Leptospirosis
Nobel Yonger
102014186
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 06 Jakarta 11510
.yongernobel@gmail.com
Pendahuluan
Leptospirosis merupakan penyakit zoologi yang disebabkan oleh Leptospira
interrogans. Leptospirosis menjadi masalah di dunia karena angka kejadian yang dilaporkan
rendah di sebagian besar negara, oleh karena kesulitan dalam diagnosis, sehingga kejadian
pasti tidak dapat diketahui, walaupun demikian di daerah tropik yang basah diperkirakan
terdapat kasus leptospirosis sebesar 10-30 per 100.000 penduduk pertahun. Kendala
pelaporan leptospirosis mirip dengan gejala influenza, penyakit kuning, hemorrhage paruparu, myocarditis dan meningitis serta tidak tersedianya alat deteksi dini.
WHO memberi perhatian khusus terhadap leptospirosis oleh karena saat ini
prevalensinya yang masih tinggi di berbagai daerah dan dapat menyebabkan kematian secara
mendadak (penyakit akut). Penularan leptospirosis yang terjadi di beberapa wilayah
merupakan simbol buruknya sanitasi, sumber air yang tercemar, perilaku hidup
sehat (personal hygiene) yang rendah, kondisi perumahan yang di bawah standar
dan persisten rodent penyebar leptospira.
Pada makalah dibawah ini akan dibahas mengenai gejala klinis, bagaimana diagnosis,
patologi, tata laksana, dan pencegahan leptospirosis.
Pembahasan
Skenario 4
Seorang laki-laki berusia 40 tahun datang dengan keluhan demam tinggi sejak 4 hari yang
lalu. Demam dirasakan terus-menerus sepanjang hari dan sampai menggigil. Keluhan disertai
nyeri pada kedua betis dan nyeri perut kanan atas.
Rumusan masalah
Laki-laki 40 tahun : - demam tinggi sejak 4 hari yang lalu
-
Menggigil
Nyeri pada kedua betis dan perut kanan atas
Analisis Masalah
A. Definisi
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh
mikroorganisme Leptospira interogans tanpa memandang bentuk spesifik serotipenya.
Penyakit ini pertama sekali dikemukakan Weil pada tahun 1886. Bentuk beratnya
dikenal sebagai Weills disease. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti
mud fever, slime fever, autumnal fever, infectious jaundice, field fever, cane cutter
fever, dll.
Seringkali leptospirosis luput didiagnosis karena gejala klinis tidak spesifik,
dan sult dilakukan konfirmasi diagnosa tanpa uji laboratorium. Kejadian luar biasa
leptospirosis dalam dekade terakhir di beberapa negara telah menjadikan leptospirosis
sebagai salah satu penyakit yang termasuk the emerging infectious diseases.1
B. Anamnesis
Pada Anamnesis di dapatkan:
- Keluhan utama : Demam, menggigil, panas tinggi sejak 4 hari yang lalu tidak
mengalami penurunan, myalgia pada kedua betis, mata terlihat kuning.
Kemudian perlu juga diperhatikan riwayat tempat tinggal pasien, apakah sering
mengalami banjir atau tidak.
C. Pemeriksaan Fisik
Setelah itu terjadi demam kembali. Keadaan ini disebut sebagai fase kedua atau fase
imun.1
Fase Imun
Fase ini ditandai dengan peningkatan titer antibodi, dapat timbul demam yang
mencapai suhu 40oC disertai mengigil dan kelemahan umum. Terdapat rasa sakit yang
menyeluruh pada leher, perut dan otot-otot pada kaki terutama pada betis. Terdapat
perubahan berupa epistaksis, gejala perusakan pada ginjal dan hati, uremia, ikterik.
Perdarahan palling jelas terlihat dari fase ikterik, purpura, ptechiae, epistaksis,
perdarahan gusi merupakan manisfestasi perdarahan yang paling sering. Conjungtiva
injection dan conjungtiva suffision dengan ikterus merupakan patognogmosis untuk
leptospirosis.1
F. Diagnosis
Pada awalnya diagnosis leptospirosis sulit, karena pasien biasanya datang dengan
meningitis, hepatitis, nefritis, pneumonia, influenza, sindroma shock toksis, demam
yang tidak diketahui asalnya dan diatetesis hemoragik, bahakan sebagian kasus datang
dengan pancreatitis. Pada anamnesis penting diketahui tentang riwayat pekerjaan
pasien, apakah termasuk golongan kelompokrisiko tinggi, kemudian penting juga
pada saat anamnesis riwayat tempat tinggal pasien untuk mengetahui factor apa saja
yang dapat mempengaruhi infeksi. Gejala/ keluhan didapati demam yang muncul
mendadak, sakit kepala terutama di bagian frontal, nyeri otot, mata merah/fotopobia,
muat alatu muntah. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai demam, bradikardia, nyeri
tekan otot, hepatomegali dan lain-lain. Pada scenario pemeriksaan fisik sebagian besar
mencakup ciri-ciri diagnosis yang ada secara garis besar seperti suhu badan
meningkat hingga 39oC, tekanan darah 120/80 mmHg , dan hepar teraba 2 jari
dibawah arcus costae, konsistensi lunak dan nyeri saat ditekan. Hanya saja semua
indikasi tersebut hampir sama dengan semua penyakit infeksi dan menular penyakit
lainnya, tetapi dengan hasil pemeriksaan penunjang dan eliminasi hasil lab yang tidak
spesisfik pada penyakit leptospirosis. Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin bisa
dijumpai leukositosis, normal atau disertai sedikit menurun diserta gambaran
neutrofilia dan laju endap darah (LED) yang meninggi. Pada urine dijumpai
proteinuria, leukosituria dan torak (cast). Bila organ hati terlihat, bilirubin direk
meningkat tanpa peningkatan transaminase. BUN, ureum dan kreatinin juga bisa
meningkat bila terjadi komplikasi pada ginjal. Trombositpenia terdapat pada 50%
kasus. Diagnose pastinya adalah dengan isolasi leptospira dari cairan tubuh dan
4
serologi. Untuk itulah anamnesis sangat penting untuk menanyakan riwayat penyakit
apakah pernah menderita penyakit ini sebelumnya atau belum dan riwayat lingkungan
contohnya pasien mengatakan 1 minggu yang lalu daerahnya dilanda banjir, dimana
banjir merupakan mediastor penyebaran leptospira melalui air seni hospes reservoir
berupa mamalia liar maupun peliharaan.1
Kultur : dengan mengambil specimen dari darah atau CCS segera pada awal gejala.
Dianjurkan untuk melakukan kultur ganda dan mengambil spesiemn pada fase
leptospiremia serta belum di beri antibiotic. Kultur urine diambil setelah 2-4 minggu
onset penyakit. Pada specimen yang terkontaminasi , inokulasi hewan dapat
digunakan.
Serologi : pemeriksaan untuk mendeteksi adanya leptospira dengan cepat adalah
dengan pemeriksaan Polymerase Caih Reaction (PCR), silver stain atau flourscent
antibody stain, dan mikroskop lapangan gelap.1
G. Diagnosis Banding
Demam merupakan salah satu gejala Leptospirosis yang menonjol, yang juga
dijumpai pada hampir semua penyakit infeksi seperti infeksi virus pada sistim
respiratorius, influenza, bruselosis, demam tifoid, demam dengue, dan infeksi
bakterial lainnya seperti pneumonia, infeksis saluran kencing, tuberkulosis. Pada
leptospirosis berat diagnosa banding tergantung manifestasi leptospirosis beratnya.
Pada leptospirosis dengan ikterus, diagnosa banding ialah demam tifoid dengan
hepatitis, kolesistitis, abses hati, dan malaria. Hepatitis pada saat timbul ikterus
biasanya tidak dijumpai demam lagi tapi pada leptospirosis masih terdapat gejala.
Pada leptospirosis berat terkait erat dengan kasus gagal ginjal penyakit hepatitis akut
dan urinalisis.1,2
Malaria merupakan infeksi parasit pada sel darah merah yang disebabkan oleh
suatu protozoa spesies plasmodium yang ditularkan ke manusia melalui air liur
nyamuk. Parasit pertama kali menginfeksi sel-sel hati kemudian berpindah ke
eritrosit. Infeksi menyebabkan hemolisis berat sel-sel darah merah. Gambaran klinis
yang terjadi pada malaria seperti; terdapat tanda-tanda sistemik anemia, lonjakanlonjakan demam yang siklik, menggigil dan berkeringat pada waktu demam, nyeri
kepala, hepatomegali dan splenomegali, dapat terjadi ikterus akibat pelepasan
bilirubin yang berlebihan.3
Demam tifoid adalah penyakit infeksi pada saluran pencernaan tepatnya pada
lempeng peyeri usus halus. Kondisi ini disebabkan oleh bakteri Salmonella thyposa.
5
Gejala umum lemah, lesu, anoreksia. Demam, disebabkan oleh endotoksin yang
dikeluarkan kuman. Minggu I: febris Remitten (pagi hari suhu turun, sore hari dan
malam hari demam meningkat). Minggu II: demam terus. Minggu III: suhu badan
mulai turun secara berangsur. Gangguan pada saluran pencernaan terutama pada
ileum bagian distal. Gangguan kesadaran kadang-kadang sampai apatis atau
somnolen. Demam tifoid dapat menyebabkan hepatitis atau bisa disebut hepatitis
tifosa. Perbedaan pada hepatitis karena demam tifoid dengan hepatitis karena virus,
malaria atau amuba adalah pada demam tifoid kenaikan enzim transaminase tidak
relevan dengan kenaikan serum bilirubin. Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien
dengan malnutrisi dan sistem imun yang kurang.4
H. Patologi
Leptospira masuk kedalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, memasuki
aliran darah dan berkembang, lalu menyebar secara luas ke jaringan tubuh. Kemudian
terjadi respon imunologi baik secara selular maupun humoral sehingga infeksi ini
dapat ditekan dan terbentuk antibodi spesifik. Walaupun demikian beberapa
organisme ini masih bertahan pada daerah yang terisolasi secara imunologi seperti di
dalam ginjal dan di mana sebagian mikroorganisme akan mencapai convoluted
tubulus, bertahan disana dan dilepaskan melalui urine. Leptospirosis dapat dijumpai
dalam air kemih sekitar 8 hari sampai beberapa minggu setelah infeksi dan sampai
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian. Leptospirosis dapat dihilangkan
dengan fagositosis dan mekanisme humoral. Kuman ini dengan cepat lenyap dari
darah setelah terbentuknya agglutinin. Setelah fase leptospiremia 4-7 hari,
mikroorganisme hanya dapat ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler.
Leptospiruria berlangsung 1-4 minggu.5
Dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang
bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi pada beberapa organ. Lesi yang
muncul terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler. Pada leptospirosis
terdapat perbedaan antara derajat gangguan fungsi organ dengan kerusakan secara
histologik. Pada leptospirosis lesi histologis yang ringan ditemukan pada ginjal dan
hati pasien dengan kelainan fungsional yang nyata dari organ tersebut. Perbedaan ini
menunjukkan bahwa kerusakan bukan pada struktur organ. Lesi inflamasi
menunjukkan edema dan infiltrasi sel monosit, limfosit dan sel plasma. Pada kasus
yang berat terjadi kerusakan kapiler dengan perdarahan yang luas dan disfungsi
hepatoselular dengan retensi bilier. Selain di ginjal leptospira juga dapat bertahan di
6
otak dan mata. Leptospira dapat masuk ke dalam cairan serebrospinal pada fase
leptospiremia. Hal ini akan menyebabkan meningitis yang merupakan gangguan
neurologi terbanyak yang terjadi sebagai komplikasi leptospirosis. Organ-organ yang
sering dikenai leptospira adalah ginjal, hati, otot dan pembuluh darah.1
Kelainan spesifik pada organ :
Ginjal
Interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuklear merupakan bentuk lesi
pada leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal ginjal
terjadi akibat tubular nekrosis akut. Adanya peranan nefrotoksin, reaksi imunologis,
iskemia ginjal, hemolisis dan invasi langsung mikroorganisme juga berperan
menimbulkan kerusakan ginjal.
Hati
Hati menunjukkan nekrosis sentilobuler fokal dengan ingiltrasi sel limfosit
fokal dan proliferasi sel kupffer dengan kolestasis. Pada kasus-kasus yang diotopsi,
sebagian ditemukan leptospira dalam hepar. Biasanya organisme ini terdapat diantara
sel-sel parenkim.
Jantung
Epikardium, endokardium, dan miokardium dapat terlibat. Kelainan
miokardium dapat lokal atau difus berupa intersisial edema dengan infiltrasi sel
mononuklear dan plasma. Nekrosis berhubungan dengan infiltrasi neutrofil. Dapat
terjadi perdarahan lokal pada miokardium dan endokardium.
Otot rangka
Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa lokal nekrotis,
vakuolisasi dan kehilangan striata. Nyeri otot yang terjadi pada leptospira disebabkan
invasi langsung leptospira. Dapat juga ditemukan antigen leptospira pada otot.
Mata
Leptospira dapat masuk ruang anterior dari mata selama fase leptospiremia
dan bertahan beberapa bulan walaupun antibodi yang terbentuk cukup tinggi. Hal ini
akan menyebabkan uveitis.
Pembuluh darah
Terjadi perubahan pada pembuluh darah akibat terjadinya vaskulitis yang akan
menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan perdarahan/peteki pada mukosa,
permukaan serosa dan alat-alat viscera dan perdarahan bawah kulit.
Susunan saraf pusat
7
mikroskop
lapangan
gelap
(darkfield
mocroscope).
Leptospira
membutuhkan media dan kondisi yang khusus untuk tumbuh dan mungkin
membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk membuat kultur yang positif. Dengan
medium Fletchers dapat tumbuh dengan baik sebagai obligat aerob.
Secara sederhana, genus leptospira terdiri atas dua spesies : Leptospira
interrogans yang patogen dan Leptospira biflexa yang non patogen/saprofit. Tujuh
spesies dari leptospira patogen sekarang ini telah diketahui dasar ikatannya DNA-nya,
namun lebih praktis dalam klinis dan epidemiologi menggunakan klasifikasi yang
didasarkan atas perbedaan serologis. Spesies L. Interrogans dibagi menjadi beberapa
serogroup dan serogroup ini dibagi menjadi banyak serovar menurut kompetisi
antigennya. Saat ini telah ditemukan lebih dari 250 serovar yang tergabung dalam 23
serogroup. Beberapa diantaranya adalah: L. icterohaemorrhagiae, L. canicola,
L.pomona,
L.grippotyphosa,
L.javanica,
L.celledoni,
L.ballum,
L.pyrogenes,
8
serovar
berhubungan
dengan
tertentu,
seperti
L.
yang hidup dan pekerja pada lingkungan yang banyak tikus, individu yang terlibat
pada peternakan hewan atau dokter hewan, dan pekerja laboratorium.5
Salah satu kendala dalam menangani leptospirosis berupa kesulitan dalam
melakukan diagnostik awal. Sementara dengan pemeriksaan sederhana memakai
mikroskop biasa dapat dideteksi adanya gerakan leptospira dalam urine. Diagnostik
pasti ditegakkan dengan ditemukannya leptospira pada darah atau urine atau
ditemukannya hasil serologi positif. Untuk dapat berkembang biaknya leptospira
memerlukan lingkungan optimal serta tergantung pada suhu yang lembab, hangat, PH
air/tanah yang netral, dimana kondisi ini ditemukan sepanjang tahun di daerah tropis.1
K. Tata Laksana
Pengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan mengatasi
keadaan dehidrasi, hipotensi, perdarahan dan gagal ginjal sangat penting pada
leptospirosis. Gangguan fungsi ginjal umumnya dengan spontan akan membaik
dengan membaiknya kondisi pasien. Namun pada beberapa pasien membutuhkan
tindakan hemodialisa temporer.
Pemberian antibiotik harus dimulai secepat mungkin, biasanya pemberian
dalam 4 hari setelah onset cukup efektif. Berbagai jenis antibiotik pilihan dapat dilihat
pada tabel 1. Untuk kasus leptospirosis berat, pemberian intra vena penisilin G,
amoksilin, ampisilin atau eritromisin dapat diberikan. Sedangkan untuk kasus-kasus
ringan dapat diberikan antibiotika oral tetrasiklin, doksisiklin, ampisilin atau
amoksilin maupun sefalosporin.1
Tabel 1. Pengobatan dan Kemoprofilaksis Leptospirosis.1
Indikasi
Leptospirosis
Leptospirosis sedang/berat
Kemoprofilaksis
Regimen
Doksisiklin
Ampisilin
Amoksisilin
Penisilin G
Ampisilin
Amoksisilin
Doksisiklin
Dosis
2 x 100 mg
4 x 500-750 mg
4 x 500 mg
1,5 juta unit/6 jam
1 gram/6 jam
1 gram/6 jam
200 mg/minggu
Sampai saat ini penisilin masih merupakan antibiotika pilihan utama, namun
perlu diingat bahwa antibiotika bermanfaat jika leptospira masih di darah (fase
leptospiraemia). Pada pemberian penisilin, dapat muncul reaksi Jarisch-Herxherimer 4
sampai 6 jam setelah pemberian intravena, yang menunjukkan adanya aktivitas anti
leptospira. Tindakan suportif diberikan sesuai dengan keparahan penyakit dan
komplikasi yang timbul. Keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa diatur
10
kesembuhan
yang
efektif,
pengobatan
menggunakan
streptomisin, tetrasiklin, atau eritromisin harus dilakukan pada tahap awal penyakit.
Yang lebih penting daripada pengobatan adalah mencegah timbulnya kembali infeksi
melalui tindakan kebersihan lingkungan.7
I.
Kesimpulan
Jadi dari pembahasan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa leptospirosis
merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh genus Leptospira dimana hewan
11
Daftar Pustaka
1. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014.h. 633-7
2. Muliawan SY. Bakteri spiral pathogen. Jakarta : Erlangga Medical Series; 2008.h.63-79.
3. Handayani W, Haribowo AS. Buku ajar asuhan keperawatan pada klien dengan
gangguan sistem hematologi. Jakarta: Salemba Medika; 2008.h.65
4. Suryanah. Keperawatan anak untuk siswa spk. Jakarta: EGC; 1996.h.160
5. Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Ilmu kesehatan anak. Edisi ke-15. Jakarta:
EGC; 1999.h.1055-56
6. Anies. Seri lingkungan dan penyakit manajemen berbasis lingkungan solusi mencegah
dan menanggulangi penyakit menular. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.h.105
7. Soeharsono. Zoonosis penyakit menular dari hewan ke manusia. Volume 1. Yogyakarta:
12