Anda di halaman 1dari 18

KATA PENGANTAR

Dengan penuh rasa syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan petunjuk-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini guna
menyelesaikan salah satu persyaratan dalam menempuh Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu
Penyakit Dalam di RSUD Arifin Achmad. Pada kesempatan ini juga, penulis ingin
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Ligat Pribadi Sembiring,
Sp.PD selaku pembimbing.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, mengingat
terbatasnya kemampuan dan waktu yang ada. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik
dan saran yang kiranya dapat membangun. Besar harapan agar referat ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.
Akhir kata, penulis mohon maaf bilamana ada kesalahan dalam penyusunan referat
ini, juga selama menjalankan kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Arifin Achmad
Kota Pekanbaru.

Pekanbaru, Mei 2016


Penyusun

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..

Daftar Isi...

Lembar Pengesahan ..............................................................................................

BAB I Pendahuluan .....

BAB II Pembahasan .................

2.1 Definisi ..............................................................................................

2.2 Klasifikasi...........................................................................................

2.3 Etiologi ..............................................................................................

10

2.4 Patofisiologi ................................................................................ ......

12

2.5 Pemeriksaan Penunjang .....................................................................

14

2.6 Penatalaksanaan .................................................................................

16

2.7 Prognosis ............................................................................................

18

BAB III Kesimpulan ..................................................................................... .......

19

Daftar Pustaka ........ 20

LEMBAR PENGESAHAN

NAMA

NIM

UNIVERSITAS

: RIAU

JUDUL REFERAT

: Hipokalemia Paralisis Periodik

BAGIAN

: ILMU PENYAKIT DALAM

RS

: RSUD Arifin Achmad Kota Pekanbaru

Mei 2016
Pembimbing

dr. Ligat Pribadi Sembiring

BAB I
PENDAHULUAN

Periodik paralisis merupakan kelainan pada membran yang sekarang ini dikenal
sebagai salah satu kelompok kelainan penyakit chanellopathies pada otot skeletal.
Kelainan ini dikarakteristikkan dengan terjadinya suatu episodik kelemahan tiba-tiba yang
disertai gangguan pada kadar kalium serum. Paralisis periodik adalah suatu sindrom klinis
dengan kelemahan/paralisis otot akut. Penyakit yang berat dapat dimulai pada masa anakanak, sedangkan kasus yang ringan seringkali mulai pada dekade ketiga. Penyakit ini
sebagian besar bersifat herediter dan diturunkan secara autosomal dominan. Prevalensi 1
per 100.000 populasi. Mekanisme yang mendasari penyakit ini adalah malfungsi pada ion
channel pada membran otot skelet/channelopathy. Pada paralisis periodik terdapat
serangan kelemahan flaksid yang hilang timbul, dapat bersifat setempat maupun
menyeluruh. Penderita mengalami kelemahan bagian proksimal ekstremitas yang cepat
dan progresif tapi otot-otot kranial dan pernafasan biasanya terhindar dari kelemahan.
Serangan dapat menyebabkan kelemahan yang asimetris dengan derajat kelemahan yang
berbeda pada beberapa golongan otot saja sampai pada suatu kelumpuhan umum.
Kelemahan biasanya menghilang dalam beberapa jam, namun defisit yang permanen bisa
terjadi pada penderita yang sering mendapatkan serangan. Di luar serangan tidak
ditemukan kelainan neurologi maupun kelainan elektromiografis. Atas dasar kadar kalium
darah pada saat serangan, dibedakan 3 jenis paralisis periodik yaitu : paralisis periodik
hipokalemia, paralisis periodik hiperkalemia dan paralisis periodik normokalemi. Pada
kesempatan ini, akan dibahas mengenai Hipokalemia Paralisis Periodik (HPP).

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Paralisis Periodik (PP) adalah sekelompok gangguan otot rangka dengan bermacam
etiologi, bersifat episodik, berlangsung sebentar, hiporefleks, dengan atau tanpa miotonia
tetapi tanpa defisit sensorik dan tanpa kehilangan kesadaran. Paralisis periodik adalah
gangguan otot rangka di mana pasien mengalami serangan kelemahan otot dengan durasi
dan derajat yang bervariasi. Serangan dapat berlangsung dari beberapa menit sampai
beberapa hari. Kelemahan dalam serangan dapat general atau fokal. Dalam perjalanan
penyakitnya dari penyakit otot ini, kekuatan normal kembali setelah serangan, tetapi
kemudian kelemahan otot signifikan yang menetap sering berkembang.1 Pada awal
perjalanan penyakit ini, kelumpuhan periodik primer atau yang diturunkan (familial),
kekuatan otot normal diantara serangan. Setelah bertahun-tahun serangan ini, kelemahan
interiktal terjadi dan mungkin progresif. Gangguan ini dapat diobati dan kelemahan
progresif dapat dicegah atau bahkan dapat sembuh.1,2
2.2 Klasifikasi
2.2.1

Paralisis periodik hipokalemik


Paralisis periodik hipokalemik adalah kelainan yang ditandai kelemahan otot akut

karena hipokalemia yang terjadi secara episodik. Sebagian besar paralisis periodik
hipokalemik merupakan paralisis periodik hipokalemik primer atau familial. Paralisis
periodik hipokalemik sekunder bersifat sporadik dan biasanya berhubungan dengan
penyakit tertentu atau keracunan. Salah satu kelainan ginjal yang dapat menyebabkan
paralisis periodik hipokalemik sekunder adalah asidosis tubulus renalis distal (ATRD)
yang biasanya terjadi pada masa dewasa. Gejala klinis yang karakteristik adalah
kelemahan otot akut yang bersifat intermiten, gradual, biasanya pada ekstremitas bawah,
dapat unilateral atau bilateral, disertai nyeri di awal serangan. Paralisis periodik
hipokalemik diterapi dengan kalium dan mengobati penyakit dasarnya. Analisis yang
cermat diperlukan untuk mengetahui penyakit dasarnya karena sangat menentukan tata
laksana dan prognosis selanjutnya.3
Paralisis periodik hipokalemik adalah kelainan yang ditandai dengan kadar kalium
yang rendah (kurang dari 3.5 mmol/L) pada saat serangan, disertai riwayat episode
kelemahan sampai kelumpuhan otot skeletal. Hipokalemia dapat terjadi karena adanya
5

faktor pencetus tertentu, misalnya makanan dengan kadar karbohidrat tinggi, istirahat
sesudah latihan fisik, perjalanan jauh, pemberian obat, operasi, menstruasi, konsumsi
alkohol dan lain-lain. Kadar insulin juga dapat mempengaruhi kelainan ini pada banyak
penderita, karena insulin akan meningkatkan aliran kalium ke dalam sel. Pada saat
serangan akan terjadi pergerakan kalium dari cairan ekstra selular masuk ke dalam sel,
sehingga pada pemeriksaan kalium darah terjadi hipokalemia. Kadar kalium biasanya
dalam batas normal diluar serangan. Pencetus untuk setiap individu berbeda, juga tidak ada
korelasi antara besarnya penurunan kadar kalium serum dengan beratnya paralisis
(kelemahan) otot skeletal.4
Penderita dapat mengalami serangan hanya sekali, tetapi dapat juga serangan
berkali-kali (berulang) dengan interval waktu serangan juga bervariasi. Kelemahan
biasanya terjadi pada otot kaki dan tangan, tetapi kadang-kadang dapat mengenai otot
mata, otot pernafasan dan otot untuk menelan, di mana kedua keadaan terakhir ini dapat
berakibat fatal. Angka kejadian adalah sekitar 1 diantara 100.000 orang, pria lebih sering
dari wanita dan biasanya lebih berat. Usia terjadinya serangan pertama bervariasi dari 120
tahun, frekuensi serangan terbanyak di usia 1535 tahun dan kemudian menurun dengan
peningkatan usia. Hipokalemik periodik paralisis biasanya terjadi karena kelainan genetik
otosomal dominan. Hal lain yang dapat menyebabkan terjadinya hipokalemik periodik
paralisis adalah tirotoksikosis (thyrotoxic periodic paralysis), hiperinsulin. 4
Diagnosa kelainan hipokalemik periodik paralisis ditegakkan berdasarkan kadar
kalium darah rendah [kurang dari 3,5 mmol/L (0,93,0 mmol/L) ] pada waktu serangan,
riwayat mengalami episode flaccid paralysis dengan pemeriksaan lain dalam batas normal.
Paralisis yang terjadi pada penyakit ini umumnya berlokasi di bahu dan panggul meliputi
juga tangan dan kaki, bersifat intermiten, serangan biasanya berakhir sebelum 24 jam, pada
EMG dan biopsi otot ditemukan miotonia, refleks Babinsky positif, kekuatan otot normal
diluar serangan. Terdapat 2 bentuk kelainan otot yang diobservasi yaitu episode paralitik
dan bentuk miopati, kedua keadaan ini dapat terjadi secara terpisah ataupun bersama-sama.
Sering terjadi bentuk paralitik murni, kombinasi episode paralitik dan miopati yang
progresifitasnya lambat jarang terjadi, demikian pula bentuk miopatik murni jarang terjadi.
Episode paralitik ditandai terutama adanya flaccid paralysis dengan hipokalemia sehingga
dapat terjadi para paresis atau tetraparesis berpasangan dengan otot pernafasan. Pada
pasien ini murni flaccid paralysis dengan hipokalemia dan akan sembuh atau remisi sendiri
56 jam kemudian, dengan pemberian kalium per oral serangan menjadi lebih ringan.

Tidak terdapat kelainan pada otot pernafasan. Jika terdapat kelainan genetik maka pada
analisa didapatkan kelainan antara lain adalah autosomal dominan inheritance yaitu mutasi
pada kromososm CACNA1S (70%) disebut hipokalemik periodik paralisis tipe 1, mutasi
lokus pada kromosom SCN4A (10%) disebut hipokalemik periodik paralisis tipe 2.4
2.2.2 Paralisis periodik hiperkalemik
Lebih jarang dibanding paralisis periodik hipokalemik. Mulai timbul sebelum umur
10 tahun. Frekuensi dan berat serangan berkurang pada masa remaja dan hilang pada saat
dewasa. Frekuensi laki-laki dan wanita sama. Berbagai faktor pencetus terjadinya paralisis
periodik hiperkalemik diantaranya : 5,6
1.
Lapar
2.
Istirahat setelah kena dingin atau setelah latihan
3.
Asupan kalium yang berlebihan
4.
Infeksi
5.
Kehamilan
6.
Anestesi
Pada paralisis periodik hiperkalemia, karbohidrat dan garam bukan merupakan
faktor pencetus. Gejala lebih ringan dibandingkan paralisis periodik hipokalemia. Biasanya
berlangsung kurang dari 1 jam. Serangan lebih sering terjadi pada siang hari dan biasanya
terjadi waktu istirahat, misalnya sedang duduk. Keluhan berkurang bila penderita berjalanjalan. Kelemahan dimulai dari tungkai lalu menjalar ke paha, punggung, tangan, lengan
dan bahu. Sebelum timbul kelemahan biasanya terdapat rasa kaku dan kesemutan pada
kedua tungkai. Jarang terjadi gangguan menelan dan napas. Sering terdapat miotonia pada
otot mata, wajah, lidah dan faring. Pada saat serangan didapatkan tonus dan refleks
fisiologis yang menurun dan tanda Chovstek yang positif. Diluar serangan kekuatan otot
normal, pada fase lanjut terdapat kelemahan otot-otot proksimal.5,6
2.2.3 Paralisis periodik normokalemik
Jenis ini paling jarang ditemui. Patofisiologinya belum diketahui. Serangan lebih
berat dan lebih lama daripada paralisis periodik hiperkalemia. Serangan dapat
ditimbulkan oleh pemberian KCl dan dapat dihentikan dengan pemberian NaCl.
Serangan tidak dipicu oleh pemberian insulin, glukosa ataupun kalium.7 Karakteristik
klinis perbedaan dari paralisis periodik hiperkalemik dan paralisis hipokalemik dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.1

Onset
Pemicu

Paralisis periodik

Paralisis peiodik hipokalemik

hiprekalemik
Dekade pertama
Istirahat sehabis latihan,

Dekade kedua
Istirahat sehabis latihan,
7

dingin, puasa, makanan kaya

kelebihan karbohidrat

Waktu serangan
Durasi serangan

kalium
Kapan pun
Beberapa menit sampai

Pada saat bangun tidur pagi hari


Beberapa jam sampai beberapa

Keparahan

beberapa jam
Ringan sampai sedang, fokal

hari
Sedang sampai berat

serangan
Gejala tambahan
Kalium serum
Pengobatan

Miotonia atau paramiotonia


Biasanya tinggi, bisa normal
Acetazolamide,

Rendah
Acetazolamide,

dichlorphenamide, thiazide,

dichlorphenamide, suplemen

beta-agonist
SCN4A: Nav1.4 (sodium

kalium, diuretik hemat kalium


CACNA1S: Cav1.1 (calcium

channel subunit

channel subunit)

KCNJ2: Kir2.1 (pottasium

SCN4A: Nav1.4 (sodium channel

channel subunit)

subunit)

Gen/ ion channel

KCNJ2: Kir2.1 (pottasium


channel subunit)

2.2 Etiologi
Sinyal listrik pada otot skeletal, jantung dan saraf merupakan suatu alat untuk
mentransmisikan suatu informasi secara cepat dan jarak yang jauh. Kontraksi otot skeletal
diinisiasi dengan pelepasan ion kalsium oleh retikulum sarkoplasma, yang kemudian
terjadi aksi potensial pada motor end-plate yang dicetuskan oleh depolarisasi dari
transverse tubule (T tubule). Ketepatan dan kecepatan dari jalur sinyal ini tergantung aksi
koordinasi beberapa kelas kanal ion voltage-sensitive. Mutasi dari gen dari kanal ion
tersebut akan menyebabkan kelainan yang diturunkan pada manusia. Dan kelainannya
disebut chanelopathies yang cenderung menimbulkan gejala yang paroksismal : miotonia
atau periodik paralisis dari otot-oto skeletal. Defek pada kanal ion tersebut dapat
meningkatkan eksitasi elektrik suatu sel, menurunkan kemampuan eksitasi, bahkan dapat
menyebabkan kehilangan kemampuan eksitasi. Dan kehilangan dari eksitasi listrik pada
otot skeletal merupakan kelainan dasar dari periodik paralisis.8
Potensial Aksi

Ketika sel saraf mendapat stimulus, aksi potensial dimulai. Kanal natrium terbuka,
menyebabkan ion Na+ masuk ke dalam sel. Ini merupakan proses difusi pasif. Setelah
impuls melewati bagian tertentu sel saraf, pompa sodium dan potasium memompa keluar 3
ion natrium untuk setiap 2 ion kalium yang dipompa kembali ke dalam sel.

Gambar 1. Anatomi Sel saraf


Selama depolarisasi pada potensial aksi, ion natrium masuk ke dalam otot (melalui tubulus
T) dan sel saraf (melalui kanal natrium) secara pasif, dimana kelistrikan/voltage nya antara
-70 sampai -90 mV (saat istirahat) hingga +30 sampai +35 mV pada puncak potensial aksi.
Secara teknis, sel saraf mengalami depolarisasi ketika voltage mencapai 0 mV. Selama
repolarisasi, ion kalium meninggalkan sel saraf. Selama pemulihan (recovery), ion natrium
dan kalium dipompa kembali ke posisi awalnya dengan mekanisme transpor aktif
menggunakan ATP. Sel saraf dan otot harus mencapai potensi ambang sebelum masingmasing dapat meneruskan impuls atau kontraksi.

Gambar 2. Mekanisme potensial aksi


2.3 Patofisiologi
2.3.1 Kalium
Kalium memiliki fungsi mempertahankan membran potensial elektrik dalam tubuh
dan menghantarkan aliran saraf di otot. Kalium mempunyai peranan yang dominan dalam
hal eksitabilitas sel, terutama sel otot jantung, saraf, dan otot lurik. Kalium mempunyai
peran vital di tingkat sel dan merupakan ion utama intrasel. Ion ini akan masuk ke dalam
sel dengan cara transport aktif, yang memerlukan energi. Fungsi kalium akan nampak jelas
bila fungsi tersebut terutama berhubungan dengan aktivitas otot jantung, otot lurik, dan
ginjal. Eksitabilitas sel sebanding dengan rasio kadar kalium di dalam dan di luar sel.
Berarti bahwa setiap perubahan dari rasio ini akan mempengaruhi fungsi dari selsel yaitu
tidak berfungsinya membran sel yang tidak eksitabel, yang akan menyebabkan timbulnya
keluhankeluhan dan gejalagejala sehubungan dengan tidak seimbangnya kadar kalium.
Kadar kalium normal intrasel adalah 135 150 mEq/L dan ekstrasel adalah 3,55,5mEq/L.
Perbedaan kadar yang sangat besar ini dapat bertahan, tergantung pada metabolisme sel.
Dengan demikian situasi di dalam sel adalah elektro negatif dan terdapat membran
potensial istirahat kurang lebih sebesar -90 mvolt. 8
2.3.2 Paralisis periodik hipokalemik
Hipokalemia merupakan kelainan elektrolit yang sering terjadi pada praktek klinis
yang didefinisikan dengan kadar kalium serum kurang dari 3,5 mEq/L, pada hipokalemia
sedang kadar kalium serum 2,5-3 mEq/L, dan hipokalemia berat kadar kalium serumnya
kurang dari 2,5 mEq/L. Keadaan ini dapat dicetuskan melalui berbagai mekanisme,
termasuk asupan yang tidak adekuat, pengeluaran berlebihan melalui ginjal atau
gastrointestinal, obat-obatan, dan perpindahan transelular (perpindahan kalium dari serum
10

ke intraselular). Gejala hipokalemi ini terutama terjadi kelainan di otot. Konsentrasi kalium
serum pada 3,0-3,5 mEq/L berhubungan dengan suatu keadaan klinis seperti kelemahan
otot ringan, fatigue, dan mialgia. Pada konsentrasi serum kalium 2,5-3,0 mEq/L kelemahan
otot menjadi lebih berat terutama pada bagian proximal dari tungkai. Ketika serum kalium
turun hingga dibawah dari 2,5 mEq/L maka dapat terjadi kerusakan struktural dari otot,
termasuk rhabdomiolisis dan mioglobinuria. Peningkatan osmolaritas serum dapat menjadi
suatu prediktor terjadinya rhabdomiolisis. Selain itu suatu keadaan hipokalemia dapat
mengganggu kerja dari organ lain, terutama sekali jantung yang banyak sekali
mengandung otot dan berpengaruh terhadap perubahan kadar kalium serum. Perubahan
kerja jantung ini dapat kita deteksi dari pemeriksaan elektrokardiogram (EKG). Perubahan
pada EKG ini dapat mulai terjadi pada kadar kalium serum dibawah 3,5 dan 3,0 mEq/L.
Kelainan yang terjadi berupa inversi gelombang T, timbulnya gelombang U dan ST
depresi, pemanjangan dari PR, QRS, dan QT interval. 2,5
Periodik paralisis hipokalemi (HypoPP) merupakan bentuk umum dari kejadian
periodik paralisis yang diturunkan, dimana kelainan ini diturunkan secara autosomal
dominan. Dari kebanyakan kasus pada periodik paralisis hipokalemi terjadi karena mutasi
dari gen reseptor dihidropiridin pada kromosom 1q. Reseptor ini merupakan calcium
channel yang bersama dengan reseptor ryanodin berperan dalam proses coupling pada
eksitasi-kontraksi otot. Fontaine et.al telah berhasil memetakan mengenai lokus gen dari
kelainan HypoPP ini terletak tepatnya di kromosom 1q2131. Dimana gen ini mengkode
subunit alfa dari L-type calcium channel dari otot skeletal secara singkat di kode sebagai
CACNL1A3. Mutasi dari CACNL1A3 ini dapat disubsitusi oleh 3 jenis protein arginin
(Arg) yang berbeda, diantaranya Arg-528-His, Arg-1239-His, dan Arg-1239-Gly. Pada
Arg-528-His terjadi sekitar 50 % kasus pada periodik paralisis hipokalemi familial dan
kelainan ini kejadiannya lebih rendah pada wanita dibanding pria. Pada wanita yang
memiliki kelainan pada Arg-528-His dan Arg-1239-His sekitar setengah dan sepertiganya
tidak menimbulkan gejala klinis.9,10
Sebagai gejala klinis dari periodik paralisis hipokalemi ini ditandai dengan
kelemahan dari otot-otot skeletal episodik tanpa gangguan dari sensoris ataupun kognitif
yang berhubungan dengan kadar kalium yang rendah di dalam darah dan tidak ditemukan
tanda-tanda miotonia dan tidak ada penyebab sekunder lain yang menyebabkan
hipokalemi. Gejala pada penyakit ini biasanya timbul pada usia pubertas atau lebih,
dengan serangan kelemahan yang episodik dari derajat ringan atau berat yang

11

menyebabkan quadriparesis dengan disertai penurunan kapasitas vital dan hipoventilasi,


gejala lain seperti fatigue dapat menjadi gejala awal yang timbul sebelum serangan, namun
hal ini tidak selalu diikuti dengan terjadinya serangan kelemahan. Serangan sering terjadi
saat malam hari atau saat bangun dari tidur dan dicetuskan dengan asupan karbohidrat
yang banyak serta riwayat melakukan aktivitas berat sebelumnya yang tidak seperti
biasanya. Serangan ini dapat terjadi hingga beberapa jam sampai yang paling berat dapat
terjadi beberapa hari dari kelumpuhan tersebut.1,8
Distribusi kelemahan otot dapat bervariasi. Kelemahan pada tungkai biasanya terjadi
lebih dulu daripada lengan dan sering lebih berat kelemahannya dibanding lengan, dan
bagian proksimal dari ekstremitas lebih jelas terlihat kelemahannya dibanding bagian
distalnya. Terkecuali, kelemahan ini dapat juga terjadi sebaliknya dimana kelemahan lebih
dulu terjadi pada lengan yang kemudian diikuti kelemahan pada kedua tungkai dimana
terjadi pada pasien ini. Otot-otot lain yang jarang sekali lumpuh diantaranya otot-otot dari
mata, wajah, lidah, pharing, laring, diafragma, dan spingter, namun pada kasus tertentu
kelemahan ini dapat saja terjadi. Saat puncak dari serangan kelemahan otot, refleks tendon
menjadi menurun dan terus berkurang menjadi hilang sama sekali dan reflek kutaneus
masih tetap ada. Rasa sensoris masih baik. Setelah serangan berakhir, kekuatan otot secara
umum pulih biasanya dimulai dari otot yang terakhir kali menjadi lemah. Miotonia tidak
terjadi pada keadaan ini, dan bila terjadi dan terlihat pada klinis atau pemeriksaan EMG
menunjukkan terjadinya miotonia maka diagnosis HipoPP kita dapat singkirkan.3,8
Selain dari anamnesa, pemeriksaan penunjang lain seperti laboratorium darah dalam
hal ini fungsi ginjal, elektrolit darah dan urin, urinalisa urin 24 jam, kadar hormonal seperti
T4 dan TSH sangat membantu kita untuk menyingkirkan penyebab sekunder dari
hipokalemia. Keadaan lain atau penyakit yang dapat menyebabkan hipokalemi diantaranya
intake kalium yang kurang, intake karbohidrat yang berlebihan, intoksikasi barium,
kehilangan kalium karena diare, periodik paralisis karena tirotoksikosis, renal tubular
asidosis, dan hyperaldosteronism.1

2.4 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah 1,2
2.4.1 Laboratorium
a. Kadar kalium serum

12

Kalium serum merupakan pemeriksaan laboratorium yang paling


penting. Diantara serangan paralisis, kalium serum abnormal pada tipe paralisis
periodik sekunder, tetapi biasanya normal pada paralisis periodik primer.
Selama serangan kadar kalium serum dapat tinggi, rendah, atau di atas batas
normal dan bisa di bawah batas normal. Pemeriksaan secara random kadar
kalium serum dapat menunjukan fluktuasi yang periodik pada paralisis
periodik normokalemik. Konsentrasi kalium serum pada 3,0-3,5 mEq/L
berhubungan dengan suatu keadaan klinis seperti kelemahan otot ringan,
fatigue, dan mialgia. Pada konsentrasi serum kalium 2,5-3,0 mEq/L kelemahan
otot menjadi lebih berat terutama pada bagian proximal dari tungkai. Ketika
serum kalium turun hingga dibawah dari 2,5 mEq/L maka dapat terjadi
b.
c.
d.

kerusakan struktural dari otot, termasuk rhabdomiolisisdan miogobinuria.


Fungsi ginjal
Kadar glukosa darah pengambilan glukosa darah ke dalam sel menyebabkan
kalim berpindah dari luar sel (darah) ke dalam sel-sel tubuh.
pH darah
Dibutuhkan untuk menginterpretasikan K+ yang rendah. Alkalosis biasa
menyertai hipokalemia dan menyebabkan pergeseran K + ke dalam sel. Asidosis

e.
f.

2.4.2

menyebabkan kehilangan K+ langsung dalam urin.


Hormon tiroid : T3,T4 dan TSH untuk menyingkirkan penyebab sekunder
hipokalemia.
Kadar CPK (creatinin phospokinase) dan mioglobin serum
Kadar CPK tinggi pada paralisis periodik primer selama atau baru saja

setelah serangan. Kadar mioglobin serum juga mungkin tinggi.


EKG
Perubahan pada EKG ini dapat mulai terjadi pada kadar kalium serum dibawah

3,5 dan 3,0 mEq/L. Kelainan yang terjadi berupa inversi gelombang T, timbulnya
gelombang U dan ST depresi, pemanjangan dari PR, QRS, dan QT interval. 8
2.4.3

EMG
Di antara serangan, mungkin ada fibrilasi dan pengulangan keluaran kompleks,

meningkat dengan dingin dan menurun dengan latihan (dalam paralisis periodik
hipokalemik). Selama serangan, EMG akan menunjukkan listrik diam, baik pada
paralisis periodik hiperkalemik dan paralisis periodik hipokalemik.
2.4.4 Biopsi otot
Biopsi otot diperlukan pada beberapa kasus yang dengan penampilan klinis yang
tidak spesifik. Pada paralisis periodik hipokalemik primer muangkin terdapat vakuola

13

sentral yang tunggal atau mutipel. Pada paralisis periodik hiperkalemik sekunder,
vakuala dan agregat tubular dapat ditemukan.
2.5 Penatalaksanaan
2.5.1

Paralisis periodik hipokalemik


Seperti pada bentuk lain dari periodik paralisis dan miotonia, kebanyakan pasien

dengan HypoPP tidak memerlukan intervensi farmakologis. Pasien kita edukasi dan
berikan informasi untuk mencegah dan menurunkan kejadian serangan melalui
menghindari kegiatan yang memerlukan kekuatan fisik yang berat, hindari kedinginan,
mengkonsumsi buah-buahan atau jus yang tinggi akan kalium, membatasi intake
karbohidrat dan garam (160 mEq/hari).
Pemberian obat-obatan seperti penghambat carbonic anhidrase dapat diberikan
untuk menurunkan frekuensi dan beratnya serangan kelemahan episodik dan memperbaiki
kekuatan otot diantara serangan. Acetazolamide merupakan obat jenis tersebut yang
banyak diresepkan, dosis dimulai dari 125 mg/hari dan secara bertahap ditingkatkan
hingga dosis yang dibutuhkan maksimum 1500 mg/hari. Pasien yang tidak berespon
dengan pemberian acetazolamide dapat diberikan penghambat carbonic anhidrase yang
lebih poten seperti, dichlorphenamide 50 hingga 150 mg/hari atau pemberian diuretik
hemat kalium seperti spironolactone atau triamterine (keduanya dalam dosis 25 hingga
100 mg/hari). Pemberian rutin kalium chlorida (KCL) 5 hingga 10 g per hari secara oral
yang dilarutkan dengan cairan tanpa pemanis dapat mencegah timbulnya serangan pada
kebanyakan pasien. Pada suatu serangan HypoPP yang akut atau berat, KCL dapat
diberikan melalui intravena dengan dosis inisial 0,05 hingga 0,1 mEq/KgBB dalam bolus
pelan, diikuti dengan pemberian KCL dalam 5% manitol dengan dosis 20 hingga 40 mEq,
hindari pemberian dalam larutan glukosa sebagai cairan pembawa. Kepustakaan lain KCL
dapat diberikan dengan dosis 50 mEq/L dalam 250 cc larutan 5 % manitol.2.4
2.5.2 Paralisis periodik hiperkalemik
Penatalaksanaan dari paralisis periodik hiperkalemik diantaranya : 3
a. Profilaksis : acetazolamide atau diuretik thiazide dapat digunakan untuk mencegah
serangan.
b. Pengobatan saat serangan: pada kasus yang sedang tidak membutuhkan terapi obatobatan yang mana hanya dengan minum minuman yang manis atau permen gula
dapat mengurangi serangan. Pada kasus yang memanjang atau serangan yang lanjut
diuretik thiazide dan loop diuretik (furosemide, bumetanide) digunakan dalam

14

dosis yang cukup tinggi untuk menurunkan kadar kalium menjadi normal. Jika
kadar kalium darah sangat tinggi dapat diberikan secara intravena 20 ml kalsium
glukonas 20% atau drip normal saline atau secara intravena glukosa 10% ditambah
insulin. Jika gagal atau intoleransi terhadap diuretik, salbutamol dapat diberikan
secara intravena untuk mengatasi serangan.
2.5.3

Pengobatan paralisis periodik normokalemik

Penatalaksanaan sama dengan paralisis periodik hiperkalemik, seperti: 3


a.
b.
c.
d.

Diet tinggi karbohidrat, seperti permen gula


Thiazide, seperti chlorthalidone 250-1000 mg/hari
Pemberian secara intravena normal saline dan kalsium glukonas
Pemberian secara intravena insulin dan glukosa

2.6 Prognosis
Hiperkalemik periodik paralisis dan paramyotonia kongenital
-

Ketika tidak dihubungkan dengan kelemahan, kelainan ini biasanya tidak


mengganggu pekerjaan.

Myotonia bisa memerlukan pengobatan

Harapan hidup tidak diketahui.

Hipokalemik periodik paralisis


-

Pasien yang tidak diobati bisa mengalami kelemahan proksimal menetap, yang bisa
mengganggu aktivitas

Beberapa kematian sudah dilaporkan, paling banyak dihubungkan dengna aspirasi


pneumonia atau ketidakmampuan membersihkan sekresi

15

BAB III
KESIMPULAN
Periodik paralisis merupakan sindroma klinis yang dapat menyebabkan kelemahan
yang akut pada anak-anak maupun dewasa muda. Pasien akan mengalami kelemahan
progresif dari anggota gerak baik tungkai maupun lengan tanpa adanya gangguan sensoris
yang diikuti oleh suatu keadaan hipokalemia pada HypoPP. Gangguan ini secara
konvensional dibagi menjadi paralisis periodik primer atau diturunkan dan paralisis
periodik sekunder. Paralisis periodik primer merupakan kelompok gangguan akibat mutasi
gen tunggal yang mengakibatkan kelainan saluran kalsium, kalium natrium, dan klorida
pada sel otot membran. Kalium memiliki fungsi mempertahankan membran potensial
elektrik dalam tubuh dan menghantarkan aliran saraf di otot. Kalium mempunyai peranan

16

yang dominan dalam hal eksitabilitas sel, terutama sel otot jantung, saraf dan otot lurik.
Keadaan hipokalemia yang berat dapat mengganggu fungsi organ lain seperti jantung
hingga terjadi gangguan irama jantung yang bila tidak ditangani akan memperburuk
keadaan pasien hingga mengancam nyawa.
Bagusnya kesimpulannya tentang hipokaleminya aja gak sih?

DAFTAR PUSTAKA

1.

Fialho D, Michael GH. Periodic Paralysis. 2007. p. 77-105.

2.

Arya, SN. Lecture Notes: Periodic Paralysis. Journal Indian Academy of Clinical

3.

Medicine. 2002; 3(4): 374-82.


Souvriyanti E, Sudung OP. Paralisis Periodik Hipokalemik pada Anak dengan

4.
5.
6.

Asidosis Tubulus Renalis Distal. 2008. p. 53-59.


Widjajanti A, Agustini SM. Hipokalemik Periodik Paralisis. 2005. p. 19-22
Graber M. Terapi Cairan, Elektrolit dan Metabolik, Ed. 1. Jakarta: Farmedia; 2002.
Kawamura S, Ikeda Y, Tomita K. A Family of Hypokalemic Periodic Paralysis with
CACNA1S Gene Mutation Showing Incomplete Penetrance in Women. Internal

7.

Medicine. 2004; 43(3): 218 222.


Graves TD, Hanna MG. Neurological Channelopathies. Postgrad Med Journal. 2005;
81: 20-32.

17

8.

Cannon SC. Myotonia and Periodic Paralysis: Disorders of Voltage-Gated Ion


Channels. In: Neurological Theurapeutics Principles and Practice. United Kingdom:

9.

Mayo Foundation; 2003. p. 225; 2365-2377


Sternberg D, Masionobe T, Jurkat-Rott K. Hypokalaemic Periodic Paralysis type 2
caused by mutasions at codon 672 in the muscle sodium channel gene SCN4A.

Barain; 2001. p. 10919.


10. Sternberg D, Tabt IN, Haingue B, Fontaine B. Hypokalemic Periodic Paralysis. Gene
Reviews. Seatle: NIH University of Washington; 2004. p. 122.

18

Anda mungkin juga menyukai