Dokumen - Tips Bab I Gadar
Dokumen - Tips Bab I Gadar
ILUSTRASI KASUS
JAKARTA--MICOM:- Lutfie Hakim, salah satu penasihat hukum kelima
terdakwa kasus pembunuhan nasabah Citibank, Irzen Octa mengatakan bahwa
ada rekayasa dari hasil otopsi tubuh Irzen Octa yang dilakukan oleh ahli forensik
Abdul Mun'im Idris. Penegasan itu disampaikan oleh Lutfie ketika ditemui di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (31/10). Ia mengatakan bahwa ada
perbedaan antara hasil otopsi yang dilakukan oleh Mun'im Idris dengan Ade
Firmansyah Sugiharto yang merupakan dokter spesialis forensik Departemen
Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal RS Cipto Mangunkusumo. "Jelas
otopsi yang dilakukan oleh Mun'im Idris setelah 22 hari pasca meninggalnya
Irzen Octa adalah hasil otopsi yang tidak orisinil lagi. Itu merupakan hasil
rekayasa," tegasnya. Lebih lanjut, Ia menjelaskan hasil otopsi dari Dokter Ade
Firmansyah yang dilakukan pada tanggal 29 Maret 2011 sudah memberikan hasil
otopsi yang jelas. "Dalam otopsi itu sudah jelas disebutkan bahwa kematian
saudara Irzen Octa adalah akibat pecahnya pembuluh darah di bagian bawah
batang otak, bukan karena kekerasan baik oleh benda tumpul maupun benda
tajam seperti yang dikatakan oleh Mun'im Idris," tegasnya.
Dikutip dari :
http://www.mediaindonesia.com/read/2011/10/31/272541/38/5/PengacaraTuding-Otopsi-Dokter-Munim-Direkayasa
BAB II
FAKTA BIOMEDIS
Selaras
berkembangnya
ilmu
kedokteran
dengan
perkembangan
dilakukan di rumah sakit yang disiapkan untuk melakukan aoutopsi. Otopsi klinis
harus dilakukan sesuai dengan standar pemeriksaan otopsi dengan membuka
rongga kepala dada dan perut serta melakukan pemeriksaan penunujang untuk
memastikan sebab kematian. Pada otopsi klinis sebagian organ diambil jika
dipandang prlu untuk melakukan pemeriksaan penunjang. Tidak lengkapnya
pelaknsanaan otopsi menyebabkan tidak dapat ditentukannya sebab kematian.
Otopsi klinis dilaksanakan setelah ada permintaan dan persetujuan secara
tertulis dari pasien sendiri sebelum meninggal atau keluarga terdekat atau yang
mewakilinya secara hukum. Otopsi klinis juga dapat diajukan oleh institusi
pelayanan kesehatan, institusi pendidikan dan penelitian atau otorita kesehatan
RI dengan persetujuan pasien sendiri atau luarga dekatnya yang mewakili secara
hukum.
Hasil otopsi dicatat dalam sebuah laporan otopsi (otopsi report) yang
dimasukan dalam rekam medis dan dapat diketahui oleh keluarga dan pihak
pemita dengan memperhatkan batasan rekam medis yang diatur dalam
permenkes 269/menkes/per/ 2008 tentag rekam medis.
FAKTA BIOETIKA
Bioetika berasal dari bahasa yunani bios yang artinya kehidupan dan
ethos yang artinya norma-norma atau nilai-nilai moral. Bioetika ialah studi
interdisipliner terkait masalah yang timbul akibat perkembangan dalam bidang
biologi serta ilmu kedokteran baik secara skala mikro maupun makro, saat ini
dan di masa yang datang. isu-isu sosial, agama, ekonomi, dan hukum bahkan
politik itu semua tercakup dalam bioetik. Bioetika membicarakan bidang medis,
seperti abortus, euthanasia, transplantasi organ, teknologi reproduksi butan, dan
rekayasa genetik, membahas pula masalah kesehatan, faktor budaya yang
berperan dalam lingkup kesehatan masyarakat, hak pasien, moralitas
penyembuhan tradisional, lingkungan kerja, demografi, dan sebagainya termasuk
otopsi didalamnya.
A.
kerugian yang dialami dokter (7) tidak membahayakan pasien karena kelalaian
(8) tidak melakukan White Collar Crime
Justice
Keadilan
(Justice)
merupakan
prinsip
dimana
seorang
dokter
memperlakukan sama pasien rata dan adil terhadap untuk kebahagiaan dan
kenyamanan pasien tersebut. Perbedaan status ekonomi, pandangan terhadap
politik, agama yang dianut, perbedaan kedudukan sosial, kebangsaan, dan
kewarganegaraan tidak mengubah sikap seorang dokter terhadap pasiennya.
Justice mempunyai ciri-ciri : (1) memberlakukan segala sesuatu hal secara
universal (2) mengambil porsi terakhir dari proses pembagian yang telah ia
lakukan (3) menghargai hak sehat pasien (4) menghargai hak hukum pasien
Autonomy
Pada prinsip otonomi seorang dokter menghormati martabat manusia.
Setiap individu diperlakukan sebagai manusia yang memiliki hak menentukan
nasib diri sendiri. Dalam hal ini pasien diberi hak untuk berfikir secara logis dan
menentukan keputusan yang akan diambil sendiri. Autonomy bertujuan
menghendaki, menyetujui, membenarkan, membela, dan membiarkan pasien
demi dirinya sendiri. Autonomy memiliki ciri-ciri: (1) menghargai hak
menentukan pasien untuk menentukan nasibnya sendiri, (2) berterus terang dan
menghargai privasi (3) menjaga rahasia pasien (4) melakukan Informed Consent.
Aspek etik pada kasus otopsi yaitu berdasarkan prinsip Beneficence
dimana dokter melakukan otpsi untuk suatu kemaslahatan dan prinsip autonomy
dimana keputusan otopsi dilakukan atas izin pasien sendiri ketika masih hidup
atau keluarga yang mewakilinya secara hukum.
Beberapa jenis penelitian pada orang yang baru saja meninggal yang
diperbolehkan dalam prinsip kebutuhan jika penelitian tersebut menghasilkan
pengobatan yang lebih baik yan gmemenuhi tujuan hukum kedua, menjaga
kesehatan, ahli patologi forensic
Seorang hakim wajib memutuskan perkara hukum dengan benar dan adil.
Dan untuk dapat menentukan hukum secara benar dan adil diperlukan bukti-bukti
yang sah dan akurat. Otopsi forensik adalah salah satu wasilah, cara atau media
untuk menemukan bukti. Melihat beberapa alasan yang telah dikemukakan di
atas, dapat disimpulkan bahwa otopsi anatomis, klinis dan forensik hukumnya
adalah mubah (boleh) karena mempunyai tujuan yang tidak bertentangan dengan
prinsip ajaran Islam. Adapun otopsi yang dilakukan dengan tujuan yang tidak
benar, itu diharamkan sebagaimana yang telah dijelaskan keterangannya oleh
pendapat yang pertama.
Penggunaan mayat sebagai objek penelitian termasuk hal yang baru yang
jawabannya tidak dipandu langsung oleh Al-Quran nul Karim dan hadis
Rasulullah (nash). Padanan eksplisit (Qiyas) dalam hadist juga tidak ditemukan.
Sehingga tidak bisa menggunakan metode qiyas (analogi). Kasus seperti ini
dalam ilmu fikih, solusinya dicari dengan menggunakan metode takhrij. Yaitu
mencari analogi pada aturan norma hukum yang dihasilkan melalui ijtihad karena
tidak dipaparkan langsung dalam hadist Rasulullah (Nash).
Dalam literatur fikih kontemporer, ada dua model pendapat. Pertama,
pandangan mufti Mesir, Yusuf Ad-Dajwi, yang berkesimpulan bahwa praktek
demikian itu boleh (jawaz). Kedua, pendapat mufti Mesir yang lain, Muhammad
Bukhet al-Mithi, bahwa bedah jenazah hanya boleh untuk dua keperluan:
mengambil harta orang, misalnya permata, yang tersimpan di perut jenazah, dan
menyelamatkan janin di perut ibunya yang meninggal. Bila untuk penelitian,
katanya, tidak boleh (la yajuuz).
Pandangan keduanya merupakan hasil takhrij atas kajian pada ulama
klasik. Berupa bahasan tentang hukum bedah mayat pada dua kasus: mengambil
permata yang tersimpan di perut jenazah dan menyelamatkan janin. Dalam kasus
mengambil harta dalam perut jenazah, ahli fikih mazhab Hanafi berpendapat
boleh bila almarhum atau almarhumah tidak meninggalkan harta yang dapat
dijadikan ganti. Sebab hak manusia harus didahulukan di atas hak Allah.
Dalam mazhab Syafii, menurut pendapat yang masyhur, hal itu dapat
dilakukan secara mutlak. Begitu pula pendapat Imam Sahnun al-Maliki.
Sedangkan Ahmad bin Hanbal tidak membenarkan. Dalam kasus mengambil
janin, ahli fikih mazhab Hanafi dan Syafii berpendapat mubah. Sedangkan
mazhab Maliki dan Hanbali melarang.
Perbedaan itu berpangkal pada perbedaan memahami hadis Nabi kepada
penggali kubur agar tidak merusak tulang-belulang yang didapatkan dari
kuburan. Engkau jangan merusak tulang itu, karena merusak tulang seseorang
yang telah meninggal sama dengan merusak tulang seseorang yang masih
hidup, sabda Nabi, diriwayatkan Malik, Ibnu Majah, dan Abu Daud dengan
sanad yang sahih.
Pendapat yang melarang operasi perut jenazah berasal dari pemahaman
hadist itu secara mutlak, dalam kondisi apapun. Sedangkan alasan pendapat yang
membolehkan adalah darurat, seperti menyelamatkan janin dan mengambil harta.
Syekh Abdul Majid Sulem, mufti Mesir yang lain, dalam al-Fatawa al-Islamiyah,
berkomentar terhadap hadist tadi. Menurutnya, hadis itu berlaku bila tidak ada
kemaslahatan lebih krusial (maslahah rajihah). Bila ada kemaslahatan lebih
krusial yang ingin diraih, seperti menyelamatkan janin, maka termasuk
pengecualian.
Fatwa MUI Nomor 19, tanggal 5 Februari 1988, menyebutkan bahwa
penyelidikan ilmiah terhadap mayat tidak dilarang oleh Islam. Setelah dipakai
penyelidikan, mayat itu wajib dikuburkan. Pandangan MUI, 20 tahun silam, itu
sejalan dengan fatwa Yusuf Ad-Dajwi.
Komisi Fatwa MUI, membuat keputusan dengan beberapa klausul:
Pertama, hukum asal pengawetan jenazah adalah haram. Sebab jenazah manusia
itu terhormat, sekalipun sudah meninggal. Orang yang hidup wajib memenuhi
hak-hak jenazah. Salah satunya, menyegerakan jenazah dikuburkan.
Kedua, pengawetan jenazah untuk penelitian dibolehkan, tapi terbatas
(muqoyyad). Dengan ketentuan, penelitian itu bermanfaat untuk pengembangan
keilmuan dan mendatangkan maslahat lebih besar: memberikan perlindungan
jiwa. Bukan untuk praktek semata.
Ketiga, sebelum pengawetan, hak-hak jenazah muslim harus dipenuhi. Misalnya
dimandikan, dikafani, dan disalati. Pengawetan jenazah untuk penelitian harus
dilakukan dalam batas proporsional, hanya untuk penelitian. Jika penelitian telah
selesai, jenazah harus segera dikuburkan sesuai dengan ketentuan syariat Islam.
BAB III
PEMBAHASAN
Definisi otopsi atau nekropsi digunakan
pembedahana (DISSECTION) dan pemeriksaan
untuk
mayat
mengacu pada
utnuk menentuka
penyebab kematian. Hal ini dilakukan untuk tujuan hukum atau pendidikan.
Ditinjau dari aspek tujuannya, bedah mayat (otopsi) dapat bagi dalam tiga
kelompok, yaitu:
Otopsi Anatomis adalah pembedahan mayat dengan tujuan menerapkan
teori yang diperoleh mahasiswa kedokteran atau peserta didik kesehatan lainnya
sebagai bahan praktikum tentang teori ilmu urai tubuh manusia (anatomi).
Otopsi Klinis adalah pembedahan terhadap mayat yang meninggal di
rumah sakit setelah mendapat perawatan yang cukup dari para dokter.
Pembedahan ini dilakukan dengan tujuan mengetahui secara mendalam sifat
perubahan suatu penyakit setelah dilakukan pengobatan secara intensif terlebih
dahulu serta untuk mengetahui secara pasti jenis penyakit yang belum diketahui
secara sempurna selama ia sakit.
Otopsi Forensik adalah pembedahan terhadap mayat yang bertujuan
mencari kebenaran hukum dari suatu peristiwa yang terjadi, misalnya dugaan
pembunuhan, bunuh diri, kecelakaan, dan lain-lain. Pembedahan seperti ini
biasanya dilakukan atas permintaan pihak kepolisian atau kehakiman untuk
memastikan sebab kematian seseorang. Hail visum dokter (visum et repertum)
ini akan mempengaruhi keputusan hakim dalam menentukan suatu perkara.
Tujuan otopsi : pemeriksaan setelah kematian mempunyai bebrapa
tujuan. Hal ini bisa dilakukan untuk tujuan riset ilmiah untuk memahami
sejarah alam, komplikasi dan pengobatan penyakit. Hal ini dapat dilakukan
untuk pendidikan dokter dan murit kedokteran khususnya ketiaka mereka
membedakan diagnosa klinis dengan bukti dari otopsi suatu proses yang
biasanya disebut sebagai korelasi
kematian. Secara legal ,pengadilan bisa meminta bukti ilmiah dari penyebab
kematian untuk membuat keputusan menyangkut berbagai tanggungjawab
hukum.
Prosedur otopsi: langkah awal dari otopsi adalah pemeriksaan bagian
luar tubuh. Kemudian lubang tubuh (cavity) dibuka untuk memerikasai organ
dalam. Organ bisa diambil untuk pemeriksaan atau di perisksa in situ. Setelah
pemeriksaan
organ yan
dikembalikan dan
untuk
tujuan pendidikan
degan prinsip
Jawab : Ada perbedaan yang sangat tajam antara organ tubuh manusia dengan
organ tubuh binatang yang dengannya tidak mungkin dijadikan dasar dalam
belajar kedokteran. Sebagaimana dengan sangat jelas bagi mahasiswa fakultas
kedokteran. (Lihat secara lengkap pembahasan ini di Abhats Haiah Fatwa
Kibarul Ulama hal :48-67)
Namun kalau jasad yang di bedah itu mayat yang tidak mashum, maka itulah
yang lebih selamat. Berkata Syaikh Al Albani disela-sela ucapan beliau tentang
keharaman membongkar kuburan muslim :
Dengan ini terjawablah pertanyaan yang sering dilontarkan mahasiswa fakultas
kedokteran yaitu : Apakah boleh memecahkan tulang mayat untuk dijadikan
bahan penelitian kedokteran ?
Jawabnya : Tidak boleh dilakukan terhadap mayat muslim namun boleh
terhadap lainnya.
(Ahkamul Janaiz hal : 299)
Ada baiknya kita turunkan teks fatwa Haiah kibarul Ulama no 47 tanggal
20/8/1396 H tentang pandangan Haiah terhadap praktek otopsi dan pembedahan
mayat muslim untuk tujuan kemaslahatan medis.
Jawab
Adapun yang ketiga yaitu yang berhubungan dengan tujuan pendidikan medis,
maka memandang bahwa syariat islam datang dengan membawa serta
memperbanyak kemaslahatan dan mencegah serta memperkecil mafsadah
dengan cara melakukan mafsadah yang paling ringan serta maslahat yang paling
besar, juga karena tidak bisa diganti dengan membedah binatang juga karena
pembedahan ini banyak mengandung maslahat seiring dengan perkembangan
ilmu medis, maka majlis berpendapat bahwa secara umum diperbolehkan untuk
membedah mayat muslim. Hanya saja karena memang islam menghormati
seorang muslim baik hidup maupun mati sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu majah dari Aisyah bahwa Rosululloh
bersabda :
Mematahkan tulang mayit sebagaimana mematahkannya tatkala masih hidup.
Juga melihat bahwa bedah itu mengihanakan kehormatan jenazah muslim,
padahal itu semua bisa dilakukan terhadap jasad orang yang tidak mashum,
maka majlis berpendapat bahwa bedah tersebut harus Cuma dilakukan terhadap
mayat yang tidak mashum bukan terhadap mayat orang yang mashum. Wallahul
Muwaffiq.
Faedah :
Karena sedikit ada keterkaitan dengan masalah ini, maka kita bahas juga masalah
:
Hukum membongkar kuburan muslim
Hadits Aisyah diatas menunjukkan keharaman membongkar kuburan seorang
muslim karena akan bisa memecahkan tulangnya. (Lihat Ahkamul Janaiz Imam
Al Albani hal : 298)
Berkata Imam Nawawi :
Tidak boleh membongkar kuburan muslim tanpa ada sebab syarI. Dan
dibolehkan kalau ada ada sebab syari seperti kalau mayat dalam kuburan itu
sudah hancur dan berubah menjadi tanah. Kalau memang sudah demikian boleh
mengubur orang lain di situ juga boleh menanam tanaman atau membangun
bangunan atau lainnya jika sudah tidak lagi terdapat tulang belulang mayat disitu.
Dan untuk menentukan hal ini tergantung pada daerah masing-masing.
(Al Majmu :5/303)
DAFTAR PUSTAKA
At-Tuwaijri, S. Muhammad. 2009. Ringkasan Fiqih Islam (3). Terjemah Eko
Haryanto Abu Ziyad & Muzaffar Sahidu. Islamhouse.com
Bertens, K. 2005. Etika. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta
Guwandi, J. 2007. Hukum dan Kedokteran. Sagung Seto : Jakarta.
Hastuti, Dyah., Nasution, Khoirudin. 2011. Otopsi Aspek Hukum Islam.
Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga.
Idries, Abdul M. 2009. Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik Bagi
Praktisi Hukum. Sagung Seto : Jakarta.
Kasule, Omar Hasan. 2008. Islamic Medical Education Resources-05:Masalah
Etika Kedokteranhukum-Fiqh: Sebuah Perspektik Islam. Islamic Input In
The Medical Curriculum. Universitas Sultan Agung.
Mawardi, A. 2008. Hukum Operasi dan Bedah Mayat Menurut Islam. Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Media Indonesia.
http://www.mediaindonesia.com/read/2011/10/31/272541/38/5/Pengacar
a-Tuding-Otopsi-Dokter-Munim-Direkayasa
Yusuf, Ahmad SA. 2009. Hukum Bedah dan Otopsi Jenazah Muslim.
http://ahmadsabiq.com/2009/12/28/otopsi-bedah/