Anda di halaman 1dari 19

BAB III

PEMBAHASAN
Untuk menegakkan diagnose suatu penyakit pada dasarnya ada beberapa tindakan yang
harus dilakukan oleh seorang dokter atau tenaga medis lainnya, seperti anamnesa pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang jika diperlukan.

3. 1 Anamnesis
Dalam memeriksa penyakit saraf, data riwayat penyakit merupakan hal yang penting.
Seorang dokter tidak mungkin berkesempatan mengikuti penyakit sejak dari mulanya. Biasanya
penderita datang ke dokter pada saat penyakit sedang berlangsung, bahkan kadang-kadang saat
penyakitnya sudah sembuh dan keluhan yang dideritanya merupakan gejala sisa. Selain itu, ada
juga penyakit yang gejalanya timbul pada waktu-waktu tertentu; jadi, dalam bentuk serangan. Di
luar serangan, penderitanya berada dalam keadaan sehat. Jika penderita datang ke dokter di luar
serangan, sulit bagi dokter untuk menegakkan diagnosis penyakitnya, kecuali dengan bantuan
laporan yang dikemukakan oleh penderita (anamnesis) dan orang yang menyaksikannya (alloanamnesis).
Tidak jarang pula suatu penyakit mempunyai perjalanan tertentu. Oleh karena perjalanan
penyakit sering mempunyai pola tertentu, maka dalam menegakkan diagnosis kita perlu
menggali data perjalanan penyakit tersebut. Suatu kelainan fisik dapat disebabkan oleh
bermacam penyakit. Dengan mengetahui perjalanan penyakit, kita dapat mendekati
diagnosisnya, dan pemeriksaan laboratorium yang tidak perlu dapat dihindari. Tidaklah
berlebihan bila dikatakan bahwa: Anamnesis yang baik membawa kita menempuh setengah
jalan ke ara diagnosa yang tepat.
Untuk mendapatkan anamnesis yang baik dibutuhkan sikap pemeriksa yang sabar dan
penuh perhatian, serta waktu yang cukup. Pengambilan anamnesis sebaiknya dilakukan di tempat
tersendiri, supaya tidak didengar orang lain. Biasanya pengambilan anamnesis mengikuti 2 pola
umum, yaitu:
1. Pasien dibiarkan secara bebas mengemukakan semua keluhan serta kelainan yang
dideritanya.

2. Pemeriksa (dokter) membimbing pasien mengemukakan keluhannya atau kelainannya


dengan jalan mengajukan pertanyaan tertuju.
Penggabungan cara pengambilan anamnesa dengan menggunakan kedua pola tersebut akan
menghasilkan sebuah hasil anamnesa yang baik.
Biasanya wawancara dengan pasien dimulai dengan menanyakan nama, umur, pekerjaan,
alamat. Kemudian ditanyakan keluhan utamanya, yaitu keluhan yang mendorong pasien datang
berobat ke dokter. Pada tiap keluhan atau kelainan perlu ditelusuri:
1. Sejak kapan mulai
2. Sifat serta beratnya
3. Lokasi serta penjalarannya
4. Hubungannya dengan waktu (pagi, siang, malam, sedang tidur, waktu haid, sehabis
makan dan lain sebagainya)
5. Keluhan lain yang ada hubungannya dengan keluhan tersebut
6. Pengobatan sebelumnya dan bagaimana hasilnya
7. Faktor yang membuat keluhan lebih berat atau lebih ringan
8. Perjalanan keluhan, apakah menetap, bertambah berat, bertambah ringan, datang dalam
bentuk serangan, dan lain sebagainya
Pada tiap penderita penyakit saraf harus pula dijajaki kemungkinan adanya keluhan atau
kelainan dibawah ini dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Nyeri kepala : Apakah anda menderita sakit kepala? Bagaimana sifatnya, dalam bentuk
serangan atau terus menerus? Dimana lokasinya? Apakah progresif, makin lama makin
berat atau makin sering? Apakah sampai mengganggu aktivitas sehari-hari?
2. Muntah : Apakah disertai rasa mual atau tidak? Apakah muntah ini tiba-tiba, mendadak,
seolah-olah isi perut dicampakkan keluar (proyektil)?
3. Vertigo : Pernahkah anda merasakan seolah sekeliling anda bergerak, berputar atau anda
merasa diri anda yang bergerak atau berputar? Apakah rasa tersebut ada hubungannya
dengan perubahan sikap? Apakah disertai rasa mual atau muntah? Apakah disertai tinitus
(telinga berdenging, berdesis)?
4. Gangguan pemglihatan (visus) : Apakah ketajaman penglihatan anda menurun pada satu
atau kedua mata? Apakah anda melihat dobel (diplopia)?

5. Pendengaran : Adakah perubahan pada pendengaran anda? Adakah tinitus (bunyi


berdenging/berdesis pada telinga)?
6. Saraf otak lainnya : Adakah gangguan pada penciuman, pengecapan, salivasi
(pengeluaran air ludah), lakrimasi (pengeluaran air mata), dan perasaan di wajah? Adakah
kelemahan pada otot wajah? Apakah bicara jadi cadel dan pelo? Apakah suara anda
berubah, jadi serak, atau bindeng (disfonia), atau jadi mengecil/hilang (afonia)? Apakah
bicara jadi cadel dan pelo (disartria)? Apakah sulit menelan (disfagia)?
7. Fungsi luhur : Bagaimana dengan memori? Apakah anda jadi pelupa? Apakah anda
menjadi sukar mengemukakan isi pikiran anda (disfasia, afasia motorik) atau memahami
pembicaraan orang lain (disfasia, afasia sensorik)? Bagaimana dengan kemampuan
membaca (aleksia)? Apakah menjadi sulit membaca, dan memahami apa yang anda baca?
Bagaimana dengan kemampuan menulis, apakah kemampuan menulis berubah, bentuk
tulisan berubah?
8. Kesadaran : Pernahkah anda mendadak kehilangan kesadaran, tidak mengetahui apa yang
terjadi di sekitar anda? Pernahkah anda mendada merasa lemah dan seperti mau pingsan
(sinkop)?
9. Motorik : Adakah bagian tubuh anda yang menjadi lemah, atau lumpuh (tangan, lengan,
kaki, tungkai)? Bagaimana sifatnya, hilang-timbul, menetap atau berkurang? Apakah
gerakan anda menjadi tidak cekatan? Adakah gerakan pada bagian tubuh atau ekstremitas
badan yang abnormal dan tidak dapat anda kendalikan (khorea, tremor, tik)?
10. Sensibilitas : Adakah perubahan atau gangguan perasaan pada bagian tubuh atau
ekstremitas? Adakah rasa baal, semutan, seperti ditusuk, seperti dibakar? Dimana
tempatnya? Adakah rasa tersebut menjalar?
11. Saraf otonom : Bagaimana buang air kecil (miksi), buang air besar (defekasi), dan nafsu
seks (libido) anda? Adakah retensio atau inkontinesia urin atau alvi?

3.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Umum
o Sensorium (kesadaran)

Tingkat kesadaran dibagi menjadi beberapa yaitu:

Normal

: kompos mentis

Somnolen : : Keadaan mengantuk. Kesadaran dapat pulih penuh bila


dirangsang. Somnolen disebut juga sebagai letargi. Tingkat kesadaran ini
ditandai oleh mudahnya pasien dibangungkan, mampu memberi jawaban
verbal dan menangkis rangsang nyeri.

Sopor (stupor) : Kantuk yang dalam. Pasien masih dapat dibangunkan


dengan rangsang yang kuat, namun kesadarannya segera menurun lagi. Ia
masih dapat mengikuti suruhan yang singkat dan masih terlihat gerakan
spontan. Dengan rangsang nyeri pasien tidak dapat dibangunkan
sempurna. Reaksi terhadap perintah tidak konsisten dan samar. Tidak
dapat diperoleh jawaban verbal dari pasien. Gerak motorik untuk
menangkis rangsang nyeri masih baik.

Koma ringan (semi-koma) : Pada keadaan ini tidak ada respons terhadap
rangsang verbal. Refleks ( kornea, pupil dsb) masih baik. Gerakan
terutama timbul sebagai respons terhadap rangsang nyeri. Pasien tidak
dapat dibangunkan.

Koma (dalam atau komplit) : Tidak ada gerakan spontan. Tidak ada
jawaban sama sekali terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun
kuatnya.

o Skala Koma Glasgow


Untuk mengikuti perkembangan tingkat kesadaran dapat digunakan skala koma Glasgow yang
memperhatikan tanggapan (respon) penderita terhadap rangsang dan memberikan nilai pada
respon tersebut. Tanggapan/respon penderita yang perlu diperhatikan adalah:
Membuka mata

Spontan

: diberi skor 4

Terhadap bicara

Dengan rangsang nyeri : diberi skor 2

Tidak ada reaksi

: diberi skor 3

: diberi skor 1

Respon verbal (bicara)

Baik dan tidak ada disorientasi : diberi skor 5

Kacau (confused)

: diberi skor 4

Tidak tepat

: diberi skor 3

Mengerang

: diberi skor 2

Tidak ada jawaban

: diberi skor 1

Respon motorik (gerakan)

Menurut perintah

: diberi skor 6

Mengetahui lokasi nyeri

: diberi skor 5

Reaksi menghindar

: diberi skor 4

Refleks fleksi (dekortikasi)

: diberi skor 3

Refleks ekstensi (deserebrasi)

: diberi skor 2

Tidak ada reaksi

Tekanan darah
Frekuensi nadi
Frekuensi nafas
Suhu

Pemeriksaan Neurologis

: diberi skor 1

o Kepala dan Leher


Bentuk
Fontanella
o

: simetris atau asimetris


: tertutup atau tidak

Rangsang meningeal

Kaku kuduk
Untuk memeriksa kaku kuduk dapat dilakukan sebagai berikut,tangan pemeriksa ditempatkan
dibawah kepala pasien yang sedang berbaring, kemudian kepala ditekukan (fleksi) dan
diusahakan agar dagu mencapai dada. Selama penekukan diperhatikan adanya tahanan. Bila
terdapat kaku kuduk kita dapatkan tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada. Kaku kuduk
dapat bersifat ringan atau berat
Kernig sign
Pada pemeriksaan ini , pasien yang sedang berbaring difleksikan pahanya pada persendian
panggul sampai membuat sudut 90. Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian
lutut sampai membentuk sudut lebih dari 135 terhadap paha. Bila teradapat tahanan dan rasa
nyeri sebelum atau kurang dari sudut 135, maka dikatakan Kernig sign positif.

Brudzinski I (Brudzinskis neck sign


Pasien berbaring dalam sikap terlentang, dengan tangan yang ditempatkan dibawah kepala
pasien yang sedang berbaring , tangan pemeriksa yang satu lagi sebaiknya ditempatkan didada
pasien untuk mencegah diangkatnya badan kemudian kepala pasien difleksikan sehingga dagu
menyentuh dada. Test ini adalah positif bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi
di sendi lutut dan panggul kedua tungkai secara reflektorik.
Brudzinski II (Brudzinskis contralateral leg sign)
Pasien berbaring terlentang. Tungkai yang akan dirangsang difleksikan pada sendi lutut,
kemudian tungkai atas diekstensikan pada sendi panggul. Bila timbul gerakan secara reflektorik
berupa fleksi tungkai kontralateral pada sendi lutut dan panggul ini menandakan test ini postif.
Lasegue sign
Untuk pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang berbaring lalu kedua tungkai diluruskan
(diekstensikan), kemudian satu tungkai diangkat lurus, dibengkokkan (fleksi) persendian
panggulnya. Tungkai yang satu lagi harus selalu berada dalam keadaan ekstensi (lurus). Pada
keadaan normal dapat dicapai sudut 70 sebelum timbul rasa sakit dan tahanan. Bila sudah
timbul rasa sakit dan tahanan sebelum mencapai 70 maka disebut tanda Lasegue positif. Namun
pada pasien yang sudah lanjut usianya diambil patokan 60.
o

Saraf-saraf otak

Nervus I (olfaktorius)

Anosmia adalah hilangnya daya penghiduan.


Hiposmia adalah bila daya ini kurang tajam.
Hiperosmia adalah daya penghiduan yang terlalu peka.
Parosmia adalah gangguan penghiduan bilamana tercium bau yang tidak sesuai misalnya

minyak kayu putih tercium sebagai bau bawang goreng.


Kakosmia adalah mempersepsi adanya bau busuk, padahal tidak ada.
Halusinasi penciuman adalah bila tercium suatu modalitas olfaktorik tanpa adanya
perangsangan maka kesadaran akan suatu jenis bau ini

Nervus II (optikus)

Tajam penglihatan : membandingkan ketajaman penglihatan pemeriksa dengan jalan


pasien disuruh melihat benda yang letaknya jauh misal jam didinding, membaca huruf di
buku atau koran.

Lapangan pandang

: Yang paling mudah adalah dengan munggunakan metode

Konfrontasi dari Donder. Dalam hal ini pasien duduk atau berdiri kurang lebih jarak 1
meter dengan pemeriksa, Jika kita hendak memeriksa mata kanan maka mata kiri pasien
harus ditutup, misalnya dengan tangannya pemeriksa harus menutup mata kanannya.
Kemudian pasien disuruh melihat terus pada mata kiri pemeriksa dan pemeriksa harus
selalu melihat ke mata kanan pasien. Setelah pemeriksa menggerakkan jari tangannya
dibidang pertengahan antara pemeriksa dan pasien dan gerakan dilakukan dari arah luar
ke dalam. Jika pasien mulai melihat gerakan jari jari pemeriksa, ia harus memberitahu,
dan hal ini dibandingkan dengan pemeriksa, apakah iapun telah melihatnya. Bila
sekiranya ada gangguan kampus penglihatan (visual field) maka pemeriksa akan lebih
dahulu melihat gerakan tersebut. Gerakan jari tangan ini dilakukan dari semua jurusan

dan masing masing mata harus diperiksa.


Melihat warna
Refleks ancaman
Refleks pupil
o Nervus III (okulomotorius)

Pergerakan bola mata ke arah : atas, atas dalam, atas luar, medial, bawah, bawah luar.
Diplopia (melihat kembar)
Strabismus (juling)
Nistagmus (gerakan bola mata diluar kemauan pasien)
Eksoftalmus (mata menonjol keluar)
Pupil : lihat ukuran, bentuk dan kesamaan antara kiri dan kanan
Refleks pupil (refleks cahaya)
Direk/langsung : cahaya ditujukan seluruhnya kearah pupil. Normal, akibat adanya
cahaya maka pupil akan mengecil (miosis). Perhatikan juga apakah pupil segera miosis,
dan apakah ada pelebaran kembali yang tidak terjadi dengan segera.
Indirek/tidak langsung: refleks cahaya konsensuil. Cahaya ditujukan pada satu pupil, dan

perhatikan pupil sisi yang lain.


Rima palpebra
Deviasi konjugae

o Nervus IV (trochlearis)
Pergerakan bola mata ke bawah dalam
o Nervus V (trigeminus)

Pemeriksaan motorik : membuka dan menutup mulut; palpasi otot maseter dan

temporalis; kekuatan gigitan.


Cara :
1. pasien diminta merapatkan gigi sekuatnya, kemudian meraba M. masseter dan M.
temporalis. Normalnya kiri dan kanan kekuatan, besar dan tonus nya sama.
2. Pasien diminta membuka mulut dan memperhatikan apakah ada deviasi rahang bawah,
jika ada kelumpuhan maka dagu akan terdorong kesisi lesi. Sebagai pegangan diambil
gigi seri atas dan bawah yang harus simetris.Bilaterdapat parese disebelah kanan, rahang
bawah tidak dapat digerakkan kesamping kiri. Cara lain pasien diminta mempertahankan
rahang bawahnya kesamping dan kita beri tekanan untuk mengembalikan rahang bawah

keposisi tengah.
Pemeriksaan sensorik : dengan kapas dan jarum dapat diperiksa rasa nyeri dan suhu,

kemudian lakukan pemeriksaan pada dahi, pipi dan rahang bawah.


Refleks kornea : Kornea disentuh dengan kapas, bila normal pasien akan menutup

matanya atau menanyakan apakah pasien dapat merasakan.


Refleks masseter : Dengan menempatkan satu jari pemeriksa melintang pada bagian
tengah dagu, lalu pasien dalam keadaan mulut setengah membuka dipukul dengan
hammer reflex normalnya didapatkan sedikit saja gerakan, malah kadang kadang tidak
ada. Bila ada gerakan hebat yaitu kontraksi M. masseter, M. temporalis, M. pterygoideus

medialis yang menyebabkan mulut menutup ini disebut refleks meninggi.


Refleks bersin : menggunakan kapas.

o Nervus VI (abdusens)
Pergerakan bola mata ke lateral
o Nervus VII (fasialis)
Pemeriksaan fungsi motorik : mengerutkan dahi (dibagian yang lumpuh lipatannya tidak
dalam), mimik, mengangkat alis, menutup mata (menutup mata dengan rapat dan coba
buka dengan tangan pemeriksa), moncongkan bibir atau menyengir, memperlihatkan gigi,
bersiul (suruh pasien bersiul, dalam keadaan pipi mengembung tekan kiri dan kanan
apakah sama kuat. Bila ada kelumpuhan maka angin akan keluar kebagian sisi yang
lumpuh)
Pemeriksaan fungsi sensorik :
2/3 bagian depan lidah : Pasien disuruh untuk menjulurkan lidah, kemudian pada sisi
kanan dan kiri diletakkan gula, asam,garam atau sesuatu yang pahit. Pasien cukup

menuliskan apa yang terasa diatas secarik kertas. Bahannya adalah: glukosa 5 %, NaCl
2,5 %, asam sitrat 1 %, kinine 0,075 %.
Sekresi air mata : Dengan menggunakan Schirmer test (lakmus merah). Ukuran : 0,5 cm
x 1,5 cm. Warna berubah jadi biru; normal: 1015 mm (lama 5 menit).
o Nervus VIII (vestibulo-koklearis)
Pemeriksaan fungsi n. koklearis untuk pendengaran
Pemeriksaan Weber : Maksudnya membandingkan transportasi melalui tulang ditelinga
kanan dan kiri pasien. Garputala ditempatkan didahi pasien, pada keadaan normal kiri
dan kanan sama keras (pasien tidak dapat menentukan dimana yang lebih keras).
Pendengaran tulang mengeras bila pendengaran udara terganggu, misal: otitis media kiri,
pada test Weber terdengar kiri lebih keras. Bila terdapat nerve deafness disebelah kiri,
pada test Weber dikanan terdengar lebih keras.
Pemeriksaan Rinne : Maksudnya membandingkan pendengaran melalui tulang dan udara
dari pasien. Pada telinga yang sehat, pendengaran melalui udara didengar lebih lama
daripada melalui tulang. Garputala ditempatkan pada planum mastoid sampai pasien
tidak dapat mendengarnya lagi. Kemudian garpu tala dipindahkan kedepan meatus
eksternus. Jika pada posisi yang kedua ini masih terdengar dikatakan test positip. Pada
orang normal test Rinne ini positif. Pada conduction deafness test Rinne negatif.
Pemeriksaan Schwabah : Pada test ini pendengaran pasien dibandingkan dengan
pendengaran pemeriksa yang dianggap normal. Garpu tala dibunyikan dan kemudian
ditempatkan didekat telinga pasien. Setelah pasien tidak mendengarkan bunyi lagi, garpu
tala ditempatkan didekat telinga pemeriksa. Bila masih terdengar bunyi oleh pemeriksa,
maka dikatakan bahwa Schwabach lebih pendek (untuk konduksi udara). Kemudian
garpu tala dibunyikan lagi dan pangkalnya ditekankan pada tulang mastoid pasien.
Dirusuh ia mendengarkan bunyinya. Bila sudah tidak mendengar lagi maka garpu tala
diletakkan di tulang mastoid pemeriksa. Bila pemeriksa masih mendengar bunyinya maka
dikatakan Schwabach (untuk konduksi tulang) lebih pendek.
Pemeriksaan fungsi n. vestibularis untuk keseimbangan
Pemeriksaan dengan tes kalori
Bila telinga kiri didinginkan (diberi air dingin) timbul nystagmus kekanan. Bila telinga
kiri dipanaskan (diberi air panas) timbul nistagmus kekiri. Nystagmus ini disebut sesuai
dengan fasenya yaitu : fase cepat dan fase pelan, misalnya nystagmus kekiri berarti fase

cepat kekiri. Bila ada gangguan keseimbangan maka perubahan temperatur dingin dan
panas memberikan reaksi.
Pemeriksaan past pointing test
Pasien diminta menyentuh ujung jari pemeriksa dengan jari telunjuknya, kemudian
dengan mata tertutup pasien diminta untuk mengulangi. Normalnya pasien harus dapat
melakukannya.
Tes Romberg
Pada pemeriksaan ini pasien berdiri dengan kaki yang satu didepan kaki yang lainnya.
Tumit kaki yang satu berada didepan jari kaki yang lainnya, lengan dilipat pada dada dan
mata kemudian ditutup. Orang yang normal mampu berdiri dalam sikap Romberg yang
dipertajam selama 30 detik atau lebih.
Stepping test
Pasien disuruh berjalan ditempat, dengan mata tertutup, sebanyak 50 langkah dengan
kecepatan seperti jalan biasa. Selama test ini pasien diminta untuk berusaha agar tetap
ditempat dan tidak beranjak dari tempatnya selama test berlangsung. Dikatakan abnormal
bila kedudukan akhir pasien beranjak lebih dari 1 meter dari tempatnya semula, atau
badan terputar lebih dari 30 derajat.
o Nervus IX
Pemeriksaan motorik : disfagia, palatum molle, uvula, disfonia, refleks muntah.
Cara 1 : Pasien diminta untuk membuka mulut dan mengatakan huruf a. Jika ada gangguan
maka otot stylopharyngeus tak dapat terangkat dan menyempit dan akibatnya rongga hidung dan
rongga mulut masih berhubungan sehingga bocor. Jadi pada saat mengucapkan huruf a dinding
pharynx terangkat sedang yang lumpuh tertinggal, dan tampak uvula tidak simetris tetapi tampak
miring tertarik kesisi yang sehat
Cara 2 : Pemeriksa menggoreskan atau meraba pada dinding pharynx kanan dan kiri dan bila ada
gangguan sensibilitas maka tidak terjadi refleks muntah.
Pemeriksaan sensorik : pengecapan 1/3 belakang lidah
o Nervus X
Pemeriksaan bersamaan dengan nervus IX.
o Nervus XI
Memeriksa tonus m. sternocleidomastoideus : Dengan menekan pundak pasien dan
pasien diminta untuk mengangkat pundaknya.

Memeriksa tonus m. trapezius : Pasien diminta untuk menoleh kekanan dan kekiri dan
ditahan

oleh

pemeriksa

kemudian

dilihat

dan

diraba

tonus

dari

m.

sternocleidomastoideus.
o Nervus XII
Dengan adanya gangguan pergerakan lidah, maka perkataan-perkataan tidak dapat diucapkan
dengan baik, hal demikian disebut: dysarthria. Dalam keadaan diam lidah tidak simetris,
biasanya tergeser kedaerah lumpuh karena tonus disini menurun. Bila lidah dijulurkan maka
lidah akan membelok kesisi yang sakit. Melihat apakah ada atrofi atau fasikulasi pada otot lidah.
Kekuatan otot lidah dapat diperiksa dengan menekan lidah kesamping pada pipi dan
dibandingkan kekuatannya pada kedua sisi pipi.

Pemeriksaan sistem motorik

Pemeriksaan sistim motorik sebaiknya dilakukan dengan urutan urutan tertentu untuk menjamin
kelengkapan dan ketelitian pemeriksaan.
o Pengamatan
Gaya berjalan dan tingkah laku.
Simetri tubuh dan ektremitas.
Kelumpuhan badan dan anggota gerak, dll.
o Gerakan volunter
Yang diperiksa adalah gerakan pasien atas permintaan pemeriksa, misalnya:

Mengangkat kedua tangan pada sendi bahu.


Fleksi dan ekstensi artikulus kubiti.
Mengepal dan membuka jari-jari tangan.
Mengangkat kedua tungkai pada sendi panggul.
Fleksi dan ekstensi artikulus genu.
Plantar fleksi dan dorso fleksi kaki.
Gerakan jari- jari kaki.
o Palpasi otot

Pengukuran besar otot.


Nyeri tekan.
Kontraktur.
Konsistensi (kekenyalan).
Konsistensi otot yang meningkat terdapat pada:
Spasmus otot akibat iritasi radix saraf spinalis, misal: meningitis, HNP
Kelumpuhan jenis UMN (spastisitas)

Gangguan UMN ekstrapiramidal (rigiditas)


Kontraktur otot
Konsistensi otot yang menurun terdapat pada
Kelumpuhan jenis LMN akibat denervasi otot.
Kelumpuhan jenis LMN akibat lesi di motor end plate
o Perkusi otot
Normal : otot yang diperkusi akan berkontraksi yang bersifat setempat dan berlangsung
hanya 1 atau 2 detik saja.
Miodema : penimbunan sejenak tempat yang telah diperkusi (biasanya terdapat pada
pasien mixedema, pasien dengan gizi buruk).
Miotonik : tempat yang diperkusi menjadi cekung untuk beberapa detik oleh karena
kontraksi otot yang bersangkutan lebih lama dari pada biasa.
o Tonus otot
Pasien diminta melemaskan ekstremitas yang hendak diperiksa kemudian ekstremitas
tersebut kita gerak-gerakkan fleksi dan ekstensi pada sendi siku dan lutut. Pada orang
normal terdapat tahanan yang wajar.
Flaccid : tidak ada tahanan sama sekali (dijumpai pada kelumpuhan LMN).
Hipotoni : tahanan berkurang.
Spastik : tahanan meningkat dan terdapat pada awal gerakan, ini dijumpai pada
kelumpuhan UMN.
Rigid : tahanan kuat terus menerus selama gerakan misalnya pada Parkinson.
o Kekuatan otot
Pemeriksaan ini menilai kekuatan otot, untuk memeriksa kekuatan otot ada dua cara:

Pasien disuruh menggerakkan bagian ekstremitas atau badannya dan


pemeriksa menahan gerakan ini.

Pemeriksa menggerakkan bagian ekstremitas atau badan pasien dan ia


disuruh menahan.

Cara menilai kekuatan otot:

0 : Tidak didapatkan sedikitpun kontraksi otot, lumpuh total.

1 : Terdapat sedikit kontraksi otot, namun tidak didapatkan gerakan pada


persendiaan yang harus digerakkan oleh otot tersebut.

2 : Didapatkan gerakan,tetapi gerakan ini tidak mampu melawan gaya


berat (gravitasi).

3 : Dapat mengadakan gerakan melawan gaya berat.

4 : Disamping dapat melawan gaya berat ia dapat pula mengatasi sedikit


tahanan yang diberikan.

5 : Tidak ada kelumpuhan (normal)

Sistem sensibilitas
o Eksteroseptif : terdiri atas rasa nyeri, rasa suhu dan rasa raba.
Rasa nyeri bisa dibangkitkan dengan berbagai cara, misalnya dengan menusuk

menggunakan jarum, memukul dengan benda tumpul, merangsang dengan api atau hawa yang
sangat dingin dan juga dengan berbagai larutan kimia.
Rasa suhu diperiksa dengan menggunakan tabung reaksi yang diisi dengan air es untuk rasa
dingin dan sebaliknya. Penderita disuruh mengatakan dingin atau panas bila dirangsang dengan
tabung reaksi yang berisi air dingin atau air panas. Untuk memeriksa rasa dingin dapat
digunakan air yang bersuhu sekitar 10-20 C, dan untuk yang panas bersuhu 40-50 C. Suhu
yang kurang dari 5 C dan yang lebih tinggi dari 50 C dapat menimbulkan rasa-nyeri.
Rasa raba dapat dirangsang dengan menggunakan sepotong kapas, kertas atau kain dan ujungnya
diusahakan sekecil mungkin. Hindarkan adanya tekanan atau pembangkitan rasa nyeri. Periksa
seluruh tubuh dan bandingkan bagian-bagian yang simetris.
o Proprioseptif : rasa raba dalam (rasa gerak, rasa posisi/sikap, rasa getar dan rasa
tekanan)
Rasa gerak : pegang ujung jari jempol kaki pasien dengan jari telunjuk dan jempol jari tangan
pemeriksa dan gerakkan keatas kebawah maupun kesamping kanan dan kiri, kemudian pasien
diminta untuk menjawab posisi ibu jari jempol nya berada diatas atau dibawah atau disamping
kanan/kiri.
Rasa sikap : Tempatkan salah satu lengan/tungkai pasien pada suatu posisi tertentu, kemudian
suruh pasien untuk menghalangi pada lengan dan tungkai. Perintahkan untuk menyentuh dengan
ujung ujung telunjuk kanan, ujung jari kelingking kiri dan sebagainya.
Rasa getar : Garpu tala digetarkan dulu/diketuk pada meja atau benda keras lalu letakkan diatas
ujung ibu jari kaki pasien dan mintalah pasien menjawab untuk merasakan ada getaran atau tidak
dari garputala tersebut.

o Diskriminatif : daya untuk mengenal bentuk/ukuran; daya untuk mengenal atau


mengetahui berat sesuatu benda dan sebagainya.
Rasa gramestesia : untuk mengenal angka, aksara, bentuk yang digoreskan diatas kulit pasien,
misalnya ditelapak tangan pasien.
Rasa barognosia : untuk mengenal berat suatu benda.
Rasa topognosia : untuk mengenal tempat pada tubuhnya yang disentuh pasien.

Refleks
o Refleks fisiologis

Biseps
Stimulus

: ketokan pada jari pemeriksa yang ditempatkan pada tendon m. biseps brachii,

posisi lengan setengah ditekuk pada sendi siku.


Respons

: fleksi lengan pada sendi siku.

Afferent

: n. musculucutaneus (C5-6)

Efferenst

: idem

Triseps
Stimulus

: ketukan pada tendon otot triseps brachii, posisi lengan fleksi pada sendi siku dan

sedikit pronasi.
Respons

: extensi lengan bawah disendi siku

Afferent

: n. radialis (C 6-7-8)

Efferenst

: idem

KPR
Stimulus

: ketukan pada tendon patella

Respons

: ekstensi tungkai bawah karena kontraksi m. quadriceps emoris.

Efferent

: n. femoralis (L 2-3-4)

Afferent

: idem

APR
Stimulus

: ketukan pada tendon achilles

Respons

: plantar fleksi kaki karena kontraksi m. gastrocnemius

Efferent

: n. tibialis ( L. 5-S, 1-2 )

Afferent

: idem

Periosto-radialis

Stimulus

: ketukan pada periosteum ujung distal os radii, posisi lengan setengah fleksi dan

sedikit pronasi
Respons

: fleksi lengan bawah di sendi siku dan supinasi karena kontraksi m. brachioradialis

Afferent

: n. radialis (C 5-6)

Efferenst

: idem

Periosto-ulnaris
Stimulus

: ketukan pada periosteum proc. styloigeus ulnea, posisi lengan setengah fleksi &

antara pronasi supinasi.


Respons

: pronasi tangan akibat kontraksi m. pronator quadratus

Afferent

: n. ulnaris (C8-T1)

Efferent

: idem

o Refleks patologis
Babinski
Stimulus : penggoresan telapak kaki bagian lateral dari posterior ke anterior.
Respons : ekstensi ibu jari kaki dan pengembangan (fanning) jari jari kaki.
Chaddock
Stimulus : penggoresan kulit dorsum pedis bagian lateral, sekitar malleolus lateralis dari
posterior ke anterior.
Respons : seperti babinski
Oppenheim
Stimulus : pengurutan crista anterior tibiae dari proksimal ke distal
Respons : seperti babinski
Gordon
Stimulus : penekanan betis secara keras
Respons : seperti babinski
Schaeffer
Stimulus : memencet tendon achilles secara keras
Respons : seperti babinski

Gonda
Stimulus : penekukan ( planta fleksi) maksimal jari kaki keempat
Respons : seperti babinski
Hoffman
Stimulus : goresan pada kuku jari tengah pasien
Respons : ibu jari, telunjuk dan jari jari lainnya berefleksi
Tromner
Stimulus : colekan pada ujung jari tengah pasien
Respons : seperti Hoffman

3.3 Penegakan diagnosis Pada Transient Tics Disorder


Penegakkan diagnosis dari Transient Tic Disorder menurut kriteria Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat (DSM-IV) sebagai berikut :
1. Tic vokal dan/atau motorik tunggal atau multiple ( yaitu, gerakan motorik atau vokalisasi
yang tiba-tiba, cepat, rekuren, nonritmik, stereotipik)
2. Tic terjadi berulang kali dalam sehari, hampir setiap hari selama sekurangnya empat
minggu tetapi tidak lebih lama dari 12 bulan berturut-turut.
3. Gangguan menyebabkan penderitaan yang jelas atau gangguan bermakna dalam fungsi
sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
4. Onset sebelum usia 18 tahun.
5. Gangguan bukan karena efek fisiologis langsung dar suatu zat (misalnya, stimultan) atau
kondisi medis umum (misalnya, penyakit Huntington atau ensefalitis pasca infeksi virus).
6. Tidak pernah memenuhi kriteria untuk gangguan Tourette atau gangguan tic motorik atau
vokal kronis (Sadock, 2010).
Penegakkan diagnosis dari Transient Tic Disorder menurut Menurut PPDGJ-III :
1. Ticadalah suatu gerakan motorik (yang lazimnya mencakup sekelompok otot khas
tertentu) yang tidak di bawah pengendalian, berlangsung cepat, dan berulang-ulang, tidak
berirama, ataupun suatu hasil vocal yang timbul mendadak dan tidak ada tujuannya yang

nyata. Tic jenis motorik dan jenis vokalmungkin dapat dibagi dalam golongan yang
sederhana dan yang kompleks, sekalipun penggarisan batasannya kurang jelas.
2. Ciri khas yang membedakan Ticdari gangguan motorik lainnya adalah gerakan yang
mendadak, cepat, sekejab, dan terbatasnya gerakan, tanpa bukti gangguan neurologis
yang mendasari; sifatnya berulang ulang; (biasanya) terhenti saat tidur, dan mudahnya
gejala itu ditimbulkan kembali atau ditekan dengan kemauan. Kurang beriramanya tic
itu yang membedakannya dari gerakan yang stereotipik berulang yang nampak pada
beberapa kasus autism dan retardasi mental. Aktivitas motorik manneristik yang tampak
pada gangguan ini cenderung mencakup gerakan yang lebih rumit dan bervariasi daripada
gejala tic. Gerakan Obsesif Kompulsif sering menyerupai tic yang kompleks
namun berbeda karena bentuknya ditentukan oleh tujuannya(misalnya menyentuh atau
memutar benda secara berulang) daripada oleh sekelompok otot yang terlibat; walaupun
demikian acapkali sulit untuk membedakannya.
3. ticseringkali terjadi sebagai fenomena tunggal namun tidak jarang disertai variasi
gangguan emosional yang luas, khususnya, fenomena obsesi dan hipokondrik. Namun
ada pula beberapa hambatan perkembangan khas disertai tic. Tidak terdapat garis
pemisah yang khas antara gangguan tic dengan berbagai gangguan emosional dan
gangguan emosional disertai tic. Diagnosisnya mencerminkan gangguan utamanya.
4. Gangguan ini tidak lebih dari 12 bulan.
5. Bentuk ini paling sering terjadi pada anak anak usia 4-5 tahun; biasanya berupa .
kedipan mata, muka menyeringai, atau kedutan kepala, pada beberapa kasus hanya
berupa episode tunggal, namun pada beberapa kasus lain hilang timbul selama beberapa
bulan (Maslim, 2003).

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Transient tic disorders adalah kondisi sementara di mana seseorang membuat singkat satu
atau banyak, berulang, sulit untuk mengontrol gerakan atau suara (tics) yang dapat disebabkan
faktor genetik dan faktor sekunder. Penegakkan diagnosis dari Transient Tic Disorder ini bisa
dilakukan langsung dan dengan pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan seperti imaging
photo. Penatalaksaan transient tic disorders terdiri dari terapi lama dan terapi baru. Terapi lama
meliputi pendektatan holistik, terapi perilaku dan kognitif-perilaku, farmakologi, alternatif lain.
Terapi baru terdiri dari suntik toksin botulinum dan terapi psikofarmakologi. Prognosis transient
tic disorders adalah baik.
4.2 Saran
Penulis menyadari masih banyak kesalahan dan kekurangan pada karya tulis ilmiah ini.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk karya tulis
ilmiah ini, agar dikemudian hari penulis dapat berbuat lebih baik lagi. Semoga karya tulis ilmiah
ini bermanfaat bagi penulis pada khusunya dan pembaca pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA
Amir, Darwin. 2012. Neurotransmitter Faktor Penentu Kekuatan dan Kelemahan Seseorang.
Jakarta: Teknologi Bandung Sains
Baehr, M dan M. frotscher. 2005. Diagnosis Topik Neurologi DUUS.Jakarta: EGC
Hardiyanti.

2014.

Sistem

Saraf

Manusia,

http://www.academia.edu/7389342/Sistem_Saraf.
(

diakses 5 Desember pukul 19.15 WIB)

Putriasni. 2014. Transientics Disorder, https://www.scribd.com/doc/202527772/Transient


(diakses 8 Desember 2014 pukul 20.15 WIB)
Yuwono, Triwibowo. 2005. Biologi Molekular. Jakarta: Erlangga

Anda mungkin juga menyukai