Oleh
Fakultas Hukum
Universitas Mataram
2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai bagian dari gugusan kepulauan Nusantara, Pulau Bali termasuk
salah satu dari ke-27 provinsi Republik Indonesia. Bali terkenal akan keindahan
panorama alamnya yang alami nan eksotis. Selain itu Bali merupakan cerminan
dari warisan budaya Hindu yang amat kental. Tidak heran apabila Bali dijuluki
sebagai surga pariwisata. Anggapan tersebut dibangun atas wacana orientalis
yang ingin melihat Bali sebagai museum hidup budaya Hindu-Jawa di tengah
negeri Islam terbesar di dunia.1 Tidak dapat dipungkiri bahwa pariwisata menjadi
jalan untuk meningkatkan taraf hidup orang Bali, pun tanpa merombak pola hidup
tradisional mereka.
Namun patut diingat bahwa tujuan pariwisata Bali, yang kini nampak
sebagai sesuatu yang tak terelakkan, baik dimata orang Bali sendiri maupun di
mata para wisatawan ialah bahwa pariwisata merupakan hasil dari sejarah yang
khas, dan dari keputusan-keputusan tertentu. Darimana datangnya keputusan itu
salah satunya disebabkan oleh karena faktor historis Bali yang pernah dijajah oleh
Hindia
Belanda.
Pada
saat
itu
pemerintah
kolonial
Hindia
Belanda
memperkenalkan Bali di mata dunia lewat seni tradisonal-nya seperti tarian. Tidak
heran bila Bali bisa dikatakan lebih terkenal daripada Indonesia.
Isu yang paling hangat menimpa Bali saat ini ialah mengenai reklamasi
yang akan dilakukan di Teluk Benoa di daerah Bali. Teluk Benoa terletak di sisi
tenggara pulau Bali, dan direncanakan untuk direklamasi tepatnya adalah Pulau
Pudut. Reklamasi direncanakan seluas 838ha dengan ijin pengelolaan PT TWBI
selama 30 tahun, dan pembangunan berbagai objek wisata di atasnya.2
Tentu saja hal ini menimbulkan polemik akibat adanya pihak pro dan
kontra atas berbagai pertimbangan jika proyek reklamasi di bangun. Pihak kontra
mendasari argumennya merujuk pada Pasal 93 Peraturan Presiden 45/2011
1Picard, Michael. Tourisme culturel et culture tourisque. Editions
IHarmattan. Paris:1992
2 www.forbali.org/faq-2/ (Di akses pada 01/11/2014 pukul 10.12)
penjelasan
mengenai
Perpres
No.51/2014
terkait
reklamasi?
2. Bagaimanakah analisis Perda Propinsi Bali tahun 2009 terkait proyek
reklamasi?
3 Ibid
BAB II
LANDASAN TEORI
Pengertian Reklamasi
Menurut pengertiannya secara bahasa, reklamasi berasal dari kosa kata
dalam Bahasa Inggris, to reclaim yang artinya memperbaiki sesuatu yang rusak.
Secara spesifik dalam Kamus Bahasa Inggris-Indonesia terbitan PT. Gramedia
disebutkan arti reclaim sebagai menjadikan tanah (from the sea). Masih dalam
kamus yang sama, arti kata reclamation diterjemahkan sebagai pekerjaan
memperoleh tanah. Para ahli belum banyak yang mendefinisikan atau
memberikan pengertian mengenai reklamasi pantai. Kegiatan reklamasi pantai
merupakan upaya teknologi yang dilakukan manusia untuk merubah suatu
lingkungan alam menjadi lingkungan buatan, suatu tipologi ekosistem estuaria,
mangrove dan terumbu karang menjadi suatu bentang alam daratan. (Maskur,
2008).
Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh Orang dalam rangka
meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan
sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase (UU No
27 Thn 2007).
Pengertian
reklamasi
lainnnya
adalah
suatu
pekerjaan/usaha
memanfaatkan kawasan atau lahan yang relatif tidak berguna atau masih kosong
dan berair menjadi lahan berguna dengan cara dikeringkan. Misalnya di kawasan
pantai, daerah rawa-rawa, di lepas pantai/di laut, di tengah sungai yang lebar,
ataupun di danau. Pada dasaranya reklamasi merupakan kegiatan merubah
wilayah perairan pantai menjadi daratan. Reklamasi dimaksudkan upaya merubah
permukaan tanah yang rendah (biasanya terpengaruh terhadap genangan air)
menjadi lebih tinggi (biasanya tidak terpengaruh genangan air). (Wisnu Suharto
dalam Maskur, 2008).
Sesuai dengan definisinya, tujuan utama reklamasi adalah menjadikan
kawasan berair yang rusak atau tak berguna menjadi lebih baik dan bermanfaat.
Kawasan baru tersebut, biasanya dimanfaatkan untuk kawasan pemukiman,
perindustrian, bisnis dan pertokoan, pertanian, serta objek wisata. Dalam
ketentuan teknis yang harus dipenuhi agar suatu wilayah dapat melakukan
reklamasi pantai.
b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
yang memberi wewenang kepada daerah untuk mengelola wilayah laut
dengan memanfaatkan sumber daya alam secara optimal.
c. Undang-undang No 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
d. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang yang
merupakan guide line bagi daerah untuk mengatur, mengendalikan dan
menata wilayahnya dalam satu-kesatuan matra ekosistem,
e. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mengamanatkan wilayah pesisir diatur
secara komprehensif mulai dari perencanaan, pengelolaan, pengawasan
dan pengendalian.
f. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
yang mengatur tentang perlindungan terhadap aset baik berupa jiwa
BAB III
ISI DAN PEMBAHASAN
Teluk
Benoa
dinilai
dapat
dikembangkan
sebagai
kawasan
pengembangan kegiatan ekonomi serta sosial budaya dan agama. Tentu saja
dia juga mampu membuat perubahan fisik terhadap lingkungan sekitar. Reklamsi
dalam penanganan yang tidak tepat dapat pula menjadi masalah dalam
berjalannya proses pembangunan. Karena biaya konservasinya yang relatif besar,
ditambah lagi apabila kawasan tersebut tidak memiliki potensi atau memiliki
potensi tetapi tidak di manfaatkan secara maksimal maka dia akan menjadi
sumber masalah dari pembangunan di wilayah tersebut. Dan kaitannya dengan
pembangunan yang berkelanjutan, dimana reklamasi yang sangat mungkin akan
merusak kehidupan di bawah perairan laut dapat menjadikan kawasan rekalamasi
tersebut semakin tidak layak untu menjadi kawasan konservasi perairan laut. Dari
pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa reklamasi sendiri sebenarnya tidak
sesuai dengan apa yang tercantum dalam Perda Provinsi Bali no. 16 tahun 2009
tersebut.
apakah ketika proyek reklamasi Teluk Benoa dilaksanakan masyarakat Bali tetap
bisa menjalankan ajeg Bali lewat pengamalan nilai-nilai Tri Hita Karana.
Nilai Tri Hita Karana yang paling berkaitan dengan proyek reklamasi ialah
Palemahan (hubungan manusia dengan alam). Palemahan berasal dari kata
lemah yang artinya tanah. Palemahan juga berati bhuwana atau alam. Dalam
artian yang sempit palemahan berarti wilayah sutu pemukiman atau tempat
tinggal. Manusia hidup dimuka bumi ini memerlukan ketentraman, kesejukan,
ketenangan dan kebahagiaan lahir dan batin. Untuk mencapai tujuan tersebut
manusia tidak bisa hidup tanpa bhuwana agung (alam semesta). Manusia hidup di
alam dan dari hasil alam. Hal inilah yang melandasi terjadinya hubungan
harmonis antara manusia dengan alam semesta ini.
Keharmonisan antara manusia dengan alam ini yang berusaha dijaga oleh
masyarakat Bali. Tidak heran apabila masyarakat Bali amat khawatir akan
terjadinya bencana alam akibat dari dampak yang ditimbulkan reklamasi. Karena
bencana sejatinya menunjukkan tanda bahwa hubungan manusia dengan alam
sedang tidak harmonis. Tentu bukan hanya bencana alam saja yang dikhawatirkan,
masalah lainnya seperti degradasi daya dukung lingkungan juga menjadi
pertimbangan.
3.4 UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (selanjutnya disebut PWP-PK) Pasal 1
Ayat (2), disebutkan bahwa:
Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat
dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
Selanjutnya, pada Pasal 2 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
PWP-PK disebutkan bahwa:
Ruang lingkup pengaturan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang
dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat
4 Churchill V.Lowe, The Law of the Sea, Juris Publishing, third edition, 1999, h. 30
kebijakan mengenai pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil dibagi menjadi dua,
yaitu:
1. Ketentuan perundang-undangan nasional yang mengatur pengelolaan wilayah
pesisir dan laut yang bersifat konkrit dan mengikat (hard law), atau
ketentuan yang dihasilkan dari perjanjian internasional (treaty, convention,
atau agreement) baik yang bersifat bilateral, multilateral, global, regional
maupun sub-regional bagi negara-negara yang menyatakan diri siap terikat
(express to be bound) dan memberlakukannya di wilayahnya;
2. ketentuan-ketentuan yang berbentuk soft law, yaitu ketentuan-ketentuan yang
memuat prinsip-prinsip umum (general principles), bersifat pernyataan sikap
atau komitmen moral dan tidak mengikat secara yuridis. Daya ikatnya
tergantung kepada kesediaan negara-negara untuk menerimanya sebagai
hukum nasional, misalnya dalam bentuk deklarasi, piagam atau protokol.
Di Indonesia, terdapat beberapa perangkat hukum nasional yang mengatur
pengelolaan wilayah pesisir dan laut, antara lain:
a. Undang-undang Nomor 17 tahun 1985 tentang pengesahan United Nations
Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Dimana UNCLOS tidak
mengatur secara khusus dalam pasal-pasalnya tentang pengelolaan wilayag
pesisir dan laut, tetapi ada makna yang tersirat mengenai sumber kekayaan
laut yang membutuhkan pengelolaan yng baik sesuai dengan prinsip-prinsip
pembangunan
berkelanjutan,
tanpa
merusak
lingkungan
laut
untuk
kemakmuran manusia.
Maka dari itu, yang menjadi pertanyaan adalah apakah reklamasi yang akan
dilakukan di Teluk Benoa tidak akan merusak kehidupan laut disekitarnya?
Walaupun kembali lagi, alasan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia
menyatakan bahwa perairan laut di teluk Benoa tersebut sudah tidak layak
menjadi kawasan konservasi. Tetapi apakah memang keadaan perairan di
Teluk Benoa telah benar-benar rusak sehingga tidak ada kemungkinan untuk
diperbaiki tanpa reklamasi? Oleh karena itu, hal ini harus menjadi perhatian
pemerintah untuk mengkaji ulang bagaimana sebenarnya kondisi perairan laut
di Teluk Benoa dan mencari alternatif-alternatif lain untuk memperbaikinya.
Perencanaan
pengelolaan
wilayah
pesisir
mengintegrasikan
berbagai
perencanaan yang disusun oleh berbagai sektor dan daerah sehingga terjadi
keharmonisan dan saling penguatan pemanfaatannya. Perencanaan wilayah
pesisir tebagi menjad 4 tahapan, yaitu: 1) rencana strategis; 2) rencana zonasi;
3) rencana pengelolaan; dan 4) rencana aksi sesuai dengan prinsip 1 dan 3 dari
intergrated coastal management.
Sesuai UU No. 27 Tahun 2007 pasal 34, reklamasi hanya dapat
dilaksanakan jika manfaat sosial dan ekonomi yang diperoleh lebih besar dari
biaya sosial dan biaya ekonominya. Namun demikian, pelaksanaan reklamasi juga
wajib menjaga dan memperhatikan beberapa hal salah satunya keberlanjutan
kehidupan dan penghidupan masyarakat. Hal ini tercantum dalam UU No. 27
Tahun 2007 Pasal 34:
1) Reklamasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilakukan dalam rangka
meningkatkan manfaat dan/atau nilai tambah Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil ditinjau dari aspek teknis, lingkungan, dan sosial ekonomi.
2) Pelaksanaan Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menjaga
dan memperhatikan:
a) keberlanjutan kehidupan dan penghidupan Masyarakat;
b) keseimbangan
antara
kepentingan
pemanfaatan
dan
kepentingan
Pantai Sawangan, kata Suryanto, hal tersebut tidak terlalu menimbulkan masalah
lantaran jumlah pasir di kawasan Sawangan masih bisa mencukupi kebutuhan
reklamasi. Namun, yang sangat penting untuk diperhatikan dalam proses
pengambilan pasir tersebut adalah pengawasan. Jangan sampai pengambilan pasir
untuk reklamasi Teluk Benoa diambil di dasar perairan yang dangkal. Menurut
Suryanto, kedalaman minimal untuk pengambilan pasir di kawasan perairan
Sawangan sekitar 30 meter di bawah laut. Dampak reklamasi lain terhadap
lingkungan yaitu pada terumbu karang: terumbu karang akan mati, pasir putih
hilang dan ikan-ikan akan berkurang karena habitat hilang.
proyek revitalisasi ini maka diperkirakan negara akan mengalami kerugian yang
cukup besar.
3.5.3 Dampak Reklamasi Teluk Benoa di Bidang Budaya
WE DONT NEED DISNEY LAND TO PLAY AND HAVE FUN!!.
Demikianlah tanggapan masyarakat Bali yang nampak di halaman muka website
ForBali.org, sebagai bentuk sikap atas rencana proyek reklamasi Teluk Benoa.
Sebagai bagian dari Indonesia Bali sudah sangat terkenal melalui kekhasan
budaya dan alam yang dimilikinya. Maka yang dibutuhkan oleh masyarakat Bali
yaitu tetap menjaga budaya dan alamnya tanpa harus melakukan pembangunan
seperti Singapura. Karena dengan budaya dan alam yang dimilikinya sudah
memberikan identitas tersendiri bagi Bali yang membuatnya dikenal di kancah
Internasional. Bagi masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu menyayangi
Alam merupakan wujud bakti kepada Tuhan sedangkan mereklamasi Teluk Benoa
bukan merupakan wujud bakti ke Tuhan melainkan suatu bentuk eksploitasi.
Mungkin sebagian meyakini bahwa merubah bentangan alam merupakan hal yang
sepele. Apabila ada uang maka semuanya dapat dilakukan tetapi hal demikian
tidak semudah itu, karena dampak yang akan datang kemudian tidak bisa diatasi
atau dihindari begitu saja.
Dampak reklamasi di bidang budaya berekairtan erat dengan konsep Tri
Hita Kirana yang sudah dipaparkan sebelumnya. Karena budaya menjadi sarana
masyarakat Bali beribadah kepada Tuhan-Nya. Untuk itu perlunya menjaga
keharmonisan antara manusia dalam alam perlu dilaksanakan sebagai bentuk
perwujudan nilai palemahan dalam Tri Hita Kirana. Karena ketika alam marah
(terjadi bencana, kondisi alam tidak aman) maka masyarakat Bali akan mengalami
kendala dalam mengekspresikan diri lewat budaya yang sekian notabene-nya di
bangun lewat hubungan harmonis dengan alam.
3.5.4 Dampak Reklamasi Teluk Benoa di Bidang Sosial
Reklamasi teluk benoa juga mendatangkan dampak dibidang sosial
diantaranya akan terbentuk kesenjangan yang sangat jelas antar anggota
masyarakat. Dapat dikatakan yang ber-uang akan semakin kaya dan yang tidak
ber-uang akan semakin tersingkirkan atau tergusur dari hidup yang layak.
Investor akan dapat menarik keuntungan yang semakin besar dari reklamasi ini
malalui mega-mega proyek yang akan dibangun yang juga berpotensi merusak
lingkungan hidup masyarakat Bali. Sedangkan rakyat-rakyat lainnya akan
semakin jatuh terpuruk karena beban hidup yang ditanggungnya akan semakin
besar atau berat yang secara tidak langsung disebabkan oleh semakin mahalnya
harga-harga kebutuhan hidupnya di daerah yang sudah dikembangkan menjadi
resort tersebut.
Kemudian dampak sosial terjadi karena dengan berdirinya bangunan
konstruksi di kawasan reklamasi, komunitas nelayan di daerah tersebut terpaksa
pindah ke tempat lain, karena 2 alasan penting:5
a) Mereka terpaksa menjual tanah tempat mereka bermukin karena tidak dapat
lagi menjalankan profesinya seperti biasa. Mereka cenderung melakukan alih
profesi dan mencari lapangan pekerjaan lain.
b) Mereka tidak dapat berinteraksi dengan orang baru yang menempati kawasan
reklamasi yang modern dan yang pasti ada jurang perbedaan yang dalam di
antara masyarakat komunitas nelayan tradisional dengan para pendatang baru
akibat orientasi sosial yang berbeda.
Karena seperti yang kita tahu kegiatan masyarakat di wilayah pantai
sebagian besar adalah petani tambak, nelayan atau buruh. Dengan adanya
reklamasi akan mempengaruhi ikan yang ada di laut sehingga berakibat pada
menurunnya pendapatan mereka yang menggantungkan hidup kepada laut.
3.6 Belajar dari Reklamasi Pulau Nipah
Pulau Nipah, adalah salah satu pulau yang merupakan bagian dari
Nusantara. Pulau ini merupakan salah satu dari 20 pulau terluar yang dimiliki oleh
Indonesia. Pulau Nipah dahulu pernah nyaris tenggelam. Bagaimana tidak, pasir
yang ada di Pulau ini dikeruk terus-menerus untuk kemudian dijual kepada
Singapura. Hal ini dilakukan karena kondisi perekonomian masyarakat lokal yang
tidak seberapa. Akibatnya, luas pulau Nipah tidak lebih dari 1,2 hektar. Sehingga
memunculkan potensi pulau Nipah akan menghilang terkena abrasi. Maka dari itu,
5 Jurnal Dampak Program Reklamasi Bagi Program Ekonomi Rumah Tangga
Nelayan di Kota Manado. Max Wagiu. UNSRAT. Manado. Hal.2
diperlukan kerja sama dari berbagai pihak terkait sehingga tidak menjadikan
reklamasi sebagai sumber musibah. Serta perwujudan perawatan kawasan
reklamasi harus direalisasikan, jangan hanya dijadikan jalan untuk mendapat
persetujuan dari masyarakat lokal tetapi ternyata tidak ada aksi nyatanya.
Seperti yang terjadi pada Pulau Nipah yang memang ada kemajuan dalam
perluasan daratannya, hanya saja dalam pengembangan kawasan tersebut
masih tertinggal. Padahal hal tersebut tidak sesuai dengan besarnya biaya yang
harus dikeluarkan negara untuk biaya reklamasi dan perawatannya.
BAB IV
KESIMPULAN
Sesuai UU No. 27 Tahun 2007 pasal 34, reklamasi hanya dapat
dilaksanakan jika manfaat sosial dan ekonomi yang diperoleh lebih besar dari
biaya sosial dan biaya ekonominya. Namun demikian, pelaksanaan reklamasi juga
wajib menjaga dan memperhatikan beberapa hal salah satunya keberlanjutan
kehidupan dan penghidupan masyarakat. Reklamasi di Teluk Benoa membawa
dampak yang kurang baik bagi lingkungan maupun bagi kehidupan sosial dan
ekonomi masyarakat sekitar serta budaya dalam prinsip ajeg Bali.
Kemudian perlunya menjadikan reklamasi Pulau Nipah sebagai studi kasus
sebelum melakukan reklamasi Teluk Benoa sebagai pertimbangan apakah
reklamasi Teluk Benoa harus tetap dilaksanakan. Pun sebelumnya Bali pernah
melakukan reklamasi pada salah satu pulaunya, yaitu Pulau Serangan. Nelayan di
kawasan tersebut kemudian kesulitan mencari ikan karena pantai-nya sudah
direklamasi. Hal ini disebabkan karena biota laut yang telah mengalami perusakan
akibat reklamasi. Saat kerusakan alam laut itu terjadi, beruntung beberapa nelayan
setempat kreatif membuat terumbu karang buatan. Hingga sekarang nelayannelayan bali yang menjadi korban reklamasi ini sudah mendunia karena Coral
buatannya bisa diekspor dgn sebutan "Coral Serangan".
Reklamasi yang dilakukan di kawasan Teluk Benoa membawa dampak
lingkungan, sosial, ekonomi, budaya. Maka reklamasi Teluk Benoa perlu dikaji
ulang dan proses perijinannya perlu untuk dihentikan sementara sampai Presiden
mencabut Perpres No.51 Tahun 2014. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari
berbagai konflik yang semakin berkepanjangan antara Pemerintah Kota dan
masyarakat lokal maupun demi kelangsungan lingkungan hidup, karena pada
prinsipnya pantai dan laut merupakan common property (milik bersama) dimana
tidak hanya manfaatnya yang bisa dirasakan bersama, akan tetapi dampak
negatifnya juga menjadi tanggung jawab banyak pihak.
DAFTAR PUSTAKA
http://berita.i-y-i.com/95/78/43/reklamasi-pulau-nipah-terhambat-kapal-keruksingapura.htm (diakses pada 02/01/2017 pukul 14.01)
http://megapolitan.kompas.com/read/2013/04/01/03054526/Kementerian.PU.Rekl
amasi.Pulau.Terluar (diakses pada 02/01/2017 pukul 15.10)
http://metrobali.com/2013/08/05/reklamasi-teluk-benoa-untuk-masa-depan-bali/
(diakses pada 02/01/2017 pukul 19.51)
http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?
module=detailberita&kid=10&id=77329 (diakses pada 02/01/2017 pukul
19.42)
http://www.change.org/p/ketua-dprd-bali-segera-cabut-sk-reklamasi-teluk-benoa
(diakses pada 02/01/2017 pukul 14.01)
http://www.forbali.org/faq-2/?lang=en (diakses pada 02/01/2017 pukul 14.21)
http://www.wilayahperbatasan.com/pulau-pulau-perbatasan-ri-singapura-kianhilang-belajar-dari-reklamasi-pulau-nipah/ (diakses pada 02/01/2017 pukul
15.01)
https://www.academia.edu/4432623/Reklamasi_Pantai (diakses pada 02/01/2017
pukul 14.02)
Maskur A, 2008, Rekonstruksi Pengaturan Hukum Reklamasi Pantai di Kota
Semarang. Tesis. Program Magister Ilmu Hukum. Program Pascasarjana
Universitas Diponegoro Semarang.
Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan
Presiden Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahunn 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Jurnal Dampak Program Reklamasi Bagi Program Ekonomi Rumah Tangga
Nelayan di Kota Manado. Max Wagiu. UNSRAT. Manado
Jurnal Analisis Kebijakan Reklamasi Pantai di Kawasan Pantai Marina
Semarang. Oleh: Nur Endah Iswahyuni, R. Slamet Santoso.