TINJAUAN TEORI
orifisium uretra akibat terjadinya dilatasi ureter dan ginjal, sehingga menghambat
pengosongan kandung kemih dan menyebabkan gangguan perkemihan.
Gambar 1. BPH
2.1.2 Etiologi
Penyebab pasti BPH belum diketahui. Menurut Pasrson dalam Smeltzer dan
Bare (2010) BPH dapat beresiko terjadi pada pria dengan kondisi mengonsumi
rokok yang lama, konsumsi alkohol berat, obesitas, mengurangi tingkat aktivitas,
hipertensi, penyakit jantung, diabetes, dan diet (tinggi lemak hewani dan protein,
rendah serat). Smeltzer & Bare (2010) menyebutkan bahwa beberapa bukti yang
dapat menyebabkan BPH adalah hormon androgen testis yang menyebabkan
hyperplasia jaringan dan penuaan. Beberapa bukti lain menyebutkan bahwa
penyebab BPH ini berhubungan dengan adanya beberapa teori, yaitu Teori
Dehidrotestosteron (DHT), teori hormon (ketidakseimbangan antara estrogen dan
testosteron), faktor interaksi stroma dan epitel-epitel, teori berkurangnya kematian
sel (apoptosis), teori sel stem.
a Teori Dehidrotestosteron (DHT)
Dehidrotestosteron (DHT) adalah hormon pria yang aktif dalam kelenjar
prostat. Hormon ini dibuat ketika enzim 5-alpha reduktase mengubah
testosteron menjadi dehidrotestosteron, yang merangsang pertumbuhan
kelenjar prostat.DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada
stroma
mensintesis
suatu
growth
factor
yang
selanjutnya
Growth Factor (bFGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan
konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran prostat jinak.
bFGF dapat diakibatkan oleh adanya mikrotrauma karena miksi, ejakulasi
d
fisiologik
untuk
2.1.3 Klasifikasi
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4
stadium:
a. Stadium I: ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan
urine sampai habis.
b. Stadium II: ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan
urine walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada
rasa ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
c. Stadium III: setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
d. Stadium IV: retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan,
urine menetes secara periodik (over flowin continent).
Pembagian berdasarkan tingkat keparahan penderita BPH dapat diukur
dengan skor IPSS (Internasional Prostate Symptom Score) untuk membantu
diagnosis dan menentukan tingkat beratnya penyakit Sjamsuhidajat (2005).
Tabel 1. Tingkatan Keparahan BPH
No
Tidak
pernah
<1x
dalam 5
kali
<dari
setenga
h
Kadang
-kadang
sekitar
(50%)
>dari
setenga
h
Hampir
Selalu
5
6
Ringan (Mild) : 0 7
Sedang (Moderate) : 8-19
Berat (Severe) : 20 35
2.1.5 Patofisiologi
dapat
mengakibatkan aliran urin tidak deras dan sesudah berkemih masih ada urin yang
menetes, kencing terputus-putus (intermiten), dengan adanya obstruksi maka
pasien mengalami kesulitan untuk memulai berkemih (hesitansi). Gejala iritasi
juga menyertai obstruksi urin. Vesika urinarianya mengalami iritasi dari urin yang
tertahan tertahan didalamnya sehingga pasien merasa bahwa vesika urinarianya
tidak menjadi kosong setelah berkemih yang mengakibatkan interval disetiap
berkemih lebih pendek (nokturia dan frekuensi), dengan adanya gejala iritasi
pasien mengalami perasaan ingin berkemih yang mendesak/ urgensi dan nyeri saat
berkemih /disuria (Purnomo, 2011).
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi,
akan terjadi inkontinensia paradox (keadaan dimana tekanan vesika urinaria
menjadi lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan terjadi obstruksi). Retensi
kronik menyebabkan refluk vesika ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal
ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi
pasien harus mengejan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau
hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat menyebabkan terbentuknya batu
endapan didalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan
menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat juga menyebabkan sistitis
(peradangan kandung kemih) dan bila terjadi refluk akan mengakibatkan
pielonefritis (inflamasi pada pelvis ginjal dan parenkim ginjal yang disebabkan
karena adanya infeksi oleh bakteri) (Sjamsuhidajat, 2005; De jong, 2004).
2.1.6
Pemeriksaan
Untuk menegakkan diagnosis BPH dilakukan beberapa cara antara lain
2) Clinical grading
Patokan banyaknya sisa urine dilakukan dengan cara pagi hari pasien
bangun tidur disuruh kencing sampai selesai kemudian masukkan kateter
VU mengukur sisa urine
a) Sisa urine 0 cc . = normal
b) Sisa urine 0 50 cc = grade 1
c) Sisa urine 50 150 cc. = grade 2
d) Sisa urine > 150 cc . = grade 3
c. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar gula
digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien.
2) Pemeriksaan urin lengkap dan kultur untuk mengetahui adanya kandungan
kalkuli atau patogen sebagai indikasi adanya komplikasi seperti infeksi
saluran kemih, hidronefrosis akibat BPH. Uji kreatinin dilakukan untuk
mengethui adanya resiko kegagalan ginjal (Wein,2006)
3) PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai kewaspadaan
adanya keganasan. Pemeriksaan darah yang berfungsi untuk mengukur
kadar protein yang dikeluarkan kelenjar prostat. Pada kondisi normal, hanya
sedikit PSA yang masuk ke dalam aliran darah, tapi bila terjadi peradangan
atau kerusakan di jaringan prostat, maka kadar PSA dalam darah meningkat.
Oleh karena itu, peningkatan PSA tidak hanya disebabkan oleh kanker
prostat, tapi bisa juga disebabkan oleh BPH, infeksi atau pun peradangan
prostat. Nilai PSA untuk pasien normal adalah 0-4 Ng/mL, nilai untuk
keadaan beresiko prostat adalah 4-10 ng/mL, dan apabila sudah diatas 10
maka hal ini menandakan tubuh Anda memiliki resiko yang tinggi terhadap
kanker. Prostat spesifik antigen konsentrasi (PSA) dalam serum pasien
dengan PC, BPH dan pria sehat diukur dengan ELISA. PSA lebih tinggi
terdeteksi pada serum pasien kelompok (PC dan BPH) dibandingkan dengan
orang yang sehat. Konsentrasi rata-rata PSA pada pasien PC sedikit lebih
tinggi dibandingkan pasien BPH (p <0,03) (Habibagahi et al, 2009).
d. Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara objektif
pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan penilaian:
1) Flow rate maksimal > 15 ml / dtk = non obstruktif.
Komplikasi
Penatalaksaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan tergantung dengan penyebab,
keparahan
obstruksi,
dan
kondisi
pasien
(Smeltzer
&
Bare,
2010).
tidak
terjadi
nokturia,
menghindari
obat-obat
dekongestan
adalah
prazosin,
polos di trigonum, leher vesika, prostat, dan kapsul prostat sehingga terjadi
relakasi didaerah prostat. Obat-obat golongan ini dapat memperbaiki keluhan
miksi dan laju pancaran urin. Hal ini akan menurunkan tekanan pada uretra
pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-gejala berkurang.
Biasanya pasien mulai merasakan berkurangnya keluhan dalam 1-2 minggu
setelah ia mulai memakai obat. Efek samping yang mungkin timbul adalah
pusing, sumbatan di hidung dan lemah. Ada beberapa obat-obat yang
menyebabkan ekasaserbasi retensi urin maka perlu dihindari seperti
antikolinergenik, antidepresan, transquilizer, dekongestan, obatobat ini
mempunyai efek pada otot kandung kemih dan sfingter uretra.
2. Penghambat enzim 5 alfa reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan dosis 1X5 mg/hari.
Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan DHT sehingga prostat
yang membesar akan mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat dari
golongan alfa bloker dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang besar.
Efektifitasnya masih diperdebatkan karena obat ini baru menunjukkan
perbaikan sedikit atau 28 % dari keluhan pasien setelah 6-12 bulan
pengobatan bila dilakukan terus menerus, hal ini dapat memperbaiki
keluhan miksi dan pancaran miksi. Efek samping dari obat ini diantaranya
adalah libido, impoten dan gangguan ejakulasi.
3. Fitofarmaka atau fitoterapi
Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain eviprostat.
Substansinya misalnya pygeum africanum, saw palmetto, serenoa repeus.
Efeknya diharapkan terjadi setelah pemberian selama 1- 2 bulan dapat
memperkecil volum prostat.
c. Terapi Bedah
Pembedahan
adalah
tindakan
pilihan,
keputusan
untuk
dilakukan
Pembedahan endourologi
Pembedahan endourologi transurethral dapat dilakukan dengan memakai
ini mampu menguatkan muskulus levator ani, menjaga lapisan endopelvic dan
keutuhan saraf yang dapat meningkatkan kesadaran dari otot dasar panggul untuk
menyesuaikan transmisi dari tekanan abdominal, serta meningkatkan kemampuan
otot tersebut dalam menyokong bladder,vagina,dan rectum yang kemudian dapat
meningkatkan kemampuan tahanan pada sphincter urethra sehingga mampu
meningkatkan periode kontinen terhadap urine (Marzalek, 2009).
Selain itu tujuan terapetik lainnya dari latihan Kegel ini adalah untuk
mengajarkan perineal lock atau bagaimana caranya mengunci perineum.
Dimana kemampuan dari perineum untuk mengunci spincternya,dan kemampuan
otot levator ani untuk berkontraksi terus mengalami penurunan seiring dengan
bertambahnya usia dan proses degeneratif. Oleh karena itu senam Kegel tersebut
dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kekuatan, ketegangan serta
mencegah terjadinya atropi (Natalia, 2010).
Latihan otot dasar panggul (senam Kegel) ditemukan sebagai salah satu
manajemen non pembedahan yang terbukti efektif untuk mengatasi jenis
inkontinensia stress dan Inkontinensia Urgen. Karena inkontinensia Stress itu
sendiri bisa terjadi akibat adanya kelemahan otot pelvis dan kelemahan sphincter
sehingga tidak mampu untuk menahan reflek berkemih ketika terjadi peningkatan
tekanan intra abdomen. Sedangkan pada inkontinensia Urge terjadi akibat adanya
ketidak mampuan untuk menahan keluarnya urin ketika rangsangan untuk
berkemih tersebut datang secara tiba-tiba (Natalia, 2010).
2.2.3 Cara Melakukan Kegel Exercise
Menurut Bren (2005), dalam Baradero (2007) langkah-langkah latihan
Kegel dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1
selama 10 detik, dilakukan pengulangan latihan Kegel 10 kali per sesi dengan
3
yang
terjadi
karena
pembesaran
kelenjar
prostat/BPH
menyebabkan obstruksi pada urethra sehingga urin akan tertahan di sekitar uretra
akibat instabilitas relaksasi sfingter uretra oleh karena pembesaran lumen di
sekitar prostat, leher bulibuli hingga ke urethra ekternal maupun internal. Hal ini
di tandai oleh divertikuli membran sekitar. Dribbling akibat pasca TURP
disebabkan oleh lumen sekitar leher buli-buli lesi sehingga impuls saraf yang
diteruskan menuju urethra terganggu. Hal ini mengakibatkan fase pengosongan
urin terganggu akibat maksimalisasi relaksasi sfingter urethra kurang. Kelemahan
otot dasar pelvis akibat BPH ataupun pasca operasi prostat dapat menjadi
penyebab timbulnya dribbling (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
Kegels exercise/latihan otot dasar pelvis pasca TURP dapat memperbaiki
keluhan tersebut. Paterson, Pinnock, dan Marshall (1997) dan Chang, et al. (1998)
menerangkan bahwa pemberian latihan otot dasar pelvis dapat memperbaiki
urodinamik pada kasus inkontinen urin khususnya dalam mengatasi keluhan
dribbling. Latihan otot dasar pelvis atau Kegels exercise dapat meningkatkan
resistensi uretra, disertai dengan penggunan otot dasar pelvis secara sadar oleh
pasien sehingga dapat mencegah keluhan dribbling pasca TURP.
Penelitian menggunakan metode penelitian quasi eksperimental dengan pretest and pasca-test with control group. Populasi adalah seluruh pasien pasca
TURP dengan keluhan dribbling yang berada di RS X dan RS Y (salah satu RS
alternatif pelayanan pasien BPH dengan operasi TURP di kawasan Indonesia
perubahan keluhan dribbling pada minggu ke-2 dan minggu ke-3, bahkan 1
responden diantaranya dalam 13 hari sudah tidak menunjukkan keluhan dribbling.
Hasil uji analisis rerata lama keluhan dribbling responden yang patuh melakukan
kegels exercise adalah 17,25 hari (SD= 2,986 hari), sedangkan untuk rerata lama
keluhan dribbling responden tidak patuh melakukan kegels exercise adalah 24.17
hari (SD= 2,483 hari). Terlihat perbedaan nilai mean antara responden yang patuh
melakukan kegels exercise dan responden yang tidak patuh melakukan yaitu 6,92
hari (SD= 0,503 hari). Ada perbedaan yang bermakna antara lama keluhan
dribbling responden yang patuh melakukan kegels exercise dan responden yang
tidak patuh melakukan kegels exercise (p= 0,004; =0,05).
Pembahasan
Pada kelompok intervensi ada seorang responden (10%) tidak mengalami
keluhan dribbling pada minggu ke-2 dan empat responden (40%) tidak keluhan
dribbling di minggu ke-3. Sedangkan, kelompok kontrol tidak ada responden yang
tidak mengalami keluhan dribbling di minggu ke-2 dan 7 responden (70%) tidak
mengalami keluhan dribbling di minggu ke-3. Darmojo (2009) menjelaskan
bahwa dribbling merupakan obstrukti urethra akibat pembesaran prostat, striktur
urethra, dan kanker prostat yang dapat menyebabkan inkontinensia pada pria
lanjut usia. Hal ini ditandai dengan adanya urin yang menetes setelah berkemih.
Dribbling yang terjadi karena pembesaran kelenjar prostat/BPH menyebabkan
obstruksi pada urethra sehingga urin akan tertahan di sekitar urethra akibat
instabilitas relaksasi sfingter urethra oleh karena pembesaran lumen di sekitar
prostat, leher bulibuli hingga ke urethra ekternal maupun internal, ditandai ada
divertikuli membran sekitar.
Dribbling akibat pasca TURP disebabkan lumen sekitar leher buli-buli lesi
sehingga impuls saraf yang akan diteruskan menuju urethra terganggu. Hal ini
mengakibatkan fase pengosongan urin terganggu akibat relaksasi sfingter urethra
kurang maksimal. Kelemahan otot dasar pelvis akibat BPH ataupun pasca operasi
prostat dapat menjadi salah satu penyebab timbulnya dribbling (Sjamsuhidajat &
Jong, 2005). Latihan otot dasar pelvis atau Kegels exercise yang dilakukan
DAFTAR PUSTAKA
by
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Jakarta :
Penerbit buku kedokteran EGC.
De Jong, W. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Heffner, L.J., Schust, D.J. 2005. At A Glance Sistem Reproduksi Edisi 2. Jakarta:
Erlangga.
Marszalek, M. dkk. 2009. Transurethral Resection of the Prostate. http://euacme.org/europeanurology/upload_articles/Marszalek.pdf [diakses pada 17
Januari 2017]
Natalia Price , Rehana Dawood, Simon R.Jackson. 2010. Pelvic floor exercise for
urinary incontinence: A systematic literature review. Diakses melalui:
http://www.oxfordgynaecology.com/Publications/Pelvic
%20floorexerciseforurinaryincontinenceAsystematicliteraturereview.pdf.
Nursalam 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
Wahyudi nugroho. 2008. Gerontik dan geriatric. Jakarta: EGC.
.