Anda di halaman 1dari 18

DAFTAR ISI

Daftar isi .................................................................................................................... 1


BAB I

: Pendahuluan ..................................................................................... 2

BAB II

: Laporan kasus ................................................................................... 3

BAB III

: Pembahasan ...................................................................................... 5

BAB IV

: Tinjauan Pustaka .............................................................................

BAB V

: Kesimpulan......................................................................................

Daftar Pustaka ...........................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN

BAB II
LAPORAN KASUS
Skenario 1
Ny. S, 35 tahun, datang berobat ke sebuah klinik bedah dengan keluhan utama
tidak dapat buang air kecil. Setiap kali ingin BAK, perlu ditolong dengan memakai
kateter. Setelah dilakukan pemeriksaan lengkap, termasuk kolonoskopi, ditemukan
adanya tumor pada daerah kolon yang mendesak vesika urinaria sehingga
mengakibatkan kesulitan BAK. Dokter menganjurkan untuk dilakukan tindakan
pembedahan pengangkatan tumor mengingat tumornya belum seberapa besar. Ny. S
dan keluarganya setuju saran dokter dan menandatangani informed consent.

Skenario 2
Saat pembedahan dilakukan, dokter menemukan banyak terjadi perlengketan
dan ternyata karsinoma primernya ada pada ovarium kiri. Dihadapkan pada kenyataan
yang ada saat itu dan kondisi pasien yang tampak melemah, dokter segera
memutuskan untuk melakukan reseksi kolon dan mengangkat ovariumnya tanpa
konsultasi dulu dengan dokter obgyn.
Setelah operasi, kondisi pasien tampak membaik dan dokter segera
memberikan kemoterapi serta penyinaran. Akibat efek samping kemoterapi dan
penyinaran itu, Ny. S, merasakan penderitaan yang luar biasa, tidak bisa makan
karena sangat mual dan nyeri yang kadang-kadang hampir tidak tertahankan.
Ny.S, akhirnya mengambil keputusan untuk menolak terapi apa pun dan
memilih tinggal di rumah bersama keluarganya. Ia menyadari bahwa penyakitnya
tidak bisa diobati dan hidupnya tidak akan lama lagi.

Skenario 3
Sikap Ny.S yang menolak semua terapi dari dokter, berdampak pada kondisi
fisiknya yang semakin kurus. Atas saran teman-temannya dan juga desakan dari

keluarga, Ny. S lalu mencoba berobat ke pengobatan alternatif. Ramuan jamu dari
pengobatan

alternatif,

ternyata

tidak

memberikan

perbaikan

pada

kondisi

kesehatannya. Kondisi Ny.S semakin parah dan sekarang malah sering merasakan
sakit yang luar biasa yang hampir-hampir tidak tertahankan. Melihat keadaan Ny.S,
suaminya lalu minta bantuan dokter di dekat rumahnya untuk mengatasi rasa sakitnya.
Dokter lalu memberikan suntikan morfin. Akibat suntikan morfin itu, Ny.S tertidur
dan kelihatannya rasa sakitnya bisa diredakan. Namun setelah efek morfin itu hilang,
Ny.S tampak kesakitan kembali sehingga dokter terpaksa harus memberikan suntikan
morfin beberapa kali dengan dosis yang semakin bertambah. Pada akhirnya nyawa
Ny.S tidak dapt dipertahankan, ia akhirnya meninggal.

BAB III
PEMBAHASAN
Identitas Pasien
Nama

: Ny.S

Usia

: 35 tahun

Alamat

:-

Pekerjaan

:-

Status

: Menikah

Dari skenario kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa masalah
yang dapat kami tinjau retrospektif, pro-kontra dari segi/perspektif Medis (Ilmu
Kedokteran), Bioetika dan Moral, Hukum dan Agama, yaitu:
1. Penetapan diagnosis tumor di daerah kolon oleh dokter bedah, anjuran
dilakukannya tindakan pembedahan dan pengangkatan tumor, serta
penandatanganan inform consent.
PRO

KONTRA

Dari perspektif Medis (Ilmu Kedokteran):


Tindakan medis memiliki tujuan utama Standart profesi medis sesungguhnya
yaitu untuk menegakkan diagnosis dan harus memiliki unsur terpenting yaitu
melaksanakan terapi. Dokter bedah telah bebas dari kelalaian, jadi tindakan harus
melakukan pemeriksaan dan menetapkan dilakukan secara teliti dan hati-hati.
diagnosis.

Dokter

bedah

melakukan

tindakan

sesuai

sudah Pernyataan ini, jika dihubungkan dengan


standar kasus,

yaitu

dokter

bedah

setelah

profesi medis, dimana unsur utama dari menetapkan diagnosis adanya tumor di
suatu

tindakan

yang

sesuai

standar daerah kolon, tidak melakukan tindakan

profesi medis telah dipenuhi dokter, yaitu biopsy, yang kami rasa cukup penting
ada indikasi medis dan standart medis.

dilakukan

dari

segi

medis,

untuk

mengetahui apakah tumor di daerah kolon


tersebut merupakan tumor primer atau
sekunder dan mengetahui stadium tumor.

Dari perspektif Bioetika dan Moral:


Secara

umum,

dokter

bedah

tidak Namun perlu digaris bawahi, sikap dokter

melanggar 4 prinsip moral utama, yaitu yang

terlalu

percaya

prinsip moral otonomi, beneficence, non- kenyataanya

diri,

cenderung

pada

menganut

maleficience, dan justifikasi. Sikap dokter hubungan dokter-pasien yang menyatakan


yang menganjurkan untuk dilakukan bahwa setiap keputusan dokter selalu
pembedahan

pengangkatan

tumor, benar,

sehingga

kemungkinan

untuk

menunjukan bahwa dokter memegang melanggar prinsip otonomi pasien pun


prinsip menghormati otonomi pasien tidak dapat dihindari, walaupun demi
dimana pasien berhak untuk memilih dan kebaikan pasien.
menolak terapi yang akan dilakukan oleh
dokter.
Dari perspektif Hukum:
Pasien menandatangani informed consent. Dokter bedah melalukan tindakan
yang lege artis karena selain tindakan medis harus memenuhi standart profesi medis,
juga harus menghormati hak-hak pasien dalam bentuk informed consent.
Seperti yang diceritakan pada kasus, dapat kami simpulkan, informed consent
yang ditandatangani Ny. S tidak cacat hukum, karena ditandatangani oleh seseorang
yang cakap hukum, yang artinya ia telah dewasa (telah mencapai umur 21 tahun atau
telah pernah menikah), sadar dan berada dalam keadaan mental yang baik.

2. Dokter menemukan banyak terjadi perlengketan dan karsinoma


primernya ada pada ovarium kiri. Karena kondisi pasein melemah,
dokter segera memutuskan untuk melakukan reseksi kolon dan
mengangkat ovarium pasien tanpa konsultasi dulu dengan dokter obgyn.
PRO

KONTRA

Dari perspektif Medis (Ilmu Kedokteran):


Dokter bedah melakukan reseksi kolon Hal ini dapat terjadi karena ada satu
dan

mengangkat

ovarium

pasien, pemeriksaan yang seharusnya dilakukan

merupakan tindakan tepat mengingat dokter bedah yaitu biopsy. Jika biopsy
kondisi pasien yang tampak melemah.

dilakukan, mungkin kejadian seperti ini


dapat dicegah.

Dari perspektif Bioetika dan Moral:


Tindakan dokter bedah ini dinilai tepat Dokter bedah mengangkat ovarium kiri
dan

bermoral,

menurut

prinsip tanpa persetujuan dari pasien dimana

beneficence yaitu prinsip moral yang mengingat usia pasien masih produktif.
mengutamakan tindakan yang ditujukan Dokter bedah dianggap melanggar prinsip
kebaikan

pasien,

mengingat

kondisi otonomi pasien.

pasien yang melemah, terlepas melemah Dokter bedah melanggar prinsip nonakibat tumor yang diderita ataupun proses maleficence, yang berarti prinsip moral
operasi.

yang

melarang

tindakan

yang

memperburuk keadaan pasien. Seperti


yang disebutkan di kasus, bahwa dokter
bedah

ini

melakukan

pengangkatan

ovarium tanpa konsultasi dulu dengan


dokter obgyn. Dokter bedah ini mungkin
berkompetensi

untuk

mengangkat

ovarium kiri, tapi tidak berwenang untuk


melakukannya.
Dari perspektif Hukum:
Dokter dapat bertindak melebihi yang Informasi yang diberikan saat pasien
telah disepakati hanya apabila gawat menandatangani informed consent nya
darurat

dan

keadaan

tersebut adalah

tindakan

pembedahan

membutuhkan waktu yang singkat untuk pengangkatan tumor pada daerah kolon.
mengatasinya. Maka keputusan yang Namun tindakan yang dilakukan dokter
diambil dokter bedah ini, dirasa tepat. Hal adalah reseksi kolon dan pengangkatan
ini dijabarkan dalam PERMENKES No. ovarium kiri pasien. Informed consent
585/PerMenKes/Per/IX/1989,
Persetujuan Tindakan

tentang memiliki lingkup terbatas pada hal-hal

Medik, bahwa yang telah dinyatakan sebelumnya, tidak

dalam keadaan darurat tidak diperlukan dapat dianggap sebagai persetujuan atas
Informed consent.

semua tindakan yang akan dilakukan


dokter.

3. Akibat efek samping kemoterapi, pasien menolak terapi apapun dan


menyadari bahwa penyakit nya tidak bisa diobati dan hidupnya tidak
akan lama lagi.

PRO

KONTRA

Dari perspektif Medis (Ilmu Kedokteran):


Pengobatan dengan kemoterapi turut Kemungkinan
membunuh

sel-sel

hidup

disekitar menjelaskan

dokter
efek

bedah

tidak

samping

dari

jaringan tumor, selain dirasa sakit dan kemoterapi sehingga hanya kesakitanlah
mengeluarkan biaya yang besar, hasilnya yang dirasa Ny.S.
Efek samping dari kemoterapi dapat
pun belum tentu dapat sembuh.
terjadi sementara. Jika terapi tersebut
dihentikan, maka penyembuhan pasien
akan makin lambat walaupun setelah
operasi,

kondisi

pasien

ini

tampak

membaik.
Dari perspektif Bioetika dan Moral:
Salah satu hak pasien untuk menerima Sebagai dokter bermoral, ada baiknya
atau

menolak

pengobatan

setelah dokter bedah ini, menjelaskan sedetail-

menerima informasi yang adekuat, seperti detailnya, bahwa yang dialami pasien
yang

dilakukan

mendapatkan

Ny.S.

second

Hak

untuk sekarang, hanya merupakan efek samping

opinion

pun dari kemoterapi yang dapat diatasi dan

dimiliki Ny.S.

jika

tumor/penyakit

pasien

sudah

dinyatakan sembuh, maka terapi ini akan


diakhiri.
Jika pasien tetap menolak, maka dokter
bedah tersebut tidak bersalah secara
moral, mengingat ada prinsip otonomi
yang harus dijalankan dokter yaitu,
prinsip

moral

menghormati

hak-hak

pasien.
Dari perspektif Hukum:
UU no. 44 tahun 2009 pasal 32 tentang Menolak pengobatan atau secara tegas
Hak Pasien, salah satunya hak untuk menerima perawatan medis dapat disebut

memberikan persetujuan atau menolak euthanasia pasif/ auto-euthanasia. Pada


suatu tindakan medis.

kondisi ini, pasien sudah mengetahui

UU No 29 tahun 2004, tentang Praktik bahwa

penolakannya

Kedokteran menyebutkan pada pasal 45 memperpendek

tersebut

atau

akan

mengakhiri

ayat 3, bahwa pasien memiliki hak untuk hidupnya. Degan penolakan tersebut,
mendapatkan penjelasan secara lengkap pasien harus memnuat pernyataan yang
tentang

tindakan

pendapat

dokter

pelayanan

sesuai

medis,
lain,

meminta tertulis. Tindakan yang dilakukan ini

mendapatkan tidak

dengan

membuat

pasien

langsung

kebutuhan meninggal setelah diberhentikan asupan

medis, menolak tindakan medis dan medisnya, tetapi secara perlahan-lahan.


mendapatkan isi rekam medis.
Dari perspektif Agama:
Sesungguhnya perlu diketahui, apa motif Ny.S menyadari bahwa penyakitnya tidak
dibalik Ny.S menolak pengobatan dari bisa diobati dan hidupnya tidak akan lama
dokter. Jika untuk kebaikan diri sendiri lagi. Tentu saja itu pemikiran yang salah,
dan orang lain, maka dari pandangan menurut beberapa pandangan agama di
agamapun memperbolehkan.

Indonesia.

Pandangan Agama Islam


Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat
siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Q.S Albaqoroh: 286). Dapat
disimpulkan bahwa Allah tidak akan memberi ujian dan cobaan kepada
hamba-Nya diluar batas kemampuan hambanya itu.
Walaupun demikian, apabila seseorang ditimpa suatu penyakit tidaklah
meniadakan usaha (ikhtiar) untuk berobat. Rasulullah shallalllahu alaihi wa
sallam bersabda: Allah

tidak

menurunkan

penyakit

melainkan

pasti

menurunkan obatnya.
Pandangan Agama Kristen
Memandang manusia bukan sebagai objek atau materi. Sakit tidak hanya
penyembuhan etiologi medis, namun diberikan pengobatan agar pasien merasa
lebih nyaman.
Pandangan Agama Hindu
Disebutkan dalam Ayurveda, bahwa obat adalah alat untuk mengembalikan
harmoni seseorang yang sakit. Maka dari itu, jika pasien menolak pengobatan
dokter, ada baiknya pasien tetap berusaha sembuh dengan mencari pengobatan

jenis lain seperti pengobatan alternatif maupun spiritual keagamaan. Sehingga


dokter tidak menyimpang dari kode etik dan pasien mendapatkan kebebasan
mencapai kehendaknya.
Pandangan Agama Katolik
Meskipun nyatanya kematian sudah dekat, perawatan yang biasanya diberikan
kepada orang sakit, tidak boleh dihentikan. Perawatan orang yang sakit adalah
satu bentuk cinta kasih.
Pandangan Agama Budha
Setiap orang sakit berusaha untuk sembuh, untuk mengurangi penderitaannya,
itu adalah hak sebagai manusia.

4. Setelah menolak semua terapi dari dokter, keadaan Ny.S memburuk dan
Ny.S memilih terapi alternatif, namun tidak memberikan perbaikan pada
kondisi kesehatan Ny.S.
PRO

KONTRA

Dari perspektif Medis (Ilmu Kedokteran):


Keadaan Ny.S memburuk dapat disebabkan oleh penolakan Ny.S akan semua terapi
dari dokter. Selain itu anggapan Ny.S akan penyakitnya yang tidak bisa diobati dan
hidupnya tidak akan lama lagi dapat juga memperburuk kondisi pasien.
Terapi
alternatif
bisa
dikatakan Tidak semua terapi alternatif berhasil.
merupakan salah satu terapi diluar terapi Terapi

alternatif

yang

baik

harus

medis. Banyak pasien yang melakukan didasarkan atas evidence-based medicine


terapi alternatif dengan alasan terapi (EBM) atau bukti-bukti terbaik saat ini
medis mengeluarkan banyak biaya dan yang terkait dengan perawatan pasien.
tidak

membuahkan

yang diinginkan.

hasil/kesembuhan Pada kasus pun dijelaskan, bahwa ramuan


jamu

dari

pengobatan

alternatif,

ternyata tidak memberikan perbaikan


pada kondisi kesehatan Ny.S.
Dari perspektif Bioetika dan Moral:
Tidak ada prinsip moral dan hak-hak pasien yang dilanggar dokter.
Dari skenario kasus didapatkan bahwa Ny.S menolak semua terapi dari dokter dan
atas saran teman-temannya dan desakan keluarganya, Ny.S mencoba pengobatan
alternatif. Bisa disimpulkan pasien dalam fase menyerah (menurut teori Elisabeth-

Kulber ross) menghadapi penyakitnya.


Dari perspektif Agama:
Dapat ditarik kesimpulan bahwa pandangan agama-agama di Indonesia, tidak
melarang adanya pengobatan alternatif yang dijalani seseorang, karena digambarkan
sebagai salah satu usaha pasien dalam memperoleh kesembuhan.
5. Kondisi Ny.S semakin parah. Melihat keadaan Ny.S, suaminya meminta
bantuan dokter di dekat rumahnya untuk mengatasi rasa sakit Ny.S.
Dokter memberikan suntikan morfin.

PRO

KONTRA

Dari perspektif Medis (Ilmu Kedokteran):


Morfin adalah golongan opioid yang Pemberian
sangat kuat, bekerja langsung di sistem dependensi
saraf pusat untuk menghilangkan sakit. kecanduan

morfin
fisik
yang

menimbulkan
(addiktif,

dosisnya

yaitu
semakin

Pada kasus tindakan ini dirasa tepat, meningkat). Syndroma abstinensia (badan
karena pemberian morfin dapat dilakukan menggigil,

pupil

melebar,

keringat

pada keadaan nyeri kronis, sebagai bercucuran, dll), yaitu gejala yang dapat
analgetik dan memberi rasa tenang pada muncul akibat pemakaian morfin yang
pasien (euphoria).

dihentikan secara mendadak.

6. Pada akhirnya nyawa Ny.S tidak dapat dipertahankan, ia akhirnya


meninggal.

PRO

KONTRA

Dari perspektif Medis (Ilmu Kedokteran):


Keterbatasan

ilmu

kedokteran

untuk Cara kerja morfin dalam tubuh adalah

mengobati penyakit yang diderita pasien, dengan menekan pusat penafasan. Pasien
bisa saja mengakibatkan penderitaan atau yang mendapat suntikan morfin dalam
sesuatu yang buruk yang dapat menimpa dosis yang berlebihan (overdosis), akan
pasien, yaitu kematian.

mengalami depresi pernafasan yang fatal,


dan dapat menyebabkan kematian.

Dari perspektif Agama tentang kematian:


Pandangan Agama Islam
dan untukmu tempat tinggal di atas bumi dan kesenangan hingga waktu yang
ditentukan (ajal) (Al-Baqarah 36)
Pandangan Agama Hindu
Kalau jiwatman meninggalkan raga sarira (jasmani) sehingga jasmani tidak
berfungsi lagi maka disebut mati. Jiwatman merupakan titik terkecil dari
Brahman atau ParamaAtma.
Pandangan Agama Katolik
Badan adalah dimensi fisik yang bersifat fana yang menyebabkan terbatas oleh
ruang dan waktu.
Pandangan Agama Budha
Makna kematian adalah akhir dari kehidupan yang sekarang.
Pandangan Agama Kristen
Dasar penciptaan adalah kehendak Allah. Jadi ada atau tidaknya segala sesuatu
di atas dunia ini bukan kehendak siapa-siapa kecuali kehendak Allah.
Kematian adalah hasil dosa manusia yang berontak terhadap Sang Pencipta.
Sesungguhnya semua pandangan agama setuju bahwa kematian itu ialah Kuasa Tuhan
yang Maha Esa bukan ditentukan dari kuasa dokter yang menangani pasien dari
penyakitnya.

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
INFORMED CONSENT
Secara harfiah consent artinya persetujuan, atau lebih tajam lagi, izin.
Jadi Informed consent adalah persetujuan atau izin oleh pasien atau keluarga yang
berhak kepada dokter untuk melakukan tindakan medis pada pasien, seperti
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lain-lain untuk menegakkan diagnosis, memberi
obat, melakukan suntikan, menolong bersalin, melakukan pembiusan, melakukan
pembedahan, melakukan tindak-lanjut jika terjadi kesulitan, dan sebagainya.
Selanjutnya kata

Informed terkait dengan informasi atau penjelasan. Dapat

disimpulkan bahwa Informed consent adalah persetujuan atau izin oleh pasien (atau
keluarga yang berhak) kepada dokter untuk melakukan tindakan medis atas dirinya,
setelah kepadanya oleh dokter yang bersangkutan diberikan informasi atau penjelasan
yang lengkap tentang tindakan itu. Mendapat penjelasan lengkap itu adalah salah satu
hak pasien yang diakui oleh undang-undang sehingga dengan kata lain Informed
consent adalah Persetujuan Setelah Penjelasan. Sedangkan menurut Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 585 Tahun 1989, Persetujuan Tindakan Medik adalah Persetujuan
yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan
medic yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.

Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur dalam :


1.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1992 tentang

2.

Kesehatan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran dan Penjelasannya, yaitu:
Pasal 45 ayat (1) : Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi yang akan dilakukan oleh
pasien harus mendapatkan persetujuan.
Pasal 45 ayat (2) : Persetujuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat

3.
4.

(1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.


Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI).
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang

5.

Persetujuan Tindakan Medis.


Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1419/Men.Kes/Per/X/2005 tentang

6.
7.

Penyelanggaraan Praktik Kedokteran.


Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan.
Surat Keputusan PB IDI No 319/PB/A4/88.

Bentuk Informed consent


Ada 2 bentuk Persetujuan Tindakan Medis, yaitu :
1.

Implied Consent (dianggap diberikan)


Umumnya implied consent diberikan dalam keadaan normal, artinya dokter
dapat menangkap persetujuan tindakan medis tersebut dari isyarat yang
diberikan pasien. Demikian pula pada kasus emergency sedangkan dokter
memerlukan tindakan segera sementara pasien dalam keadaan tidak bisa
memberikan persetujuan dan keluarganya tidak ada ditempat, maka dokter

2.

dapat melakukan tindakan medik terbaik menurut dokter.


Expressed Consent (dinyatakan)
Dapat dinyatakan secara lisan maupun tertulis. Dalam tindakan medis yang
bersifat invasive dan mengandung resiko, dokter sebaiknya mendapatkan
persetujuan secara tertulis, atau yang secara umum dikenal di rumah sakit
sebagai surat izin operasi.

Hakikat Informed consent mengandung 2 (dua) unsur esensial yaitu :


1. Informasi yang diberikan oleh dokter;
2. Persetujuan yang diberikan oleh pasien.
Sehingga persetujuan yang diberikan oleh pasien memerlukan beberapa masukan

sebagai berikut :
1.

Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan

2.

medis tertentu (masih berupa upaya percobaan).


Deskripsi tentang efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang tidak

3.

diinginkan yang mungkin timbul.


Deskripsi tentang keuntungan-keuntungan yang dapat diantisipasi untuk

4.

pasien.
Penjelasan tentang perkiraan lamanya prosedur / terapi / tindakan

5.

berlangsung.
Deskripsi tentang hak pasien untuk menarik kembali consent tanpa adanya

6.

prasangka mengenai hubungannya dengan dokter dan lembaganya.


Prognosis tentang kondisi medis pasien bila ia menolak tindakan medis
tersebut.
Informasi yang harus diberikan oleh dokter dengan lengkap kepada pasien

menurut UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 45, ayat (3)
sekurang-kurangnya mencakup:
a.
b.
c.
d.
e.

Diagnosis dan tata cara tindakan medis;


Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
Alternatif tindakan lain dan risikonya;
Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
Prognosis (kemungkinan hasil perawatan) terhadap tindakan yang dilakukan.
Penjelasan seharusnya diberikan oleh dokter yang akan melakukan tindakan

medis itu sendiri, bukan oleh orang lain, misalnya perawat. Penjelasan diberikan
dengan bahasa dan kata-kata yang dapat dipahami oleh pasien sesuai dengan tingkat
pendidikan dan kematangannya, serta situasi emosionalnya. Dokter harus berusaha
mengecek apakah penjelasannya memang dipahami dan diterima pasien. Jika belum,
dokter harus mengulangi lagi uraiannya sampai pasien memahami benar. Dokter tidak
boleh berusaha mempengaruhi atau mengarahkan pasien untuk menerima dan
menyetujui

tindakan

medis

yang

sebenarnya

diinginkan

dokter.

Pada

hakikatnya Informed consent adalah suatu proses komunikasi antara dokter dan pasien
tentang kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien (ada
kegiatan penjelasan rinci oleh dokter), sehingga kesepakatan lisan pun sesungguhnya
sudah cukup. Penandatanganan formulir Informed consent secara tertulis hanya
merupakan pengukuhan atas apa yang telah disepakati sebelumnya. Tujuan penjelasan
yang lengkap adalah agar pasien menentukan sendiri keputusannya sesuai dengan
pilihan dia sendiri (informed decision). Karena itu, pasien juga berhak untuk menolak

tindakan medis yang dianjurkan. Pasien juga berhak untuk meminta pendapat dokter
lain (second opinion),dan dokter yang merawatnya.
Yang berhak memberikan persetujuan atau menyatakan menolak tindakan
medis pada dasarnya, pasien sendiri jika ia dewasa dan sadar sepenuhnya. Namun,
menurut Penjelasan Pasal 45 UU Nomor 29 Tahun 2004 tersebut di atas, apabila
pasien sendiri berada di bawah pengampuan, persetujuan atau penolakan tindakan
medis dapat diberikan oleh keluarga terdekat, antara lain suami/isteri, ayah/ibu
kandung, anak-anak kandung atau saudara-saudara kandung. Dalam keadaan gawat
darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan. Namun,
setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah memungkinkan, segera diberikan
penjelasan dan dibuat persetujuan.
Informed consent dapat diberikan secara tertulis, secara lisan, atau secara
isyarat. Dalam bahasa aslinya, yang terakhir ini dinamakan implied consent. Untuk
tindakan

medis

dengan

risiko

tinggi

(misalnya

pembedahan

atau

tindakan invasive lainnya), persetujuan harus secara tertulis, ditandatangani oleh


pasien sendiri atau orang lain yang berhak dan sebaiknya juga saksi dari pihak
keluarga.
Adapun fungsi dari Informed consent adalah :
1.
2.
3.
4.

Promosi dari hak otonomi perorangan;


Proteksi dari pasien dan subyek;
Mencegah terjadinya penipuan atau paksaan;
Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk mengadakan

5.
6.

introspeksi terhadap diri sendiri;


Promosi dari keputusan-keputusan rasional;
Keterlibatan masyarakat (dalam memajukan prinsip otonomi sebagai suatu
nilai social dan mengadakan pengawasan dalam penyelidikan biomedik.
Dalam keadaan gawat darurat Informed consent tetap merupakan hal yang

paling penting walaupun prioritasnya diakui paling bawah. Prioritas yang paling
utama

adalah

tindakan

menyelamatkan

nyawa.

Walaupun

tetap

penting,

namun Informed consent tidak boleh menjadi penghalang atau penghambat bagi
pelaksanaan emergency care sebab dalam keadaan kritis dimana dokter berpacu
dengan maut, ia tidak mempunyai cukup waktu untuk menjelaskan sampai pasien
benar-benar menyadari kondisi dan kebutuhannya serta memberikan keputusannya.
Dokter juga tidak mempunyai banyak waktu untuk menunggu kedatangan keluarga
pasien. Kalaupun keluarga pasien telah hadir dan kemudian tidak menyetujui tindakan

dokter, maka berdasarkan doctrine of necessity, dokter tetap harus melakukan


tindakan

medik.

Hal

ini

dijabarkan

dalam

PerMenKes

Nomor

585/PerMenKes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik, bahwa dalam


keadaan

emergency tidak

diperlukan

Informed

consent.

Ketiadaan informed

consent dapat menyebabkan tindakan malpraktek dokter, khususnya bila terjadi


kerugian atau intervensi terhadap tubuh pasiennya. Hukum yang umum diberbagai
Negara menyatakan bahwa akibat dari ketiadaan informed consent setara dengan
kelalaian/keteledoran. Akan tetapi, dalam beberapa hal, ketiadaan informed
consent tersebut setara dengan perbuatan kesengajaan, sehingga derajat kesalahan
dokter pelaku tindakan tersebut lebih tinggi. Tindakan malpraktek dokter yang
dianggap setara dengan kesengajaan adalah sebagai berikut :
1.

Pasien sebelumnya menyatakan tidak setuju terhadap tindakan dokter, tetapi

2.

dokter tetap melakukan tindakan tersebut.


Jika dokter dengan sengaja melakukan tindakan misleading tentang risiko

3.

dan akibat dari tindakan medis yang diambilnya.


Jika dokter dengan sengaja menyembunyikan risiko dan akibat dari tindakan

4.

medis yang diambilnya.


Informed consent diberikan terhadap prosedur medis yang berbeda secara
substansial dengan yang dilakukan oleh dokter.
Akibat hukum dari dilakukannya perjanjian tertuang di dalam Pasal 1338 dan

1339 KUHPerdata, sebagai berikut:


Pasal 1338 : Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain
dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undangundang dinyatakan cukup untuk itu.
Pasal 1339 : Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat
perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.
Dari kedua pasal tersebut dapat diambil pengertian sebagai berikut :
1.

Perjanjian terapeutik berlaku sebagai undang-undang baik bagi pihak pasien


maupun pihak dokter, dimana undang-undang mewajibkan para pihak

2.

memenuhi hak dan kewajibannya.


Perjanjian terapeutik tidak dapat ditarik kembali tanpa kesepakatan pihak

3.

lain.
Kedua belah pihak, baik dokter maupun pasien harus sama-sama beritikad

4.

baik dalam melaksanakan perjanjian terapeutik.


Perjanjian hendaknya dilaksanakan sesuai dengan tujuan dibuatnya
perjanjian yaitu kesembuhan pasien, dengan mengacu pada kebiasaan dan
kepatutan yang berlaku dalam bidang pelayanan medis maupun dari pihak
kepatutan pasien.

Anda mungkin juga menyukai