Anda di halaman 1dari 27

Makalah

Analisis Peraturan Presiden No. 51 Tahun 2014


Mengenai Reklamasi Teluk Benoa

Oleh

Datu Sastrajendra B.N.


D1A110094

Fakultas Hukum
Universitas Mataram
2017

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai bagian dari gugusan kepulauan Nusantara, Pulau Bali termasuk
salah satu dari ke-27 provinsi Republik Indonesia. Bali terkenal akan keindahan
panorama alamnya yang alami nan eksotis. Selain itu Bali merupakan cerminan
dari warisan budaya Hindu yang amat kental. Tidak heran apabila Bali dijuluki
sebagai surga pariwisata. Anggapan tersebut dibangun atas wacana orientalis
yang ingin melihat Bali sebagai museum hidup budaya Hindu-Jawa di tengah
negeri Islam terbesar di dunia.1 Tidak dapat dipungkiri bahwa pariwisata menjadi
jalan untuk meningkatkan taraf hidup orang Bali, pun tanpa merombak pola hidup
tradisional mereka.
Namun patut diingat bahwa tujuan pariwisata Bali, yang kini nampak
sebagai sesuatu yang tak terelakkan, baik dimata orang Bali sendiri maupun di
mata para wisatawan ialah bahwa pariwisata merupakan hasil dari sejarah yang
khas, dan dari keputusan-keputusan tertentu. Darimana datangnya keputusan itu
salah satunya disebabkan oleh karena faktor historis Bali yang pernah dijajah oleh
Hindia

Belanda.

Pada

saat

itu

pemerintah

kolonial

Hindia

Belanda

memperkenalkan Bali di mata dunia lewat seni tradisonal-nya seperti tarian. Tidak
heran bila Bali bisa dikatakan lebih terkenal daripada Indonesia.
Isu yang paling hangat menimpa Bali saat ini ialah mengenai reklamasi
yang akan dilakukan di Teluk Benoa di daerah Bali. Teluk Benoa terletak di sisi
tenggara pulau Bali, dan direncanakan untuk direklamasi tepatnya adalah Pulau
Pudut. Reklamasi direncanakan seluas 838ha dengan ijin pengelolaan PT TWBI
selama 30 tahun, dan pembangunan berbagai objek wisata di atasnya.2
Tentu saja hal ini menimbulkan polemik akibat adanya pihak pro dan
kontra atas berbagai pertimbangan jika proyek reklamasi di bangun. Pihak kontra
mendasari argumennya merujuk pada Pasal 93 Peraturan Presiden 45/2011
1Picard, Michael. Tourisme culturel et culture tourisque. Editions
IHarmattan. Paris:1992
2 www.forbali.org/faq-2/ (Di akses pada 01/11/2014 pukul 10.12)

tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Sarbagita yang menyebutkan


bahwa Teluk Benoa adalah kawasan konservasi. Mereklamasi kawasan konservasi
artinya melanggar peraturan tersebut, terlebih banyak dampak negatif yang akan
berdampak bagi kelangsungan ekosistem maupun kehidupan masyarakat.
Sedangkan pihak pro beranggapan bahwa reklamasi ialah demi untuk kemajuan
dan masa depan Bali, dan mereklamasi Bali ialah legal hukumnya, hal ini sesuai
dengan Perpres No. 51/2014.
Pada tanggal 30 Mei 2014 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menandatangani Perpres No. 51 tahun 2014. Inti dari Perpres ini adalah
berubahnya status Teluk Benoa dari kawasan konservasi perairan menjedi
kawasan pemanfaatan umum dan diijinkannya reklamasi seluas maksimal 700
hektar.3
Dalam melakukan reklamasi tentu banyak aspek yang mesti diperhatikan.
Mengingat kawasan pantai adalah kawasan yang seharusnya bisa dinikmati oleh
seluruh lapisan masyarakat. Apabila pantai direklamasi tentu saja fungsi pantai
sebagai public space bagi suatu masyarakat/kota tidak dapat berjalan seperti
sediakala. Kawasan yang telah direklamasi seakan-akan telah berubah menjadi
milik pribadi. Investor yang melakukan pengurukan lahan rawa atau laut akan
merasa memilikinya. Jika sudah begitu maka masyarakat akan merasa dirugikan.
Belum lagi timbulnya kekhawatiran akan bencana seperti banjir misalnya.
Munculnya pelbagai macam gerakan penolakan reklamasi Teluk Benoa
kian ramai. Gerakan tersebut sebagai bentuk respon masyarakat terhadap Perpres
No.51/2014. Produk nyata dari gerakan ini dalam menyuarakan hak-hak
masyarakat Bali berupa poster, spanduk, lagu, konser musik, akun-akun media
sosial yang bersedia menampung aspirasi sekaligus mengampanyekan penolakan
reklamasi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah

penjelasan

mengenai

Perpres

No.51/2014

terkait

reklamasi?
2. Bagaimanakah analisis Perda Propinsi Bali tahun 2009 terkait proyek
reklamasi?
3 Ibid

3. Bagaimanakah relasi konsep ajeg Bali dengan Perpres No.51/2014?


4. Bagaimanakah ketentuan tentang kebijakan reklamasi menurut UU
Pengelolaan Pesisir di Bali?
5. Bagaimanakah evaluasi kebijakan mengenai dampak reklamasi Teluk
Benoa?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui penjelasan mengenai Perpres No.51/2014 terkait
reklamasi
2. Untuk mengetahui analisis Perda Propinsi Bali tahun 2009 terkait proyek
reklamasi
3. Untuk mengetahui relasi konsep ajeg Bali dengan Perpres No.51/2014
4. Untuk mengetahui ketentuan tentang kebijakan reklamasi menurut UU
Pengelolaan Pesisir di Bali
5. Untuk mengetahui tentang evaluasi kebijakan mengenai dampak reklamasi
Teluk Benoa

BAB II
LANDASAN TEORI
Pengertian Reklamasi
Menurut pengertiannya secara bahasa, reklamasi berasal dari kosa kata
dalam Bahasa Inggris, to reclaim yang artinya memperbaiki sesuatu yang rusak.
Secara spesifik dalam Kamus Bahasa Inggris-Indonesia terbitan PT. Gramedia
disebutkan arti reclaim sebagai menjadikan tanah (from the sea). Masih dalam
kamus yang sama, arti kata reclamation diterjemahkan sebagai pekerjaan
memperoleh tanah. Para ahli belum banyak yang mendefinisikan atau
memberikan pengertian mengenai reklamasi pantai. Kegiatan reklamasi pantai
merupakan upaya teknologi yang dilakukan manusia untuk merubah suatu
lingkungan alam menjadi lingkungan buatan, suatu tipologi ekosistem estuaria,
mangrove dan terumbu karang menjadi suatu bentang alam daratan. (Maskur,
2008).
Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh Orang dalam rangka
meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan
sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase (UU No
27 Thn 2007).
Pengertian

reklamasi

lainnnya

adalah

suatu

pekerjaan/usaha

memanfaatkan kawasan atau lahan yang relatif tidak berguna atau masih kosong
dan berair menjadi lahan berguna dengan cara dikeringkan. Misalnya di kawasan
pantai, daerah rawa-rawa, di lepas pantai/di laut, di tengah sungai yang lebar,
ataupun di danau. Pada dasaranya reklamasi merupakan kegiatan merubah
wilayah perairan pantai menjadi daratan. Reklamasi dimaksudkan upaya merubah
permukaan tanah yang rendah (biasanya terpengaruh terhadap genangan air)
menjadi lebih tinggi (biasanya tidak terpengaruh genangan air). (Wisnu Suharto
dalam Maskur, 2008).
Sesuai dengan definisinya, tujuan utama reklamasi adalah menjadikan
kawasan berair yang rusak atau tak berguna menjadi lebih baik dan bermanfaat.
Kawasan baru tersebut, biasanya dimanfaatkan untuk kawasan pemukiman,
perindustrian, bisnis dan pertokoan, pertanian, serta objek wisata. Dalam

perencanaan kota, reklamasi pantai merupakan salah satu langkah pemekaran


kota. Reklamasi diamalkan oleh negara atau kotakota besar yang laju
pertumbuhan dan kebutuhan lahannya meningkat demikian pesat tetapi
mengalami kendala dengan semakin menyempitnya lahan daratan (keterbatasan
lahan). Dengan kondisi tersebut, pemekaran kota ke arah daratan sudah tidak
memungkinkan lagi, sehingga diperlukan daratan baru. (http//www.lautkita.org)
Pesisir adalah wilayah yang unik, karena dalam konteks bentang alam,
wilayah pesisir merupakan tempat bertemunya daratan dan lautan (Kay and Alder,
1999). Sedangkan definisi reklamasi pantai menurut Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum No.40/PRT/M/2007 adalah kegiatan di tepi pantai yang dilakukan oleh
orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut
lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan (polder),
atau drainase. Metode urukan dilakukan dengan cara menguruk tanah timbunan
berupa pasir yang diperoleh dari dasar laut dan darat atau berupa tanah lempung,
material sisa pembakaran batu bara, limbah padat, dan lainnya.
Tujuan Reklamasi
Tujuan reklamasi juga yaitu untuk memperbaiki daerah atau areal yang
tidak terpakai atau tidak berguna menjadi daerah yang dapat dimanfaatkan untuk
berbagai keperluan manusia antara lain untuk lahan pertanian, perumahan, tempat
rekreasi dan industri (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1990). Sedangkan menurut
Max Wagiu, 2011. Tujuan dari program reklamasi yaitu:
a. Untuk mendapatkan kembali tanah yang hilang akibat gelombang laut
b. Untuk memperoleh tanah baru di kawasan depan garis pantai untuk
mendirikan bangunan yang akan difungsikan sebagai benteng
perlindungan garis pantai
c. Untuk alasan ekonomis, pembangunan atau untuk mendirikan
konstruksi bangungan dalam skala yang lebih besar.

Metode dalam Reklamasi


Secara umum bentuk reklamasi ada dua, yaitu reklamasi menempel pantai
dan reklamasi lahan terpisah dari pantai daratan induk. Cara pelaksanaan
reklamasi sangat tergantung dari sistem yang digunakan. Menurut Buku Pedoman
Reklamasi di Wilayah Pesisir (2005) dibedakan atas 4 sistem, yaitu:
a. Sistem Timbunan
Reklamasi dilakukan dengan cara menimbun perairan pantai sampai muka
lahan berada di atas muka air laut tinggi (high water level) yang aman.
b. Sistem Polder
Reklamasi dilakukan dengan cara mengeringkan perairan yang akan
direklamasi dengan memompa air yang berada didalam tanggul kedap air
untuk dibuang keluar dari daerah lahan reklamasi.
c. Sistem Kombinasi antara Polder dan Timbunan
Reklamasi ini merupakan gabungan sistem polder dan sistem timbunan,
yaitu setelah lahan diperoleh dengan metode pemompaan, lalu lahan
tersebut ditimbun sampai ketinggian tertentu sehingga perbedaan elevasi
antara lahan reklamasi dan muka air laut cukup aman.
d. Sistem Drainase
Reklamasi sistem ini dipakai untuk wilayah pesisir yang datar dan relatif
rendah dari wilayah di sekitarnya tetapi elevasi muka tanahnya masih lebih
tinggi dari elevasi muka air laut.
Pedoman dan Undang-Undang yang Mengatur Reklamasi Pantai
Pembangunan reklamasi di Indonesia harus mengacu pada pelbagai pedoman dan
Undang-Undang yang mengatur tentang reklamasi pantai, antara lain:
a. Pedoman perencanaan tata ruang kawasan reklamasi pantai (Peraturan
Menteri PU No. 4/PRT/M/2007) yang mencakup penjelasan tentang
faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam tahapan-tahapan pelaksanaan
kegiatan reklamasi, yaitu aspek fisik, ekologi, sosial ekonomi dan budaya,
tata lingkungan dan hukum, aspek kelayakan, perencanaan dan metode
yang digunakan. Pedoman ini juga memberikan batasan, persyaratan dan

ketentuan teknis yang harus dipenuhi agar suatu wilayah dapat melakukan
reklamasi pantai.
b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
yang memberi wewenang kepada daerah untuk mengelola wilayah laut
dengan memanfaatkan sumber daya alam secara optimal.
c. Undang-undang No 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
d. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang yang
merupakan guide line bagi daerah untuk mengatur, mengendalikan dan
menata wilayahnya dalam satu-kesatuan matra ekosistem,
e. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mengamanatkan wilayah pesisir diatur
secara komprehensif mulai dari perencanaan, pengelolaan, pengawasan
dan pengendalian.
f. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
yang mengatur tentang perlindungan terhadap aset baik berupa jiwa

BAB III
ISI DAN PEMBAHASAN

3.1 Penjelasan Mengenai Perpres 51 Tahun 2014


Menurut UU No.51/2014 tentang rencana tata ruang kawasan perkotaan
Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita). Salah satu poin terpenting
dari aturan tersebut adalah mengubah peruntukkan Perairan Teluk Benoa dari
kawasan konservasi perairan menjadi zona budi daya yang dapat direklamasi
maksimal seluas 700 Hektar. Aturan tersebut juga mengubah kawasan konservasi
pulau kecil dari seluruh Pulau Serangan dan Pudut, menjadi sebagian Pulau
serangan dan Pudut. Dalam aturan tersebut juga menghapus besaran luas taman
Hutan Raya Ngurah Rai sebagai kawasan pelestarian alam.
Peraturan Presiden no.51 tahun 2014 merupakan perubahan atas Peraturan
Presiden no. 45 tahun 2011. Yang berisi tentang tata ruang kawasan perkotaan
Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan. Dimana pasal 55, 56, 63A, 81, 101A,
120A, dan pasal 122 mengalami perubahan. Dalam Perpres no.51 tahun 2014
menyebutkan perubahan sebagian status zona kawasan pesisir dan pulau-pulau
kecil di kawasan Teluk Benoa, serta arahan umum pemanfaatan ruang kawasan
tersebut. Karena adanya perkembangan kebijakan strategis nasional dan dinamika
internal di Kawaan Perkotaan SARBAGITA. Khususnya terkait pemafaatan ruang
di kawasan Teluk Benoa, sehingga diperlukan revitalisasi kawasan yang sesuai
dengan perkembangan potensi alam, wisata, lingkungan, dan masyarakat di Bali
secara khusus dan umum.
Kawasan Teluk Benoa dinilai tidak memenuhi kriteria sebagai kawasan
konservasi perairan karena terdapat perubahan fisik, seperti adanya jalan tol,
jaringan pipa migas, dan pelabuhan Internasional Benoa. Pertimbangan lain
adalah karena terjadinya pendangkalan sehingga menjadikan Teluk Benoa tidak
tepat untuk menjadi kawasan konservasi. Sehingga dengan adanya reklamasi
kawasan

Teluk

Benoa

dinilai

dapat

dikembangkan

sebagai

kawasan

pengembangan kegiatan ekonomi serta sosial budaya dan agama. Tentu saja

pemerintah menyatakan akan tetap memperhatikan kelestarian fungsi Taman


Hutan Raya Ngurah Rai dan ekosistem di sekitarnya.
Menurut kajian tim yang beranggotakan para pakar dari beberapa
universitan seperti UGM, ITB, IPB, ITS, dan Unhas memberikan hasil bahwa jika
Teluk Benoa dibiarkan maka akan terjadi pendangkalan secara masif di teluk dan
akan berdampak pada hancurnya taman hutan raya mangrove karena kekurangan
air. Maka dari itu diperlukan revitalisasi di Teluk Benoa. Perubahan yang
dilakukan pada Perpres no.45/2011 akan dilakukan konsultasi publik yang
melibatkan pemerintah daerah, masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM). Dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 diharapkan
dalam implementasinya Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian
terkait, dan Pemerintah Daerah, serta pengembang dapat memanfaatkannya sebaik
mungkin untuk kepentingan pembangunan dan masyarakat di Bali sesuai dengan
peraturan yang berlaku.

3.2 Analisis Perda Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009


Pemerintah Bali sendiri mengeluarkan Peraturan Daerah yang membahas
tentang rencana tata ruang wilayah provinsi Bali dari tahun 2009-2029. Didalam
Perda ini dijelaskan berbagai macam ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah
provinsi Bali berdasarkan berbagai aspirasi yang ditampung dalam merencanakan
tata ruang di Bali.
Di dalam pasal 11 ayat (1) Perda Provinsi Bali No. 16 tahun 2009
diseutkan bahwa kebijakan pengembangan kawasan lindung mencakup:
a. pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup;
b. pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan
kerusakan lingkungan hidup;
c. pemulihan dan penanggulangan kerusakan lingkungan hidup; dan

d. mitigasi dan adaptasi kawasan rawan bencana.


Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa Bali memiliki kawasan-kawasan yang
ditetapkan sebagai kawasan lindung yang harus terus dijaga dan dilestarikan.
Salah satunya Teluk Benoa. Sedangkan dengan adanya reklamasi bisa jadi
membuat usaha untuk pelestarian kawasan lindung tersebut menjadi gagal.
Memang pemerintah menjelaskan bahwa kawasan perairan di Teluk Benoa sudah
tidak layak untuk menjadi lahan konservasi. Tetapi dengan dilaksanakannya
reklamasi Teluk Benoa akan membuat berbagai ekosistem perairan yang hidup di
sana menjadi rusak. Dan hal ini juga merujuk pada reklamasi yang sudah pernah
dilakukan di berbagai wilayah lain di Indonesia. Contohnya seperti yang terjadi di
Pulau Nipah.
Dalam ayat (3) masih dalam pasal 11 juga disebutkn berbagai strategi
pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan
kawasan lindung, yaitu:
a. Menyelenggarakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan
hidup;
b. Melindungi kemampuan lingkungan hidup dari tekanan erubahan dan/atau
dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar tetap mampu
mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya;
c. Melindungi kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi,
dan/atau komponen lain yang dibuang kedalamnya;
d. Mencegah terjadinya tindakan yang dapat secara langsung atau tidak langsung
menimbulkan perubahan sifat fisik lingkungan hidup yang tidak berfungsi
dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan. Dan seterusnya
Dalam poin d dapat ditarik garis besar bahwa Provinsi Bali juga memiliki
peraturan untuk mencegah terjadinya perubahan fisik lingungan hidup yang tidak
berfungsi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan. Dan seperti yang sudah
diketahui bahwa reklamasi tidak hanya dapat memberikan perluasan lahan tetapi

dia juga mampu membuat perubahan fisik terhadap lingkungan sekitar. Reklamsi
dalam penanganan yang tidak tepat dapat pula menjadi masalah dalam
berjalannya proses pembangunan. Karena biaya konservasinya yang relatif besar,
ditambah lagi apabila kawasan tersebut tidak memiliki potensi atau memiliki
potensi tetapi tidak di manfaatkan secara maksimal maka dia akan menjadi
sumber masalah dari pembangunan di wilayah tersebut. Dan kaitannya dengan
pembangunan yang berkelanjutan, dimana reklamasi yang sangat mungkin akan
merusak kehidupan di bawah perairan laut dapat menjadikan kawasan rekalamasi
tersebut semakin tidak layak untu menjadi kawasan konservasi perairan laut. Dari
pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa reklamasi sendiri sebenarnya tidak
sesuai dengan apa yang tercantum dalam Perda Provinsi Bali no. 16 tahun 2009
tersebut.

3.3 Relasi Konsep Ajeg Bali dengan Perpres No. 51/2014


Arti kata ajeg merujuk pada pengertian stabil, tetap dan konstan. Ajeg
atau ajek bermakna tetap atau tidak berubah (KBBI : 1976). Satu hal yang
dipertahankan oleh masyarakat Bali adalah nilai, yaitu agama Hindu. Hal yang
tetap dalam kebudayaan adalah perubahannya. Teknologi menyebabkan
perubahan praktik dan perubahan kemasan.
Ajeg Bali meliputi berbagai hal di Bali, mulai dari sitem religi, ekonomi,
seni-budaya, niaga, politik, lingkungan, politik, pendidikan, tata ruang,
kependudukan, kesehatan, pendidikan, pariwisata, dan hal-hal lain yang
menyangkut cara hidup masyarakat. Dalam sistem persubakan, misalnya,
dilakukan sterilisasi wilayah subak dari pembangunan perumahan untuk
melestarikan kondisi ekologis sekitar subak. Sosialisasi budaya Bali, seperti
membuat janur, ditanamkan semenjak kanak-kanak dan merupakan bentuk ajeg
Bali. Hal ini saya temukan ketika melihat perlombaan membuat prasarana ibadah
bagi anak-anak SD dan SMP di Tanah Lot.
Ajeg Bali terinspirasi oleh nilai-nilai yang dianut dalam agama Hindu,
yang diwujudkan dalam ajaran Tri Hita Karana yang berarti tiga penyebab
kebahagiaan atau kemakmuran. Ketiga konsep tersebut dalah Parahyangan

(hubungan manusia dengan Tuhan), Pawongan (hubungan manusia dengan


sesama manusia), dan Palemahan (hubungan manusia dengan alam) (Dewa
Nyoman Suardana, 2007).
Dalam pelaksanaannya konsep Ajeg Bali dimaknai dalam tiga tataran,
yaitu dalam tataran individu; ajeg Bali dimaknai sebagai kemampuan manusia
Bali untuk memiliki kepercayaan diri kultural (cultural confidence) yang bersiat
kreatif dan tidak membatasi diri pada hal-hal fisikal semata. Kedua, dalam tataran
lingkungan kultural; ajeg Bali dimaknai sebagai sebuah ruang hidup budaya Bali
yang bersifat inklusif, multikultur, dan selektif terhadap pengaru-pengaruh luar.
Terakhir, dalam tataran proses kultural; ajeg bali merupakan interaksi manusia
dengan ruang hidup budayanya guna melahirkan produk-produk atau penandapenanda budaya baru melalui sebuah proses yang berdasarkan nilai-nilai moderat
(tidak terjebak pada romantisme masa lalu maupun godaan dunia modern), nondikotomis, berbasis pada nilai-nilai kultural, dan kearifan lokal, serta memiliki
kesadaran ruang (spasial) dan waktu yang mendalam. Dalam ketiga tataran
tersebut, disepakati bahwa ajeg Bali bukanlah sebauah konsep yang stagnan,
melainkan upaya pembaruan terus-menerus yang dilakukan secara sadar oleh
manusia Bali untuk menjaga identitas, ruang, serta proses budayanya agar tidak
jatuh di bawah penaklukan hegemoni budaya global (Bali Post, 2004).
Masyarakat Bali terus berubah secara kreatif dan menciptakan tradisitradisi baru. Dalam pariwisata ditekankan agar kebutuhan pariwisata terlayani,
sementara budaya lokal tetap bertahan. Namun, jika kita perhatikan, pada
praktiknya masyarakat Bali tidak pernah terlepas dari Tri Hita Karana, apa yang
mereka lakukan selalu berlandaskan hal tersebut. Masyarakat Bali tidak pernah
terlepas dari ritual agama Hindu yang selalu mencari keseimbangan dalam hampir
setiap kegiatan hidupnya. Tri Hita Karana sendiri juga diartikan sebagai falsafah
hidup masyarakat Bali yang memuat tiga unsur yang membangun keseimbangan
dan keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan
manusia, dan manusia dengan lingkungannya yang menjadi sumber kesejahteraan,
kedamaian, dan kebahagiaan bagi kehidupan manusia.
Agaknya perlu kita mengaitkan konsep Tri Hita Karana dengan proyek
reklamasi Teluk Benoa. Mengapa? Karena penting sekali untuk mengetahui

apakah ketika proyek reklamasi Teluk Benoa dilaksanakan masyarakat Bali tetap
bisa menjalankan ajeg Bali lewat pengamalan nilai-nilai Tri Hita Karana.
Nilai Tri Hita Karana yang paling berkaitan dengan proyek reklamasi ialah
Palemahan (hubungan manusia dengan alam). Palemahan berasal dari kata
lemah yang artinya tanah. Palemahan juga berati bhuwana atau alam. Dalam
artian yang sempit palemahan berarti wilayah sutu pemukiman atau tempat
tinggal. Manusia hidup dimuka bumi ini memerlukan ketentraman, kesejukan,
ketenangan dan kebahagiaan lahir dan batin. Untuk mencapai tujuan tersebut
manusia tidak bisa hidup tanpa bhuwana agung (alam semesta). Manusia hidup di
alam dan dari hasil alam. Hal inilah yang melandasi terjadinya hubungan
harmonis antara manusia dengan alam semesta ini.
Keharmonisan antara manusia dengan alam ini yang berusaha dijaga oleh
masyarakat Bali. Tidak heran apabila masyarakat Bali amat khawatir akan
terjadinya bencana alam akibat dari dampak yang ditimbulkan reklamasi. Karena
bencana sejatinya menunjukkan tanda bahwa hubungan manusia dengan alam
sedang tidak harmonis. Tentu bukan hanya bencana alam saja yang dikhawatirkan,
masalah lainnya seperti degradasi daya dukung lingkungan juga menjadi
pertimbangan.
3.4 UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (selanjutnya disebut PWP-PK) Pasal 1
Ayat (2), disebutkan bahwa:
Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat
dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
Selanjutnya, pada Pasal 2 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
PWP-PK disebutkan bahwa:
Ruang lingkup pengaturan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang
dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat

mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut


sejauh 12 (dua belas) mil laut di ukur dari garis pantai.
Ruang lingkup Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK
meliputi daerah pertemuan antara pengaruh perairan dan daratan, ke arah daratan
mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah perairan laut sejauh 12
(dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah
perairan kepulauan. Sementara itu, menurut UNCLOS 1982, pengertian/batasan
wilayah pesisir tidak diatur, tetapi UNCLOS 1982, membagi laut ke dalam zonazona yaitu: 4
a. Wilayah laut yang berada di bawah yurisdiksi suatu Negara adalah:
1. Perairan Pedalaman (Internal Waters)
2. Perairan Kepulauan (Archipelagic Waters)
3. Laut Wilayah (Territorial Sea)
4. Zona Tambahan (Contiguous Zone)
5. Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone)
6. Landas Kontinen (Continental Shelf))
b. Wilayah laut yang berada di luar yurisdiksi suatu Negara adalah:
1. Laut Lepas (High Seas)
2. Dasar Laut Dalam/kawasan (Area/Deep Sea Bed)
Penentuan batas wilayah pesisir dan laut tidak dapat disamakan antara
ketentuan dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK dengan UNCLOS
1982. UU Nomor 27 Tahun 2007 berlaku pada batas wilayah administrasi
kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil diukur dari garis pantai,
sedangkan UNCLOS 1982 tidak menentukan batas wilayah pesisir maupun cara
pengukurannya.
Di setiap negara di dunia, pada dasarnya pengaturan pengelolaan pesisir
dan pulau kecil menyesuaikan dengan keadaan geografis negara tersebut.
Sedangkan di Indonesia sendiri, sesuai dengan hukum nasional pembagian

4 Churchill V.Lowe, The Law of the Sea, Juris Publishing, third edition, 1999, h. 30

kebijakan mengenai pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil dibagi menjadi dua,
yaitu:
1. Ketentuan perundang-undangan nasional yang mengatur pengelolaan wilayah
pesisir dan laut yang bersifat konkrit dan mengikat (hard law), atau
ketentuan yang dihasilkan dari perjanjian internasional (treaty, convention,
atau agreement) baik yang bersifat bilateral, multilateral, global, regional
maupun sub-regional bagi negara-negara yang menyatakan diri siap terikat
(express to be bound) dan memberlakukannya di wilayahnya;
2. ketentuan-ketentuan yang berbentuk soft law, yaitu ketentuan-ketentuan yang
memuat prinsip-prinsip umum (general principles), bersifat pernyataan sikap
atau komitmen moral dan tidak mengikat secara yuridis. Daya ikatnya
tergantung kepada kesediaan negara-negara untuk menerimanya sebagai
hukum nasional, misalnya dalam bentuk deklarasi, piagam atau protokol.
Di Indonesia, terdapat beberapa perangkat hukum nasional yang mengatur
pengelolaan wilayah pesisir dan laut, antara lain:
a. Undang-undang Nomor 17 tahun 1985 tentang pengesahan United Nations
Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Dimana UNCLOS tidak
mengatur secara khusus dalam pasal-pasalnya tentang pengelolaan wilayag
pesisir dan laut, tetapi ada makna yang tersirat mengenai sumber kekayaan
laut yang membutuhkan pengelolaan yng baik sesuai dengan prinsip-prinsip
pembangunan

berkelanjutan,

tanpa

merusak

lingkungan

laut

untuk

kemakmuran manusia.
Maka dari itu, yang menjadi pertanyaan adalah apakah reklamasi yang akan
dilakukan di Teluk Benoa tidak akan merusak kehidupan laut disekitarnya?
Walaupun kembali lagi, alasan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia
menyatakan bahwa perairan laut di teluk Benoa tersebut sudah tidak layak
menjadi kawasan konservasi. Tetapi apakah memang keadaan perairan di
Teluk Benoa telah benar-benar rusak sehingga tidak ada kemungkinan untuk
diperbaiki tanpa reklamasi? Oleh karena itu, hal ini harus menjadi perhatian
pemerintah untuk mengkaji ulang bagaimana sebenarnya kondisi perairan laut
di Teluk Benoa dan mencari alternatif-alternatif lain untuk memperbaikinya.

b. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. UU ini


menjadi pembaharuan dari UU No.4/Prp/1960 tentang ketentuan Perairan di
Indonesia. Dimana pembaharuan yang dilakukan disini menyesuaikan dengan
perkembangan rezim baru negara kepulauan sesuai yang dinyatakan dalam
Bab IV UNCLOS 1982.
c. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007. UU ini membahas tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional tahun 2005-2025. Dinyatakan
dalam Bab II huruuf I bahwasumber daya alam dan lingkungan hidup
memiliki peran ganda, yaitu sebagai modal pembangunan dan sekaligus
sebagai penopang sistem kehidupan yang meliputi keanekaragaman hayati,
penyerapan karbon, pengaturan secara alamiah, keindahan alam, dan udara
bersih yang merupakan penopang kehidupan manusia.
Arah pembangunan menurut UU ini adalah pendayagunaan dan pengawasan
wilayah laut yang sangat luas. Dan arah pemanfaatannya harus dilakukan
melalui pendekatan multisektor, integratif, dan komprehensif dengan tujuan
untuk meminimalkan konflik dan tetap menjaga kelestariannya.
Sudah jelas sekali apapun langkah yang diambil untuk memperbaiki Teluk
Benoa, sekalipun dengan reklamasi haru memperhatikan kelestarian sekitar.
Walaupun dalam faktanya reklamasi akan merusak kehidupan dalam laut di
kawasan tersebut. Dan dari pertama dikeluarkannya wacana untuk reklamasi
teluk Benoa sudah banyak penolakan yang dilakukan baik leh masyarakat
setempat dan secara Naisional. Kedua hal ini akan melenceng dari tujuan UU
No. 17 tahun 2007 ini karena akan menciptakan konflik dan akan
menimbulkan kerusakan kelestarian sekitar.
d. Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007. Seperti yang dibahas sebelumnya,
UU ini berisi tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Dimana di Indonesia sendiri pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dal laut
belum terintegrasi dengan kegiatan pembanguan dari berbagai sektor dan
daerah. Selain itu peraturan perundang-undangan tentang pemanfaatan sumber
daya pesisir dan laut lebih mengarah pada eksploitasi sumber daya tanpa
memperhatikan kelestaroan sumber daya-nya serta belum mampu meilah
faktor-faktpr yang menjadi penyebab kerusakan lingkungan.

Perencanaan

pengelolaan

wilayah

pesisir

mengintegrasikan

berbagai

perencanaan yang disusun oleh berbagai sektor dan daerah sehingga terjadi
keharmonisan dan saling penguatan pemanfaatannya. Perencanaan wilayah
pesisir tebagi menjad 4 tahapan, yaitu: 1) rencana strategis; 2) rencana zonasi;
3) rencana pengelolaan; dan 4) rencana aksi sesuai dengan prinsip 1 dan 3 dari
intergrated coastal management.
Sesuai UU No. 27 Tahun 2007 pasal 34, reklamasi hanya dapat
dilaksanakan jika manfaat sosial dan ekonomi yang diperoleh lebih besar dari
biaya sosial dan biaya ekonominya. Namun demikian, pelaksanaan reklamasi juga
wajib menjaga dan memperhatikan beberapa hal salah satunya keberlanjutan
kehidupan dan penghidupan masyarakat. Hal ini tercantum dalam UU No. 27
Tahun 2007 Pasal 34:
1) Reklamasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilakukan dalam rangka
meningkatkan manfaat dan/atau nilai tambah Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil ditinjau dari aspek teknis, lingkungan, dan sosial ekonomi.
2) Pelaksanaan Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menjaga
dan memperhatikan:
a) keberlanjutan kehidupan dan penghidupan Masyarakat;
b) keseimbangan

antara

kepentingan

pemanfaatan

dan

kepentingan

pelestarian fungsi lingkungan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; serta


c) persyaratan teknis pengambilan, pengerukan, dan penimbunan material.
3) Perencanaan dan pelaksanaan Reklamasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Presiden.
3.5 Evaluasi Kebijakan Mengenai Dampak Reklamasi Teluk Benoa
Reklamasi teluk Benoa menimbulkan berbagai macam reaksi dari
masyarakat di Bali termasuk Indonesia. Karena pada dasarnya Reklamasi ini
dianggap hanya merupakan bisnis semata yang menguntungkan para investor dan
merugikan masyarakat Bali karena akan merusak kualitas lingkungan hidup.
Karena hakikatnya Bali merupakan tempat pariwisata yang menjual
pemandangannya atau alamnya bukan resort atau bangunan-bangunannya. Bukan

berarti bahwa masyarakat Bali anti pembangunan tapi untuk melakukan


pembangunan harus dilakukan secara berkelanjutan agar hasilnya maksimal
karena apabila tidak maka pembangunan hanya akan menjadi peluru untuk kita
sendiri. Berikut akan dijelaskan mengenai dampak-dampak dari Reklamasi Teluk
Benoa di berbagai aspek.
3.5.1 Dampak Reklamasi Teluk Benoa terhadap Lingkungan
Reklamasi Teluk Benoa dinilai beberapa kalangan akademisi akan
berdampak buruk terhadap lingkungan hidup di Bali. Diantaranya yaitu merusak
lingkungan di daratan hingga terjadinya perubahan arus air laut di sekitar perairan
Teluk Benoa. I Nyoman Sunarta pakar Hidrologi dari Universitas Udayana
mengatakan berdasarkan hasil pengamatannya akhir-akhir ini saja sudah terlihat
adanya kekacauan arus di sekitar teluk Benoa. Hal itu akan diperparah lagi dengan
jika Reklamasi jadi dilakukan. Arus air laut yang seharusnya masuk ke Teluk
Benoa akan mengalami perubahan lantaran adanya pulau-pulau marina di sekitar
kepulauan tersebut. Kondisi ini akan membuat terjadinya perubahan arus air laut
beralih ke pinggiran pantai di sekitarnya.
R. Suryanto pakar Geomorfologi dari Universitas Udayana berpendapat
bahwa dengan berubahnya sirkulasi air di Teluk Benoa juga akan berpengaruh
pada perkembangan hutan bakau dan kehidupan biota laut disekitarnya. Sebab,
jika arus air laut mengalir ke pantai lainnya maka pohon-pohon bakau akan
mengalami kekurangan suplai-suplai air laut dan menyebabkan gangguan
terhadap pertumbuahan dan perkembangan pohon bakau. Demikian pula pada
perkembangan biota laut seperti ikan, kepiting, dan lainnya yang hidup di sekitar
perairan bakau akan terganggu lantaran kurangnya asupan nutrisi yang dibawa
oleh air laut itu sendiri. Tidak hanya itu, reklamasi di perairan Teluk Benoa juga
akan berdampak pada mendangkalnya kawasan Pelabuhan Benoa. Sebab, dengan
adannya pembuatan pulau-pulau di sekitarnya akan mengakibatkan tingginya
tumpukan endapan yang berakibat pada susahnya kapal untuk berlabuh di
pelabuhan. ''Pelabuhan perlu perairan dalam. Kalau banyak pulau nantinya akan
membawa banyak endapan. Kapal akan susah masuk serta diperlukan banyak
biaya untuk mengeruknya,'' ujarnya. Terkait dengan proses reklamasi yang
membutuhkan sejumlah material seperti pasir yang akan diambil di dasar perairan

Pantai Sawangan, kata Suryanto, hal tersebut tidak terlalu menimbulkan masalah
lantaran jumlah pasir di kawasan Sawangan masih bisa mencukupi kebutuhan
reklamasi. Namun, yang sangat penting untuk diperhatikan dalam proses
pengambilan pasir tersebut adalah pengawasan. Jangan sampai pengambilan pasir
untuk reklamasi Teluk Benoa diambil di dasar perairan yang dangkal. Menurut
Suryanto, kedalaman minimal untuk pengambilan pasir di kawasan perairan
Sawangan sekitar 30 meter di bawah laut. Dampak reklamasi lain terhadap
lingkungan yaitu pada terumbu karang: terumbu karang akan mati, pasir putih
hilang dan ikan-ikan akan berkurang karena habitat hilang.

3.5.2 Dampak Reklamasi Teluk Benoa di Bidang Ekonomi


Di satu sisi dalam hal lapangan kerja, akan dibangunnya akomodasi
pariwisata dan fasilitas umum akan memberikan peluang lapangam kerja bagi
masyarakat bali 5-10 tahun mendatang. Diperkirakan sekitar 200.000 lapangan
kerja baru akan tersedia di kawasan ini. Saat ini jumlah angkatan kerja khususnya
lulusan perguruan tinggi terus bertambah sementara lapangan pekerjaan
mengalami stagnasi, karena sangat bergantung kepada kondisi dan perkembangan
pariwisata yang sangat rentan terhadap kondisi keamanan dan kondisi sosial
lainnya. Terlebih lagi tahun 2015 kita akan menjadi bagian dari Komunitas
Tunggal Asean, sejalan dengan akan diberlakukannya Asean Trade Area (AFTA).
Dalam masa tersebut, para pekerja dari luar negeri akan datang ke bali untuk
bersaing mendapatkan pekerjaan dalam seluruh bidang, mulai dari manager, supir,
sampai tukang sapu. Keberadaan lapangan baru akan sangat membantu persaingan
kerja bagi para tenaga kerja lokal Bali. Demikian pula dengan para penari dan
lulusan SMK Kesenian, dan juga perguruan tinggi seni akan mendapatkan
kesempatan luas untuk tampil dengan dibagunnya art center dan akomodasi
pariwisata baru. Di sisi lainnya hal yang demikian bisa dikatakan tidak efektif
karena mungkin saja pekerja yang direkrut bukan merupakan masyarakat Bali.
Dengan biaya yang sangat besar untuk Reklamasi tersebut maka mustahil apabila
tidak ada dana-dana yang hilang dimakan oknum-oknum tertentu untuk
kepentingan pribadi. Dengan tinginya angka perkiraan korupsi yang terjadi untuk

proyek revitalisasi ini maka diperkirakan negara akan mengalami kerugian yang
cukup besar.
3.5.3 Dampak Reklamasi Teluk Benoa di Bidang Budaya
WE DONT NEED DISNEY LAND TO PLAY AND HAVE FUN!!.
Demikianlah tanggapan masyarakat Bali yang nampak di halaman muka website
ForBali.org, sebagai bentuk sikap atas rencana proyek reklamasi Teluk Benoa.
Sebagai bagian dari Indonesia Bali sudah sangat terkenal melalui kekhasan
budaya dan alam yang dimilikinya. Maka yang dibutuhkan oleh masyarakat Bali
yaitu tetap menjaga budaya dan alamnya tanpa harus melakukan pembangunan
seperti Singapura. Karena dengan budaya dan alam yang dimilikinya sudah
memberikan identitas tersendiri bagi Bali yang membuatnya dikenal di kancah
Internasional. Bagi masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu menyayangi
Alam merupakan wujud bakti kepada Tuhan sedangkan mereklamasi Teluk Benoa
bukan merupakan wujud bakti ke Tuhan melainkan suatu bentuk eksploitasi.
Mungkin sebagian meyakini bahwa merubah bentangan alam merupakan hal yang
sepele. Apabila ada uang maka semuanya dapat dilakukan tetapi hal demikian
tidak semudah itu, karena dampak yang akan datang kemudian tidak bisa diatasi
atau dihindari begitu saja.
Dampak reklamasi di bidang budaya berekairtan erat dengan konsep Tri
Hita Kirana yang sudah dipaparkan sebelumnya. Karena budaya menjadi sarana
masyarakat Bali beribadah kepada Tuhan-Nya. Untuk itu perlunya menjaga
keharmonisan antara manusia dalam alam perlu dilaksanakan sebagai bentuk
perwujudan nilai palemahan dalam Tri Hita Kirana. Karena ketika alam marah
(terjadi bencana, kondisi alam tidak aman) maka masyarakat Bali akan mengalami
kendala dalam mengekspresikan diri lewat budaya yang sekian notabene-nya di
bangun lewat hubungan harmonis dengan alam.
3.5.4 Dampak Reklamasi Teluk Benoa di Bidang Sosial
Reklamasi teluk benoa juga mendatangkan dampak dibidang sosial
diantaranya akan terbentuk kesenjangan yang sangat jelas antar anggota
masyarakat. Dapat dikatakan yang ber-uang akan semakin kaya dan yang tidak
ber-uang akan semakin tersingkirkan atau tergusur dari hidup yang layak.
Investor akan dapat menarik keuntungan yang semakin besar dari reklamasi ini

malalui mega-mega proyek yang akan dibangun yang juga berpotensi merusak
lingkungan hidup masyarakat Bali. Sedangkan rakyat-rakyat lainnya akan
semakin jatuh terpuruk karena beban hidup yang ditanggungnya akan semakin
besar atau berat yang secara tidak langsung disebabkan oleh semakin mahalnya
harga-harga kebutuhan hidupnya di daerah yang sudah dikembangkan menjadi
resort tersebut.
Kemudian dampak sosial terjadi karena dengan berdirinya bangunan
konstruksi di kawasan reklamasi, komunitas nelayan di daerah tersebut terpaksa
pindah ke tempat lain, karena 2 alasan penting:5
a) Mereka terpaksa menjual tanah tempat mereka bermukin karena tidak dapat
lagi menjalankan profesinya seperti biasa. Mereka cenderung melakukan alih
profesi dan mencari lapangan pekerjaan lain.
b) Mereka tidak dapat berinteraksi dengan orang baru yang menempati kawasan
reklamasi yang modern dan yang pasti ada jurang perbedaan yang dalam di
antara masyarakat komunitas nelayan tradisional dengan para pendatang baru
akibat orientasi sosial yang berbeda.
Karena seperti yang kita tahu kegiatan masyarakat di wilayah pantai
sebagian besar adalah petani tambak, nelayan atau buruh. Dengan adanya
reklamasi akan mempengaruhi ikan yang ada di laut sehingga berakibat pada
menurunnya pendapatan mereka yang menggantungkan hidup kepada laut.
3.6 Belajar dari Reklamasi Pulau Nipah
Pulau Nipah, adalah salah satu pulau yang merupakan bagian dari
Nusantara. Pulau ini merupakan salah satu dari 20 pulau terluar yang dimiliki oleh
Indonesia. Pulau Nipah dahulu pernah nyaris tenggelam. Bagaimana tidak, pasir
yang ada di Pulau ini dikeruk terus-menerus untuk kemudian dijual kepada
Singapura. Hal ini dilakukan karena kondisi perekonomian masyarakat lokal yang
tidak seberapa. Akibatnya, luas pulau Nipah tidak lebih dari 1,2 hektar. Sehingga
memunculkan potensi pulau Nipah akan menghilang terkena abrasi. Maka dari itu,
5 Jurnal Dampak Program Reklamasi Bagi Program Ekonomi Rumah Tangga
Nelayan di Kota Manado. Max Wagiu. UNSRAT. Manado. Hal.2

pemerintah Indonesia mengambil kebijakan untuk membentuk landfill dengan


maksud untuk melindungi Pulau Nipah dari abrasi yang memang rawan terjadi.
Kebijakan itu disebut juga reklamasi.
Dari kebijakan reklamasi yang diambil pemerintah ini bukan berarti tidak
merugikan negara. Biaya reklamasi pulau Nipah ini mencapai lebih dari 300
miliar rupiah. Sangat merugikan negara apabila dibandingkan dengan masyarakat
lokal yang menjual pasir kepada Singapura setara dengan harga sekilo beras.
Dimana pasir ini nantinya menjadi aset berharga bagi Singapura dengan nilai lebih
dari 20 juta. Sedangkan pulau Nipah tidak akan mendapatkan keuntungan seperti
itu bahkan terancam sirna.
Pulau Nipah sendiri memiliki banyak posisi strategis selain keberadaannya
sebagai titik pangkal penentuan batas wilayah Indonesia-Singapura, yaitu sbb:6
Posisi strategis pertama, adalah kemungkinan wilayah ini mengandung endapan
mineral ekonomis, seperti timah, emas, dan bauksit. Indikasi itu dapat dilihat dari
sejarah geologi Selat Malaka yang sebelum zaman es mencair berupa daratan,
bagian dari Paparan Sunda. Apabila bisa dibuktikan pada dasar Selat Malaka
terdapat jejak sungai purba, tidak tertutup kemungkinan mineral ekonomis
tersebut diendapkan di sana sehingga maraknya isu penambangan pasir di wilayah
ini sebenarnya adalah pencari mineral yang setelah diekstraksi di atas kapal
membuang lumpur dan lempungnya ke laut. Hal itulah yang menambah
kekeruhan laut di sekitar Pulau Nipah sangat tinggi.
Posisi strategis kedua, menjadikan Pulau Nipah sebagai pusat monitoring polusi
lingkungan laut sekitar Selat Malaka dan Philip. Sebagian besar kapal yang
melintasi selat-selat ini adalah tanker yang memuat ribuan galon minyak tanah,
solar, dan sebagainya, yang sangat riskan terjadi bencana pencemaran tumpahan
minyak ataupun masuknya material polutan lainnya ke wilayah Indonesia
(dumping). Terhadap kasus ini, Indonesia bisa mengajukan klaim internasional
atas kerusakan ekosistem dan lingkungan laut yang terjadi dalam teritorial kita.
Namun, banyak klaim Indonesia terhadap masalah ini mentah pada aspek
pembuktian ilmiah dan lemahnya bukti hukum yang mendukung proses klaim
tersebut. Sementara itu, Konvensi Hukum Laut Internasional yang disahkan
6 Jurnal. Menghadapi Singapura di Masa Depan. Dharma Agung S.I

Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1982, UNCLOS mengatur dengan jelas


kedaulatan penuh Indonesia atas wilayahnya terhadap upaya pencegahan,
pengurangan, dan kontrol terhadap semua kemungkinan polusi lingkungan laut.
Posisi strategis ketiga, menjadikan Pulau Nipah sebagai salah satu pulau untuk
monitoring bajak laut di sekitar Selat Malaka dan Philip, yang saat ini telah
menjadi perhatian dunia internasional akibat maraknya aksi perompakan di sana.
Pulau Nipah yang terancam tenggelam karena abrasi akibat reklamasi pulau
Jurong telah mengalami reklamasi sejak tahun 2002 dengan kontraktor Hutama
Karya. Pulau ini memiliki luas 1,4 hektare pada saat air pasang, dan 60 hektare
pada saat air surut.
Pengembangan kegiatan ekonomi di pulau Nipah memang sangat
diperlukan untuk kepentingannya sendiri. Mengingat potensi dan prospek
ekonomi pulau Nipah sangat besar apabila bisa dimanfaatkan dengan benar.
Kementerian Pertahanan RI menyatakan bahwa pulau Nipah memiliki lokasi yang
strategis, maka dari itu dibutuhkan ide dan konsep untuk memajukan pulau ini.
Dan juga bekerja sama dengan Singapura--yang juga berbatasan dengan pulau
Nipah, Indonesia--untuk kepentingan pertahanan nasional negara masing-masing.
Dimana kedua negara harus mampu berkolaborasi dan berkreasi untuk
membangun wilayah perbatasan ini. Hanya saja kampanye yang dilakukan
pemerintah untuk mengembangkan pulau ini belum memberikan hasil yang
sesuai.
Maka dari itu dari reklamasi Pulau Nipah ini dapat diambil dua garis besar
yang menjadi sangat penting sebagai pertimbangan dilaksanakannya reklamasi
Teluk Benoa. Berikut penjelasannya:
1. Bahwa reklamasi bukan jalan satu-satunya untuk memperbaiki suatu kawasan.
Karena harus memperhatikan kawasan sekitar dari kawasan tersebut. Baik
keselamatan lingkungan dan juga persetujuan dari masyarakat lokal sebagai
penduduk setempat yang memiliki hak untuk menolak atau memberikan
aspirasi lain.
2. Apabila reklamasi menjadi satu-satunya jalan, maka harus ada keseimbangan
dalam pemeliharaannya. Sehingga yang seharusnya memperbaiki kawasan
tidak menjadi biang dari kerusakan yang terjadi di kawasan tersebut. Maka

diperlukan kerja sama dari berbagai pihak terkait sehingga tidak menjadikan
reklamasi sebagai sumber musibah. Serta perwujudan perawatan kawasan
reklamasi harus direalisasikan, jangan hanya dijadikan jalan untuk mendapat
persetujuan dari masyarakat lokal tetapi ternyata tidak ada aksi nyatanya.
Seperti yang terjadi pada Pulau Nipah yang memang ada kemajuan dalam
perluasan daratannya, hanya saja dalam pengembangan kawasan tersebut
masih tertinggal. Padahal hal tersebut tidak sesuai dengan besarnya biaya yang
harus dikeluarkan negara untuk biaya reklamasi dan perawatannya.

BAB IV
KESIMPULAN
Sesuai UU No. 27 Tahun 2007 pasal 34, reklamasi hanya dapat
dilaksanakan jika manfaat sosial dan ekonomi yang diperoleh lebih besar dari
biaya sosial dan biaya ekonominya. Namun demikian, pelaksanaan reklamasi juga
wajib menjaga dan memperhatikan beberapa hal salah satunya keberlanjutan
kehidupan dan penghidupan masyarakat. Reklamasi di Teluk Benoa membawa
dampak yang kurang baik bagi lingkungan maupun bagi kehidupan sosial dan
ekonomi masyarakat sekitar serta budaya dalam prinsip ajeg Bali.
Kemudian perlunya menjadikan reklamasi Pulau Nipah sebagai studi kasus
sebelum melakukan reklamasi Teluk Benoa sebagai pertimbangan apakah
reklamasi Teluk Benoa harus tetap dilaksanakan. Pun sebelumnya Bali pernah
melakukan reklamasi pada salah satu pulaunya, yaitu Pulau Serangan. Nelayan di
kawasan tersebut kemudian kesulitan mencari ikan karena pantai-nya sudah
direklamasi. Hal ini disebabkan karena biota laut yang telah mengalami perusakan
akibat reklamasi. Saat kerusakan alam laut itu terjadi, beruntung beberapa nelayan
setempat kreatif membuat terumbu karang buatan. Hingga sekarang nelayannelayan bali yang menjadi korban reklamasi ini sudah mendunia karena Coral
buatannya bisa diekspor dgn sebutan "Coral Serangan".
Reklamasi yang dilakukan di kawasan Teluk Benoa membawa dampak
lingkungan, sosial, ekonomi, budaya. Maka reklamasi Teluk Benoa perlu dikaji
ulang dan proses perijinannya perlu untuk dihentikan sementara sampai Presiden
mencabut Perpres No.51 Tahun 2014. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari
berbagai konflik yang semakin berkepanjangan antara Pemerintah Kota dan
masyarakat lokal maupun demi kelangsungan lingkungan hidup, karena pada
prinsipnya pantai dan laut merupakan common property (milik bersama) dimana
tidak hanya manfaatnya yang bisa dirasakan bersama, akan tetapi dampak
negatifnya juga menjadi tanggung jawab banyak pihak.

DAFTAR PUSTAKA
http://berita.i-y-i.com/95/78/43/reklamasi-pulau-nipah-terhambat-kapal-keruksingapura.htm (diakses pada 02/01/2017 pukul 14.01)
http://megapolitan.kompas.com/read/2013/04/01/03054526/Kementerian.PU.Rekl
amasi.Pulau.Terluar (diakses pada 02/01/2017 pukul 15.10)
http://metrobali.com/2013/08/05/reklamasi-teluk-benoa-untuk-masa-depan-bali/
(diakses pada 02/01/2017 pukul 19.51)
http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?
module=detailberita&kid=10&id=77329 (diakses pada 02/01/2017 pukul
19.42)
http://www.change.org/p/ketua-dprd-bali-segera-cabut-sk-reklamasi-teluk-benoa
(diakses pada 02/01/2017 pukul 14.01)
http://www.forbali.org/faq-2/?lang=en (diakses pada 02/01/2017 pukul 14.21)
http://www.wilayahperbatasan.com/pulau-pulau-perbatasan-ri-singapura-kianhilang-belajar-dari-reklamasi-pulau-nipah/ (diakses pada 02/01/2017 pukul
15.01)
https://www.academia.edu/4432623/Reklamasi_Pantai (diakses pada 02/01/2017
pukul 14.02)
Maskur A, 2008, Rekonstruksi Pengaturan Hukum Reklamasi Pantai di Kota
Semarang. Tesis. Program Magister Ilmu Hukum. Program Pascasarjana
Universitas Diponegoro Semarang.
Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan
Presiden Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahunn 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Jurnal Dampak Program Reklamasi Bagi Program Ekonomi Rumah Tangga
Nelayan di Kota Manado. Max Wagiu. UNSRAT. Manado
Jurnal Analisis Kebijakan Reklamasi Pantai di Kawasan Pantai Marina
Semarang. Oleh: Nur Endah Iswahyuni, R. Slamet Santoso.

Anda mungkin juga menyukai