Anda di halaman 1dari 29

PENDAHULUAN

Penyakit katup jantung merupakan kelainan-kelainan pada aliran darah yang


melintasi katup jantung. Penyakit demam reumatik merupakan penyebab lazim
deformitas katup yang membutuhkan koreksi bedah, namun sebagian besar penderita
menyangkal adanya riwayat demam reumatik sebelumnya. Hal ini disebabkan karena
terjadinya demam reumatik mungkin sudah terlalu lama (masa anak-anak), atau
secara klinis tak memberikan keluhan yang mencolok. Jika kelainan pada katup
jantung ini tidak dikenali dan tidak dapat diobati dengan serius maka berpotensi
menimbulkan suatu komplikasi yang fatal seperti edema paru, emboli sistemik,
hipertensi pulmonal, dan endokarditis. (Boestan IN, 2005).
Didalam referat ini akan membahas lebih dalam mengenai penyakit katup
jantung, dari mulai definisi hingga penatalaksaannya agar penyakit katup jantung
dapat ditangani dengan baik dan tidak menimbulkan komplikasi penyakit lain
dikemudian hari.

DEFINISI
Penyakit katup jantung adalah kelainan pada jantung yang menyebabkan
kelainan-kelainan pada aliran darah yang melintasi katup jantung. Katup yang
terserang penyakit dapat mengalami dua jenis gangguan fungsional :
1) Regurgitasi daun katup tidak dapat menutup rapat sehingga darah
dapat mengalir balik (sinonim dengan insufisiensi katup dan
inkompetensi katup)
2) Stenosis katup lubang katup mengalami penyempitan sehingga
aliran darah mengalami hambatan.
Insufisiensi dan stenosis dapat terjadi bersamaan pada satu katup, dikenal
sebagai lesi campuran atau terjadi sendiri yang disebut sebagai lesi murni .
Disfungsi katup akan meningkatkan kerja jantung. Insufisiensi katup
memaksa jantung memompa darah lebih banyak untuk menggantikan jumlah darah
yang mengalami regurgitasi atau mengalir balik sehingga meningkatkan volume
kerja jantung. Stenosis katup memaksa jantung meningkatkan tekanannya agar dapat
mengatasi resistensi terhadap aliran yang meningkat, karena itu akan meningkatkan
tekanan kerja miokardium. Respon miokardium yang khas terhadap peningkatan
volume kerja dan tekanan kerja adalah dilatasi ruang dan hipertrofi otot. Dilatasi
miokardium dan hipertrofi merupakan mekansime kompensasi yang bertujuan
meningkatkan kemampuan pemompaan jantung. (ODonnell MM, 2002).

EPIDEMIOLOGI
2

Penyakit katup jantung merupakan penyakit jantung yang masih cukup tinggi
insidennya, terutama di negara-negara yang sedang berkembang seperti halnya di
Indonesia. Namun demikian, akhir-akhir ini prevalensi penyakit katup jantung ada
kecenderungan semakin menurun. Berdasarkan penelitian yang ditekankan
diberbagai tempat di Indonesia penyakit katup jantung ini menduduki urutan ke-2
atau ke-3 sesudah penyakit koroner dari seluruh jenis penyebab penyakit jantung.
(Gordis, 1985).
Insiden tertinggi penyakit katup adalah katup mitralis, kemudian katup aorta.
Kecenderungan menyerang katup-katup jantung kiri dikaitkan dengan tekanan
hemodinamik yang relatif besar pada katup-katup ini. Insiden penyakit trikuspid
relatif rendah. Penyakit katup pulmonalis jarang terjadi. Penyakit katup trikuspidalis
atau pulmonalis biasanya disertai dengan lesi pada katup lainnya, sedangkan
penyakit katup aorta atau mitralis sering terjadi sebagai lesi tersendiri. (Gordis,
1985).
Di Negara maju terlihat penurunan insiden setelah 1900. Pada tahun 1980
insiden demam reumatik di Amerika Serikat berkisar 0,5-2/100.000 penduduk.
Karena pengobatan yang luas dan efektif dari penggunaan antibiotik dalam
mengobati infeksi dari streptococcus, insiden pada reumatik endokarditis dengan
penyakit katup pada jantung, termasuk mitral stenosis, telah menurun di Amerika
Serikat. Sekarang ini, kebanyakan pasien adalah seseorang yang sudah tua yang
sebelumnya mengalami perkembangan degenaratif. Reumatik mitral stenosis masih
tetap ditemui, tetapi timbul pada orang yang lebih tua dan perkembangannya lambat
dari sebelumnya. Mitral stenosis masih terdapat dalam negara-negara berkembang
dimana demam reumatik merupakan hal yang umum. Kondisi ekonomi dan genetik
keduanya mungkin memegang peranan. (Johanna JM, 2008).

ETIOLOGI

Penyakit katup jantung dahulu dianggap sebagai penyakit yang hampir selalu
disebabkan oleh reumatik, tetapi sekarang telah banyak ditemukan penyakit katup
jenis baru. Meskipun terjadi penurunan insiden penyakit demam reumatik, namun
penyakit demam reumatik masih merupakan penyebab lazim deformitas katup yang
membutuhkan koreksi bedah. (ODonnell MM, 2002)
Demam reumatik akut merupakan sekuele faringitis akibat streptokokus Bhemolitikus group A. Demam reumatik timbul hanya jika terjadi respon antibodi atau
imunologis yang bermakna terhadap infeksi streptokokus sebelumnya. Sekitar 3%
infeksi steptokokus pada faring diikuti dengan serangan demam reumatik (dalam 2
hingga 4 minggu). Serangan awal demam reumatik biasanya dijumpai pada masa
anak dan awal masa remaja. (ODonnell MM, 2002)
Patogenesis pasti demam reumatik masih belum diketahui. Dua mekanisme
dugaan yang telah diajukan adalah (1). respon hiperimun yang bersifat autoimun
maupun alergi dan (2). efek langsung organisme streptokokus atau toksinnya. Reaksi
autoimun terhadap infeksi streptokokus secara teori akan menyebabkan kerusakan
jaringan atau manifestasi demam reumatik, dengan cara :
1. Streptokokus grup A akan menyebabkan infeksi faring.
2. Antigen streptokokus akan menyebabkan pembentukan antibodi pada
penjamu yang hiperimun.
3. Anitibodi akan bereaksi dengan antigen streptokokus, dan dengan jaringan
penjamu yang secara antigenik sama seperti streptokokus (dengan kata lain :
antibodi tidak dapat membedakan antara antigen streptokokus dengan antigen
jaringan jantung).
4. Autoantibodi tersebut

bereaksi

dengan

jaringan

penjamu

sehingga

mengakibatkan kerusakan jaringan.


Apapun patogenesisnya, manifestasi demam rematik akut berupa peradangan
difus yang menyebabkan jaringan ikat berbagai organ, terutama jantung, sendi dan
kulit. Gejala dan tandanya tidak khas, dapat berupa demam, artritis yang berpindahpindah, artralgia, ruam kulit, korea dan takikardi. Terserangnya jantung merupakan
keadaan yang sangat penting, karena dua alasan berikut (1). kematian pada fase akut,
walaupun sangat rendah, tetapi hampir seluruhnya disebabkan oleh gagal jantung dan
(2). kecacatan residual yang terutama disebabkan oleh deformitas katup

Demam reumatik akut dapat menyebabkan peradangan pada semua lapisan


jantung yang disebut pankarditis. Peradangan endokardium biasanya mengenai
endotel katup, mengakibatkan pembengkakan daun katup dan erosi pinggir daun
katup. Vegetasi seperti manik-manik akan timbul disepanjang pinggir daun katup.
Perubahan akut ini dapat mengganggu penutupan katup yang efektif, mengakibatkan
regurgitasi katup. (ODonnell MM, 2002).
Serangan awal karditis reumatik biasanya akan mereda tanpa meninggalkan
kerusakan berarti. Namun serangan berulang akan menyebabkan gangguan progresif
pada bentuk katup. Perubahan patologis penyakit katup reumatik kronis timbul akibat
proses penyembuhan yang disertai pembentukan jaringan parut, proses radang
berulang, dan deformitas progresif yang disertai stres hemodinamik dan proses
penuaan. (ODonnell MM, 2002).
Deformitas akhir yang menyebabkan stenosis katup ditandai oleh penebalan
dan penyatuan daun katup disepanjang komisura (tempat persambungan antara duan
daun katup). Perubahan ini mengakibatkan penyempitan lubang katup dan
mengurangi pergerakan daun katup sehingga menghambat majunya aliran darah.
Korda tendinae katup atrioventrikularis dapat juga menebal dan menyatu sehingga
membentuk terowongan fibrosa dibawah daun katup dan semakin menghambat aliran
darah. (ODonnell MM, 2002).
Lesi yang berkaitan dengan insufisiensi katup terdiri atas daun katup yang
menciut dan retraksi yang menghambat kontak dan pemendekan antar daun katup,
menyatukan korda tendinae yang menghalangi gerak daun katup. Perubahan ini akan
mengganggu penutupan katup sehingga menimbulkan aliran balik melalui katup
tersebut. (ODonnell MM, 2002).
Kalsifikasi dan sklerosis jaringan katup akibat usia lanjut juga berperan dalam
perubahan bentuk katup akibat demam reumatik. Penyakit kronis yang disertai
kegagalan ventrikel serta pembesaran ventrikel juga dapat mengganggu fungsi katup
atrioventrikularis. Bentuk ventrikel mengalami perubahan sehingga kemampuan otot
papilaris untuk mendekatkan daun-daun katup pada waktu katup menutup akan
berkurang. Selain itu lubang katup juga melebar, sehingga semakin mempersulit
penutupan katup dan timbul insufisiensi katup. (ODonnell MM, 2002).

Selain penyakit reumatik, dikenal beberapa penyebab lain yang semakin


sering menimbulkan perubahan bentuk dan malfungsi katup : (1). dekstruksi katup
oleh endokarditis bakterialis (2). defek jaringan penyambung sejak lahir (3) disfungsi
atau ruptura otot papilaris karena aterosklerosis koroner dan (4). malformasi
kongenital. (ODonnell MM, 2002).
Endokarditis infektif dapat disebabkan oleh banyak organisme, termasuk
bakteri, jamur, dan ragi. Infeksi bakteri merupakan penyebab tersering. Akibatnya,
keadaan

ini

sering

disebut

sebagai

endokarditis

bakterialis.

Endokarditis

menimbulkan vegetasi disepanjang pinggir daun katup, vegetasi-vegetasi ini dapat


meluas dan menyerang seluruh katup, bahkan moikardium. Akibatnya, daun katup
dapat mengalami fibrosis, erosi dan perforasi sehingga menimbulkan suatu disfungsi
katup regurgitan yang khas. (ODonnell MM, 2002).
Disfungsi atau ruptura otot papilaris dapat menimbulkan berbagai macam
disfungsi katup. Gangguan otot papilaris dapat bersifat intermitan (yaitu akibat
iskemia) dan hanya menimbulkan regurgitasi episodik yang ringan. Tetapi, apabila
terjadi ruptura otot papilaris nekrotik setelah infrak miokardium, dapat terjadi
insufisiensi mitralis akut. (ODonnell MM, 2002).
Malformasi kongenital dapat terjadi pada setiap katup. Misalnya, sekitar 1%
sampai 2% katup aorta adalah katup bikuspidalis dan bukan trikuspidalis.
Lesilesi katup tertentu sangat menunjukan penyebab disfungsi. Misalnya,
stenosis mitralis murni biasanya disebabkan oleh rematik, sedangakan stenosis aorta
murni biasanya disebabkan oleh kalsifikasi prematur dan degenerasi katup
bikuspidalis kengenital. Lesi katup pulmonalis atau trikuspidalis murni hampir pasti
disebabkan oleh cacat kongenital. Lesi katup gabungan biasanya disebabkan oleh
rematik. (ODonnell MM, 2002).

STENOSIS MITRAL

PATOFISIOLOGI
Stenosis mitral terjadi karena adanya fibrosis dan fusi komisura katup mitral
pada waktu fase penyembuhan demam rematik. Terbentuknya sekat jaringan ikat
tanpa pengapuran yang mengakibatkan lubang katup mitral pada waktu diastol lebih
kecil dari normal. (ODonnell MM, 2002).
Berkurangnya luas efektif lubang katup mitral menyebabkan berkurangnya
daya alir katup mitral. Hal ini akan meningkatkan tekanan di ruang atrium kiri,
sehingga timbul perbedaan tekanan antara atrium kiri dengan ventrikel kiri waktu
diastole. Otot atrium mengalami hipertfofi, untuk meningkatkan kekuatan
pemompaan darah. Dilatasi atrium terjadi karena volume atrium meningkat akibat
ketidakmampuan atrium untuk mengosongkan diri secara normal. Peningkatan
tekanan dan volume atrium kiri dipantulkan ke belakang ke dalam pembuluh darah
paru sehingga tekanan dalam vena pulmonalis dan kapiler meningkat. Akibatnya
terjadi kongesti paru-paru. Pada akhirnya, tekanan arteri pulmonalis harus meningkat
akibat peningkatan kronis resistensi vena pulmonalis. Hipertensi pulmonalis
meningkatkan resistensi ejeksi ventrikel kanan menuju arteri pulmonalis, kemudian
terjadi hipertrofi ventrikel kanan. (ODonnell MM, 2002).
Ventrikel kanan tidak dapat memenuhi tugas sebagai pompa bertekanan tinggi
untuk jangka waktu yang lama. Kegagalan ventrikel kanan dipantulakan ke belakang
ke dalam sirkulasi sistemik, menimbulkan kongesti pada vena sistemik dan edema
perifer seperti pada hati, kaki dan lain-lain. Bendungan hati yang berlangsung lama
akan menyebabkan gangguan pada fungsi hati. (ODonnell M, 2002).

Gambar 1. Patofisiologi stenosis mitralis: 1. Hipertrofi atrium kiri; 2. Dilatasi atrium


kiri; 3. Kongesti vena pulmonalis; 4. Kongesti paru; 5. Hipertensi paru; 6. Hipertrofi
ventrikel kanan; 7. Curah jantung terfiksasi. (ODonnell MM, 2002).

DIAGNOSIS
Keluhan dapat berupa takikardia, dispneu, takipneu atau ortopneu dan denyut
jantung tidak teratur. Tak jarang terjadi gagal jantung, batuk darah atau
tromboemboli serebral maupun perifer. (Braunwald E, 1994 ; Indrajaya T, 2009).

PEMERIKSAAN FISIK
Sianosis perifer dan fasial terdapat pada pasien dengan stenosis mitral yang
sangat parah. Pada kasus yang sudah lanjut terdapat malar flush (pipi yang kemerahmerahan) dan muka tampak kurus dan biru, pulsasi vena jugularis yang kuat, tekanan
arteri sistemik biasanya normal atau rendah sedikit. (Braunwald E, 1994 ; Indrajaya
T, 2009).
Stenosis mitral yang murni dapat dikenal dengan terdengarnya bising middiastolik yang bersifat kasar, bising menggenderang (rumble), aksentuasi presistolik
dan bunyi jantung satu yang mengeras. Jika terdengar bunyi tambahan opening snap
berarti katup masih relatif lemas (pliable) sehingga waktu terbuka mendadak saat
diastole menimbulkan bunyi yang menyentak (seperti tali putus). Jarak bunyi jantung
kedua dengan opening snap memberikan gambaran beratnya stenosis. Makin pendek
jarak ini berarti makin berat derajat penyempitannya. (Braunwald E, 1994 ; Indrajaya
T, 2009).
Komponen pulmonal bunyi jantung ke-2 dapat mengeras disertai bising
sistolik karena adanya hipertensi pulmonal. Jika sudah terjadi insufisiensi pulmonal
maka dapat terdengar bising diastolik dini dari katup pulmonal. Pada fase lanjut
ketika sudah terjadi bendungan interstitial dan alveolar paru akan terdengar ronkhi
basah atau wheezing pada fase ekspirasi. (Braunwald E, 1994 ; Indrajaya T, 2009).
Jika hal ini berlanjut terus dan menyebabkan gagal jantung kanan maka
keluhan dan tanda-tanda sembab paru akan berkurang atau menghilang dan
sebaliknya tanda-tanda bendungan sistemik akan menonjol (peningkatan tekanan
vena jugularis, hepatomegali, asites, sembab tungkai). Pada fase ini biasanya tandatanda gagal hati akan mencolok antara lain ikterus, menurunnya protein plasma,
hiperpigmentasi kulit (fasies mitral) dan sebagainya. (Braunwald E, 1994 ; Indrajaya
T, 2009).
ELEKTROKARDIOGRAM
Pembesaran atrium kiri, gelombang P melebar dan bertakik (paling jelas pada
sadapan II) dikenal sebagai P mitral, bila irama sinus normal; hipertrofi ventrikel
kanan, fibrilasi atrium lazim terjadi tetapi tidak spesifik untuk stenosis mitral. (Yusak
M, 1996).

FOTO THORAX
Gambaran dapat berupa pembesaran atrium kiri dan ventrikel kanan,
pelebaran arteri pulmonalis (karena peninggian tekanan), kongesti vena pulmonalis;
edema paru interstitial, redistibusi pembuluh darah paru ke lobus bagian atas, aorta
yang relatif kecil (pada penderitapenderita yang dewasa atau fase lanjut penyakit),
kadang terlihat perkapuran didaerah katup mitral atau perikard. (Yusak M, 1996).
LABORATORIUM
Tidak ada gambaran yang khas, pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk
membantu penentuan adanya reaktivasi rheuma. (Yusak M, 1996).
DIAGNOSIS BANDING
Emfisema, bronkiektasis, tuberkulosis, hipertensi pulmonal primer, kor
triatrianum, miksoma atrium kiri. (Braunwald E, 1994).
PENATALAKSANAAN
Prinsip dasar pengelolaan adalah melebarkan lubang katup mitral yang
menyempit, tetapi indikasi intervensi ini hanya untuk penderita kelas fungsional III
(NYHA) keatas. (Braunwald E, 1994).
Valvulotomi mitral diindikasikan pada pasien simtomatik dengan stenosis
mitral murni yang orifisium efektifnya kurang dari kira-kira 1,3 cm 2 (atau 0,8 cm2/m2
luas permukaan tubuh) dan pada pasien yang telah terjadi embolisasi sistemik yang
rekuren/berulang. Valvulotomi tidak dianjurkan untuk pasien yang seluruhnya
asimtomatik, tanpa peduli temuan hemodinamik. (Braunwald E, 1994).
Operasi terbuka dengan menggunakan pintas kardioparu biasanya lebih
disukai daripada komisurotomi tertutup untuk pasien dengan stenosis mitral murni
yang belum diopersi sebelumnya. (Braunwald E, 1994).
Valvuloplasti balon perkutan adalah alternatif terhadap valvuloplasti mitral
operatif pada pasien dengan stenosis mitral reumatik yang mencolok. Indikasinya :
pasien muda tanpa klasifikasi valvuler yang ekstensif atau penebalan atau deformitas
subvalvuler. (Braunwald E, 1994).

10

PROGNOSIS
Pada mitral stenosis yang simtomatis terdapat progressi yang jelek. Angka
harapan hidup 5 tahun sebesar 62% pada mitral stenosis dengan NYHA kelas III, dan
hanya 15% pada kelas IV. Pasien simtomatik yang menolak valvotomi hanya
memiliki 44% angka harapan hidup selama 5 tahun. (Yusak M, 1996).

REGURGITASI MITRAL
PATOFISIOLOGI
Regurgitasi mitralis memungkinkan aliran darah berbalik dari ventrikel kiri
ke atrium kiri akibat penutupan katup yang tidak sempurna. Perubahan-perubahan
katup mitral tersebut adalah kalsifikasi, penebalan dan distorsi daun katup. Hal ini
mengakibatkan koaptasi yang tidak sempurna waktu sistole. Selain itu pemendekan
korda tendinea mengakibatkan katup tertarik ke ventrikel terutama bagian posterior
dan dapat juga terjadi dilatasi anulus atau ruptur korda tendinea. (ODonnell MM,
2002).
Selama sistolik ventrikel secara bersamaan mendorong darah ke dalam aorta
dan kembali ke dalam atrium kiri. Ventrikel kiri harus memompakan darah dalam
jumlah cukup guna mempertahankan aliran darah normal ke dalam aorta dan darah
yang kembali melalui katup mitralis. Beban volume tambahan yang ditimbulkan oleh
katup yang mengalami insufisiensi akan segera mengakibatkan dilatasi ventrikel
yang akan meningkatkan kontraksi miokardium. Akhirnya dinding ventrikel
hipertrofi. (ODonnell MM, 2002).
Regurgitasi menimbulkan beban volume tidak hanya bagi ventrikel kiri tetapi
juga bagi atrium kiri. Atrium kiri berdilatasi untuk memungkinkan peningktan
volume dan meningkatkan kekuatan kontraksi atrium. Selanjutnya atrium mengalami
hipertrofi untuk meningkatkan kekuatan kontraksi dan curah atrium lebih lanjut. Bila
lesi makin parah, atrium kiri menjadi tidak mampu lagi untuk meregang dan
melindungi paru-paru. Kegagalan ventrikel kiri biasanya merupakan tahap awal
untuk mempercepat dekompensasi jantung, ventrikel kiri mendapat beban yang
terlalu berat, dan aliran darah melalui aorta menjadi berkurang dan secara bersamaan
terjadi kongesti ke belakang. Secara bertahap, urutan kejadian yang diperkirakan
akan terjadi pada paru-paru dan jantung kanan yang terkena adalah : kongesti vena

11

pulmonalis, edema interstitial, hipertensi arteri pulmonalis dan hipertrofi ventrikel


kanan. (ODonnell MM, 2002).

Gambar 2. Patofisiologi insufisiensi mitralis, 1. Dilatasi ventrikel kiri; 2. Hipertrofi


ventrikel kiri; 3. Dilatasi atrium kiri 4. Hipertrofi atrium kiri; 5. Kongesti vena pulmonalis; 6.
Kongesti paru; 7. Hipertensi arteri pulmonalis; 8. Hipertensi ventrikel kanan (ODonnell
MM, 2002).

DIAGNOSIS
ANAMNESIS
Sebagaimana pada stenosis mitral sebagian besar penderita insufisiensi mitral
menyangkal adanya riwayat demam reumatik sebelumnya. Regurgitasi mitral dapat
ditolerir dalam jangka waktu yang lama tanpa keluhan jantung, baik sewaktu istirahat
maupun saat melakukan kerja sehari-hari. Sering keluhan sesak nafas dan lekas

12

capek merupakan keluhan awal yang secara berangsur-angsur berkembang menjadi


ortopneu, paroksismal dispneu nokturnal dan edema perifer. (Manurung D, 2009).
PEMERIKSAAN FISIK
Tekanan arterial biasanya normal, thrill sistolik seringkali dapat dipalpasi
pada apeks jantung, pada auskultasi akan terdengar bising pansistolik yang bersifat
meniup (blowing) di apeks, menjalar ke aksila, dan mengeras pada ekspirasi. Bunyi
jantung pertama melemah, katup tidak menutup sempurna pada akhir diastole dan
pada saat tersebut tekanan atrium dan ventrikel kiri sama. Terdengar bunyi jantung
ketiga akibat pengisian yang cepat ke ventrikel kiri pada awal diastole dan diikuti
diastolik flow murmur karena volume atrium kiri besar mengalir ke ventrikel kiri.
(Manurung D, 2009).
ELEKTROKARDIOGRAM
Pembesaran atrium kiri (P mitrale) bila iramanya sinus normal; fibrilasi
atrium; hipertrofi ventrikel kiri. (ODonnell MM, 2002).
FOTO THORAX
Pada insufisiensi mitral ringan tanpa gangguan hemodinamik yang nyata,
besar jantung pada foto torak biasanya normal. Pada keadaan yang lebih berat akan
terlihat pembesaran jantung akibat pembesaran atrium kiri dan ventrikel kiri, dan
mungkin terlihat tanda-tanda bendungan paru. Kadang-kadang terlihat pula
perkapuran pada anulus mitral. (ODonnell MM, 2002).
LABORATORIUM
Tidak memberikan gambaran yang khas. Pemeriksaan laboratorium berguna
untuk menentukan ada tidaknya reuma aktif/reaktifasi. (Yusak M, 1996).
PENATALAKSANAAN
Pemberian antibiotika ditujukan untuk upaya pencegahan reaktifasi reuma
maupun pencegahan terhadap timbulnya endokarditis infektif. (Yusak M, 1996).
Adanya keluhan lekas capek, sesak nafas dan ortopneu menunjukan adanya
gangguan fungsi ventrikel kiri yang memerlukan digitalis dan diuretik. Obat-obat
penurun beban awal dan beban akhir (preload dan afterload) dapat digunakan pada
penderita-penderita insufisiensi mitral yang telah ada keluhan. Obat-obat vasodilator
misalnya hydralazine dan catopril dan lain-lain dapat memperbaiki hemodinamik
serta mengurangi keluhan. (Yusak M, 1996).

13

Pasien dengan regurgitasi mirtal yang asimtomatik atau yang terbatas hanya
pada waktu mengeluarkan tenaga tidak dianggap sebagai calon untuk pengobatan
operatif, karena keadaannya tetap stabil untuk bertahun-tahun. Sebaliknya kecuali
terdapat kontraindikasi, pengobatan operatif seharusnya ditawarkan kepada pasien
dengan regurgitasi mitral parah yang keterbatasan tidak memungkinkannya untuk
bekerja penuh atau untuk melakukan kegiatan rumah tangga normal meskipun
pengelolaan medis sudah optimal. Bahkan pada pasien dengan gejala ringan,
pengobatan operatif diindikasikan jika disfungsi ventrikel progresif. (Braunwald E,
1994).
Terapi pembedahan regurgitasi mitral, terutama yang disebabkan oleh katup
yang mengalami deformitas secara nyata, dengan daun katup yang berkerut dan
mengalami kalsifikasi akibat demam reumatik, memerlukan penggantian katup
dengan protesis, walupun meningkatkan fraksi pasien, khususnya pada pasien dengan
dilatasi anulus yang parah, daun katup yang mengalami mobilisasi abnormal atau
paradoksikal (fail), prolaps katup mitral, ruptur korda atau endokardistis infektif,
rekonstruksi aparatus katup mitral (valvuloplasti mitral) dan/atau anuloplasti mitral
mungkin berhasil. (Braunwald E, 1994).

STENOSIS AORTA
PATOFISIOLOGI
Stenosis aorta menghalangi aliran darah dari ventrikel kiri ke aorta pada
waktu sistolik ventrikel. Dengan meningkatnya resistensi terhadap ejeksi ventrikel
maka beban tekanan ventrikel kiri meningkat. Sebagai akibatnya ventrikel kiri
menjadi hipertrofi agar dapat menghasilkan tekanan yang lebih tinggi untuk
mempertahankan perfusi perifer, hal ini akan menyebabkan timbulnya selisih tekanan
yang mencolok antara ventrikel kiri dan aorta. (ODonnell M, 2002).
Untuk mengkompensasi dan mempertahankan curah jantung, ventrikel kiri
tidak hanya memperbesar tekanan tetapi juga memperpanjang waktu ejeksi. Lama
lama kemampuan ventrikel kiri untuk menyesuaikan diri terlampaui. Timbul gejalagejala progresif yang mendahului titik kritis dalam perjalanan stenosis aorta. Titik
kritis pada stenosis aorta adalah bila lumen katup aorta mengecil dari ukuran 3-4 cm 2
menjadi kurang dari 0,8 cm2. (ODonnell MM, 2002).

14

Kegagalan ventrikel progresif mengganggu pengosongan ventrikel. Curah


jantung menurun dan volume ventrikel bertambah. Akibatnya ventrikel mengalami
dilatasi kalau berlanjut disertai kongesti paru-paru berat. Akhirnya mengakibatkan
gagal jantung kiri. (ODonnell MM, 2002).

Gambar 4. Patofisiologi stenosis aorta (ODonnell MM, 2002).

DIAGNOSIS
ANAMNESIS
Pasien merasakan gejala-gejala setelah penyakit berjalan lanjut, trias gejala
khas yang berkaitan dengan stenosis aorta : (1). angina (2). sinkop (3). kegagalan
ventrikel kiri. (Pangabean MM, 2009).
Apabila diabaikan, gejala-gejala ini menandakan prognosis yang buruk
dengan kemungkinan hidup rata-rata kurang dari lima tahun. Kegagaaln ventrikel kiri

15

merupakan

indikasi

dekompensasi

jantung.

Angina

ditimbulkan

oleh

ketidakseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan oksigen miokardium,


kebutuhan oksigen meningkat karena hipertrofi dan peningkatan kerja miokardium,
sedangakan penyediaan oksigen kemungkinan berkurang karena penekanan sistolik
yang kuat pada arteria koronaria oleh otot yang hipertrofi. (Pangabean MM, 2009).
Pasien stenosis aorta yang mengalami gagal jantung, akan memberikan gejala
dispneu yang menonjol dan daya tahan hidup hanya mungkin kira-kira 2 tahun.
(Pangabean MM, 2009).
PEMERIKSAAN FISIK
Pada stenosis aorta yang berat tekanan nadi menyempit dan lonjakan denyut
arteri lambat. Amplitudo yang mengurang dengan puncak nadi yang terlambat ini
disebut sebagai pulsus parvus et tardus. Impuls apeks tidak berpindah ke lateral,
lamanya impuls dapat memanjang. Getaran sistolik dapat dirasakan pada ruang
interkostal ke 2 dekat sternum dan dekat leher. (Braunwald E, 1994).
Pada Auskultasi didapatkan bising ejeksi sistolik, pemisahan bunyi jantung
kedua yang paradoksal. (Purnomo H, 1996).
ELEKTROKARDIOGRAM
Terdapat tanda-tanda hipertrofi ventrikel kiri, peningkatan voltase QRS, serta
vektor T terletak 180 dari vektor QRS. Juga terdapat gambaran kelainan atrium kiri.
(Purnomo H, 1996).
FOTO THORAX
Pada tahap awal penyakit, foto torak masi normal, walaupun pada keadaan
lebih lanjut jantung bisa membesar. (Purnomo H, 1996).
Pelebaran aorta pasca-stenosis, kalsifikasi katup aorta (paling jelas terlihat
posisi lateral) dan pembesaran ringan atrium kiri bisa terlihat. (Purnomo H, 1996).
DIAGNOSIS BANDING
Kardiomegali (obstruktif hipertrofik), defek septum ventrikal, koarktasio
aorta, aneurisma arkus aorta, stenosis pulmonal. (Braunwald E, 1994).

PENATALAKSANAAN

16

Pasien dengan stenosis aorta harus di terapi secara profilaksis untuk


pencegahan endokarditis bakterialis. Gagal jantung diterapi dengan digitalis dan
diuretik. Pengobatan untuk menurunkan beban awal dan beban akhir harus dilakukan
secara hati-hati serta follow up untuk menentukan kapan bedah harus dilakukan.
(Braunwald E, 1994).
Percutaneous ballon aortic valvuloplasty, adalah alternatif dalam operasi
pada anak dan orang dewasa muda dengan stenosis aorta kengenital. Operasi ini
tidak umum dipergunakan pada pasien tua dengan stenosis aorta kalsifik yang parah
karena angka stenosis kembali tinggi. Meskipun demikian, prosedur ini mungkin
berguna pada pasien yang terlampau sakit atau lemah untuk menjalani operasi, pada
pasien dengan stenosis aota yang membahayakan nyawa dan penyakit ekstrakardiak
yang lanjut, dan sebagai jembatan ke operasi pada pasien dengan disfungsi
ventrikel kiri yang parah. (Braunwald E, 1994).
PROGNOSIS
Survival rate 10 tahun pasien pasca operasi ganti katup aorta adalah sekitar
60% dan rata-rata 30% katup artifisial bioprotesis mengalami gangguan setelah 10
tahun dan memerlukan operasi ulang. Katup metal artifisial harus dilindungi dengan
antikoagulan untuk mencegah trombus dan embolisasi. Sebanyak 30% pasien ini
akan mengalami komplikasi perdarahan ringan-berat akibat dari terapi tersebut.
Valvuloplasti aorta perkutan dengan balon dapat dilakukan pada anak atau anak
muda dengan stenosis aorta kengenital non-klasifikasi. Pada orang dewasa dengan
kalsifikasi, tindakan ini menimbulakan restenosis yang tinggi. (Purnomo H, 1996).

REGURGITASI AORTA

17

PATOFISIOLOGI
Regurgitasi aorta menyebabkan refluks darah dari aorta ke dalam ventrikel
kiri sewaktu relaksasi ventrikel. Penyakit ini jelas memberi beban volume yang
cukup berat pada ventrikel kiri. Pada setiap kontraksi, ventrikel harus mampu
mengeluarkan sejumlah darah yang sama dengan volume sekuncup normal ditambah
volume regurgitasi. Ventrikel kiri mengalami dilatasi berat dan akhirnya menjadi
hipertrofi, sehingga bentuknya berubah seperti bola. Kemudian sirkulasi perifer
menjadi hiperdinamik. (ODonnell MM, 2002).

Gambar 4. Patofisiologi regurgitasi aorta : 1. Dilatasi ventrikel kiri; 2. Hipertensi ventrikel


kiri; 3. Sirkulasi perifer hiperdinamik. (ODonnell M, 2002).

DIAGNOSIS

18

ANAMNESIS
Kadang-kadang pasien datang dengan keluhan adanya pulsasi arteri karotis
yang nyata serta denyut pada apeks saat penderita berbaring ke sisi kiri. Selain itu
bisa timbul denyut jantung prematur, oleh karena curah sekuncup besar setelah
diastolik yang panjang. (Leman S, 2009).
Pada penderita insufisiensi aorta kronis bisa timbul gejala-gejala gagal
jantung, termasuk dispneu waktu istirahat, ortopneu, dispneu paroksismal nokturna,
edema paru dan kelelahan. (Leman S, 2009).
Angina cenderung timbul waktu istirahat saat timbulnya bradikardi dan lebih
lama menghilang daripada angina akibat penyakit koroner saja. Penyebabnya pasti
dari angina tak bisa ditentukan hanya dari analisis gejala saja. (Leman S, 2009).
PEMERIKSAAN FISIK
Tekanan nadi yang besar dan tekanan artifisial yang rendah, gallop dan bising
artifisial timbul akibat besarnya curah sekuncup dan regurgitasi darah dari aorta ke
ventrikel kiri. Bising artifisial lebih keras terdengar di garis sternal kiri bawah atau
apeks pada kelainan katup artifisial, sedangkan pada dilatasi pangkal aorta, bising
terutama terdengar di garis sternal kanan. Bila ada ruptur daun katup, bising ini
sangat keras dan musikal. (Braunwald E, 1994).
Kadang-kadang ditemukan juga bising sistolik dan thrill akibat curah
sekuncup meningkat (tidak selalu merupakan akibat stenosis aorta). Tabrakan antara
regurgitasi aorta yang besar dan aliran darah dari katup mitral menyebabkan bising
mid/late diastolik (bising Austin Flint). (Braunwald E, 1994).
ELEKTROKARDIOGRAM
Pada pasien dengan regurgitasi aorta ringan, mungkin tidak terdapat kelainan
EKG, tetapi dengan regurgitasi aorta kronik yang parah, tanda EKG hipertrofi
ventrikel kiri menjadi manifes. Lagi pula pada pasien ini sering menunjukan depresi
segmen ST dan gelombang T terbalik pada lead I, aVL, V 5, dan V4. Deviasi sumbu
kiri dan/atau perpanjangan QRS menunjukan penyakit miokardial yang difus yang
menandakan prognosis yang buruk. (ODonnell MM, 2002).

FOTO THORAX

19

Terlihat ventrikel kiri membesar, atrium kiri membesar, dilatasi aorta. Bentuk
dan ukuran jantung tidak berubah pada insufisiensi akut, tapi terlihat edema paru.
(ODonnell MM, 2002).
DIAGNOSIS BANDING
Ruptur sinus valsava, regurgitasi pulmonal. (Braunwald E, 1994).
PENATALAKSANAAN
Harus diberikan terapi profilaksis untuk endokarditis bakterialis. Gagal
jantung diobati dengan digitalis, diuretik serta vasodilator seperti hydralasin,
penghambat ACE atau dan nitrat untuk menurunkan beban akhir. (Purnomo H,
1996).
Penggantian katup aorta dengan protesis mekanis atau jaringan yang cocok
umumnya diperlukan pada pasien dengan RA reumatik dan pada banyak pasien
dengan bentuk regurgitasi lain. (Purnomo H, 1996).
PROGNOSIS
70% penderita dengan insufisiensi aorta kronis mampu bertahan 5 tahun,
sedangkan 50% mampu bertahan 10 tahun setelah diagnosis ditegakkan. Penderita
yang jelas mampu hidup secara normal, tetapi mudah terkena endokarditis enfektif.
Jika timbul gagal jantung, bisa bertahan 2 tahun dan setelah timbul angina biasanya
bertahan 5 tahun. (Purnomo H, 1996).
Penderita dengan insufisiensi aorta akut dan edema paru, prognosisnya buruk
biasanya harus dilakukan operasi. (Purnomo H, 1996).

STENOSIS TRIKUSPIDALIS

20

PATOFISIOLOGI
Stenosis katup trikuspidalis akan menghambat aliran darah dari atrium kanan
ke ventrikel kanan selama diastolik. Lesi ini biasanya berkaitan dengan penyakit
katup mitralis dan aorta yang terjadi akibat penyakit jantung rematik yang berat.
Stenosis trikuspidalis meningkatkan beban kerja atrium kanan, memaksa
pembentukan tekanan yang lebih besar untuk mempertahankan aliran melalui katup
yang tersumbat. Kemampuan kompensasi atrium kanan terbatas sehingga atrium
akan mengalami dilatasi dengan cepat. Peningkatan volume dan tekanan atrium
kanan mengakibatkan penimbunan darah pada vena sistemik dan peningkatan
tekanan. (ODonnell MM, 2002).

Gambar 5. Patofisiologi stenosis trikuspidalis : 1. Dilatasi atrium kanan; 2. Kongesti


vena; 3. Hepatomegali; 4. Kongesti sistemik. (ODonnell MM, 2002).
DIAGNOSIS
ANAMNESIS

21

Rendahnya curah jantung akan menimbulkan keluhan mudah lelah, dan


adanya kongesti sistemik dan hepatomegali menimbulkan keluhan tidak enak pada
perut, perut membesar dan bengkak umum. Beberapa pasien mengeluh denyut pada
leher akibat besarnya gelombang a pada vena jugularis. (Ghanie A, 2009).
PEMERIKSAAN FISIK
Oleh karena sering menyertai kelainan katup lain, maka stenosis trikuspidalis
ini tidak terdiagnosis, kecuali memang sengaja dicari. Suatu stenosis berat akan
menimbulkan bendungan hati yang berat sehingga terjadi sirosis,ikterus, malnutrisi
yang berat, edema dan asites yang berat bahkan splenomegali. Vena jugularis akan
melebar dengan gelombang a yang besar. Dapat ditemukan pulsasi presistolik yang
jelas pada permukaan hati yang membesar. (Ghanie A, 2009).
Pada auskultasi dapat terdengar opening snap pada daerah garis sternal kiri
sampai pada daerah xifoideus, terutama presistolik. Bising ini akan menjadi lebih
keras pada inspirasi dan melemah pada ekspirasi. (Ghanie A, 2009).
ELEKTROKARDIOGRAM
Adanya gambaran pembesaran atrium kanan berupa gelombang P yang tinggi
dan tajam pada sadapan II, demikian juga pada VI (dikenal sebagai P pulmonal).
(Ghanie A, 2009).
FOTO THORAX
Pembesaran atrium kanan dan vena kava superior tanpa pembesaran arteri
pulmonalis. (Ghanie A, 2009).
PENATALAKSANAAN
Pengobatan konservatif ditujukan untuk mengurangi kongesti sistemik yang
merupakan kondisi yang dominan, dalam hal ini dibutuhkan diuretik atau restriksi
konsumsi garam. Keadaan ini dibutuhakan untuk memperbaiki fungsi hati yang
sangat dibutuhkan pada saat operasi. Selain itu pemakaian antibiotik juga penting
pada keadaan tertentu untuk mencegah terjadinya endokarditis infektif. (Braunwald
E, 1994).
Terapi operatif katup trikuspid biasanya tidak diindikasikan pada waktu
operasi katup mitral pada pasien dengan ST ringan. Sebaliknya, penyembuhan
operatif definitif ST seharusnya dilaksankan, paling baik pada waktu valvulotomi
mitral, pada pasien dengan ST sedang atau parah yang mengalami dradien tekanan

22

diastolik rata-rata yang melampaui 4 atau 5 mmHg dan orifisium trikuspid kurang
dari 1,5 sampai 2,0 cm2. ST hampir selalu disertai dengan regurgitasi trikuspid yang
bermakna. Operasi jantung terbuka yang memanfaatkan pintas (bypass) kardioparu
dapat memungkinkan banyak perbaikan fungsi katup trikuspid. Jika hal ini tidak
dapat diselesaikan, katup trikuspid mungkin harus diganti dengan protesis, paling
baik katup jaringan. (Braunwald E, 1994).

REGURGITASI TRIKUSPIDALIS
Biasanya disebabkan gagal jantung kiri yang sudah lanjut atau hipertensi
pulmonalis berat, sehingga terjadi kemunduran fungsi ventrikel kanan. Sewaktu
ventrikel kanan gagal dan membesar, terjadilah regurgitasi fungsional katup
trikuspidalis. Regurgitasi trikuspidalis berkaitan dengan gagal jantung kanan dan
temuan berikut ini : (ODonnell MM, 2002).
1. Auskultasi: bising sepanjang sistol
2. Elektrokardiogram: pembesaran atrium kanan (gelombang P tinggi
dan sempit dikenal sebagai P pulmonal) bila irama sinus normal;
fibrilasi atrium; hipertrofi ventrikel kanan
3. Foto thorax: pembesaran ventrikel dan atrium kanan
PENATALAKSANAAN
Konservatif ditujukan terutama bila terdapat tanda-tanda kegagalan fungsi
jantung berupa istirahat, pemakaian diuretik dan digitalis.tanpa suatu tanda hipertensi
pulmonal biasanya tidak diperlukan suatu tindakan pembedahan.tetapi pada keadaan
tertentu dapat dilakukan tindakan anuloplasti dan pada yang lebih berat dilakukan
penggantian katup dengan prostesis. (ODonnell MM, 2002).

STENOSIS PULMONAL
PEMERIKSAAN FISIK

23

Pasien dengan stenosis pulmonal ringan sampai sedang biasanya tidak


mempunyai keluhan, pasien ditemukan karena ada bising sistolik pada pemeriksaan
fisik biasa, bahkan pasien dengan stenosis pulmonal beratpun kadang tanpa keluhan.
Kalau ada keluhan biasanya berupa dispneoe deffort, rasa lelah yang berlebihan
kedua keluhan ini sehubungan dengan kenaikan isi sekuncup yang tidak adekuat
pada saat olah raga.tak ada keluhan ortopnea karena tekanan vena pulmonal normal
pada stenosis pulmonal. (Braunwald E, 1994).
Gagal jantung kanan bisa terjadi pada stenosis yang berat.sinkop bisa terjadi
akan tetapi kematian mendadak tidak terjadi seperti pada stenosis aorta. Nyeri dada
menyerupai angina pectoris dapat terjadi pada stenosis pulmonal yang berat.
(Braunwald E, 1994).
Tanda fisik pada stenosis pulmonal diantaranya terdapat habitus syndrome
noonan berupa badan yang pendek dengan dada seperti perisai dan leher
berselaput.terdapat sianosis pada pasien,pulsasi karotis bisa normal/atau volumenya
sedikit menurun dengan pulsasi vena jugularis. (Irawan BM, 2009).
Teraba getaran (thrill) sistolik pada spasium intercosta ke 3 atau 4 linea
parasternalis kiri.bising sistolik bersifat ejeksi. Suara jantung ke 2 yang pecah dengan
lemahnya komponen pulmonal. (Irawan BM, 2009).
ELEKTROKARDIOGRAM
Stenosis pulmonal yang ringan biasanya normal,sedangkan pada yang berat
terdapat gambaran hipertrofi atrium dan ventrikel kanan ada defiasi aksis jantung ke
kanan. (Irawan BM, 2009).
FOTO THORAX
Gambaran vaskularisasi paru perifer normal, arteri pulmonalis tampak
membesar akibat dilatasi pasca stenosis. Gambaran pembesaran ventrikel kanan
tampak pada stenosis pulmonal sedang sampai berat. Jarang pada stenosis pulmonal
bisa tampak klasifikasi katup pulmonal. (Irawan BM, 2009).

PENATALAKSANAAN
Stenosis pulmonal yang ringan sampai sedang dapat dikelola tanpa tindakan
operasi. Pada pasien yang membutuhkan tindakan operasi ataupun pencabutan gigi

24

dianjurkan pemberian antibiotik profilaksis. Untuk stenosis pulmonal tanpa keluhan


oleh sebagian ahli dianjurkan pengobatan konservatif saja, tanpa tindakan
valvulotomi, sedangkan sebagian ahli yang lain menganjurkan valvulotomi. (Irawan
BM, 2009).
Pada stenosis berat dengan gagal jantung kanan, semua mengajurkan tindakan
valvulotomi. Kalau pasien menolak valvulotomi dianjurkan pemberian digitalis.
Pemberian diuretika secara hati-hati dapat pula dicoba, akan tetapi dapat menurunkan
isi sekuncup menit sehingga menimbulkan kelelahan yang berat. (Irawan BM, 2009).

REGURGITASI PULMONAL
PATOFISIOLOGI
Regurgitasi pulmonal sering sekali terjadi akibat disfungsi valvular yang
sekunder pada pasien dengan hipertensi pulmonal kronik akibat stenosis mitral
rematik, penyakit jantung pulmonal dan sebab lain hipertensi pulmonal. Regurgitasi
pulmonal fungsional ini dipikirkan terjadi akibat dilatasi cincin katup pulmonal.
Walaupun jarang, regurgitasi pulmonal dapat terjadi pada kelainan kongenital
tersendiri, endokarditis infeksiosa yang mengenai katup pulmonal dan penyakit
jantung rematik. Pada regurgitasi katup pulmonal sangat berat, tekanan arteri
pulmonal dan ventrikel kanan pada akhir fase diastolik sama atau mendekati sama.
Regurgitasi pulmonal akibat kongenital (primer) biasanya tanpa disertai hipertensi
pulmonal menimbulkan bising diastolik dengan nada rendah dan sifatnya crescendodecrescendo, sebaliknya pada pasien regurgitasi pulmonal sekunder (dengan
hipertensi pulmonal) sifat bising diastolik yang terjadi mempunyai nada tinggi,
meniup dan decrescendo. (Irawan BM, 2009).
GEJALA KLINIS
Regurgitasi pulmonal biasanya dapat ditoleransi pasien dan jarang terlihat
dengan gagal jantung kanan atas dasar regurgitasi pulmonal saja. Keluhan lelah dan
tanda gagal jantung kanan ringan kadang terdapat pada pasien ini. Bising diastolik
yang meniup atau kasar terdengar disternum bagian kiri atas. Bising pada regurgitasi
pulmonal ini terdengar lebih keras saat inspirasi. Dan kalau bising ini terjadi akibat
hipertensi pulmonal, disebut bising Graham Stell. Bising ini terdengar dengan nada
tinggi mirip dengan bising regurgitasi aorta, sedangkan bising regurgitasi pulmonal

25

organik terdengar dengan nada rendah dan kasar. Bising diastolik ini disertai dengan
bising sistolik. Denyutan ventrikel kanan terasa sepanjang dada sebelah kiri. Ada
bunyi sistolik click dengan suara dua yang pecah secara fisiologis. (Irawan BM,
2009).
PENATALAKSAAN
Pengelolaan regurgitasi pulmonal biasanya terbatas pada pemberian
profilaksis antibiotik pada tindakan dental atau operasi. Gagal jantung sangat jarang
terjadi pada regurgitasi pulmonal sehingga tidak banyak pengalaman tindakan
pengobatan ataupun operasi pada kasus tersebut. (Irawan BM, 2009).

DAFTAR PUSTAKA
1. Boestan IN dan Baktijasa B, 2006. Penyakit Katup Jantung. Dalam Standar

26

Diagnosis Dan Terapi Penyakit Jantung Dan Pembuluh Darah, edisi 4,


editor: Soetomo M dan Lefi A, bagian/SMF Kardiologi dan Kedokteran
Vaskular Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Rumah Sakit Umum
Dr. Soetomo, Surabaya, halaman 7-20.
2. Braunwald E, 1994. Penyakit Katup Jantung-Gangguan Sistem
Kardiovaskuler. Dalam: Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam
volume 3, edisi 13, editor: Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci
dan Kasper, editor Bahasa Indonesia: Asdi AH, penerbit buku kedokteran
EGC, Jakarta, halaman 1185-1201.
3. Ghanie A, 2009. Penyakit Katup Trikuspid-Kardiologi. Dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam, edisi 5, editor: Sudoyono AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata M dan Setiati S, Interna Publishing, Jakarta, halaman
1698-1701.
4. Guyton AC dan Hall JE, 1997. Kelainan Katup Jantung-Sirkulasi.
Dalam Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi 9, editor Bahasa Indonesia:
Setiawan I, penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta, halaman 349-357.
5. Indrajaya T dan Ghanie A, 2009. Stenosis Mitral-Kardiologi.
Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi 5, editor: Sudoyono AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M dan Setiati S, Interna Publishing,
Jakarta, halaman 1693-1697.
6. Irawan B, 2009. Kelainan Katup Pulmonal-Kardiologi.
Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi 5, editor: Sudoyono AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M dan Setiati S, Interna Publishing,
Jakarta, halaman 1671-1678.
7. Johanna JM, Nalini M, Rajamannan, Raphael R, Kumar AS, Jonathan R,
Carapetis and Yacoub MH, 2008. The Need For A Global Perspective On
Heart Valve Disease Epidemiology, JHVD,vol 17 (1), hal 135.
8. Leman S, 2009. Regurgitasi Aorta-Kardiologi. Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, edisi 5, editor: Sudoyono AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M dan Setiati S, Interna Publishing, Jakarta, halaman 16891692.
9. Manurung D, 2009. Regurgitasi Mitral-Kardiologi. Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, edisi 5, editor: Sudoyono AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M dan Setiati S, Interna Publishing, Jakarta, halaman 16791685.
10. ODonnell MM dan Carleton PF, 2002. Penyakit Katup Jantung-Gangguan

27

Sistem Kardiovaskular. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit volume 1, edisi 6, editor: Price SA dan Wilson LM,
editor Bahasa Indonesia: Hartanto H, Wulansari P, Susi N dan Mahanani
DA, penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta, halaman 613-629.
11. Pangabean MM, 2009. Stenosis Aorta-Kardiologi. Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, edisi 5, editor: Sudoyono AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M dan Setiati S, Interna Publishing, Jakarta, halaman 16861688.
12. Purnomo H, 1996. Stenosis Aorta-Penyakit Katup Jantung. Dalam Buku Ajar
Kardiologi, editor: Rilantono LI, Baraas F, Karo SK dan Roebiono PS,
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,
halaman 145-147.
13. Swartz MH, 1995. Jantung. Dalam Buku Ajar Diagnostik Fisik, editor Bahasa
Indonesia: Effendi H dan Hartanto H, Penerbit buku kedokteran EGC,
Jakarta, halaman 179-226.
14. Yusak M, 1996. Stenosis Mitral-Penyakit Katup Jantung. Dalam Buku Ajar
Kardiologi, editor: Rilantono LI, Baraas F, Karo SK dan Roebiono PS,
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,
halaman 135-139.

28

29

Anda mungkin juga menyukai