma karena miksi, ejakulasi
d

atau infeksi. (Roehborn, et al., 2007)


Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Apoptosis pada sel prostat adalah mekanisme

fisiologik

untuk

mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi


kondensasi dan fragmentasi sel, yang selanjutnya sel-sel yang mengalami
apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya, kemudian didegradasi
oleh enzim lisosom. Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju
poliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat
sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan
yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat baru
dengan prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel
prostat secara keseluruhan menjadi meningkat, sehingga terjadi pertambahan
e

masa prostat (Roehborn, et al., 2007)


Teori Sel Stem
Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru. Didalam
kelenjar prostat istilah ini dikenal dengan suatu sel stem, yaitu sel yang
mempunyai kemampuan berpoliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini
sangat tergantung pada keberadaan hormone androgen, sehingga jika hormon
androgen kadarnya menurun, akan terjadi apoptosis. Terjadinya poliferasi selsel BPH dipercayai sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi
produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel (Roehborn, et al.,
2007).

2.1.3 Klasifikasi
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4
stadium:
a. Stadium I: ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan
urine sampai habis.

b. Stadium II: ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan
urine walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada
rasa ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
c. Stadium III: setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
d. Stadium IV: retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan,
urine menetes secara periodik (over flowin continent).
Pembagian berdasarkan tingkat keparahan penderita BPH dapat diukur
dengan skor IPSS (Internasional Prostate Symptom Score) untuk membantu
diagnosis dan menentukan tingkat beratnya penyakit Sjamsuhidajat (2005).
Tabel 1. Tingkatan Keparahan BPH
No

Keluhan pada bulan


terakhir

Tidak
pernah

<1x
dalam 5
kali

<dari
setenga
h

Kadang
-kadang
sekitar
(50%)

>dari
setenga
h

Hampir
Selalu

Seberapa sering anda


merasa tidak puas saat
selesai berkemih?
Seberapa sering
anda harus kencing dalam
waktu <2 jam setelah
selesai berkemih?
Seberapa sering
anda mendapatkan
kencing anda terputusputus?
Seberapa sering
anda mendapatkan bahwa
anda
sulit
menahan
kencing?
Seberapa sering pancaran
kencing anda lemah?
Seberapa sering anda
harus mengedan untuk
mulai berkemih?
Seberapa sering anda
harus bangun untuk

5
6

berkemih sejak mulai


tidur pada malam hari
hingga bangun di pagi
hari?

Total IPSS Score :


1
2
3

Ringan (Mild) : 0 7
Sedang (Moderate) : 8-19
Berat (Severe) : 20 35

2.1.4 Tanda dan Gejala


Manifestasi klinis yang dapat ditimbulkan oleh BPH salah satunya adalah
adanya obstuksi. Obstruksi prostat ini dapat menimbulkan keluhan pada saluran
kemih maupun keluhan diluar saluran kemih. Purnomo (2011) mengatakan bahwa
manifestasi klinis BPH adalah keluhan pada saluran kemih bagian bawah dan
gejala pada saluran kemih bagian atas.
a Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Manifestasi klinis yang dapat ditimbulkan adalah sebagai berikut:
1 Gejala obstruksi meliputi retensi urin (urin tertahan dikandung kemih
sehingga urin tidak bisa keluar), straining/harus mengejan, hesitansi (sulit
memulai miksi), pancaran miksi lemah, Intermiten (kencing terputus2
b

putus), dan miksi tidak puas (menetes setelah miksi/terminal dribling);


Gejala iritasi meliputi frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan ingin miksi

yang sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).


Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat hiperplasi prostat pada sluran kemih bagian atas berupa adanya
gejala obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan dipinggang (merupakan tanda
dari hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda infeksi atau urosepsis.
Sedangkan menurut Samsudjat (2005) kumpulan gejala pada BPH dikenal
dengan LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms) antara lain: hesitansi, pancaran
urin lemah, intermittensi, terminal dribbling, terasa ada sisa setelah miksi disebut
gejala obstruksi dan gejala iritatif dapat berupa urgensi, frekuensi serta disuria.

2.1.5 Patofisiologi

Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa


majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral
sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal
yang tersisa. Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma
fibrosa dan otot polos yang jumlahnya berbeda-beda. Proses pembesaran prosta
terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi
secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat,
resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot destrusor
menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan
destrusor disebut fase kompensasi, keadaan berlanjut, maka destrusor menjadi
lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi/terjadi dekompensasi sehingga terjadi retensi urin (Purnomo, 2011).
Pasien tidak bisa mengosongkan vesika urinaria dengan sempurna, maka akan
terjadi statis urin (Smeltzer & Bare, 2010). Urin yang statis akan menjadi alkalin
dan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri (Baradero et al, 2007).
Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan

dapat

mengakibatkan aliran urin tidak deras dan sesudah berkemih masih ada urin yang
menetes, kencing terputus-putus (intermiten), dengan adanya obstruksi maka
pasien mengalami kesulitan untuk memulai berkemih (hesitansi). Gejala iritasi
juga menyertai obstruksi urin. Vesika urinarianya mengalami iritasi dari urin yang
tertahan tertahan didalamnya sehingga pasien merasa bahwa vesika urinarianya
tidak menjadi kosong setelah berkemih yang mengakibatkan interval disetiap
berkemih lebih pendek (nokturia dan frekuensi), dengan adanya gejala iritasi
pasien mengalami perasaan ingin berkemih yang mendesak/ urgensi dan nyeri saat
berkemih /disuria (Purnomo, 2011).
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi,
akan terjadi inkontinensia paradox (keadaan dimana tekanan vesika urinaria
menjadi lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan terjadi obstruksi). Retensi
kronik menyebabkan refluk vesika ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal
ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi
pasien harus mengejan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau
hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat menyebabkan terbentuknya batu

endapan didalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan
menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat juga menyebabkan sistitis
(peradangan kandung kemih) dan bila terjadi refluk akan mengakibatkan
pielonefritis (inflamasi pada pelvis ginjal dan parenkim ginjal yang disebabkan
karena adanya infeksi oleh bakteri) (Sjamsuhidajat, 2005; De jong, 2004).
2.1.6

Pemeriksaan
Untuk menegakkan diagnosis BPH dilakukan beberapa cara antara lain

sebagai berikut (Sjamsuhidajat 2005; De jong, 2004):


a Anamnesa.
Kumpulan gejala pada BPH dikenal dengan LUTS (Lower Urinary Tract
Symptoms) antara lain: hesitansi, pancaran urin lemah, intermittensi, terminal
dribbling, terasa ada sisa setelah miksi disebut gejala obstruksi dan gejala
b

iritatif dapat berupa urgensi, frekuensi serta disuria.


Pemeriksaan Fisik
1) Rectal touch atau pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan
konsistensi sistem persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat.
a)
b)
c)
d)
e)

Dengan rectal toucher dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :


0 1 cm . = grade 0
1 2 cm . = grade 1
2 3 cm . = grade 2
3 4 cm . = grade 3
> 4 cm = grade 4

Gambar 2. Rectal touche

2) Clinical grading

Patokan banyaknya sisa urine dilakukan dengan cara pagi hari pasien
bangun tidur disuruh kencing sampai selesai kemudian masukkan kateter
VU mengukur sisa urine
a) Sisa urine 0 cc . = normal
b) Sisa urine 0 50 cc = grade 1
c) Sisa urine 50 150 cc. = grade 2
d) Sisa urine > 150 cc . = grade 3
c. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar gula
digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien.
2) Pemeriksaan urin lengkap dan kultur untuk mengetahui adanya kandungan
kalkuli atau patogen sebagai indikasi adanya komplikasi seperti infeksi
saluran kemih, hidronefrosis akibat BPH. Uji kreatinin dilakukan untuk
mengethui adanya resiko kegagalan ginjal (Wein,2006)
3) PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai kewaspadaan
adanya keganasan. Pemeriksaan darah yang berfungsi untuk mengukur
kadar protein yang dikeluarkan kelenjar prostat. Pada kondisi normal, hanya
sedikit PSA yang masuk ke dalam aliran darah, tapi bila terjadi peradangan
atau kerusakan di jaringan prostat, maka kadar PSA dalam darah meningkat.
Oleh karena itu, peningkatan PSA tidak hanya disebabkan oleh kanker
prostat, tapi bisa juga disebabkan oleh BPH, infeksi atau pun peradangan
prostat. Nilai PSA untuk pasien normal adalah 0-4 Ng/mL, nilai untuk
keadaan beresiko prostat adalah 4-10 ng/mL, dan apabila sudah diatas 10
maka hal ini menandakan tubuh Anda memiliki resiko yang tinggi terhadap
kanker. Prostat spesifik antigen konsentrasi (PSA) dalam serum pasien
dengan PC, BPH dan pria sehat diukur dengan ELISA. PSA lebih tinggi
terdeteksi pada serum pasien kelompok (PC dan BPH) dibandingkan dengan
orang yang sehat. Konsentrasi rata-rata PSA pada pasien PC sedikit lebih
tinggi dibandingkan pasien BPH (p <0,03) (Habibagahi et al, 2009).
d. Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara objektif
pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan penilaian:
1) Flow rate maksimal > 15 ml / dtk = non obstruktif.

2) Flow rate maksimal 10 15 ml / dtk = border line.


3) Flow rate maksimal < 10 ml / dtk = obstruktif.

Gambar 3. Pemeriksaan Uroflowmetri

e. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik


1) USG (ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume dan
besar prostat juga keadaan bulibuli termasuk residual urin. Pemeriksaan
dapat dilakukan secara transrektal, transuretral dan suprapubik. Pada
pemeriksaan USG akan ditemukan volume prostat > 30 ml.

Gambar 4. Hasil USG pada pasien BPH

2) IVP (Pielografi Intravena), digunakan untuk melihat fungsi ekskresi ginjal


dan adanya hidronefrosis.

Gambar 5. IVP pada pasien BPH


2.1.7

Komplikasi

Sjamsuhidajat (2005) dan De Jong (2004) menyebutkan bahwa komplikasi


BPH adalah sebagai berikut:
a. retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi;
b. refluk kandung kemih;
c. involusi kontraksi kandung kemih;
d. infeksi saluran kemih;
e. hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus berlanjut
maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin yang akan
mengakibatkan tekanan intravesika meningkat;
f. gagal ginjal dapat menjadi progresif jika terjadi infeksi;
g. hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk batu
endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu tersebut
dapat pula menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat mengakibatkan
pielonefritis;
h. hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada waktu
miksi pasien harus mengedan.
2.1.8

Penatalaksaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan tergantung dengan penyebab,

keparahan

obstruksi,

dan

kondisi

pasien

(Smeltzer

&

Bare,

2010).

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:


a. Observasi
Observasi biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien
dianjurkan untuk mengurangi minum setelah makan malam yang ditujukan
agar

tidak

terjadi

nokturia,

menghindari

obat-obat

dekongestan

(parasimpatolitik), mengurangi minum kopi, dan tidak diperbolehkan minum


alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Pasien dianjurkan untuk menghindari
mengangkat barang yang berat agar perdarahan dapat dicegah. Anjurkan pasien
agar sering mengosongkan kandung kemih (jangan menahan kencing terlalu
lama) untuk menghindari distensi kandung kemih dan hipertrofi kandung
kemih. Pasien dianjurkan untuk melakukan kontrol keluhan, pemeriksaan
laboratorium, sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur (Purnomo, 2011).
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat menurut Purnomo (2011) dapat
diperkirakan dengan mengukur residual urin dan pancaran urin.
1) Residual urin: jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin dapat diukur dengan
cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan
pemeriksaan USG setelah miksi.
2) Pancaran urin (flow rate): dapat dihitung dengan cara menghitung jumlah
urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat
urofometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin.
b. Terapi medikamentosa
Baradero et al (2007) megatakan bahwa tujuan dari obat-obat yang diberikan
pada pasien BPH adalahbertujuan untuk:
1) mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi untuk
mengurangi tekanan pada uretra;
2) mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan alfa
blocker (penghambat alfa adrenergenik);
3) mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone testosterone
atau disebut dengan dehidrotestosteron (DHT).
Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH, menurut
Purnomo (2011) diantaranya adalah sebagai penghambat adrenergenik alfa,
penghambat enzin 5 alfa reduktase, dan fitofarmaka.
1. Penghambat adrenergenik alfa
Obat-obat
yang
sering
dipakai
diantaranya

adalah

prazosin,

doxazosin,terazosin,afluzosin atau yang lebih selektif alfa 1a (Tamsulosin).


Dosis dimulai 1mg/hari sedangkan dosis tamsulosin adalah 0,2-0,4 mg/hari.
Penggunaaan antagonis alfa 1 adrenergenik karena secara selektif dapat
mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas detrusor.
Obat ini menghambat reseptor-reseptor yang banyak ditemukan pada otot

polos di trigonum, leher vesika, prostat, dan kapsul prostat sehingga terjadi
relakasi didaerah prostat. Obat-obat golongan ini dapat memperbaiki keluhan
miksi dan laju pancaran urin. Hal ini akan menurunkan tekanan pada uretra
pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-gejala berkurang.
Biasanya pasien mulai merasakan berkurangnya keluhan dalam 1-2 minggu
setelah ia mulai memakai obat. Efek samping yang mungkin timbul adalah
pusing, sumbatan di hidung dan lemah. Ada beberapa obat-obat yang
menyebabkan ekasaserbasi retensi urin maka perlu dihindari seperti
antikolinergenik, antidepresan, transquilizer, dekongestan, obatobat ini
mempunyai efek pada otot kandung kemih dan sfingter uretra.
2. Penghambat enzim 5 alfa reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan dosis 1X5 mg/hari.
Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan DHT sehingga prostat
yang membesar akan mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat dari
golongan alfa bloker dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang besar.
Efektifitasnya masih diperdebatkan karena obat ini baru menunjukkan
perbaikan sedikit atau 28 % dari keluhan pasien setelah 6-12 bulan
pengobatan bila dilakukan terus menerus, hal ini dapat memperbaiki
keluhan miksi dan pancaran miksi. Efek samping dari obat ini diantaranya
adalah libido, impoten dan gangguan ejakulasi.
3. Fitofarmaka atau fitoterapi
Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain eviprostat.
Substansinya misalnya pygeum africanum, saw palmetto, serenoa repeus.
Efeknya diharapkan terjadi setelah pemberian selama 1- 2 bulan dapat
memperkecil volum prostat.
c. Terapi Bedah
Pembedahan

adalah

tindakan

pilihan,

keputusan

untuk

dilakukan

pembedahan didasarkan pada beratnya obstruksi, adanya ISK, retensio urin


berulang, hematuri, tanda penurunan fungsi ginjal, ada batu saluran kemih dan
perubahan fisiologi pada prostat. Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi
tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Smeltzer & Bare (2010)

mengatakan bahwa intervensi bedah yang dapat dilakukan meliputi pembedahan


terbuka dan pembedahan endourologi (tertutup).
1 Pembedahan terbuka
Beberapa teknik operasi prostatektomi terbuka yang biasa digunakan adalah
sbegai berikut:
a) Prostatektomi suprapubik
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen.
Insisi dibuat dikedalam kandung kemih, dan kelenjar prostat diangat dari
atas. Teknik demikian dapat digunakan untuk kelenjar dengan segala
ukuran, dan komplikasi yang mungkin terjadi ialah pasien akan
kehilangan darah yang cukup banyak dibanding dengan metode lain,
kerugian lain yang dapat terjadi adalah perlu adanya insisi abdomen yang
akan disertai bahaya dari semua prosedur bedah abdomen mayor
(Smeltzer & Bare, 2010).
b) Prostatektomi perineal
Adalah suatu tindakan dengan mengangkat kelenjar melalui suatu insisi
dalam perineum. Teknik ini digunakan jika teknik prostatektomi lain
tidak dapat digunakan. Teknik ini berguna untuk biopsy terbuka. Pada
periode pasca operasi luka bedah mudah terkontaminasi karena insisi di
lakukan dekat dengan rektum. Komplikasi yang mungkin terjadi dari
tindakan ini adalah inkontinensia, impotensi dan cedera rectal (Smeltzer
& Bare, 2010).
c) Prostatektomi retropubik
Adalah tindakan lain yang dapat dilakukan dengan cara insisi abdomen
rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung
kemih tanpa memasuki kandung kemih. Teknik ini sangat tepat untuk
kelenjar prostat yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun jumlah darah
yang hilang lebih dapat dikontrol dan letak pembedahan lebih mudah
dilihat, akan tetapi infeksi dapat mulai terjadi diruang retropubik
(Smeltzer & Bare, 2010).
2

Pembedahan endourologi
Pembedahan endourologi transurethral dapat dilakukan dengan memakai

tenaga elektrik diantaranya:

1. Transurethral Prostatic Resection (TURP): tindakan operasi yang paling


banyak dilakukan pada BPH derajat 1,2 hingga 3. Bila sudah derajat 4
biasanya operasi dilakukan dengan open prostatectomi. Reseksi kelenjar
prostat dilakukan dengan transuretra menggunakan cairan irigan (pembilas)
agar daerah yang akan dioperasi tidak tertutup darah. Indikasi TURP ialah
gejala-gejala sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 90 gr.T
indakan ini dilaksanakan apabila pembesaran prostat terjadi dalam lobus
medial yang langsung mengelilingi uretra (Smeltzer & Bare, 2010). Setelah
TURP yang memakai kateter threeway. Irigasi kandung kemih secara terus
menerus dilaksanakan untuk mencegah pembekuan darah. Manfaat
pembedahan TURP antara lain tidak meninggalkan atau bekas sayatan serta
waktu operasi dan waktu tinggal dirumah sakit lebih singkat.Komplikasi
TURP adalah rasa tidak enak pada kandung kemih, spasme kandung kemih
yang terus menerus, adanya perdarahan, infeksi, fertilitas (Baradero et al,
2007).
2. Transurethral Incision of the Prostate (TUIP): tindakan ini dilakukan apabila
volume prostat tidak terlalu besar atau prostat fibrotic. Indikasi dari
penggunan TUIP adalah keluhan sedang atau berat, dengan volume prostat
normal atau kecil (30 gram atau kurang). Teknik yang dilakukan adalah
dengan memasukan instrument kedalam uretra (Smeltzer & Bare, 2010).
Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk
mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi konstriksi uretral.
Komplikasi dari TUIP adalah pasien bisa mengalami ejakulasi retrograde (037%) (Smeltzer dan Bare, 2002).

Gambar 9. A. Teknkik TURP; B. Teknik Prostatektomi suprapubik;


C. Teknik Prostatektomi perineal; D. Teknik Prostatektomi retropubik;
E. Teknik TUIP
3. Terapi invasive minimal: dilakukan pada pasien dengan resiko tinggi
terhadap tindakan pembedahan. Terapi invasive minimal diantaranya
Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT), Transuretral Ballon
Dilatation (TUBD), Transuretral Needle Ablation/Ablasi jarum Transuretra
(TUNA), Pemasangan stent uretra atau prostatcath (Purnomo, 2011).
a) Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT): dilakukan dengan
cara pemanasan prostat menggunakan gelombang mikro yang disalurkan
ke kelenjar prostat melalui transducer yang diletakkan di uretra pars
prostatika, yang diharapkan jaringan prostat menjadi lembek.
b) Transuretral Ballon Dilatation (TUBD): tehnik ini dilakukan dilatasi
(pelebaran) saluran kemih yang berada di prostat dengan menggunakan
balon yang dimasukkan melalui kateter. Teknik ini efektif pada pasien
dengan prostat kecil, 23 kurang dari 40 cm3. Meskipun dapat
menghasilkan perbaikan gejala sumbatan, namun efek ini hanya
sementar, sehingga cara ini sekarang jarang digunakan.
c) Transuretral Needle Ablation (TUNA): teknik ini memakai energy dari
frekuensi radio yang menimbulkan panas mencapai 100 derajat selsius,
sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Pasien yang menjalani

TUNA sering kali mengeluh hematuri, disuria, dan kadang-kadang terjadi


retensi urine (Purnomo, 2011).
d) Pemasangan stent uretra atau prostatcath yang dipasang pada uretra
prostatika untuk mengatasi obstruksi karena pembesaran prostat, selain
itu supaya uretra prostatika selalu terbuka, sehingga urin leluasa
melewati lumen uretra prostatika. Pemasangan alat ini ditujukan bagi
pasien yang tidak mungkin menjalani operasi karena resiko pembedahan
yang cukup tinggi.

2.2 Konsep Kegel Exercise


2.2.1 Pengertian
Latihan Kegel merupakan serangkaian latihan otot panggul yang dirancang
untuk memperkuat otot-otot dasar panggul. Latihan Kegel adalah latihan-latihan
pada otot-otot pelvis dengan cara mengerutkan (kontraksi) dan mengendurkan
(relaksasi) yang dilakukan secara kontinyu atau berulang-ulang. Manfaat latihan
Kegel adalah untuk memperkuat otot abdomen, otot dasar panggul, otot spincter
levator ani dan otot femur (Holroyd-Leduc, et al., 2008, dalam Basler, 2009).
Senam kegel adalah senam untuk menguatkan otot panggul atau senam yang
bertujuan untuk memperkuat otototot dasar panggul terutama otot puboccygeal
sehingga seorang wanita dapat memperkuat otototot saluran kemih. Senam kegel
juga dapat menyembuhkan ketidak-mampuan menahan kencing (inkontinensia
urine) (Wahyudi, 2008).
2.2.2 Manfaat Kegel Exercise
Otot dasar panggul terdiri dari tiga lembaran otot yang masing-masing
menempel pada Bladder (Kandung kemih), vagina dan rectum. Bagian akhir dari
urethra disokong secara adekuat oleh endopelvic fascia dan kontraksi musculus
levator ani bekerja mengatur suplai saraf secara normal. Senam otot dasar panggul

ini mampu menguatkan muskulus levator ani, menjaga lapisan endopelvic dan
keutuhan saraf yang dapat meningkatkan kesadaran dari otot dasar panggul untuk
menyesuaikan transmisi dari tekanan abdominal, serta meningkatkan kemampuan
otot tersebut dalam menyokong bladder,vagina,dan rectum yang kemudian dapat
meningkatkan kemampuan tahanan pada sphincter urethra sehingga mampu
meningkatkan periode kontinen terhadap urine (Marzalek, 2009).
Selain itu tujuan terapetik lainnya dari latihan Kegel ini adalah untuk
mengajarkan perineal lock atau bagaimana caranya mengunci perineum.
Dimana kemampuan dari perineum untuk mengunci spincternya,dan kemampuan
otot levator ani untuk berkontraksi terus mengalami penurunan seiring dengan
bertambahnya usia dan proses degeneratif. Oleh karena itu senam Kegel tersebut
dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kekuatan, ketegangan serta
mencegah terjadinya atropi (Natalia, 2010).
Latihan otot dasar panggul (senam Kegel) ditemukan sebagai salah satu
manajemen non pembedahan yang terbukti efektif untuk mengatasi jenis
inkontinensia stress dan Inkontinensia Urgen. Karena inkontinensia Stress itu
sendiri bisa terjadi akibat adanya kelemahan otot pelvis dan kelemahan sphincter
sehingga tidak mampu untuk menahan reflek berkemih ketika terjadi peningkatan
tekanan intra abdomen. Sedangkan pada inkontinensia Urge terjadi akibat adanya
ketidak mampuan untuk menahan keluarnya urin ketika rangsangan untuk
berkemih tersebut datang secara tiba-tiba (Natalia, 2010).
2.2.3 Cara Melakukan Kegel Exercise
Menurut Bren (2005), dalam Baradero (2007) langkah-langkah latihan
Kegel dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1

Pasien secara perlahan melakukan kontraksi dan ditahan selama 7


detik,kemudian dikendurkan secara perlahan selama 7 detik, dilakukan
pengulangan latihan Kegel 10 kali per sesi dengan frekuensi 2 kali sehari

dalam 5 hari pada minggu ke-1 latihan.


Jumlah kontraksi ditingkatkan pada minggu ke-2 dan ke-3 dengan melakukan
kontraksi dan ditahan selama 10 detik, kemudian dikendurkan secara perlahan

selama 10 detik, dilakukan pengulangan latihan Kegel 10 kali per sesi dengan
3

frekuensi 2 kali sehari dalam 5 hari.


Pada minggu ke-4 kontraksi ditingkatkan kembali dengan melakukan kontraksi
dan ditahan selama 10 detik, kemudian dikendurkan secara perlahan selama 10
detik, dilakukan pengulangan latihan Kegel 15 kali per sesi dengan frekuensi 2

kali sehari dalam 5 hari.


Pada umumnya pasien dapat melakukan latihan 15-20 kontraksi dengan
frekuensi 3-5 kali sehari

BAB 3. ISI JURNAL


3.1 Judul Artikel
Penurunan Keluhan Dribbling Pasien Pasca Transurethral Resection of the
Prostate Melalui Kegels Excercise
3.2 Penulis atau Peneliti
Abdul Madjid, Dewi Irawaty3, dan Tuti Nuraini
3.3 Nama Jurnal
Jurnal Keperawatan Indonesia
3.4 Ringkasan Jurnal
Di Indonesia, BPH merupakan urutan kedua setelah batu saluran kemih dan
diperkirakan ditemukan pada 50% pria berusia diatas 50 tahun dengan angka
harapan hidup rata- rata di Indonesia yang sudah mencapai 65 tahun (Furqan,
2003). Sjamsuhidajat dan Jong (2005) menjelaskan BPH merupakan hiperplasia
kelenjar periuretral yang mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer.
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika sehingga
menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan intravesikal ke
seluruh bagian kandung kemih sampai pada kedua muara ureter, sehingga akibat
tekanan tinggi menimbulkan aliran balik urin dari kandung kemih ke ureter dan
menimbulkan refluk vesikoureter. Refluks vesiko ureter menyebabkan
hidroureter, hidronefrosis dan pada akhirnya akan menyebabkan gagal ginjal
(Purnomo, 2005).

Transuretral Resection of The Prostate (TURP) merupakan salah satu


tindakan pembedahan untuk mengatasi obstruksi pada saluran kemih. TURP
merupakan tindakan pembedahan via endoscopy transuretral tanpa melakukan
pembedahan/insisi terbuka. Angka mortalitas pasien TURP sebesar 1 2%,
sedangkan angka keberhasilan TURP dalam mengatasi gejala klinik akibat BPH
sebesar 88% (Leslie, 2006). Laberge (2009) memaparkan salah satu komplikasi
pasca TURP adalah inkontinen urin. Ketidakmampuan seseorang dalam
mengontrol urin setelah menjalani pasca TURP, ditandai dengan urin yang
menetes setelah buang air kecil yang disebut dribbling. Jika hal ini tidak segera di
tanggulangi, 2 4% dari beberapa pasien dapat menderita inkontinen total.
Dribbling

yang

terjadi

karena

pembesaran

kelenjar

prostat/BPH

menyebabkan obstruksi pada urethra sehingga urin akan tertahan di sekitar uretra
akibat instabilitas relaksasi sfingter uretra oleh karena pembesaran lumen di
sekitar prostat, leher bulibuli hingga ke urethra ekternal maupun internal. Hal ini
di tandai oleh divertikuli membran sekitar. Dribbling akibat pasca TURP
disebabkan oleh lumen sekitar leher buli-buli lesi sehingga impuls saraf yang
diteruskan menuju urethra terganggu. Hal ini mengakibatkan fase pengosongan
urin terganggu akibat maksimalisasi relaksasi sfingter urethra kurang. Kelemahan
otot dasar pelvis akibat BPH ataupun pasca operasi prostat dapat menjadi
penyebab timbulnya dribbling (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
Kegels exercise/latihan otot dasar pelvis pasca TURP dapat memperbaiki
keluhan tersebut. Paterson, Pinnock, dan Marshall (1997) dan Chang, et al. (1998)
menerangkan bahwa pemberian latihan otot dasar pelvis dapat memperbaiki
urodinamik pada kasus inkontinen urin khususnya dalam mengatasi keluhan
dribbling. Latihan otot dasar pelvis atau Kegels exercise dapat meningkatkan
resistensi uretra, disertai dengan penggunan otot dasar pelvis secara sadar oleh
pasien sehingga dapat mencegah keluhan dribbling pasca TURP.
Penelitian menggunakan metode penelitian quasi eksperimental dengan pretest and pasca-test with control group. Populasi adalah seluruh pasien pasca
TURP dengan keluhan dribbling yang berada di RS X dan RS Y (salah satu RS
alternatif pelayanan pasien BPH dengan operasi TURP di kawasan Indonesia

timur, khususnya Makassar). Penentuan jumlah sampel (sampling) dalam


penelitian menggunakan metode restriksi yaitu penerapan kriteria pembatasan
dalam memilih subjek penelitian. Adapun kriteria sampel antara lain:
1) kriteria inklusi
a tidak mengalami gangguan kognitif
b tidak mengalami gangguan persarafan spinal cord injury
c tidak mengalami striktur uretra
d sudah menjalani operasi TURP
e tidak mengalami gangguan fungsi ginjal
f level PSA menunjukkan >10 ng/ml
g mengalami keluhan dribbling pasca TURP
h mampu melakukan kegels exercise
i tidak mendapatkan obat-obatan yang membuat dialatasi otot
j disetujui oleh dokter untuk dilakukan kegel exercise
k bersedia menjadi responden
2) Kriteria Eksklusi
a. mengalami penyakit terminal
b. mengalami pelvic floor prolaps stadium IV
c. mengalami gejala infeksi pada saluran kemih
d. konstipasi
e. batuk kronik atau bronkhitis kronik serta asma.
Pengambilan sampel menggunakan probabiliy sampling dengan simple
random sampling. Penelitian ini dilaksanakan di RS X dan RS Y pada Mei Juni
2009. Total jumlah responden dalam penelitian ini 10 responden kelompok
intervensi dan 10 responden kelompok kontrol. Pengumpulan data dilakukan
dengan menggunakan lembar kuesioner dan lembar observasi. Lembar kuesioner
terkait karakteristik responden, keluhan dribbling dan kepatuhan melakukaan
kegels exercise.
Hasil
Hasil analisis menurut tingkat kepatuhan, pada kelompok intervensi ada 4
orang (40%) responden patuh melakukan kegels exercise dan ada 6 orang (60%)
responden tidak patuh melakukan kegels exercise. Sedangkan pada kelompok
kontrol ada 10 orang (100%) responden yang tidak melakukan. Hasil penelitian
menjelaskan 40% responden yang patuh melakukan latihan menunjukkan

perubahan keluhan dribbling pada minggu ke-2 dan minggu ke-3, bahkan 1
responden diantaranya dalam 13 hari sudah tidak menunjukkan keluhan dribbling.
Hasil uji analisis rerata lama keluhan dribbling responden yang patuh melakukan
kegels exercise adalah 17,25 hari (SD= 2,986 hari), sedangkan untuk rerata lama
keluhan dribbling responden tidak patuh melakukan kegels exercise adalah 24.17
hari (SD= 2,483 hari). Terlihat perbedaan nilai mean antara responden yang patuh
melakukan kegels exercise dan responden yang tidak patuh melakukan yaitu 6,92
hari (SD= 0,503 hari). Ada perbedaan yang bermakna antara lama keluhan
dribbling responden yang patuh melakukan kegels exercise dan responden yang
tidak patuh melakukan kegels exercise (p= 0,004; =0,05).
Pembahasan
Pada kelompok intervensi ada seorang responden (10%) tidak mengalami
keluhan dribbling pada minggu ke-2 dan empat responden (40%) tidak keluhan
dribbling di minggu ke-3. Sedangkan, kelompok kontrol tidak ada responden yang
tidak mengalami keluhan dribbling di minggu ke-2 dan 7 responden (70%) tidak
mengalami keluhan dribbling di minggu ke-3. Darmojo (2009) menjelaskan
bahwa dribbling merupakan obstrukti urethra akibat pembesaran prostat, striktur
urethra, dan kanker prostat yang dapat menyebabkan inkontinensia pada pria
lanjut usia. Hal ini ditandai dengan adanya urin yang menetes setelah berkemih.
Dribbling yang terjadi karena pembesaran kelenjar prostat/BPH menyebabkan
obstruksi pada urethra sehingga urin akan tertahan di sekitar urethra akibat
instabilitas relaksasi sfingter urethra oleh karena pembesaran lumen di sekitar
prostat, leher bulibuli hingga ke urethra ekternal maupun internal, ditandai ada
divertikuli membran sekitar.
Dribbling akibat pasca TURP disebabkan lumen sekitar leher buli-buli lesi
sehingga impuls saraf yang akan diteruskan menuju urethra terganggu. Hal ini
mengakibatkan fase pengosongan urin terganggu akibat relaksasi sfingter urethra
kurang maksimal. Kelemahan otot dasar pelvis akibat BPH ataupun pasca operasi
prostat dapat menjadi salah satu penyebab timbulnya dribbling (Sjamsuhidajat &
Jong, 2005). Latihan otot dasar pelvis atau Kegels exercise yang dilakukan

dengan benar dapat menguatkan otot dengan meningkatkan resistensi uretra


melalui penyokongan pada otot dasar pelvis yang dilakukan secara berulangulang. Penggunaan otot secara sadar oleh pasien untuk mencegah dribbling pasca
TURP dapat membantu terbentuk reseptor saraf pasca reseksi prostat sehingga
sensitifitas urethra terhadap sensorik somatik kembali peka. Selain itu, sifat sel
saraf yang reversibel dapat membantu pemulihan urodinamik pasca TURP,
khususnya terhadap keluhan dribbling. Hal ini dibuktikan dengan perkembangan
penurunan keluhan setiap minggu (Baum, 2003).

DAFTAR PUSTAKA

Baradero, M dan Dayrit, M. 2007. Seri Asuhan Keperawatan Pasien Gangguan


Sistem Reproduksi & Seksualitas. Jakarta: EGC
Basler,

J. 2009. Bladder Stones. Emedicine Journal. Sited


http://www.emedicine.com. [diakses pada 24Desember 2016].

by

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Jakarta :
Penerbit buku kedokteran EGC.
De Jong, W. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Heffner, L.J., Schust, D.J. 2005. At A Glance Sistem Reproduksi Edisi 2. Jakarta:
Erlangga.
Marszalek, M. dkk. 2009. Transurethral Resection of the Prostate. http://euacme.org/europeanurology/upload_articles/Marszalek.pdf [diakses pada 17
Januari 2017]
Natalia Price , Rehana Dawood, Simon R.Jackson. 2010. Pelvic floor exercise for
urinary incontinence: A systematic literature review. Diakses melalui:
http://www.oxfordgynaecology.com/Publications/Pelvic
%20floorexerciseforurinaryincontinenceAsystematicliteraturereview.pdf.
Nursalam 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
Wahyudi nugroho. 2008. Gerontik dan geriatric. Jakarta: EGC.
.

Anda mungkin juga menyukai