Anda di halaman 1dari 3

1.

Proposal
A. Latar Belakang
Penyakit TB (Tuberkulosis) termasuk penyakit infeksi kronis dengan masa
pengobatan 6 sampai 8 bulan, bahkan bisa lebih dari 1 tahun bila kuman penyebab TB
yaitu Mycobacterium tuberculosis yang menginfeksi pasien telah menjadi kebal atau
resisten terhadap obat anti TB yang umum, dan diperlukan obat lebih khusus dan
mahal untuk penyembuhannya bahkan ada pula yang memerlukan tindakan operasi
pada organ yang terkena infeksi seperti paru, hati, dan lain-lain (Misnadiarly, 2006).
Badan kesehatan sedunia (World health Organization/WHO), menyatakan
bahwa TB saat ini menjadi ancaman global. Indonesia termasuk salah satu negara dari
27 negara di dunia dengan kasus TB MDR, telah diindentifikasi terdapat 85% TB
MDR dari TB Resisten di dunia. Dari semua negara tersebut , diperkirakan 5 negara
mempunyai kasus TB MDR tertinggi yaitu India (131.000 kasus), Cina (112.000),
Federasi Rusia (43.000), Afrika Selatan (16.000) dan Bangladesh (15.000) (WHO,
2009).
Menurut Dr. Erlina, kematian akibat tuberkulosis umumnya karena kegagalan
pengobatan. Ini terutama dipengaruhi oleh kurangnya pengertian mengenai
tuberkulosis, faktor ekonomi, pengobatan yang tidak teratur, adanya penyakit penyerta,
serta kebiasaan merokok dan gizi penderitannya. Hal ini sebenarnya tidak
mengherankan, karena dahulu, penderita tuberkulosis jarus meminum 4 jenis obat
setiap hari selama 6 bulan. Biaya pengobatan tuberkulosis yang cukup besar,
menyebabkan penderita nekat berhenti minum obat setelah 2-3 bulan. Biasanya selama
masa ini, gejala tuberkulosis memang berkurang, badan tidak lagi kurus, meski
sebenarnya kuman tuberkulosis hanya tertidur sementara waktu.
Tidak sedikit pasien TB yang tidak mengikuti proses pengobatan ini secara tuntas.
Begitu merasa badan lebih sehat lantas menghentikan pengobatan. Jika ini terjadi,
maka basil TB akan mengalami resistensi (kebal) dan semakin sulit disembuhkan.
Pasien seperti ini disebut suspek TB MDR (Multi Drug Resistance). Akibatnya, pasien
harus mengulang dari awal dengan tambahan obat Streptomycin yang harus
disuntikkan setiap hari pada 2 bulan pertama. Agar pengobatan berjalan efektif,
dikembangkan metode DOTS (Directly Observed Treatment Short-Course), yaitu
pengawasan minum obat yang dilakukan oleh orang terdekat pasien. Pengawas minum
obat ini mendapatkan pembimbingan tentang aturan minum obat dan menjaga pasien
tidak lalai.

Strategi DOTS pengobatan jangka pendek dengan pengawasan langsung minum


obat belum banyak diterapkan di Rumah Sakit yang ada di Indonesia. Akibatnya secara
nasional angka puus berobat pasien TB di Rumah Sakit sekitar 40%. Padahal
pengobatan TB yang tidak tuntas, meningkatkan resiko resisrensi kuman. Faktor yang
menyebabkan putus berobat diantaranya usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan,
pendidikan, pengawasan minum obat, efek samping obat, status gizi (berat badan), tipe
pasien, kategori pengobatan, keteraturan minum obat, dan pelayanan kesehatan.
Sistem DOTS ini sudah dilakukan di 95% Puskesmas dan 30% Rumah Sakit.
WHO telah mengembangkan enam titik strategi stop TB yang dibangun di atas
keberhasilan DOTS, yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.

Komitmen politik dengan peningkatan dan kelanjutan pembiayaan.


Penguatan kualitas laboratorium bakteriologi dan surveilans resistensi obat.
Pengobatan standar dengan pengawasan dan dukungan untuk pasien.
Pasokan obat dan sistem manajemen yang efektif.
Monitoring dan evaluasi sistem serta pengukuran dampak di masyarakat.
Di indonesia sendiri, penelitian epidemiologis mengenai faktor-faktor apa yang

berpengaruh terhadap kejadian putus berobat pasien tuberkulosis belum banyak


dilakukan. Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang faktor apa saja yang
mempengaruhi kejadian putus berobat pasien tuberkulosis menjadi menarik dan penting
untuk dilakukan.
B. Tujuan
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian putus berobat
pada pasien Tuberkulosis di Puskesmas K.
C. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian case control, dimana kita dapat
menganalisis hubungan kausal dengan menggunakan logika terbalik,
yaitu menentukan penyakit (outcome) terlebih dahulu kemudian
mengidentifikasi penyebab (faktor risiko).

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian cross-sectional dimana data


yang menyangkut variabel bebas dan variabel terkait akan dikumpulkan dalam
waktu yang bersamaan.
2. Teknik Sampling
3. Analisis Data
Penelitian ini adalah jenis penelitian analitik dengan menggunakan metode case
control, yaitu penjelasan tentang faktor-faktor resiko dan penyebab penyakit. Faktor

resiko adalah faktor-faktor atau keadaan-keadaan yang mempengaruhi perkembangan


suatu penyakit atau status kesehatan tertentu.. prinsip analisis yang digunakan dalam
strudi analitik adalah membandingkan resiko terkena penyakit antara kelompok
terpapar dan tidak terpapar faktor penelitian.
Studi Deskriptif disebut juga studi prevalensi atau studi pendahuluan
dari studi analitik ayng dapat dilakukan suatu saat atau suatu periode
tertentu. Jika studi ini ditujukan kepada sekelompok masyarakat tertentu
yang mempunyai masalah kesehatan maka disebutlah studi kasus tetapi
jika ditujukan untuk pengamatan secara berkelanjutan maka disebutlah
dengan surveilans serta bila ditujukan untuk menganalisa faktor penyebab
atau risiko maupun akibatnya maka disebut dengan studi cross
sectional.

Anda mungkin juga menyukai