Sebagaimana yang diuraikan pada episode sebelumnya, dalam pandangan
Mu'tazilah, akal manusia dapat menangkap dasar penentuan pahala dan
siksa atas perbuatan manusia, yakni sifat baik atau buruk dalam perbuatan yang mereka kerjakan. Mereka juga menyatakan bahwa sifat baik/buruk pada sebagian perbuatan dapat diketahui oleh akal secara dharuriy (aksiomatis), tanpa bantuan wahyu, seperti: baiknya kejujuran dan haramnya kebohongan. Oleh karenanya, masih menurut mereka, sekalipun tanpa wahyu, manusia sudah dapat mengetahui bahwa di balik kejujuran itu ada pahala sedangkan di balik kebohongan itu ada dosa, kejujuran itu diperintahkan sedangkan kebohongan itu diharamkan oleh Allah. Dari sini mereka mengatakan bahwa manusia tetap dibebani hukum-hukum tertentu meski belum ada risalah/wahyu yang turun kepada mereka. Az-Zarkasyi mengatakan, "Maka (Mu'tazilah) memastikan adanya pahala dan siksa sebelum adanya syariat karena adanya kebaikan dan keburukan sebelum syara'. Apabila syara' datang setelah itu, maka ia menjadi penguat bagi ketetapan akal." (lihat : alBAhrul Muhith fii Ushulil Fiqh)