Anda di halaman 1dari 10

Pencahayaan pada siang hari sangat tergantung pada ketinggian ruang.

Pada
bangunan dengan ketinggian ruang rendah berpengaruh pada pencahayaan alami masuk
ke dalam ruang menjadi terbatas. Sebaliknya, apabila volume ruangan dengan ketinggian
yang lebih besar, maka ruangan tersebut lebih banyak menerima pencahayaan alami yang
masuk. Pengadaan rooflight bertujuan untuk mendapatkan pencahayaan alami yang masuk
lebih banyak daripada sekedar melalui jendela (Philips, 2004).

1. Rooflight
Rooflight pada awalnya diadakan pada atrium bangunan Romawi. Rooflight tersebut
digunakan untuk pengadaan pencahayaan ruangan di dalam saja. Dikarenakan sifatnya
yang terbuka ke langit dan tidak melindungi air hujan yang masuk ke dalam ruangan, maka
rooflight tersebut tidak menanggapi iklim eksterior yang masuk ke dalam ruangan (Philips,
2004). Perkembangan selanjutnya, rooflight bersifat tertutup dan berbentuk kubah (dome).
Hal ini dinilai dapat memodifikasi iklim lingkungan luar yang masuk ke dalam bangunan.
Pada inovasi selanjutnya seperti pada Museum Soane (Philips, 2004), pengadaan rooflight
dilakukan dengan berbagai ukuran dan bentuk. Hal ini memberikan pengaruh pencahayaan
alami yang masuk ke masing-masing ruang berbeda-beda intensitasnya. Intensitas
pencahayaan yang berbeda pada setiap ruangan memberikan privatisasi antar ruang juga
berbeda-beda.

Gambar 20. Rooflight pada Museum Soane


Sumber: Philips, 2004

Pada abad ke-20 penggunaan rooflight mulai berkurang dan berbentuk lebih
sederhana. Adapun bentuk yang paling umum digunakan (Philips, 2004) adalah shed-roof,
sawtooth-roof, dan monitor-roof. Beberapa bentuk rooflight tersebut memiliki kekurangan
dan kelebihan masing-masing. Bentuk shed-roof merupakan solusi yang paling murah
dalam pengadaan rooflight tetapi mempunyai efek buruk dalam penggunaannya yang
mengakibatkan tidak dapat digunakan lagi sekarang ini. Adapun bentuk monitor-roof dinilai

paling efektif untuk memecahkan permasalahan pencahayaan alami dalam ruangan (Philips,
2004).

Gambar 21. Bentuk Rooflight pada abad ke-20


Sumber: Philips, 2004

Atrium (Philips, 2004) merupakan suatu ruangan di dalam bangunan yang berfungsi
untuk menangkap pencahayaan alami dari rooflight yang kemudian diteruskan ke ruangan di
sekitarnya. Selain itu, atrium juga berkontribusi dalam kontrol penghawaan ruangan. Hal ini
dapat dicapai dengan proporsi dan volume ruangan atrium yang sesuai. Dengan adanya
kontrol penghawaan ruangan maka dinilai dapat meminimalisasi energi bangunan. Untuk
mengontrol penghawaan dan pencahayaan pada atrium, memungkinkan pengadaan
shading pada rooflight. Hal ini menunjukkan bahwa pengadaan atrium memiliki peran
penting terkait dengan pencahayaan penghawaan alami baik horisontal maupun vertikal
(Philips, 2004).

Gambar 22. The Square Atrium, Borax


Sumber: Philips, 2004

Dalam menentukan jendela, hal-hal yang perlu diperhatikan (Philips, 2004)


mencakup orientasi jendela yang berhubungan dengan view ruangan ke lingkungan luar,
karakteristik termal dan akustik ruangan, ada tidaknya dan letak-ukuran teritisan sebagai
kebutuhan shading, serta sifat jendela (terbuka atau mati) hubungannya dengan kontrol
penghawaan, jenis kaca hubungannya dengan kontrol sinar matahari yang masuk ke dalam
ruang.

Dalam menentukan jendela, hal-hal yang perlu diperhatikan (Philips, 2004)


mencakup orientasi jendela yang berhubungan dengan view ruangan ke lingkungan luar,
karakteristik termal dan akustik ruangan, ada tidaknya dan letak-ukuran teritisan sebagai
kebutuhan shading, serta sifat jendela (terbuka atau mati) hubungannya dengan kontrol
penghawaan, jenis kaca hubungannya dengan kontrol sinar matahari yang masuk ke dalam
ruang.
Adapun jenis kaca (Philips, 2004) antara lain:
a.

Clear-glazing; merupakan kaca dengan penentuan jumlah lapisan tertentu yang


ditujukan untuk mengurangi efek panas dari sinar matahari yang masuk ke dalam
ruangan.

b.

Tinted-glass; merupakan kaca dengan lapisan tipis mikorskopis logam oksida yang
dapat memantulkan sinar matahari yang masuk dari luar bangunan.

c.

Miscellaneous-glazing; meliputi pattern-glass (kaca dengan pola tertentu sebagai


dekorasi untuk memodifikasi pencahayaan yang masuk), wired-glass (pengadaan kabel
diantara lapisan kaca untuk mengurangi sinar yang masuk), laminated-glass
(pengadaan plastik diantara lapisan kaca untuk mengurangi sinar yang masuk), glassblock (balok kaca yang memberikan view dan pencahayaan yang berbeda pada
ruangan), high-tech glazing (berupa photovoltaic yang dirancang untuk menangkap
sinar matahari kemudian diubah menjadi bentuk energi untuk bangunan).

2. Shading
Tujuan pengadaan shading (Philips, 2004) antara lain:
a.

Mengontrol sinar matahari yang masuk.

b.

Mengurangi silau dari pengadaan jendela.

c.

Menyediakan kebutuhan privasi ruangan; pengadaan shading sebagai pengontrol view


dari lingkungan luar agar bisa terbatasi untuk melihat ke dalam ruangan.

Beberapa bentuk shading (Philips, 2004) antara lain:


a.

Shading eksternal;
Meliputi teritisan, kanopi, krepyak, teritisan yang dapat dimajumundurkan, pengaturan
jendela yang menjorok ke dalam, kerai gulung.

b.

Shading internal
Pengadaan shading pada selubung bangunan dinilai kurang efisien dikarenakan
sinar/panas dari lingkungan luar sudah memasuki ruangan. Hal ini menunjukkan bahwa
shading pada selubung bangunan tidak memegang peran utama dalam kontrol panas
yang masuk. Shading internal meliputi tirai, pemilihan jenis kaca. Penggunaan tirai
disesuaikan dengan cara pengoperasiannya untuk mengoptimalkan cahaya yang
masuk dan mengurangi silau. Pemilihan jenis kaca juga dapat mengurangi panas yang
masuk, misal electrochromic and liquid glazing, photochromic glass, dan thermochromic
glass.

3. Distribusi Cahaya
Terdapat beberapa upaya dalam meningkatkan distribusi cahaya alami agar seluruh
ruangan dapat menerima secara langsung (Philips, 2004), meliputi:
a.

Cermin; penggunaan cermin ditujukan untuk memantulkan cahaya ke ruangan yang


dinilai gelap karena tidak dilengkapi bukaan yang cukup. Biasanya diletakkan pada
langit-langit untuk dapat dipantul dan diarahkan ke dalam ruangan.

b.

Prismatic glazing; penggunaan kaca dengan teknik pembiasan cahaya. Hal ini ditujukan
untuk mengurangi silau yang masuk ke dalam ruangan. Adapun penggunaannya pada
jendela vertikal dan rooflight.

c.

Light shelves; berhubungan dengan shading bangunan. Adapun metode yang


digunakan dengan memantulkan cahaya yang masuk ke langit-langit sehingga cahaya
ruangan dapat terdistribusi rata.

d.

Light pipe; pada dasarnya sama dengan cara kerja rooflight, tetapi dengan penambahan
pipa reflektif untuk mendistribusikan dan mengarahkan cahaya ke ruangan yang
diinginkan.

Gambar 28. Distribusi cahaya melalui light pipe


Sumber: Philips, 2004
Pengadaan jendela dilakukan tidak hanya untuk memberikan karakteritik tampilan
bangunan, tetapi juga harus dapat menjawab peran utama dalam kontrol terhadap
lingkungan sekitar (Philips, 2004). Hal ini ditujukan untuk meningkatkan energi pasif
bangunan dalam pencapaian penghawaan dan pencahayaan alami. Pengadaan jendela
bertujuan (Philips, 2004), antara lain:
a.

Menyediakan pencahayaan alami

b.

Memecahkan permasalahan penghawaan ruangan

c.

Mengontrol penghawaan

d.

Mengontrol akustik

e.

Mengurangi sinar matahari yang masuk (silau)

4. Sumber Pencahayaan Alami


Pada bangunan bergaya roman, jendela yang digunakan berukuran kecil yang
terpasang sepanjang bearing wall, bangunan jaman tersebut menggunakan dinding lurus
yang tersambung dengan kubah. Kemudian pada era yang lebih modern, tahun 1597,
Hardrick Hall merupakan salah satu bangunan di inggris yang menandakan kondisi pada
saat itu, dimana jendela mulai populer digunakan. Pada jaman tersebut, jendela sedang
mendominasi fasad-fasad yang ada pada bangunan. Bahkan ada pepatah inggris yang
mengatakan bahwa pada bangunan tersebut lebih banyak jendela daripada dinding.

Gambar 29. Jendela kecil pada dinding bearing wall (kiri) dan
bangunan Hardrick Hall di Inggris (kanan)
Sumber: Lechner, 1991

Kemudian pada abad ke 20, bentuk denah yang digunakan, kebanyakan berbentuk
huruf E maupun A untuk memenuhi kebutuhan pencahayaan dan ventilasi pada saat itu.
Bentuk tersebut seperti di bawah ini:

Gambar 30. Prototype bentuk denah abad ke 20 untuk memaksimalkan cahaya alami
Sumber: Lechner, 1991

Setelah jaman industri di Inggris dan Amerika, dan setelah ditemukannya baja serta
kaca yang beragam, maka berbagai bangunan telah memanfaatkan kedua material tersebut
untuk lebih bereksplorasi dalam mengkreasikan bentuk yang indah selain memenuhi
tuntutan ventilasi dan pencahayaan yang baik. Salah satu bangunan yang diciptakan demi
mencapai tujuan tersebut adalah Gedung Bradbury. Bangunan tersebut pada bagian
atasnya diselubungi oleh rangka baja, sebagai atrium yang permukaan atasnya ditutupi
dengan kaca. Hal tersebut ditujukan agar sinar yang masuk ke dalam bangunan lebih
optimal dan dapat menerangi hingga ke bagian tengah ruangan yang biasanya tidak dapat
dijangkau hanya dengan menggunakan jendela konvensional saja.

Gambar 31. Gedung Bradbury yang memaksimalkan cahaya alami


Sumber: Lechner, 1991

Selain pada bangunan aplikasi material untuk memaksimalkan pencahayaan alami


juga di terapkan di jalan-jalan kota-kota besar, seperti kota New York pada zaman dulu telah
memanfaatkan glassblok pada permukaan trotoarnya, sehingga cahaya alami dapat masuk
ke dalam ruang bawah tanah. Selain glassblok, juga dimanfaatkan panel- panel besi. Hal
tersebut ditujukan agar cahaya alami yang masuk ke dalam ruang bawah tanah bisa lebih
maksimal, dan ruang bawah tanah tidak memerlukan penerangan buatan

Gambar 32. Penggunaan glass block pada trotoar kota besar untuk pencahayaan alami
Sumber: Lechner, 1991

Aplikasi pencahayaan alami juga digunakan dalam bangunan yang dirancang oleh
Frank Lloyd Wrigt, yaitu Museum Guggenhein pada tahun 1959 dan Johnson Wax
Administration Building, tahun 1939. Pada bangunan musium, diaplikasikan penggunaan
atrium untuk memaksimalkan pencahayaan di setiap lantai bangunan ini, hingga ke bagian
tengah bangunan (void). Pada bangunan Johson wax terdapat pencahayaan di tepi atas
langit-langit dan juga pencahayaan yang bukan saja fungsional, tetapi juga bersifat atraktif
pada kisi-kisi kolom yang berbentuk jamur.

Gambar 33. Museum


Guggenheim (kiri) dan
bangunan administrasi
Johnson wax (kanan)
rancangan Wright yang
mengusung prinsip
pencahayaan alami
Sumber: Lechner, 1991

Ada berbagai macam sumber pencahayaan alami di siang hari, diantaranya berupa:
1)

Cahaya matahari langsung

2)

Cahaya langit terang

3)

Cahaya langit mendung

4)

Cahaya pantulan (baik pantulan bangunan sekitar, atau pantulan permukaan bidang
tanah)

Gambar 34.
Berbagai macam
sumber cahaya
alami
Sumber: Lechner,
1991

Terkadang pantulan cahaya merupakan sumber utama cahaya alami, pada saat
tertentu, terutama untuk rumah yang orientasi fasadnya mengarah ke selatan (utamanya di
Amerika) jendela sebelah utara bisa mendaparkan cahaya sebanyak jendela selatan.

Gambar 35.
Pantulan cahaya
matahari dari
permukaan dan
bangunan sekitar
Sumber: Lechner,
1991

Kaca yang menghadap ke selatan lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan sinar
matahari dibanding kaca horizontal (skylight). Cahaya alami juga bergantung pada cuaca/
musim yang sedang berlangsung pada saat itu. Cahaya yang masuk pada musim panas,
pada umumnya cahaya matahari langsung yang tidak dipantulkan sehingga dapat
mengakibatkan situasi cahaya yang sangat silau dan panas, seperti pada gambar di bawah
ini.

Gambar 36. Arah


cahaya matahari
pada musim yang
berbeda
Sumber: Lechner,
1991

Ada beberapa tujuan pencahayaan alami yang akan diperoleh apabila prinsip
pencahayaan alami tersebut diaplikasikan perencanaan bangunan diantaranya adalah
sebagai berikut:
1)

Mendapatkan cahaya yang masuk ke dalam bangunan dengan menaikkan tingkat


iluminasinya

2)

Mengurangi/ mencegah silau langsung dari jendela yang tidak terlindungi dan skylight

3)

Mencegah berlebihnya rasio terang yang disebabkan oleh sinar matahari langsung

4)

Mencegah atau meminimalkan selubung pemantul

5)

Menyebarkan cahaya dengan melibatgandakan pantulan dari plafon dan dinding

6)

Menggunakan potensi estetis pencahayaan alami dan cahaya matahari.

Gambar 37. a). Cahaya dari jendela menimbulkan gradien iluminasi yang berlebihan b). Tujuan
pencahayaan alami adalah menciptakan lebih banyak gradien iluminasi c). Pemantulan terselubung
(veiling) merupakan masalah pencahayaan dari atas
Sumber: Lechner, 1991

Salah satu tujuan pencahayaan alami adalah menghindari kesilauan akibat terlalu
tingginya perbedaan rasio antara gelap dan terang. Sinar langsung dari matahari berpotensi
besar dalam menghasilkan silau dan menyebabkan ketidaknyamanan pada mata. Seperti
yang terlihat pada contoh objek di bawah ini.

Gambar 38. Perbedaan rasio gelap-terang akibat cahaya matahari langsung


yang jatuh pada objek (buku)
Sumber: Lechner, 1991

Salah satu perencanaan yang ideal untuk mendapatkan pencahayaan alami adalah
dengan menempatkan semua jendela pada sisi utara dan selatan. Sisi yang terbaik
merupakan sisi selatan dimana pada sisi tersebut sinar matahari konstan sepanjang hari

dan sepanjang waktu. Sisi utara merupakan sisi terbaik kedua untuk peletakan jendela
karena walaupun cahaya yang dihasilkan cukup stabil namun pada musim panas, akan
menyebabkan panas tersebut gampang masuk ke dalam ruangan sehingga ruang menjadi
kurang nyaman. Sisi yang terburuk adalah sisi timur dan utara, karena selain matahari ini
hanya menerangi tiap setengah hari (pada saat terbit, atau pada saat tenggelam), juga
merupakan saat dimana matahari ketinggiannya hanya setengah, sehingga kurang optimal
dan dapat menyebabkan silau.

Gambar 39. Sisi terbaik untuk peletakan bukaan


demi mendapatkan cahaya alami yang optimal ke dalam bangunan
Sumber: Lechner, 1991

Ketika pencahayaan alami dari jendela terbatas pada area sekitar 15 kaki dari
dinding luar, maka bukaan pada atap akan mampu meratakan pencahayaan sepanjang luas
ruang yang tak terbatas.

Gambar 40. Ilustrasi gradien pencapaian cahaya matahari


ke dalam bangunan melalui berbagai bukaan
Sumber: Lechner, 1991

REFERENCES
Lechner, Norbert. 1991. Heating, Cooling, Lighting, Design Methods For Architect. Wiley
Interscience publication
Philips, Derek. 2004. Daylighting, Natural Light In Architecture. Architectural Press. Oxford.

Anda mungkin juga menyukai