Anda di halaman 1dari 21

BAB II

METODE PENELITIAN

2.1.

Metode Penelitian
Pemetaan geologi ini dilakukan dengan metode penelitian geologi

permukaan (geological surface mapping). Metode ini meliputi pengamatan,


pemerian dan pengukuran langsung di lapangan pada kenampakan data - data dan
kondisi geologi yang tersingkap di permukaan bumi saja, seperti jenis batuan,
tekstur, struktur, komposisi batuan, kedudukan batuan, bentang alam dan batas
kontak.
Penentuan arah lintasan pemetaan di lapangan digunakan dengan dua
metode, yaitu untuk batuan berlapis diusahakan tegak lurus terhadap arah
perlapisan batuan, supaya memperoleh variasi batuan serta gejala - struktur
geologi dan juga dengan penelusuran sungai agar kemungkinan besar menemukan
singkapan batuan dengan kondisi yang lebih baik. Dalam penelitian ini banyak
memakai konsep dan klasifikasi yang akan membantu dan penentuan keadaan
geologi pada suatu daerah, tetapi pada penerapannya akan disesuaikan dengan
data yang diperoleh dari hasil pengamatan di lapangan dan analisis data di
laboratorium.
Adapun tahap - tahap yang dilakukan dalam analisis data yang telah
dikumpulkan di lapangan, yaitu meliputi:
2.1.1.

Geomorfologi
Dalam pembuatan peta geomorfologi digunakan analisa geomorfologi

yang dibagi menjadi beberapa sub-bab, meliputi satuan bentang alam dan

Page 1

klasifikasinya, pola pengaliran, genetik sungai, dan stadia daerah. Hal ini akan di
jelaskan secara lebih jauh sebagai berikut :
2.1.1.1 Satuan Bentang Alam
Pembagian satuan geomorfologi pada daerah penelitian, mengacu pada
klasifikasi van Zuidam & van ZuidamCancelado (1979) dan van Zuidam (1983),
yang berdasarkan pada aspek morfoarrangement, morfometri dan morfogenesa
serta pengamatan lapangan. Dasar pembagian satuan geomorfologi tersebut
berdasarkan :
a) Morfoarrangement merupakan pembagian kenampakan morfologi
yang didasarkan pada pola kontur.
b) Morfometri merupakan pembagian kenampakan geomorfologi yang
didasarkan pada perhitungan kelerengan yang meliputi beda tinggi dan
sudut lereng (slope).
c) Morfogenesa merupakan pembagian kenampakan geomorfologi
berdasarkan genesanya di lapangan.
Konsep dan klasifikasi yang akan di pakai diantaranya pembagian
geomorfologi daerah penelitian mengacu pada geomorfologi regional daerah
penelitian (van Bemmelen, 1949), konsep klasifikasi relief berdasarkan sudut
lereng dan beda tinggi (van Zuidam dan van Zuidam - Cancelado, 1979) (Tabel
2.1.) dan klasifikasi unit geomorfologi bentukan (van Zuidam, 1983) (Tabel 2.2.
dan Tabel 2.3) yang berdasarkan aspek - aspek geomorfologi yaitu morfografi,
morfometri dan morfogenesis.

Page 2

No

Kemiringan
Lereng ( % )

Beda Tinggi
(m)

Topografi dataran

02

<5

Topografi bergelombang lemah

37

5 50

Topografi bergelombang lemah kuat

8 13

25 75

Topografi bergelombang kuat perbukitan

14 20

50 200

Topografi perbukitan tersayat kuat

21 55

200 500

Topografi tersayat kuat pegunungan

56 140

500 1000

Topografi pegunungan

> 140

> 1000

Tabel 2.1. Klasifikasi relief berdasarkan sudut lereng dan beda tinggi (van Zuidam
dan van Zuidam dan Cancelado, 1979).
Tabel 2.2. Klasifikasi unit geomorfologi bentukan oleh proses denudasional (D),
(van Zuidam, 1983 ).
Kode

Unit

Karakteristik Umum

D1

Lereng dan perbukitan


denudasional

Lereng landai curam menengah (topografi


bergelombang

bergelombang
kuat),
perajangan lemah menengah

D2

Lereng dan perbukitan


denudasional

Lereng curam menengah curam (topografi


bergelombang kuat berbukit), perajangan
menengah tajam

D3

Perbukitan dan
pegunungan
denudasional

Lereng berbukit curam sangat curam sampai


topografi pegunungan, perajangan menengah
tajam

D4

Bukit sisa pelapukan dan


erosi (residual
hills/inselbergs)

Lereng berbukit curam sangat curam,


perajangan
menengah.
(Bornhardts
=
membulat, curam dan halus, Monadnocks =
memanjang, curam; bentuk tidak teratur dengan
atau tanpa block penutup, Tros = timbunan dari
batuan induk/asal

D5

Dataran (peneplains)

Hampir datar, topografi bergelombang lemah


kuat perajangan lemah

D6

Dataran yang
terangakat /dataran tinggi

Hampir datar, topografi bergelombang lemah


kuat perajangan lemah menengah
Page 3

(upwarped
peneplains/plateaus )
Kaki lereng (foot slopes)

Lereng relatif pendek, mendekati horisontal


landai, hampir datar, topografi bergelombang
lemah, perajangan lemah

D8

Piedmonts

Lereng landai menengah, topografi


bergelombang lemah kuat pada kaki
perbukitan dan sone pegunungan yang
terangkat, terajam menengah

D9

Gawir (scarps )

Lereng curam sangat curam, terajam


menengah - tajam

D10

Rombakan lereng dan


kipas (scree slopes and
fans)

Lereng landai curam, terajam lemah tajam

D11

Daerah gerakan massa

Tidak beraturan, lereng menengah curam,


topografi bergelombang lemah perbukitan,
terajam menengah (slides, slump and flows)

D12

Daerah tandus dengan


puncak runcing
(badlands)

Topografi dengan lereng curam sangat curam,


terajam menengah (knife edged, round
crested and castellite types)

D7

Tabel 2.3. Klasifikasi unit geomorfologi bentukan asal oleh proses fluvial (F), (van
Zuidam, 1983).
Kode

Unit

Karakteristik Umum

F1

River beds

Hampir datar, topografi tidak teratur dengan


garis batas permukaan air yang bervariasi
mengalami erosi & bagian yang terakumulasi.

F2

Lakes

Tubuh air.

F3

Flood plains

F4

Fluvial levees, alluvial


ridges and point bar

F5

Swamps, fluvial basin

F6

Fluvial terraces

Hampir datar, topografi tidak teratur lemah,


banjir musiman.
Topografi dengan lereng landai, berhubungan
erat dengan peninggian dasar oleh akumulasi
fluvial.
Topogarafi landai-hampir landai ( swamp tree
vegetation )
Topogarafi dengan lereng hampir datar-landai,
terajam lemah menengah

Page 4

F7
F8

Active alluvial fans

Lereng landai-curam menengah, biasanya


banjir dan berhubungan dengan paninggian
dasar oleh akumulasi fluvial.

Inactive alluvial fans

Lereng landai curam menengah, jarang banjir


dan pada umumnya terajam lemah menengah

2.1.1.2 Pola Pengaliran


Penentuan pola pengaliran pada daerah penelitian berdasarkan klasifikasi
Howard (1967, dalam van Zuidam, 1983) (Gambar 2.3). Pola - pola pengaliran
yang berhubungan erat dengan topografi, litologi, struktur dan curah hujan,
merupakan sifat - sifat yang paling penting untuk klasifikasi bentang alam. Pola
pengaliran (drainage pattern) merupakan suatu pola dalam kesatuan ruang yang
merupakan hasil penggabungan dari beberapa individu sungai yang saling
berhubungan suatu pola dalam kesatuan ruang (Thornbury, 1969). Perkembangan
dari pola pengaliran dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah
kemiringan lereng, perbedaan resisten batuan, proses gunung api Kuarter, serta
sejarah dan stadia geomorfologi dari cekungan pola aliran (drainage basin).
1. Dendritic, berbentuk serupa cabang-cabang pohon (pohon oak), dan
cabang-cabang sungai (anak sungai) berhubungan dengan sungai induk
membentuk sudut-sudut yang runcing. Biasanya terbentuk pada batuan
yang homogen dengan sedikit atau tanpa pengendalian struktur. Contoh
pada batuan beku atau lapisan horisontal.
2. Parallel, pola aliran yang mempunyai arah relatif sejajar, mengalir pada
daerah dengan kemiringan lereng sedang sampai curam, dapat pula pada
daerah dengan morfologi yang paralel dan memanjang. Pola ini

Page 5

mempunyai kecenderungan berkembang ke arah dendritik atau trellis.


Contoh : Pada lereng-lereng gunungapi atau sayap antiklin.
3. Trellis, menyerupai bentuk tangga dan sungai-sungai sekunder (cabang
sungai) membentuk sudut siku-siku dengan sungai utama, mencirikan
daerah pegunungan lipatan (antiklin, sinklin) dan kekar.
4. Rectangular, pola aliran yang dibentuk oleh pencabangan sungai-sungai
yang membentuk sudut siku-siku, lebih banyak dikontrol oleh faktor
kekar-kekar yang saling berpotongan dan juga sesar.
5. Radial, pola ini dicirikan oleh suatu jaringan yang memancar keluar dari
satu titik pusat, berasosiasi pada kubah, tubuh gunungapi dan pada tipetipe bukit kerucut/conical hills yang terisolasi.
6. Annular, bentuknya melingkar mengikuti batuan lunak suatu kubah yang
tererosi puncaknya atau struktur basin dan mungkin intrusi stock, bertipe
subsekuen, cabangnya dapat obsekuen atau resekuen.
7. Multibasinal, pola yang terbentuk oleh banyaknya cekungan-cekungan
atau danau-danau kecil, biasanya terbentuk pada daerah rawa atau karst
topografi.
8. Contorted, merupakan pola yang berbentuk tidak beraturan, kadang
terlihat ada pola trellis. Biasanya berkembang di daerah metamorf yang
bertekstur kasar, batuan beku atau pada batuan berlapis yang memiliki
resistensi yang sama.
9.

A. Pola aliran dasar

B. Pola aliran ubahan

Page 6

10.

Gambar 2.1. Jenis - jenis pola aliran sungai menurut Howard (1967, dalam
Thornbury, 1969).
2.1.1.3 Proses Geomorfologi
Untuk menentukan stadia geomorfologi suatu daerah, maka sangat penting
memperhatikan berbagai aspek seperti proses pelarutan, denudasional dan stadia
sungai yang telah terbentuk. Penentuan stadia daerah pada dasarnya untuk
mengetahui proses - proses geologi yang telah berlangsung pada daerah tersebut.
Proses tersebut bisa berupa proses endogen (sesar, lipatan, intrusi, magmatisme )
dan proses eksogen (erosi, pelapukan, transportasi). Stadia daerah penelitian
dikontrol oleh litologi, struktur geologi dan proses geomorfologi. Perkembangan
stadia daerah pada dasarnya menggambarkan seberapa jauh morfologi daerah
telah berubah dari morfologi aslinya.

Page 7

a) Stadia Sungai
Stadia sungai dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti : tingkat
erosi, baik erosi vertikal maupun erosi horizontal, jenis batuannya, kemiringan
lereng, kedalaman, iklim, aktivitas organisme dan waktu. Menurut Thornbury
(1969), tingkat stadia sungai dapat dibagi menjadi tiga stadia yaitu stadia muda,
dewasa dan tua. Stadia muda dicirikan dengan sungai sangat aktif dan erosi
berlangsung cepat, erosi vertikal lebih besar daripada erosi lateral, lembah
berbentuk V, tidak terdapat dataran banjir, gradien sungai curam, ditandai dengan
adanya jeram dan air terjun, arus sungai deras, bentuk sungai relatif lurus. Stadia
dewasa, dicirikan oleh kecepatan aliran berkurang, gradien sungai sedang, dataran
banjir mulai terbentuk, mulai terbentuk meander sungai, erosi kesamping lebih
kuat dibanding erosi vertikal pada tingkat ini sungai mencapai kedalaman paling
besar. Stadia tua, dicirikan oleh kecepatan aliran makin berkurang, pelebaran
lembah lebih kuat dibanding pendalaman sungai, dataran banjir lebih lebar
dibanding sabuk meander, lembah berbentuk U, tanggul alam lebih umum
dijumpai daripada ketika sungai bertingkat dewasa.
b) Stadia Daerah
Untuk menentukan stadia geomorfologi suatu daerah, maka sangat erat
hubungannya dengan proses pelarutan, denudasional dan stadia sungai yang telah
terbentuk. Stadia erosi juga akan menentukan stadia geomorfologi suatu daerah.
Hal ini semua dapat ditafsirkan dari ciri - ciri morfologi, sub satuan geomorfologi,
pola aliran sungai dan ciri - ciri yang lainnya.
Menurut Lobeck (1939), stadia daerah dibagi menjadi tiga dan mempunyai
ciri tersendiri (Gambar 2.2) dan (Gambar 2.3) , yaitu stadia muda, stadia dewasa

Page 8

dan stadia tua. Stadia muda dicirikan oleh dataran yang masih tinggi dengan
lembah sungai yang relatif curam dimana erosi vertikal lebih dominan, gradien
sungai besar, arus sungai deras, lembah berbentuk V, terkadang dijumpai air terjun
dan danau, kondisi geologi masih orisinil atau umumnya belum mengalami proses
deformasi. Stadia dewasa akan dicirikan oleh lembah sungai yang membesar dan
dalam dari sebelumnya, reliefnya menjadi lebih curam, gradien sungai sedang,
aliran sungai berkelok-kelok, terdapat meander, umumnya tidak dijumpai air
terjun maupun danau, erosi vertikal berimbang dengan erosi lateral, lembahnya
berbentuk U. Stadia tua dicirikan permukaan relatif datar, aliran sungai tidak
berpola, sungai berkelok dan menghasilkan endapan di kanan kiri sungai,
terbentuk pulau-pulau tapal kuda, arus sungai tidak kuat dan litologi relatif
seragam. Urutan proses mulai dari stadia muda sampai stadia tua dapat kembali
berulang menjadi seperti stadia muda lagi apabila terjadi peremajaan ulang
(rejuvenation)
Proses peremajaan ulang (rejuvenation) terbentuk apabila pada daerah
yang sudah mengalami stadia tua terjadi suatu proses epirogenesis atau
orogenesis, maka daerah dengan stadia tua tersebut terangkat kembali. Daerah
yang terangkat ini akan tersayat lagi oleh proses eksogenik maupun oleh
sungai-sungai yang mengalir di daerah tersebut. yang mengakibatkan perubahan
bentukan stadia morfologi menjadi stadia muda dengan tingkat erosi daerah muda.

Page 9

Gambar 2.2. Stadia daerah menurut Lobeck (1939 dalam Encyclopaedia


Britania,Inc, 1994).

Gambar 2.3. Stadia daerah menurut Lobeck, 1939 (dalam Srijono dkk, 2011)

Page 10

2.1.2 Peta Geologi


Pembuatan

peta

geologi

menggunakan

metode

pengelompokan

penyebaran batuan hasil pemetaan geologi didaerah penelitian yang berdasarkan


ciri litologi yang dominan dan dapat dikenali dilapangan. Metode pengelompokan
lapisan - lapisan batuan hasil pemetaan geologi di daerah penelitian dilakukan
berdasarkan konsep litostratigrafi dan stratigrafi gunung api namun lebih
menekankan pada aspek litostratigrafi.
Metode pengelompokan batuan hasil pemetaan geologi di daerah
penelitian dilakukan berdasarkan ciri-ciri litologi yang ada di daerah penelitian
yang

kemudian

disebandingkan

dengan

stratigrafi

regional.

Pembagian

berdasarkan litostratigrafi dimaksudkan untuk menggolongkan batuan di bumi


secara bersistem menjadi satuan satuan bernama yang bersandi pada ciri litologi
dominan yang dapat dikenali di lapangan. Pengelompokan dengan sistem
penamaan satuan batuan tidak resmi tercantum dalam Sandi Stratigrafi Indonesia
pada Bab II pasal 14 (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996).
Pengelompokan batuan berdasarkan stratigrafi gunung api tercantum
dalam Sandi Stratigrafi Indonesia pada Bab III pasal 26 dan pasal 27 (Martodjojo
dan Djuhaeni, 1996). Pembagian stratigrafi gunungapi dimaksudkan untuk menata
batuan/endapan gunungapi berdasarkan urutan kejadian agar evolusi pembentukan
gunungapi mudah dipelajari dan dimengerti. Pembagian batuan/endapan
gunungapi dimaksudkan untuk menggolongkan batuan/endapan secara bersistem
berdasarkan sumber, deskripsi, dan genesa.
Penarikan batas satuan batuan dilakukan dengan cara interpolasi dan
ekstrapolasi. Hal tersebut memperhatikan keadaan dan karakteristik singkapan

Page 11

yang dijumpai di lapangan dengan mempertimbangkan logika dan konsep geologi


yang diaplikasikan di lapangan. Untuk memperkirakan batas satuan yang tidak
tegas, dilakukan pendekatan hukum V (Gambar 2.4). Hukum ini menyatakan
hubungan antara lapisan yang mempunyai kemiringan dengan relief topografi
yang

menghasilkan

suatu

pola

singkapan. Morfologi yang berbeda akan

memberikan pola singkapan yang berbeda meskipun dalam lapisan dengan tebal
dan dip yang sama. Hukum V digunakan untuk mengetahui pola penyebaran dari
singkapan sehingga memudahkan untuk mendeterminasi kearah mana kira-kira
singkapan berlanjut. Hukum tersebut sebagai berikut :

Gambar 2.4 Ekspresi Hukum V yang menunjukkan hubungan kedudukan


lapisan dengan morfologi.

Page 12

a. Lapisan horisontal akan membentuk pola singkapan yang mengikuti pola


garis kontur (Gambar 2.4.a).
b. Lapisan dengan dip berlawanan arah dengan slope akan membentuk pola
singkapan berbentuk huruf "V" yang memotong lembah dimana pola
singkapannya berlawanan dengan arah kemiringan lembah (Gambar 2.4.b).
c. Lapisan tegak akan membentuk pola singkapan berupa garis lurus, dimana
pola singkapan ini tidak dipengaruhi oleh keadaan topografi (Gambar 2.4.c).
d. Lapisan dengan dip searah dengan arah slope dimana dip lapisan lebih besar
dari pada slope, akan membentuk pola singkapan dengan huruf V"
mengarah sama (searah) dengan arah slope (Gambar 2.4.d).
e. Lapisan dengan dip searah dengan slope dan besarnya dip sama dengan
slope, maka pola singkapannya terpisah oleh lembah (Gambar 2.4.e.)
f. Lapisan dengan dip yang searah dengan slope, dimana besar dip lebih
kecil dari slope, maka pola singkapannya akan membentuk huruf "V"
yang berlawanan dengan arah slope (Gambar 2.4.f).
Metode stratigrafi daerah penelitian menggunakan Sandi Stratigrafi
Indonesia (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996).

Metode pengelompokan satuan

batuan hasil pemetaan geologi di daerah penelitian dilakukan berdasarkan konsep


litostratigrafi yaitu pembagian batuan di bumi secara bersistem menjadi satuansatuan bernama yang bersandi pada ciri litologi yang dominan yang dapat dikenali
di lapangan dan sistem penamaan satuan batuan yang digunakan adalah konsep
litostratigrafi (tidak resmi). Dalam penarikan batas satuan batuan dilakukan

Page 13

dengan cara interpolasi berdasarkan data yang diperoleh peneliti dan ekstrapolasi
yang berdasarkan data peneliti terdahulu.
Pembuatan peta geologi menggunakan metode pengelompokan penyebaran
batuan hasil pemetaan geologi didaerah penelitian, berdasarkan ciri litologi yang
dominan yang dapat dikenali dilapangan. Metode pengelompokan batuan hasil
pemetaan geologi di daerah penelitian dilakukan berdasarkan konsep
litostratigrafi (tidak resmi).
2.1.3 Geologi Struktur
Analisis struktur geologi diawali dengan analisis pemerian unsur-unsur
struktur yang dimaksudkan untuk mengidentifikasikan jenis, kedududukan dan
orientasi sekaligus dimensi dari unsur struktur yang ada. Tujuan dari analisis
struktur adalah untuk memahami tektonik daerah penelitian. Hasil pengukuran
kedududukan lapisan batuan dan beberapa indikasi lapisan struktur, dapat
dianalisis untuk diketahui adanya struktur geologi, baik struktur mayor maupun
minor sebagai hasil dari proses geologi yang bekerja, model (Moody and Hill,
1956). Model ini pada dasarnya membagi patahan menjadi beberapa orde.
(Gambar 2.5).

Page 14

Gambar 2.5. Orde Sesar (Moody and Hill, 1956 )


Lipatan merupakan hasil perubahan bentuk suatu bahan yang
ditunjukkan sebagai lengkungan atau kumpulan lengkungan pada unsur garis
atau bidang di dalam bahan tersebut, yang disebabkan oleh dua macam
mekanisme gaya yaitu buckling (melipat) dan bending (pelengkungan)
(Gambar 2.6 dan Gambar 2.7).

Gambar 2.6. Mekanisme gaya yang menyebabkan terbentuknya suatu


lipatan (Prastistho, 1993)

Gambar 2.7. Bagian-bagian dari suatu lipatan (Prastistho, 1993).

Page 15

Analisis petrologi dilakukan berdasarkan pengamatan dilapangan dan


analisis petrografi. Analisis petrografi yaitu analisis sayatan tipis batuan dibawah
mikroskop untuk melihat mineral-mineral penyusun batuan tersebut dan
melakukan pemerian nama batuan tersebut.
2.2.

Tahapan Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dalam suatu sistem alur penelitian

yang meliputi Input, Proses dan Hasil (Gambar 2.8). Alur penelitian ini secara
umum di bagi menjadi dua tahap yang terdiri dari Tugas Akhir I dan Tugas Akhir
II. Tugas Akhir 1 meliputi Input yang terdiri dari pendahuluan (studi pustaka,
penyiapan peta dasar dan perijinan) dan reconnaissance (pengenalan medan dan
mengetahui keadaan singkapan), proses terdiri dari pengurusan surat izin ke
Pemda Propinsi Jawa Tengah, Kabupaten Purbalingga, kemudian melakukan
digitasi peta, survei awal, perhitungan morfometri, interpretasi awal daerah
penelitian dan penyusunan laporan Tugas Akhir I, selanjutnya akan mendapatkan
hasil berupa peta lokasi pengamatan, peta geomorfologi tentatif, peta geologi
tentatif dan laporan Tugas Akhir I.
Tahapan selanjutnya yaitu Tugas Akhir II terdiri dari input berupa
pemetaan rinci (perapatan data lapangan, pengukuran unsur - unsur struktur
geologi dan pengambilan contoh batuan), pekerjaan studio (identifikasi data
geomorfologi, stratigrafi dan data struktur geologi) dan pekerjaan laboratorium
(preparasi fosil dan sayatan tipis). Proses dari Tugas Akhir II ini meliputi
penelitian mengenai kondisi geologi rinci, sortasi lokasi pengamatan, analisis
geomorfologi, stratigrafi dan struktur geologi, pengukuran ketebalan dan
perhitungan volume komposisi batuan, pengelompokan satuan batuan, analisis
fosil dan petrografi serta penyusunan laporan Tugas Akhir II. Setelah melakukan

Page 16

proses - proses tersebut akan menghasilkan zona kisaran/umur, nama batuan, peta
lokasi pengamatan, peta geomorfologi, dan peta geologi, beserta laporan Tugas
Akhir II. Setelah semua tahap terlaksana, selanjutnya akan dipresentasikan pada
saat kolokium dan pandadaran di hadapan dosen penguji.

Gambar 2.8. Skema alur tugas akhir


2.2.1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan ini merupakan tahap paling awal dalam melakukan
penelitian. Adapun tahap persiapan ini meliputi :
1. Pengajuan lembar peta topografi daerah penelitian yang akan dipetakan.
2. Pengajuan permohonan pembimbingan dari Ketua Jurusan Teknik Geologi
Kepada Dosen Pembimbing.
3. Pengurusan Surat Tugas dari Ketua STTNAS untuk Dosen Pembimbing.
Page 17

4. Studi literatur, yakni dengan melakukan pengumpulan buku - buku pedoman


dan mengkaji satu - persatu sehingga dapat memperoleh suatu pendekatan
yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penyelesaian
masalah.
5. Penyusunan dan pengajuan Proposal Tugas kepada Dosen Pembimbing.
Dalam penyusunan proposal ini dilakukan juga interpretasi peta topografi
daerah penelitian dan hasil analisis tersebut merupakan analisis sementara
yang diharapkan dapat digunakan untuk mengetahui gambaran umum tentang
keadaan geologi daerah penelitian. Adapun keadaan atau aspek geologi yang
ditafsirkan antara lain :
a. Geomorfologi,
b. Jenis dan penyebaran satuan batuan,
c. Struktur geologi,
d. Sejarah geologi,
e. Geologi Lingkungan.
6. Perizinan dalam tahap ini dilakukan untuk mendapatkan izin dari pihak
terkait dalam melakukan kegiatan penelitian di daerah penelitian.
7. Melakukan persiapan alat - alat geologi dan alat - alat pendukung lainnya
sebelum melakukan penelitian di lapangan untuk memperlancar pekerjaan
lapangan.

2.2.2. Penelitian Lapangan Rinci

Page 18

Setelah tahap persiapan telah dilakukan, maka kegiatan selanjutnya yaitu


tahap penelitian lapangan. Tahap penelitian yang akan dilakukan di lapangan
terdiri dari :
1. Pemetaan geologi rinci, Pemetaan geologi secara rinci dimaksudkan
untuk memperoleh data geologi yang lebih rinci, dilakukan dengan cara
melewati lintasan yang melalui singkapan - singkapan batuan dan
pengambilan contoh batuan secara sistematis. Pemetaan geologi detail ini
bertujuan untuk mendapatkan data secara langsung di lapangan yang meliputi
unsur litologi dan penyebarannya, struktur geologi, keadaan dan pola
singkapan yang dapat diketahui, pola penyebaran batuan dan geologi
lingkungan yang ada di daerah penelitian.
2.

Checking lapangan dengan dosen pembimbing yang bertujuan untuk


mengecek hasil kerja lapangan yang dilakukan peneliti.

3. Re - Mapping atau pemetaan oleh peneliti untuk melengkapi data yang masih
kurang atau yang disarankan pembimbing.
2.2.3. Penelitian Studio dan Laboratorium
Tahapan penelitian studio dan laboratorium ini meliputi tahapan setelah
pengambilan data lapangan. Tahapan meliputi pengelolahan data berupa bentang
alam, kelerengan, erosi, contoh batuan dan data struktur geologi yang ada di
lapangan telah terkumpul dan memenuhi syarat untuk kemudian dilakukan
analisis petrografi, mikropaleontologi, morfologi dan analisis struktur geologi,
untuk menunjang analisis data yang diperoleh secara langsung dari lapangan
daerah penelitian.
2.2.4. Penyusunan Laporan Tugas Akhir
Page 19

Setelah dilakukan pengolahan data, analisis data, interpretasi data dan


penarikan kesimpulan terhadap aspek geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi
dan sejarah geologi yang diwujudkan dalam bentuk peta lokasi pengamatan, peta
geomorfologi, dan peta geologi Maka dilanjutkan dengan pengetikan naskah
laporan yaitu semua data berupa analisis lapangan, laboratorium dan studio
dituangkan dalam bentuk tulisan ilmiah.
2.2.5. Tahap Presentasi
Tahap ini merupakan tahap akhir dari seluruh rangkaian kegiatan
penelitian. Pada tahap ini laporan yang telah disusun dalam bentuk skripsi
dipresentasikan di hadapan sidang tertutup untuk mempertanggungjawabkan hasil
penelitian yang telah dilakukan.
2.3

Peralatan yang digunakan.


Peralatan yang diperlukan untuk mendukung kelancaran dalam pekerjaan

lapangan ini adalah :


1.

Peta Rupabumi Digital Indonesia lembar Manyaran 1408 323 (Selatan) dan Eromoko 1408 - 321 (Utara).

2.

Peta Geologi Regional lembar Surakarta-Giritontro, skala


1 : 100.000

3.

Kompas geologi

4.

Global Positioning System (GPS)

5.

Palu geologi

6.

Kaca pembesar ( loupe )

7.

Larutan HCl 0,1 N

8.

Roll meter
Page 20

9.

Kamera

10.

Plastik sampel batuan

11.

Alat tulis dan gambar serta buku lapangan

12.

Jas hujan.

Page 21

Anda mungkin juga menyukai