Hukum tidak dapat dipisahkan dari aspek moral. bila hukum belum ada secara kongkrit
yang mengatur, dan moralitas telah menuntut ditransformasikan, maka moralitas haruslah
diutamakan. Kebebasan berekpresi tidak boleh bertentangan dengan moralitas, karena
negara kita berfalsafahkan pancasila yang memuat nilai religious, yakni moralitas.
Assalmu `laikum
Sesungguhnya aku diutus tiada lain untuk menyempurnakan moralitas --bangsa
(H.R. Malik bin Anas dan Ahmad bin Hanbal)
Sebagaimana telah maklum bahwa negara kita adalah negara hukum. Artinya segalanya
harus ditundukkan di bawah hukum, tanpa ada diskriminasi. Akan tetapi hukum bukanlah
segala-galanya. Hukum bukanlah suatu tujuan. Hukum itu sendiri diciptakan bukanlah
semata-mata untuk mengatur, tetapi lebih dari itu untuk mencapai tujuan yang luhur,
yakni keadilan, kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat. Hukum kita adalah produk
warisan kolonial. Hukum kita masih tergategorikan legal positivism tidak banyak legal
realism. Betapa tidak!, realitanya hukum sendiri belum banyak memenuhi tujuan
tersebut. Hukum sendiri --sebagaimana dinyatakan oleh H.L.A. Hart dalam bukunya
General Theory of Law and State, 1965-- sebenarnya harus meliputi tiga unsur nilai,
yakni kewajiban, moral dan aturan. Karenanya hukum tidak dapat dipisahkan dari
dimensi moral (Jeffrie Murphy dan Jules Coelman, The Philosophy of Law, 1984).
Bangsa kita adalah bangsa yang berbudaya ketimuran yang berbeda dengan bangsa Barat.
Bangsa kita sangat menjunjung tinggi moralitas bangsa.
Tetapi akhir-akhir ini, tanpa disadari ataupun disadari, telah terjadi degradasi moral di
negeri ini. Betapa tidak!, sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai agama sudah
diabaikan, dan bahkan dianggap sebagai suatu kemajuan. Goyang Ngebor Inul Daratista
dianggap sebagai aset bangsa tanpa memperhatikan dampak negatifnya. Inul bahkan oleh
seorang advokat --sebagaimana dikemukakannya dalam segmen Debat Minggu Ini
dengan tema Goyang Inul-Inul digoyang di SCTV beberapa minggu yang lalu-dianggap sebagai pahlawan dangdut. Ironisnya lagi Inul akan dijadikan perangko.
Dengan berbagai alasan, diantaranya karena ia dinilai sebagai seorang artis yang melejit
secara spektakuler. Suatu alasan yang irasionil dan non-filosofis. Tidakkah ini berarti
melegalkan goyang ngebor dan mempahlawankan Inul?
Mengapa tidak, seorang Da`i muda yang kondang, Aa Gym yang dijadikan perangko,
karena peranannya yang sangat besar dalam membangun moralitas bangsa ini?. Kenapa
pula tidak Megawati Sukarno Putri sebagai salah seorang presiden perempuan pertama di
negara ini?. Citra perempuan akan terangkat, sebagaimana yang dikehendaki oleh
gerakan feminisme, yang ingin menghilangkan diskriminasi gender. Mengapa pula tidak
Rhoma Irama yang telah mengangkat musik Dangdut dari musik kelas rendah, musik
mesum ke pentas musik dakwah dan go out Internasional?.
Jika kita cermati dengan seksama, maka terlihat jelas bahwa goyangan ngebor dan Inul
itu sendiri adalah dijadikan sebagai obyek yang dieksploitasi dengan kemasan yang indah
di TV. Inulisasi adalah salah satu program yang terkemaskan. Di balik itu, tanpa sadar
atau disadari umat Islam sedang dihancurkan secara halus lewat penghancuran moralitas
(akhlak). Padahal akhlak adalah sesuatu yang utama. Secara tegas dengan taukd Nabi
SAW bersabda, Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan moralitas --bangsa
Di samping itu, bagi wanita yang berpikiran jeli akan merasakan hal ini, bahkan hal ini
dapat dianggap sebagai pelecehan terhadap wanita, bukan malah mengangkat derajat
wanita --sebagaimana yang telah diperjuangkan oleh R.A. Kartini dan rekan-rekannya.
Problem goyang ngebor Inul cs, telah menimbulkan kontroversi antara hukum dan moral.
Dua hal ini memang akan selalu menarik perhatian. Di satu pihak bangsa kita adalah
bangsa yang berkedaulatan atas hukum, dan di satu pihak bangsa kita menjunjung tinggi
moralitas bangsa. Ketika terjadi perbenturan antara keduanya, bagaimana sikap kita?
Bahkan problem inipun juga tidak lepas dari aspek politis. Secara politis, partai-partai
sangat membutuhkan massa yang besar. Inul dapat dimanfaatkan untuk tujuan ini.
Sehingga, melarang goyangan Inul berarti juga akan kehilangan massa yang telah
gandrung dengan Inul tersebut.
Dalam menyoroti problem tersebut, hendaknya segera dicarikan solusi pemecahannya
yang mencerminkan terpenuhinya keadilan terhadap hak-hak asasi manusia, tanpa
mengorbankan moral sebagai religious values (nilai-nilai agama). Inilah tanggung jawab
kita bersama terutama para pemimpin, yang tentunya harus responsif terhadap problem
tersebut. Jika hukum belum ada secara jelas, sedangkan moral telah menuntut
ditransformasikan, seyogyanya moralitas menjadi perhatian dan diutamakan. Dengan
segera pemerintah dan para dewan menanggapi problem tersebut.
Kita memang tidak dapat menghindari modernisasi dan globalisasi sekarang ini. Media
elektronika menempati posisi dan peranan yang sangat signivikan bagi pengembangan
ilmu pengetahuan. Tetapi di sisi lain, ia membawa dampak negatif yang harus
dihindarkan. Upaya yang mesti dilakukan adalah menyeleksi berbagai acara yang dapat
menimbulkan rangsangan atau birahi. Betapa tidak, TV misalnya, dapat diakses oleh
semua kalangan, baik anak-anak maupun orang tua. Tiadanya batasan terhadap segala
tayangan di TV mengindikasikan bahwa hal itu tidak bertentangan atau direstui oleh
negara. Padahal negara kita, berfalsafahkan Pancasila yang memuat nilai-nilai agamis,
moralitas. Dalam Islam sendiri, telah sangat gamblang bahwa misi Nabi SAW adalah
menyempurnakan moralitas umat/bangsa.
Hukum sebagaimana disebutkan di muka, harus mencakup tiga unsur, yakni kewajiban,
moral dan aturan. Hukum itu sendiri bukan merupakan tujuan, tetapi sebagai tool untuk
menuju tujuan yang tinggi, yakni maqshid al-syar`ah. Maqshid al-syar`ah ini tidak
bertentangan dengan HAM, bahkan meliputi HAM itu sendiri. Tetapi yang perlu
ditekankan adalah bahwa hak-hak individu itu tidak boleh bertentangan dengan hak-hak
agama, yakni tidak boleh mengabaikan aspek moral. Apa jadinya, jika setiap orang diberi
kebebasan berkreasi dimana malah akan merusak bangsa?. Tidakkah sebenarnya inilah
yang bertentangan dengan HAM apalagi maqshid al-syar`ah di atas?. Karenanya sikap
MUI yang secara tagas melarang goyangan Inul sangat tepat. Selain alasan karena
maksiat, juga menutup pintu (sadd al-dzar`ah) agar tidak terlalu jauh membawa dampak
negatif, menghancurkan moralitas bangsa.
Oleh karena itu, hendaknya para pemimpin insyaf (sadar), bahwa apapun bisa dipolitisasi,
tetapi jelas politisasi yang mengabaikan sisi moralitas tidaklah terhormat. Kampanye
dengan menampilkan goyang ngebor, goyang ngecor cs adalah kemaksiatan yang harus
dihindari dengan kaidah Dar al-mafsid muqaddam `al jalb al-mashlih
(menghindarkan kemafsadatan [dampak negatif, berupa degradasi moralitas bangsa] itu
lebih diutamakan daripada menarik kemanfaatan/massa). Yang dibutuhkan sekarang
adalah profesionalitas dan kredibilitas moral dalam rangka mengentaskan bangsa ini dari
keterpurukan, baik keterpurukan ekonomi, moneter, kepercayaan, hukum hingga
keterpurukan moralitas. Hanya kesadaran dan political will para pemimpin untuk
mengambil kebijakan yang maslahat (tasharruf al-imm manth bi al-mashlahah). Wa
Allh al-Musta`n.
Wassalm