Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Beban Kerja
2.1.1 Pengertian Beban Kerja
Menurut Moekijat (2004) beban kerja adalah volume dari hasil kerja atau catatan
tentang hasil pekerjaan yang dapat menunjukan volume yang dihasilkan oleh
sejumlah pegawai dalam suatu bagian tertentu. Jumlah pekerjaan yang harus
diselesaikan oleh sekelompok atau seseorang dalam waktu tertentu atau beban
kerja dapat dilihat pada sudut pandang obyektif dan subyektif. Secara obyektif
adalah keseluruhan waktu yang dipakai atau jumlah aktivitas yang dilakukan.
Sedangkan beban kerja secara subyektif adalah ukuran yang dipakai seseorang
terhadap pernyataan tentang perasaan kelebihan beban kerja, ukuran dari tekanan
pekerjaan dan kepuasan kerja. Beban kerja perawat adalah seluruh kegiatan atau
aktivitas yang dilakukan oleh seorang perawat selama bertugas di suatu unit
pelayanan keperawatan (Marquis dan Huston, 2004).
Menurut Caplan & Sadock (2006) beban kerja sebagai sumber ketidakpuasan
disebabkan oleh kelebihan beban kerja secara kualitatif dan kuantitatif.
Kelebihan beban kerja secara kuantitatif meliputi:
a. Harus melakukan observasi penderita secara ketat selama jam kerja.
0.

Terlalu banyak pekerjaan yang harus dilakukan demi kesehatan dan


keselamatan penderita.

c. Beragam jenis pekerjaan yang dilakukan demi kesehatan dan keselamatan


penderita.

d.

Kontak langsung perawat klien secara terus menerus selama 24 jam.

e.

Kurangnya

tenaga perawat dibanding

jumlah penderita.

Sedangkan kelebihan beban kerja secara kualitatif mencakup:


a. Pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki tidak mampu mengimbangi
sulitnya pekerjaan.
0. Tuntutan keluarga untuk kesehatan dan keselamatan penderita.
a. Harapan pimpinan rumah sakit terhadap pelayanan yang berkualitas.
b. Setiap saat dihadapkan pada pengambilan keputusan yang tepat.
c.

Tanggung jawab yang tinggi dalam melaksanakan asuhan keperawatan


klien di ruangan.

d.

Menghadapi pasien yang karakteristik tidak berdaya, koma, kondisi


terminal.

g. Setiap saat melaksanakan tugas delegasi dari dokter


2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi beban kerja
Untuk memperkirakan beban kerja keperawatan pada sebuah unit pasien tertentu,
manajer harus mengetahui beberapa faktor yang mempengaruhi beban kerja
diantaranya (Caplan & Sadock, 2006);
a. Berapa banyak pasien yang dimasukkan ke unit perhari, bulan atau tahun.
b. Kondisi pasien di unit tersebut.
c. Rata-rata pasien menginap.
d. Tindakan perawatan langsung dan tidak langsung yang akan dibutuhkan
oleh masing-masing pasien.
e . Frekuensi masing-masing tindakan keperawatan yang harus dilakukan.

f. Rata-rata waktu yang diperlukan untuk pelaksanaan masing-masing


tindakan perawatan langsung dan tak langsung.
2.1.3 Prosedur Penghitungan Beban Kerja
Menurut Asri (2006), menyebutkan bahwa secara terperinci prosedur perhitungan
beban kerja tenaga dokter dan perawat dapat dibagi seperti langkah-langkah
sebagai berikut :
a. Mempersiapkan peralatan yang dipakai dalam perhitungan beban kerja.
Alat utama yang dipakai adalah :
1). Stop watch yaitu alat mengukur waktu.
0). Alat tulis yang digunakan untuk membuat catatan yang akan berguna
dalam pengukuran.
b. Menetapkan metode kerja yang akan digunakan dalam perhitungan beban kerja
terutama menetapkan metode standar seperti menyiapkan susunan tempat kerja
yang akan diteliti, peralatan dan lain-lain.
c. Memilih pekerja yang tepat, berpengalaman dan terlatih dalam bidangnya atau
disebut sebagai pekerja normal
d. Menyiapkan perlengkapan peralatan sehingga pengukuran tidak akan berhenti
di tengah jalan.
0. Memperhatikan dan mencatat actual time (waktu nyata) setiap pekerjaan.
a. Menghitung waktu normal.
g. Menetapkan waktu cadangan ( allowance).
h. Menetapkan waktu standar.
2.1.4 Pendekatan Penghitungan Beban Kerja

Seperti kita ketahui perawat merupakan proporsi tenaga yang paling besar di
rumah sakit, diperkirakan sekitar 70% personel adalah perawat (Ilyas, 2004).
Dengan dominannya jumlah perawat di rumah sakit , sejumlah peneliti, praktisi,
dan asosiasi telah melakukan riset untuk dapat menghitung tenaga perawat dengan
mengembangkan formula khusus untuk menghitung kebutuhan tenaga perawat.
a. Pendekatan Penghitungan Beban Kerja Berdasarkan Formula Gillies
Menurut Gilles (2006), membagi tindakan keperawatan menjadi tindakan
keperawatan langsung, tidak langsung, dan penyuluhan kesehatan. Arti umum
keperawatan langsung adalah perawatan yang diberikan anggota staf
keperawatan secara langsung kepada pasien tersebut dan perawatan tersebut
dihubungkan secara khusus kepada kebutuhan fisik dan psikologisnya.
Perawatan tidak langsung adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan atas nama
pasien tetapi di luar kehadiran pasien yang berhubungan kepada lingkungan
pasien atau keberadaan finansial dan kesejahteraan sosial si pasien, perawatan
tidak langsung termasuk kegiatan seperti perencanaan perawatan,
penghimpunan peralatan dan perbekalan, diskusi dengan anggota tim
kesehatan lain, penulisan dan pembacaan catatan kesehatan pasien, pelaporan
kondisi pasien kepada rekan kerja, dan menyusun sebuah rencana bagi
perawatan pasien. Pengajaran kesehatan mencakup semua usaha oleh anggota
staf keperawatan untuk memberitahu, dan memotivasi pasien dan keluarganya
menyangkut perawatan setelah keluar dari rumah sakit.
b. Pendekatan Penghitungan Beban Kerja Berdasarkan Formula Ilyas.
Ilyas (2004) mengkatagorikan tindakan keperawatan sebagai berikut :

1). Kegiatan langsung : semua kegiatan yang mungkin dilaksanakan oleh


seorang perawat terhadap pasien, misalnya menerima pasien, anamnesa
pasien, mengukur tanda vital, menolong BAB/BAK, merawat luka,
mengganti

balutan,

mengangkat

jahitan,

kompres,

memberi

suntikan/obat/imunisasi, penyuluhan kesehatan.


0). Kegiatan tidak langsung : setiap kegiatan yang dilakukan oleh perawat yang
berkaitan dengan fungsinya, tetapi tidak berkaitan langsung dengan pasien,
seperti : menulis rekam medik, mencari kartu rekam medis pasien, meng
up-date data rekam medis, dokumentasi asuhan keperawatan.
3). Kegiatan tambahan : kegiatan pribadi yaitu semua kegiatan yang berkaitan
dengan kepentingan perawat yang diamati seperti makan, minum, pergi ke
toilet : maupun bagian atau organisasi rumah sakit seperti menginput harga
obat, ngamprah obat.
Untuk menghitung beban kerja bukan sesuatu yang mudah. Selama ini
kecenderungan kita dalam mengukur beban kerja berdasarkan keluhan dari
personel bahwa mereka sangat sibuk dan menuntut diberikan waktu lembur (Ilyas,
2004). Sedangkan untuk menghitung beban kerja personel menurut Ilyas (2004)
ada tiga cara yang dapat digunakan yaitu :

a). Work Sampling


Tehnik ini dikembangkan pada dunia industri untuk melihat beban kerja yang
dipangku oleh personil pada suatu unit, bidang ataupun jenis tenaga tertentu.
Pada work sampling kita dapat mengamati sebagai berikut :

(1). Aktifitas yang sedang dikerjakan personil pada jam

kerja

(0). Kaitan antara aktifitas personil dengan fungsi dan tugasnya pada waktu jam
kerja.
(0). Proporsi waktu kerja yang digunakan untuk kegiatan produktif atau tidak
produktif
(1). Pola beban kerja personil dikaitkan dengan waktu dan schedule jam kerja.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam work sampling adalah sebagai berikut :
(1).Menentukan jenis personil yang diteliti
(2).Melakukan pemilihan sample bila jumlah personil banyak. Dalam tahap ini
dilakukan simple random sampling untuk mendapatkan presentasi populasi
perawat yang akan diamati.
(3). Membuat formulir daftar kegiatan perawat yang dapat diklasifikasikan
sebagai kegiatan produktif dan tidak produktif dapat dan juga kegiatan
langsung yang berkaitan dengan fungsi keperawatan dan kegiatan tidak
langsung.
(0). Melatih pelaksana peneliti tentang kegiatan penelitian.
(5). Mengamati kegiatan perawat dilakukan dengan interval 2-15 menit
tergantung kebutuhan peneliti.
(6). Pada work sampling yang diamati adalah kegiatan dan penggunaan
waktunya, tanpa memperhatikan kualitas kerjanya (Ilyas, 2004).
b). Study Time and Motion

Tehnik ini dilaksanakan dengan mengamati secara cermat kegiatan yang


dilakukan oleh personil yang sedang diamati. Pada time and motion study, kita
juga dapat mengamati sebagai berikut :
(1). Aktifitas

yang sedang

dikerjakan

personil pada jam kerja.

(2). Kaitan antara petugas personil dengan fungsi dan tugasnya pada waktu jam
kerja.
(3).Proporsi waktu kerja yang digunakan untuk kegiatan produktif atau tidak
produktif.
(4). Pola beban kerja personil dikaitkan dengan waktu dan schedule jam kerja.
Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam time and motion study adalah
sebagai berikut :
(1). Menentukan jenis personil yang diteliti.
(2). Menentukan sampel dari perawat yang akan diteliti dengan cara purposive
sampling
(0).Membuat formulir daftar kegiatan perawat yang dapat diklasifikasikan
sebagai kegiatan produktif atau tidak produktif dapat juga kegiatan langsung
yang berkaitan dengan fungsi keperawatan dan kegiatan tidak langsung.
(3). Melatih pelaksana peneliti tentang kegiatan penelitian.
(5). Pengamatan dapat dilakukan selama 24 jam (3 shift) secara terus menerus,
bagaiman perawat melakukan aktivitasnya dan bagaimana kualitasnya
menjadi faktor penting dalam time and motion study. Kualitas kerja dapat
dilihat dari kesesuian antara kegiatan yang dilakukan dengan standar profesi
(Ilyas, 2004).
c). Daily Log

Daily log merupakan bentuk sederhana dari work sampling, dimana orang-orang
yang diteliti menuliskan sendiri kegiatan dan waktu yang digunakan untuk
kegiatan tersebut. Penggunaan tehnik ini sangat tergantung pada kerjasama dan
kejujuran dari personel yang diteliti. Dengan meggunakan formulir kegiatan dapat
dicatat jenis kegiatan, waktu, dan lamanya kegiatan dilakukan.
c. Pendekatan Penghitungan Beban Kerja Menurut Douglas
Menurut Douglas tentang jumlah tenaga perawat di rumah sakit didapatkan
jumlah perawat yang dibutuhkan pada pagi, sore, dan malam tergantung pada
tingkat ketergantungan pasien. Tingkat ketergantungan pasien diklasifikasikan
berdasarkan teori Dorothea Orem. Menurut Orem asuhan keperawatan dilakukan
dengan keyakinan bahwa setiap orang mempelajari kemampuan untuk merawat
diri sendiri sehingga membantu individu memenuhi kebutuhan hidup, memelihara
kesehatan dan kesejahteraan. Teori ini dikenal dengan teori self care (perawatan
diri). Klasifikasi tingkat ketergantungan pasien berdasarkan teori Dorothea Orem
yaitu:
1). Minimal Care :
a). Mampu naik turun tempat tidur
0).

Mampu ambulasi dan berjalan sendiri

b). Mampu makan dan minum sendiri


a). Mampu mandi sendiri/mandi sebagian dengan bantuan
b). Mampu membersihkan mulut (sikat gigi sendiri)
c). Mampu berpakaian dan berdandan dengan sedikit bantuan

g). Mampu BAK dan BAB dengan sedikit bantuan


h). Status psikologi stabil
g).

Pasien dirawat untuk prosedur diagnostik

h).

Operasi ringan

2). Partial Care


a). Membutuhkan bantuan satu orang untuk naik turun tempat tidur
b). Membutuhkan bantuan untuk ambulasi atau berjalan
c). Membutuhkan b antuan dalam menyiapkan makanan
d). Membutuhkan bantuan untuk makan atau disuap
e). Membutuhkan bantuan untuk kebersihan mulut
0).

M embutuhkan bantuan untuk berpakaian dan berdandan

a).

Membutuhkan bantuan untuk BAB dan BAK (tempat tidur/kamar


mandi

b).

Pasca operasi minor (24 jam)

c).

Melewati fase akut dari pasca operasi mayor

d).

Fase awal dari penyembuhan

e).

Observasi tanda-tanda vital setiap 4 jam

f).

Gangguan emosional ringan

3). Total Care


a). Membutuhkan dua orang atau lebih untuk mobilisasi dari tempat tidur
0). Membutuhkan latihan pasif
a). Kebutuhan nutrisi dan cairan dipenuhi melalui terapi intravena/NGT
b). Membutuhkan bantuan untuk kebersihan mulut

e). Membutuhkan bantuan penuh untuk berpakaian dan berdandan


f). Dimandikan perawat
g). Dalam keadaan inkontinensia, menggunakan kateter
h). Keadaan pasien tidak stabil
i). Perawatan kolostomi
j). Menggunakan WSD
k). Menggunakan alat traksi
0).

Irigasi kandung kemih secara terus menerus

a).

Menggunakan alat bantu respirator

b). Pasien tidak sadar


Menurut Douglas, mengklasifikasikan ketergantungan pasien berdasarkan standar
waktu pelayanan pasien rawat inap sebagai berikut :
1). Keperawatan Mandiri (Self care) : 1-2 jam/hari dimana pasien masih mampu
melakukan pergerakan atau berjalan, makan, mandi maupun eleminasi tanpa
bantuan. Bantuan hanya diberikan terhadap tindakan khusus.
2). Keperawatan Sebagian (Partial Care) : 3-4 jam/hari dimana pasien masih
punya kemampuan sebagian tetapi untuk melakukan pergerakan secara penuh
seperti berjalan, bangun, makan, mandi dan eleminasi perlu dibantu oleh
seorang perawat.
3). Keperawatan Total (Total Care) : 5-7 jam/hari dimana pasien memerlukan
bantuan secara penuh, atau tingkat ketergantungan pasien terhadap perawat
sangat tinggi, seperti pasien yang tidak sadar, atau yang sangat lemah dan

tidak mampu melakukan pergerakan, mandi dan eleminasi perlu dibantu dan
pada umumnya memerlukan dua perawat.
Tabel 1. Jumlah tenaga keperawatan berdasarkan klasifikasi ketergantungan pasien
Waktu Klasifikasi

Kebutuhan Perawat
Pagi

Siang

Sore

Minimal

0,17

0,14

0,07

Intermediate

0,27

0,15

0,10

Maksimal

0,36

0,30

0,20

Douglas (dalam PPE, 2004)

d. Metode SWAT (Subjective Workload Assessment Technique ( SWAT )


Metode Subjective Workload Assesment Technique (SWAT) pertama kali
dikembangkan oleh Gary Reid dari Divisi Human Engineering pada Armstrong
Laboratory, Ohio USA digunakan analisis beban kerja yang dihadapi oleh
seseorang yang harus melakukan aktivitas baik yang merupakan beban kerja fisik
maupun mental yang bermacam-macam dan muncul akibat meningkatnya
kebutuhan akan pengukuran subjektif yang dapat digunakan dalam lingkungan
yang sebenarnya (real world environment). Dalam penerapannya SWAT akan
memberikan penskalaan subjektif yang sederhana dan mudah dilakukan untuk
mengkuantitatifkan beban kerja dari aktivitas yang harus dilakukan oleh pekerja.
SWAT akan menggambarkan sistem kerja sebagai model multi dimensional dari
beban kerja, yang terdiri atas tiga dimensi atau faktor yaitu beban waktu (time
load), beban mental (mental effort load), dan beban psikologis (psychological
stress load). Masing-masing terdiri dari 3 tingkatan yaitu rendah, sedang dan

tinggi (Sritomo,2007). Yang dimaksud dengan dimensi secara definisi adalah


sebagai berikut :
1) Time Load : adalah yang menunjukkan jumlah waktu yang tersedia dalam
perencanaan, pelaksanaan dan monitoring tugas. Beban waktu rendah, beban
waktu sedang, beban waktu tinggi)
0) Mental Effort Load : adalah menduga atau memperkirakan seberapa banyak
usaha mental dalam perencanaan yang diperlukan untuk melaksanakan suatu
tugas (beban usaha mental rendah, beban usaha mental sedang, beban usaha
mental tinggi)
3) Psychological Stress Load : adalah mengukur jumlah resiko, kebingungan,
frustasi yang dihubungkan dengan performansi atau penampilan tugas (Beban
tekanan psikologis rendah, beban tekanan psikologis sedang, beban tekanan
psikologis tinggi).
Prosedur penerapan metode SWAT terdiri dari 2 tahapan, yaitu tahap penskalaan
(scale development) dan tahap penilaian (event scoring). Pada langkah pertama 27
kombinasi tingkatan tingkatan beban kerja mental diurutkan dengan dari 27 kartu
kombinasi dari urutan beban kerja terendah sampai dengan beban kerja tertinggi,
menurut persepsi masing-masing pekerja. Dalam pengurutan kartu tersebut tidak
ada suatu aturan mana yang benar atau yang salah. Dalam hal ini pengurutan kartu
yang benar adalah yang dilakukan menurut intuisi dan preferensi yang dipahami
oleh responden. Dari hasil pengurutan kemudian ditransformasikan ke dalam
sebuah skala interval dari beban kerja dengan range 0-100 (dapat dilihat pada
tabel 2). Pada kedua tahap penilaian sebuah aktivitas atau kejadian akan dinilai

dengan menggunakan rating 1 sampai 3 (rendah, sedang dan tinggi) untuk setiap
tiga dimensi atau faktor yang ada. Nilai skala yang berkaitan dengan kombinasi
tersebut yang dapat dari tahap penskalaan kemudian dipakai sebagai beban kerja
untuk aktivitas yang bersangkutan (Wignjosoebroto, 2007).
Hasil dari konversi ini maka dapat diketahui beban kerja masing-masing pekerja,
adapun kategori beban kerja dari masing-masing pekerja adalah sebagai berikut ;
1)Beban kerja rendah ratingnya berada di nilai 40 ke bawah.
2)Beban kerja sedang jika ratingnya berada pada nilai 41 sampai 60. 3)
Beban kerja tinggi jika nilai SWAT ratingnya berada di nilai 61 sampai 100 Tabel
2. Skala Akhir SWAT

Menurut Zadry (2007), pengukuran beban kerja dengan metode SWAT dapat
digunakan pada dunia penerbangan, sektor industri, seperti pada pabrik-pabrik

tekstil, pabrik-pabrik (perakitan) kendaraan bermotor, perusahaan penyedia jasa,


dan pabrik-apbrik (perusahaan) yang memerlukan tingkat kecermatan yang tinggi,
sektor perhubungan, seperti untuk meneliti tingkat beban kerja bagi para
pengemudi bus jarak jauh atau para masinis kereta api.
Selain itu Zadry (2007), juga mengungkapkan tentang cara pelaksanaan SWAT
sebagai berikut :
1) Memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan pengukuran kepada
subjek (orang) yang akan diteliti.
2) Memberikan kartu SWAT sebanyak 27 kartu yang harus diurutkan oleh
subjek menurut urutan kartu yang menyatakan kombinasi workload yang
terendah hingga tertinggi menurut persepsi ataupun intuisi dari tiap subjek.
3) Melakukan pencatatan urutan kartu yang dibuat oleh subjek, kemudian
didownload di computer -program SWAT sehingga didapatkan nilai dari

SWAT score untuk tiap subjek.


4) Berdasarkan

nilai-nilai

SWAT

tersebut,

komputer

mengkonversikan

performansi kerja dari subjek tersebut dengan nilai kombinasi dari beban
kerjanya (workload), yang terdiri dari :
a) Time Load (T) : rendah (1), menengah (2), dan tinggi (3).
b) Mental Effort Load (E) : rendah (1), menengah (2), dan tinggi (3).
c) Psychological Stress Load (S) : rendah (1), menengah (2), dan tinggi (3).
Bila nilai konversi dari SWAT scale terhadap SWAT rating berada < 40,
maka performansi kerja subjek tersebut berada pada level optimal. Bila
SWAT rating-nya berada antara 40-100, maka beban kerjanya ( workload)

tinggi, artinya subjek pada saat itu tidak bisa diberikan jenis pekerjaan
tambahan lain.
5) Mengkaji pekerjaan kepada subjek, kemudian ditanyakan apakah pekerjaan
yang sedang dilakukan pada saat tersebut beban kerjanya (kombinasi dari
Time Load, Mental Effort, dan Stress Load) dikategorikan sebagai pekerjaan
dengan beban kerja rendah (1), menengah (2), atau tinggi (3) menurut yang
bersangkutan.
6) Ulangi kembali langkah 4 untuk melihat apakah pekerjaan tersebut termasuk
ke dalam kategori beban kerja rendah atau beban kerja tinggi, sehingga dapat
diantisipasi langkah selanjutnya.
2.2 Kepuasan Kerja
2.2.1 Pengertian kepuasan kerja
Wexley dan Yuki (2005) berpendapat bahwa kepuasan kerja merupakan keadaan
emosional yang positif dari seseorang yang ditimbulkan dari penghargaan atas
sesuatu pekerjaan yang telah dilakukannya. Dikatakan lebih lanjut bahwa
kepuasan kerja merupakan hasil dari prestasi seseorang terhadap sampai seberapa
baik pekerjaannya menyediakan sesuatu yang berguna baginya.
Robbins (2003) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu sikap umum
terhadap pekerjaan seseorang, selisih antara banyaknya ganjaran yang diterima
seorang pekerja dan banyaknya yang mereka yakini seharusnya mereka terima.
Pegawai yang menikmati pekerjaan akan merasa puas jika hasil kerja keras dan
balas jasa dirasa adil dan layak (Fathoni, 2001).
Luthans (2005) dalam bukunya Organizationing Behavior memberikan definisi

komprehensif dari kepuasan kerja yang meliputi reaksi atau kognitif, afektif, dan
evaluatif dan menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah "keadaan emosi yang
senang atau emosi positif yang berasal dari penilaian pekerjaan atau pengalaman
kerja seseorang."
Kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi pegawai mengenai seberapa baik
pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai penting. Terdapat tiga dimensi
yang diterima secara umum dalam kepuasan kerja. Pertama, kepuasan kerja
merupakan respons emosional terhadap situasi kerja. Dengan demikian, kepuasan
kerja dapat dilihat dan dapat diduga. Kedua, kepuasan kerja sering ditentukan
menurut seberapa baik hasil yang dicapai memenuhi atau melampaui harapan.
Ketiga, kepuasan kerja mewakili beberapa sikap yang berhubungan. Menurut
Handoko (2004) menyatakan kepuasan kerja (job satisfaction) sebagai keadaan
emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para
pegawai memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminkan sikap
seseorang terhadap pekerjaannya. Ini nampak dalam sikap positif pegawai
terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya.
Departemen personalia atau pihak manajemen harus senantiasa memonitor
kepuasan kerja, karena hal ini dapat mempengaruhi tingkat absensi, perputaran
tenaga kerja, semangat kerja, keluhan-keluhan dan masalah personalia vital
lainnya.
Menurut Malthis (2006) kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang positif dari
mengevaluasi pengalaman kerja seseorang. Ketidakpuasan kerja muncul saat
harapan-harapan ini tidak terpenuhi. Kepuasan kerja mempunyai banyak dimensi,

secara umum adalah kepuasan dalam pekerjaan itu sendiri, gaji, pengakuan,
hubungan antara supervisor dengan tenaga kerja, dan kesempatan untuk maju.
Setiap dimensi menghasilkan perasaan puas secara keseluruhan dengan pekerjaan
itu sendiri. Tolok ukur tingkat kepuasan yang mutlak tidak ada, karena setiap
individu pegawai berbeda standar kepuasannya. Indikator kepuasan kerja ini dapat
diukur dengan kedisiplinan, moral kerja, dan labour turnover yang kecil, maka
secara relatif kepuasan kerja pegawai baik tetapi sebaliknya jika kedisiplinan,
moral kerja dan labour turnover besar, maka kepuasan kerja pegawai pada
perusahaan dinilai kurang.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa kepuasan kerja
pegawai merupakan sikap pegawai terhadap bagaimana mereka memandang
pekerjaannya. Kepuasan pegawai dapat memberikan beberapa manfaat,
diantaranya adalah menciptakan hubungan yang harmonis antara perusahaan
dengan pegawai. Kepuasan atau ketidakpuasan pegawai adalah respon pegawai
terhadap evaluasi tingkat kesesuaian antara harapan sebelumnya dan kinerja
desain pekerjaan aktual yang dirasakan oleh pegawai. Jadi, tingkat kepuasan
pegawai terhadap pekerjaannya dan karirnya merupakan fungsi dari perbedaan
antara kinerja desain dan evaluasi pekerjaan dan karir yang dirasakan dengan
harapan pegawai. Apabila kinerja desain dan evaluasi pekerjaan dan karirnya
tidak sesuai dengan harapan atau harapan melebihi kinerja desain dan evaluasi
pekerjaan dan karirnya, maka pegawai akan kecewa. Sedangkan apabila kinerja
desain dan evaluasi pekerjaan dan karirnya sesuai dengan harapan atau bahkan
melebihi harapannya, pegawai akan merasa sangat puas. Jadi kepuasan kerja
adalah keadaan emosional seseorang terhadap pekerjaannya, ketika dia

menemukan titik temu antara apa yang dia harapkan dari pekerjaan itu dan apa
yang telah diberikan perusahaan terhadap dirinya.
2.2.2 Indikator Kepuasan Kerja
Assad (2001) menjelaskan bahwa variabel yang dapat dijadikan indikasi
menurunnya kepuasan kerja adalah tingginya tingkat absensi (absenteeism),
tingginya keluar masuknya pegawai (turnover), menurunnya produktivitas kerja
atau prestasi kerja pegawai (performance). Apabila indikasi menurunnya
kepuasan kerja pegawai tersebut muncul ke permukaan, maka hendaknya segera
ditangani supaya tidak merugikan perusahaan.
Menurut Wibowo (2007), terdapat lima faktor yang dapat mempengaruhi
timbulnya kepuasan kerja, sebagai berikut.
a. Need fulfillment (pemenuhan kebutuhan)
Kepuasan yang ditentukan oleh tingkatan karakteristik pekerjaan memberikan
kesempatan pada individu untuk memenuhi kebutuhannya.
b. Discrepancies (perbedaan)
Model ini menyatakan bahwa kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi
harapan. Pemenuhan harapan mencerminkan perbedaan antara apa yang
diharapkan dan yang diperoleh individu dari pekerjaan.

c. Value attainment (pencapaian nilai)


Kepuasan merupakan hasil dari persepsi pekerjaan yang memberikan
pemenuhan nilai kerja individual yang penting.
d. Equity (keadilan)
Kepuasan merupakan fungsi dari seberapa adil individu diperlakukan di tempat

kerja.
e. Dispositional / genetic components (komponen genetik)
Model ini didasarkan pada keyakinan bahwa kepuasan kerja sebagian
merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik.
2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja
Menurut Luthans (2005), faktor-faktor utama yang mempengaruhi kepuasan kerja
seperti diuraikan berikut ini :
a. Pekerjaan itu sendiri
Yang termasuk pekerjaan yang memberikan kepuasan adalah pekerjaan yang
menarik dan menantang, pekerjaan yang tidak membosankan, serta pekerjaan
yang dapat memberikan status.
b. Upah/gaji
Upah dan gaji merupakan hal yang signifikan, namun merupakan faktor yang
kompleks dan multidimensi dalam kepuasan kerja.
c. Promosi
Kesempatan dipromosikan nampaknya memiliki pengaruh yang beragam
terhadap kepuasan kerja, karena promosi bisa dalam bentuk yang berbeda-beda
dan bervariasi pula imbalannya.
d. Supervisi
Supervisi merupakan sumber kepuasan kerja lainnya yang cukup penting.
e. Kelompok kerja

Pada dasarnya, kelompok kerja akan berpengaruh pada kepuasan kerja. Rekan
kerja yang ramah dan kooperatif merupakan sumber kepuasan kerja bagi
pegawai individu.
f. Kondisi kerja/lingkungan kerja
Jika kondisi kerja bagus (lingkungan sekitar bersih dan menarik) misalnya,
maka pegawai akan lebih bersemangat mengerjakan pekerjaan mereka, namun
bila kondisi kerja rapuh (lingkungan sekitar panas dan berisik) misalnya,
pegawai akan lebih sulit menyelesaikan pekerjaan mereka.
Walaupun uraian tersebut menunjukkan bahwa faktor-faktor kepuasan kerja
cukup variatif, namun Asad (2001) berpendapat bahwa dengan sepuluh faktor
kepuasan kerja nampaknya jauh lebih beragam. Kesepuluh faktor diuraikan
sebagai berikut:
a. Kesempatan untuk maju, dalam hal ini ada tidaknya kesempatan untuk
memperoleh pengalaman dan peningkatan kemampuan selama kerja.
b. Keamanan kerja, sering disebut sebagai penunjang kepuasan kerja, baik bagi
pegawai pria maupun wanita. Keadaan yang aman sangat mempengaruhi
perasaan pegawai selama kerja.
0. Gaji,

lebih

banyak

menyebabkan

ketidakpuasan,

dan

jarang

orang

mengekspresikan kepuasan kerjanya dengan sejumlah uang yang diperolehnya.

d. Perusahaan dan manajemen, dimana perusahaan dan manajemen yang baik


adalah faktor yang mampu memberikan situasi dan kondisi kerja yang stabil.
Faktor ini pula yang menentukan kepuasan kerja pegawai.

e. Pengawasan (supervisi), bagi pegawai, supervisor dianggap sebagai figure ayah


dan sekaligus atasan. Supervisi yang buruk berakibat absensi dan turn over.
f. Faktor intrinsik dari pekerjaan, dimana atribut yang ada pada pekerjaan
mensyaratkan keterampilan tertentu. Sukar dan mudahnya serta kebanggaan
akan tugas dapat meningkatkan atau

mengurangi

kepuasan.

g. Kondisi kerja, termasuk disini adalah kondisi kerja, ventilasi, penyinaran,


kantin, dan tempat parkir.
h. Aspek sosial, merupakan salah satu sikap yang sulit digambarkan tetapi
dipandang sebagai faktor yang menunjang kepuasan atau ketidakpuasan dalam
pekerjaan.
0. Komunikasi, di mana komunikasi yang lancar antara pegawai dengan pihak
manajemen banyak dipakai alasan untuk menyukai jabatannya dalam hal ini
adanya kesediaan pihak atasan untuk mau mendengar, memahami, dan
mengakui pendapat ataupun prestasi pegawai. Keadaan ini akan sangat
berperan dalam menimbulkan rasa puas terhadap pekerjaan.
a. Fasilitas, termasuk didalamnya fasilitas rumah sakit, cuti, dana pensiun, atau
perumahan merupakan standar suatu jabatan dan apabila dapat dipenuhi akan
menimbulkan rasa puas.

2.3 Hubungan beban kerja dengan kepuasan kerja


Tenaga keperawatan sebagai bagian dari sistem ketenagaan kesehatan, diharapkan
dapat memenuhi tuntutan dan kebutuhan pelayanan kesehatan secara nasional dan

global (Achir Yani, 2002). Pelayanan keperawatan yang bermutu dapat dicapai
apabila ada keseimbangan antara jumlah tenaga dengan beban kerja perawat di
suatu rumah sakit

(Depkes RI, 2002). Dalam membuat perencanaan

ketenagaan harus benar-benar diperhitungkan sehingga tidak menimbulkan


dampak pada beban kerja yang tinggi, yang dapat mengakibatkan turunnya
kualitas pelayanan keperawatan. Sistem kerja yang tidak dirancang dengan
baik dapat menyebabkan keluhan subyektif, beban kerja menjadi tidak efektif
dan tidak efisien, yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpuasan dalam
bekerja, sehingga produktivitas kinerjapun menjadi menurun (Bina Diknakes,
2001). Kurangnya tenaga keperawatan baik kuantitas maupun kualitas akan
sangat mengganggu pada asuhan keperawatan yang diberikan, karena akan
semakin menambah beratnya beban kerja, yang pada gilirannya mengakibatkan
prestasi kerja menurun dan kepuasan kerjapun berkurang, hal ini juga dapat
mengakibatkan

kepuasan pasien turut berkurang (Depkes RI, 2003).

Berdasarkan hasil survey Nasional yang dilakukan Anna (2001) bahwa salah
satu hal yang
adalah beban kerja

menyebabkan kualitas pelayanan keperawatan menurun


yang tinggi (2928 responden), waktu istirahat yang

kurang (5711 respoden), merasa kelelahan (3617 responden).


Menurut Irwady (2007) bahwa beban kerja berkaitan erat dengan produktifitas
tenaga kesehatan khususnya perawat , dimana 53,2% waktu benar-benar produktif
digunakan untuk pelayanan kesehatan langsung dan sisanya 3 9,9% digunakan
untuk kegiatan penunjang. Analisa beban kerja perawat dapat dilihat dari aspekaspek seperti tugas- yang dijalankan berdasarkan fungsi utamanya, begitupun

tugas tambahan yang dikerjakan, jumlah pasien yang harus dirawat, waktu kerja
yang digunakan untuk mengerjakan tugasnya sesuai dengan jam kerja yang
berlangsung setiap hari, serta kelengkapan fasilitas yang dapat membantu perawat
menyelesaikan kerjanya dengan baik. Kepuasan kerja merupakan hal yang
penting karena secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi
produktivitas kerja yang pada akhirnya akan meningkatkan mutu pelayanan
asuhan keperawatan kepada pasien. Dengan terwujudnya kepuasan kerja dari
perawat diharapkan akan tercipta suatu pelayanan keperawatan yang baik.

Anda mungkin juga menyukai