Anda di halaman 1dari 34

BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Tes HIV Sukarela pada Ibu Hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar
Khalipah Kabupaten Deli Serdang Tahun 2016
Hasil penelitian tentang tes HIV sukarela pada ibu hamil menunjukkan
bahwa dari 95 responden, hanya 29 orang (30,5%) yang telah mengikuti tes HIV
secara sukarela. Hal ini berarti perilaku kesehatan ibu hamil dalam upaya
pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak di wilayah kerja Puskesmas Bandar
Khalipah masih tergolong kurang baik.
Lawrence Green29 dalam teorinya menjelaskan bahwa perilaku kesehatan
individu

dipengaruhi

oleh

faktor

predisposisi

(karakteristik

demografi,

pengetahuan, persepsi, sikap, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya), faktor


pemungkin (ketersediaan sarana fasilitas pelayanan kesehatan) dan faktor penguat
(sikap dan perilaku petugas kesehatan, keluarga, teman, TOMA dan lain-lain).
Teori ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa rendahnya
keikutsertaan ibu hamil dalam tes HIV sukarela dipengaruhi oleh persepsi yang
negatif, serta kualitas pelayanan dan promosi kesehatan yang kurang baik, di
mana promosi kesehatan merupakan variabel yang memberi pengaruh paling
besar.
Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Quroti35 pada 142 orang ibu
hamil di Puskesmas Gedongtengen Kota Yogyakarta menunjukkan terdapat
hubungan yang signifikan antara faktor predisposisi seperti umur, pendidikan,
pekerjaan, pengetahuan, sikap dan pengaruh orang yang dianggap penting dengan

90

91

pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak. Hal ini berarti faktor predisposisi
memiliki peranan cukup penting dalam pembentukan perilaku kesehatan individu.
Semakin baik faktor predisposisi yang dimiliki oleh seseorang maka akan semakin
baik pula perilaku kesehatannya. Agar faktor pengetahuan, sikap, persepsi dan
keyakinan individu, kelompok dan masyarakat tentang pencegahan penularan HIV
dari ibu ke anak dapat menjadi lebih baik dan mampu mendukung pembentukan
perilaku kesehatan yang positif, diperlukan
Notoatmodjo15 menyebutkan bahwa promosi kesehatan adalah proses
untuk

meningkatkan

kemampuan

masyarakat

dalam

memelihara

dan

meningkatkan kesehatannya. Untuk itu promosi kesehatan harus mempunyai visi


yang jelas. Berdasarkan Undang-Undang Kesehatan No. 36/2009, maupun
ketentuan WHO, visi umum promosi kesehatan adalah meningkatnya kemampuan
masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan, baik fisik,
mental dan sosialnya, sehingga produktif secara ekonomi maupun sosial. Visi
tersebut hanya dapat dicapai dengan melakukan berbagai upaya yang disebut
misi. Adapun misi promosi kesehatan secara umum adalah advokat (advocate),
menjembatani (mediate), dan memampukan (enable). Sesuai dengan uraian di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa visi dan misi promosi kesehatan dalam
penelitian ini adalah meningkatnya kemampuan ibu hamil untuk melakukan tes
HIV sukarela untuk menghindari penularan HIV dari ibu ke anak, sehingga derajat
kesehatan ibu dan anak dapat terpelihara dengan baik, melalui kegiatan advokasi,
mediasi dan memampukan masyarakat.

92

Visi dan misi promosi kesehatan dalam penelitian ini membutuhkan cara
pendekatan yang strategis agar dapat diwujudkan secara efektif dan efisien.
Strategi global promosi kesehatan menurut WHO tahun 1984 yang dapat
dikerjakan untuk mencapai visi dan misi terkait dengan penelitian ini adalah
advokasi (advocacy), dukungan sosial (social support), dan pemberdayaan
masyarakat (empowerment).15
Target layanan VCT atau konseling dan tes HIV sukarela pada ibu hamil di
wilayah kerja Puskesmas Bandar Khalipah akan sulit dicapai jika tidak
memperoleh dukungan dari Pemerintah Daerah selaku pembuat keputusan
(decision maker) atau penentu kebijakan (policy maker). Kebijakan-kebijakan
dalam bentuk peraturan, undang-undang, instruksi dan sebagainya akan mengikat
masyarakat dan instansi-instansi terkait dengan masalah kesehatan, dengan
demikian dapat menguntungkan bagi peningkatan kualitas pelayanan kesehatan
publik. Kebijakan Pemerintah Daerah yang dibutuhkan sesuai dengan hasil
penelitian ini adalah pengembangan sistem komunikasi untuk berbagi informasi
layanan VCT dari Polindes atau Klinik Bidan Praktik Mandiri (BPM) ke Klinik
VCT Puskesmas Bandar Khalipah dengan memanfaatkan teknologi komunikasi.
Sistem komunikasi ini diperlukan agar layanan VCT bagi ibu hamil tidak terputus
sampai di konseling tes HIV sukarela oleh bidan di Polindes atau Klinik BPM
saja. Sistem komunikasi layanan PPIA yang baik dapat memudahkan kegiatan
pelaporan, monitoring dan evaluasi program, meningkatkan akses tes HIV,
mempercepat rujukan dan meningkatkan dukungan (makanan, terapi dan
pemantauan kepatuhan minum obat) bagi ibu dan bayi dengan HIV positif.

93

Proses pembentukan perilaku kesehatan ibu hamil untuk tes HIV sukarela
membutuhkan dukungan sosial dalam bentuk panutan (role model) yang baik.
Menurut Notoatmodjo15, pada masyarakat paternalistik seperti di Indonesia,
TOMA dan TOGA merupakan panutan perilaku yang sangat signifikan. Apabila
TOMA dan TOGA sudah mempunyai perilaku yang sehat, maka akan mudah
ditiru oleh anggota masyarakat yang lain. Selain TOMA dan TOGA, kader
kesehatan juga memiliki peran penting dalam memberikan dukungan sosial
berbentuk panutan, informasi, motivasi dan pendampingan tes HIV sukarela bagi
ibu hamil. Untuk memperoleh dukungan sosial ini, Dinas Kesehatan Kabupaten
Deli Serdang perlu melaksanakan penyuluhan, seminar, lokakarya atau pelatihanpelatihan bagi para TOMA, TOGA dan kader kesehatan terkait PPIA, termasuk tes
HIV pada ibu hamil.
Perlunya dukungan sosial dari orang-orang di lingkungan sekitar untuk
pembentukan perilaku kesehatan yang baik didukung oleh hasil penelitian Dewi 36
tentang Pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap Perubahan Pengetahuan dan
Sikap dalam Pencegahan HIV dan AIDS pada Pekerja Seks Komersial di Kota
Semarang. Penelitian tersebut menunjukkan hasil bahwa pendidikan kesehatan
dengan metode PE (peer education / pendidikan teman sebaya) sangat efektif
untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap PSK. Dari hasil tersebut peneliti
menyarankan perlu adanya pembinaan, supervisi dan pelatihan secara kontinu
pada peer educator dan perekrutan peer educator baru sebagai ujung tombak
dalam upaya promotif dan preventif HIV/AIDS.

94

Strategi global promosi kesehatan menurut WHO tahun 1984 yang terakhir
adalah pemberdayaan masyarakat (empowerment), melalui berbagai kegiatan
seperti penyuluhan kesehatan, pengorganisasian dan pembangunan masyarakat
dalam bentuk koperasi dan pelatihan keterampilan. Banyaknya jumlah responden
yang memiliki persepsi negatif tentang tes HIV sukarela menunjukkan masih
rendahnya pemahaman ibu hamil tentang risiko penularan HIV dari ibu ke anak,
bahaya HIV bagi ibu dan anak, serta langkah-langkah pencegahan dan
penanganan penularan HIV dari ibu ke anak. Persepsi negatif tersebut diperkuat
oleh stigma buruk yang melekat pada HIV dan Orang hidup Dengan HIV dan
AIDS (ODHA).
Untuk mengubah persepsi negatif tentang tes HIV sukarela dan
mengurangi stigma buruk terkait HIV dan ODHA, Puskesmas Bandar Khalipah
perlu memikirkan teknik promosi kesehatan yang tepat dengan memanfaatkan
wadah kegiatan berbasis masyarakat seperti Posyandu, PKK, Kelas Ibu Hamil,
BKB (Bina Keluarga Balita) dan UPPKS (Usaha Peningkatan Pendapatan
Keluarga Sejahtera).
Hasil penelitian Kurniawati37 menunjukkan bahwa metode diskusi kelompok kecil
dengan fasilitator (tenaga kesehatan) memberi pengaruh yang lebih besar terhadap
peningkatan pengetahuan dan sikap ibu rumah tangga tentang HIV dan AIDS
dibandingkan metode penyuluhan biasa. Hasil penelitian tersebut membuktikan
pelaksanaan promosi kesehatan yang intensif, materi yang fokus, disertai
penerapan metode dan media yang tepat diharapkan dapat menumbuhkan persepsi
yang positif dan mengurangi stigma buruk terkait HIV dan ODHA, sehingga

95

dapat meningkatkan keikutsertaan ibu hamil dalam tes HIV sukarela di wilayah
kerja Puskesmas Bandar Khalipah.

5.2

Pengaruh Persepsi terhadap Tes HIV Sukarela pada Ibu Hamil di


Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalipah Kabupaten Deli Serdang
Tahun 2016
Hasil penelitian tentang variabel persepsi menunjukkan bahwa responden

yang memiliki persepsi negatif tentang tes HIV sukarela pada ibu hamil ada
sebanyak 57 orang (60,0%). Uji statistik chi square menunjukkan ada hubungan
yang signifikan antara persepsi dengan tes HIV sukarela pada ibu hamil dengan
p value 0,001 < 0,05, namun uji statistik regresi logistik berganda menunjukkan
hasil tidak terdapat pengaruh persepsi terhadap variabel tes HIV sukarela pada ibu
hamil dengan nilai Sig 0,125 > 0,05 dan exp (B) = 3,080. Hal tersebut berarti
ada variabel lain yang memberi pengaruh lebih besar terhadap tes HIV sukarela
pada ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas Bandar Khalipah.
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, peneliti dapat berasumsi
bahwa lemahnya dukungan sosial dari lingkungan dan orang-orang di sekeliling
responden merupakan salah satu faktor yang turut memengaruhi tes HIV sukarela
di samping faktor promosi kesehatan. Sebagian besar responden yang memiliki
persepsi positif tapi tidak mengikuti tes HIV sukarela mengaku takut melakukan
tes HIV karena tidak didukung oleh suami, walaupun mereka menyadari memiliki
risiko tertular HIV dari suami. Kekuatiran tersebut dapat dipahami karena di
samping tidak memperoleh dukungan dari suami dan keluarga, mereka juga tidak
mengetahui keberadaan instansi Pemerintah maupun lembaga-lembaga sosial di

96

masyarakat yang mampu memberikan informasi, perlindungan, dukungan dan


pendampingan bagi perempuan-perempuan pengidap HIV.
Menyikapi masalah tersebut, Puskesmas

Bandar Khalipah dapat

melakukan penguatan jejaring eksternal (hubungan antar fasilitas pelayanan


kesehatan, rujukan antar layanan, dan penguatan komponen masyarakat) dalam
kegiatan KIE untuk pengetahuan komprehensif, promosi penggunaan kondom,
pengendalian / pengenalan faktor risiko tertular HIV; konseling dan tes HIV
sukarela (VCT); Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan (PDP) bagi ODHA;
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA); dan keterlibatan aktif dari
sektor masyarakat, termasuk keluarga.
Tenaga kesehatan, terutama bidan dapat mendorong keterlibatan aktif dari
suami/pasangan dan keluarga dengan melaksanakan layanan KIA komprehensif
yang dimulai dari pemberian layanan ANC terpadu. Pada pelayanan ANC terpadu
bidan dapat menciptakan pelayanan KIA yang bersahabat untuk pria, sehingga
mudah diakses oleh suami/pasangan ibu hamil, mengadakan kegiatan konseling
berpasangan, menerapkan metode promosi kesehatan yang tepat untuk mendorong
dialog yang lebih terbuka antara ibu hamil dan suami/pasangan tentang HIV, PPIA
dan perawatan/dukungan bagi perempuan pengidap HIV. Oleh sebab itulah maka
pelaksanaan PPIA perlu diintegrasikan ke dalam kegiatan pelayanan Kesehatan
Ibu dan Anak dan Keluarga Berencana (KIA/KB).
Meskipun variabel persepsi tidak memberikan pengaruh yang besar,
namun variabel persepsi memiliki hubungan yang signifikan dengan tes HIV
sukarela pada ibu hamil. Tingginya jumlah responden yang memiliki persepsi

97

negatif tentang tes HIV sukarela tetap membutuhkan perhatian khusus jika
Puskesmas Bandar Khalipah menginginkan terjadinya peningkatan cakupan
layanan VCT pada ibu hamil di wilayah kerjanya.
Menurut Toha22 persepsi pada hakekatnya adalah proses kognitif yang
dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya,
baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman.
Persepsi ibu hamil tentang tes HIV sukarela dapat terbentuk melalui pemaknaan
lewat penglihatan seperti melihat langsung proses pengambilan sampel darah pada
tes HIV, membaca poster, leaflet/brosur, artikel di majalah atau surat kabar, serta
menonton tayangan iklan, berita dan talk show di televisi yang berisikan informasi
kesehatan tentang PPIA atau tes HIV ibu hamil. Pemaknaan lewat pendengaran
dapat diperoleh dari mendengarkan informasi kesehatan di radio, mendengarkan
informasi dari tenaga kesehatan, maupun pengalaman atau opini dari orang-orang
di sekitarnya. Perasaan ibu hamil terhadap tes HIV sukarela akan terbentuk sesuai
dengan penghayatan mereka terhadap berbagai informasi yang diterima. Jika
informasi yang terserap lebih banyak yang bersifat negatif, maka besar
kemungkinan ibu hamil akan memiliki persepsi yang negatif juga tentang tes HIV
sukarela, demikian pula jika yang terjadi sebaliknya.
Notoatmodjo38 menyatakan, seseorang mau bertindak untuk mengobati
atau mencegah penyakitnya setelah ia lebih dahulu merasakan bahwa ia rentan
(susceptible) terhadap penyakit tersebut. Perilaku pencegahan terhadap HIV/AIDS
akan timbul jika seseorang merasa bahwa dirinya berisiko untuk terkena penyakit
tersebut. Kerentanan merupakan kondisi yang subjektif sehingga penerimaan

98

individu, khususnya orang risiko tinggi terhadap kerentanan untuk terinfeksi


HIV/AIDS dapat bervariasi.
Seorang ibu hamil kemungkinan dapat dinyatakan memiliki kerentanan
yang sangat kuat terhadap HIV apabila ia memiliki keyakinan bahwa dirinya
berisiko tertular HIV, memiliki teman atau pasangan yang terinfeksi HIV atau
memiliki riwayat perilaku yang berisiko untuk tertular HIV. Ibu hamil yang
memiliki persepsi kerentanan yang sangat kuat untuk tertular HIV kemungkinan
akan terdorong untuk mengikuti tes HIV sukarela. Pada penelitian ini ditemukan
sebagian besar ibu hamil memiliki kerentanan yang lemah terhadap HIV karena
merasa sehat dan tidak memiliki faktor risiko tertular HIV.
Becker dalam Nototmodjo38 menyatakan tindakan individu untuk mencari
pengobatan dan pencegahan penyakit akan didorong oleh keseriusan penyakit
terhadap individu atau masyarakat. Persepsi keseriusan/tingkat bahaya yang
dirasakan terhadap HIV kemungkinan juga berbeda-beda pada setiap orang. Hal
itu karena tiap orang memiliki pandangan yang subjektif terhadap keseriusan HIV.
Salah satu variabel yang mungkin dapat memengaruhi orang dalam merasakan
keseriusan HIV sehingga mendorong dirinya untuk mengikuti tes HIV sukarela
adalah tingkat pendidikan.
Tingkat pendidikan mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap perilaku
dengan cara memengaruhi persepsi individu seperti persepsi terhadap keseriusan.
Individu dengan pendidikan tinggi, cenderung memiliki perhatian yang besar
terhadap kesehatannya sehingga jika individu tersebut mengalami gangguan
kesehatan maka ia akan segera mencari pelayanan kesehatan. 38 Semakin tinggi

99

tingkat pendidikan ibu hamil maka semakin besar keseriusan/tingkat bahaya yang
dirasakan terhadap HIV sehingga dengan persepsi keseriusan/tingkat bahaya yang
dimiliki akan mendorong ibu hamil tersebut untuk memanfaatkan VCT. Sebagian
besar ibu hamil dalam penelitian ini memiliki latar belakang pendidikan tingkat
menengah yang dianggap mampu menelaah keseriusan/tingkat bahaya HIV bagi
dirinya, kehamilannya maupun janin dalam kandungannya. Hal ini sesuai dengan
fakta yang menunjukkan bahwa sebagian besar responden setuju bahwa HIV
adalah virus yang berbahaya, mematikan dan dapat menular kepada janin.
Salah satu alasan utama individu tidak mengubah perilaku kesehatan
mereka karena mereka berpikir melakukan hal tersebut akan menimbulkan
kesulitan, baik kesulitan secara psikologis atau fisik maupun sosial. Menurut
Notoatmodjo38, individu akan melakukan suatu tindakan tertentu apabila merasa
dirinya rentan untuk penyakit-penyakit yang dianggap serius. Tindakan ini
tergantung pada manfaat yang dirasakan dan rintangan-rintangan yang ditemukan
dalam mengambil tindakan tertentu. Hambatan paling besar menurut ibu hamil
pada penelitian ini adalah kekhawatiran akan dikucilkan jika hasil tesnya positif,
harus berulang datang ke Klinik VCT dan keraguan terhadap keamanan
kerahasiaan informasi.
Kekhawatiran ibu hamil dengan HIV akan dikucilkan masyarakat timbul
akibat stigma buruk yang melekat pada ODHA, seperti HIV dan AIDS adalah
penyakit sampah masyarakat (pelacur, homoseksual, pecandu narkoba, sering
bergonta-ganti pasangan seksual). Penelitian Fitri Indrawati39 di Klinik VCT
Bandungan Kabupaten Semarang tahun 2013 menunjukkan hasil bahwa stigma

100

HIV dimensi menyalahkan dan menghakimi serta dimensi interaksi


berhubungan secara signifikan dengan pemanfaatan Klinik VCT oleh Wanita
Pekerja Seksual (WPS) dengan OR 5,2 dan 4,2 (CI 95%). Analisis regresi logistik
menunjukkan stigma HIV yang lebih rendah memiliki peluang meningkatkan
pemanfaatan Klinik VCT sebesar 30% setelah dikontrol dengan variabel
pengetahuan tentang HIV.
Penelitian lain oleh Smolak dan Bassel40 menunjukkan bahwa stigma
negatif dari masyarakat tentang HIV dan AIDS berpengaruh terhadap kesediaan
melakukan tes HIV, sedangkan stigma yang berasal dari diri sendiri dan keluarga
berpengaruh terhadap penolakan tes HIV. Persepsi yang ada pada dirinya sendiri
yang merupakan pandangan negatif (stigma) menjadi salah satu penyebab ibu
tidak bersedia melakukan tes HIV, seperti persepsi responden yang sebagian besar
menyatakan bahwa tes HIV tidak diperlukan karena seseorang merasa sehat dan
menganggap bahwa infeksi HIV merupakan penyakit yang tidak akan sembuh.
Menurut Rosenstock41, suatu tindakan akan dipengaruhi oleh keyakinan
tentang efektivitas relatif dari alternatif yang tersedia yang dianggap dapat
mengurangi ancaman penyakit yang dirasakan individu. Perilaku kesehatan dalam
hal ini pemanfaatan VCT untuk mengikuti tes HIV sukarela, mungkin tergantung
pada bagaimana orang berpikir tentang manfaat yang akan ia peroleh untuk
mengatasi masalah kesehatannya, terutama masalah yang berkaitan dengan HIV
dan AIDS.
Pada umumnya, manfaat tindakan lebih menentukan daripada hambatan
yang mungkin ditemukan dalam mengambil suatu tindakan. Individu mungkin

101

merasakan manfaat terhadap suatu perilaku tertentu tetapi pada saat yang sama
mereka juga mungkin merasakan hambatan untuk melakukan perilaku tersebut.
Pada penelitian ini tampaknya hambatan lebih menentukan daripada manfaat
sebab persepsi manfaat yang dimiliki ibu hamil pada penelitian ini lemah karena
sebagian besar di antara mereka meragukan manfaat pemberian terapi ARV dapat
mencegah penularan HIV dari ibu ke janin dalam kandungannya, termasuk
manfaat terapi ARV untuk meningkatkan harapan hidup ODHA, sehingga merasa
tes HIV tidak terlalu penting.
Penelitian yang dilakukan oleh Purwaningsih42 tentang Analisis Faktor
Pemanfaatan Klinik VCT di Puskesmas Dupak Kota Surabaya Tahun 2010
menunjukkan bahwa di antara 23 orang kelompok risiko tinggi yang
memanfaatkan layanan Klinik VCT di Puskesmas Dupak terdapat 61% yang
memiliki persepsi kerentanan (perceived suscebtibilty) sangat kuat, 78% memiliki
persepsi keseriusan/tingkat keparahan (perceived seriousness) yang sangat kuat,
66% memiliki persepsi manfaat (perceived benefit) yang sangat kuat, 65%
memiliki persepsi hambatan (perceived barrier) yang sangat kuat, 82% memiliki
persepsi kemampuan diri (self efficacy) yang sangat kuat dan 52% memiliki
persepsi isyarat bertindak (cues to action factor) yang sangat kuat. Hal ini
membuktikan bahwa pemanfaatan Klinik VCT oleh kelompok risiko tinggi HIV
dipengaruhi oleh kekuatan persepsi yang mereka miliki.
Berbeda dengan hasil penelitian Ni Ketut Arniti43 yang dilakukan di
Puskesmas Kota Denpasar tahun 2014 ya n g menunjukkan bahwa sebagian
besar responden (67,5%) menerima tes HIV. Faktor yang ditemukan

102

berhubungan dengan penerimaan tes HIV oleh ibu hamil adalah faktor
dukungan suami atau keluarga, faktor persepsi keparahan penyakit HIV/AIDS
serta faktor pekerjaan. Sedangkan faktor usia, pendidikan, paritas, frekuensi
ANC, pengetahuan tentang HIV dan PPIA, persepsi kerentanan, persepsi
manfaat, persepsi halangan, dukungan petugas kesehatan dan dukungan teman
tidak berhubungan secara signifikan dengan penerimaan tes HIV oleh ibu
hamil. Alasan menerima tes adalah karena mengikuti anjuran petugas
kesehatan, ingin tahu status HIV-nya saja dan hanya sebagian kecil alasan untuk
melindungi anak. Alasan tidak menerima tes yang diungkapkan responden
adalah takut diambil darah, takut hasil yang akan diterima dan tidak
mendapat persetujuan untuk tes HIV dari suami.
Berdasarkan pembahasan hasil penelitian di atas, peneliti dapat
menyimpulkan bahwa sesuai dengan teori Lawrence Green, persepsi ibu hamil
memang berpengaruh secara signifikan terhadap tes HIV sukarela. Untuk
mengambil keputusan mengikuti tes HIV sukarela, ibu hamil membutuhkan
persepsi yang positif tentang tes HIV itu sendiri. Oleh sebab itu, pada saat
melakukan promosi kesehatan, tenaga kesehatan perlu memerhatikan faktor-faktor
yang memengaruhi pemaknaan terhadap informasi PPIA atau tes HIV pada ibu
hamil, seperti pengetahuan atau pengalaman, kebutuhan, emosi dan teknik
penyampaian informasi yang menarik. Dengan demikian diharapkan ibu hamil
dapat memiliki interpretasi yang tepat untuk menumbuhkan persepsi yang positif
dalam dirinya.

103

5.3 Pengaruh Pelayanan Kesehatan terhadap Tes HIV Sukarela pada Ibu
Hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalipah Kabupaten Deli
Serdang Tahun 2016
Hasil penelitian tentang variabel pelayanan kesehatan menunjukkan bahwa
sebagian besar responden memberi penilaian yang kurang baik, yaitu sebanyak 51
orang (53,7%). Uji statistik chi square menunjukkan ada hubungan yang
signifikan antara pelayanan kesehatan dengan tes HIV sukarela pada ibu hamil
p value 0,001 < 0,05, namun uji statistik

dengan

regresi logistik berganda menunjukkan hasil tidak terdapat pengaruh persepsi


terhadap variabel tes HIV sukarela pada ibu hamil dengan nilai Sig 0,234 > 0,05
dan exp (B) = 2,541. Hal tersebut berarti ada variabel lain yang memberi pengaruh
lebih besar terhadap tes HIV sukarela pada ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas
Bandar Khalipah.
Pelayanan kesehatan merupakan bagian dari faktor pemungkin (enabling)
yang turut memengaruhi tes HIV sukarela pada ibu hamil. Namun pada penelitian
ini terbukti variabel pelayanan kesehatan tidak memberikan pengaruh yang
signifikan. Hal ini menunjukkan ada faktor lain yang lebih memengaruhi tes HIV
sukarela pada ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas Bandar Khalipah.
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, penulis berasumsi bahwa
faktor lain yang lebih besar mempengaruhi tes HIV sukarela pada ibu hamil
adalah stigma yang buruk terhadap HIV dan ODHA. Sebagian responden yang
menilai pelayanan kesehatan dalam kategori baik mengatakan tidak mengikuti tes
HIV sukarela disebabkan merasa takut menjadi bahan pergunjingan masyarakat
karena dicurigai mengidap HIV jika berkunjung ke Klinik VCT, apalagi melihat

104

dan mendengar cerita bagaimana nasib perempuan yang terdiagnosa HIV positif.
Menurut mereka perempuan yang mengidap HIV positif cenderung akan
diceraikan suami, diusir dari keluarganya, dikucilkan masyarakat, sulit mencari
pekerjaan dan dibebani dengan tanggung jawab mengurus anaknya yang
mengidap HIV seorang diri.
Untuk meminimalkan pengaruh stigma buruk yang melekat pada HIV dan
ODHA terhadap keberhasilan Program PPIA dan tes HIV sukarela pada ibu hamil,
Puskesmas Bandar Khalipah perlu meningkatkan pemberdayaan tenaga kesehatan
di lapangan (bidan desa, BPM, PLKB), LSM, kader kesehatan, TOMA dan TOGA
untuk melaksanakan kegiatan KIE, pemberian dukungan, pendampingan dan
rujukan bagi ibu hamil dalam organisasi kemasyarakatan dan Kelompok
Dukungan Sebaya. Pemberian informasi oleh pihak-pihak yang memiliki
pengaruh sosial cukup besar diharapkan mampu meningkatkan kepercayaan,
penerimaan, kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap Program PPIA dan
VCT, sehingga stigma buruk terhadap HIV dan ODHA dapat diminimalkan.
Untuk itu kegiatan KIE sebaiknya tidak hanya ditujukan bagi ibu hamil, tapi juga
kepada suami, keluarga dan masyarakat luas.
Uji statistik Chi square menunjukkan hasil ada hubungan yang signifikan
antara variabel pelayanan kesehatan terhadap tes HIV sukarela pada ibu hamil.
Hal ini berarti walaupun pelayanan kesehatan bukan merupakan faktor yang
berpengaruh besar, namun mengingat hubungannya yang signifikan dengan tes
HIV sukarela pada ibu hamil, ditambah besarnya jumlah responden yang menilai
mutu pelayanan kesehatan masih kurang baik, tampaknya Puskesmas Bandar

105

Khalipah perlu melakukan upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan,


khususnya layanan KIA komprehensif yang dimulai dari ANC terpadu.
Menurut Lawrence Green dalam Notoatmodjo15, salah satu faktor yang
memengaruhi perilaku kesehatan seseorang adalah faktor pemungkin (enabling
factors), yaitu sarana dan prasarana atau fasilitas yang diperlukan untuk
mewujudkan perilaku kesehatan tersebut. Ketersediaan fasilitas pelayanan
kesehatan yang berkualitas akan meningkatkan motivasi ibu hamil untuk
mengikuti tes HIV sukarela.
Lori Di Prete Brown dalam Wijono 26 menyebutkan bahwa kualitas atau
mutu pelayanan kesehatan dapat dinilai berdasarkan dimensi kompetensi teknis,
akses, efektivitas, efisiensi, kontinuitas, keamanan, kenyamanan, hubungan antar
manusia, ketepatan waktu dan kejelasan informasi. Dalam penelitian ini fasilitas
pelayanan kesehatan yang dibutuhkan ibu hamil untuk melakukan tes HIV
sukarela selain Klinik VCT sebagai tempat melakukan tes HIV sukarela adalah
semua fasilitas pelayanan kesehatan yang melayani konseling HIV dan tes HIV
sukarela seperti Poliklinik KIA di Puskesmas, Posyandu, Poskesdes atau Klinik
BPM. Sesuai dengan standar pelayanan ANC dan Pedoman PPIA yang diterbitkan
oleh Kementerian Kesehatan RI, semua ibu hamil harus mendapatkan layanan
konseling HIV dan PPIA (tes HIV sukarela) sebelum ditawarkan untuk mengikuti
tes HIV sukarela pada saat melakukan kunjungan pertama ANC (K1). Jika ibu
hamil memperoleh pengalaman yang memuaskan pada saat menerima pelayanan
ANC, maka besar kemungkinan ibu hamil akan mengikuti tes HIV sukarela.

106

Penelitian Kartiningsih44 tentang pengaruh pelaksanaan standar pelayanan


ANC dengan keikutsertaan ibu hamil untuk VCT menunjukkan hasil bahwa ibu
hamil yang mendapatkan pelayanan ANC sesuai standar berpeluang lebih besar
mengikuti tes HIV sukarela dibandingkan ibu hamil yang mendapatkan pelayanan
ANC tidak sesuai standar. Penelitian tersebut melibatkan 245 ibu hamil di lima
Puskesmas di Kabupaten Merauke Provinsi Papua.
Akses atau keterjangkauan berarti bahwa pelayanan kesehatan tidak
terhalang oleh keadaan geografis, sosial, ekonomi, budaya, organisasi atau
hambatan bahasa. Akses geografis dapat diukur dengan jenis transportasi, jarak,
waktu perjalanan dan hambatan fisik lain yang dapat menghalangi seseorang
untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Akses ekonomi berkaitan dengan
kemampuan memberikan pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh pasien. Akses
sosial atau budaya berkaitan dengan diterimanya pelayanan yang dihubungkan
dengan nilai budaya, kepercayaan dan perilaku. Akses organisasi berkaitan dengan
sejauh mana pelayanan diatur untuk kenyamanan pasien, jam kerja klinik dan
waktu tunggu. Akses bahasa berarti bahwa pelayanan diberikan dalam bahasa atau
dialek setempat yang dipahami oleh pasien.26
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar ibu hamil yang bertempat
tinggal di Desa Bandar Setia, Kolam dan Laut Dendang merasa lokasi Klinik VCT
di Puskesmas Bandar Khalipah agak sulit dijangkau karena jaraknya yang cukup
jauh, sehingga membutuhkan biaya perjalanan yang cukup besar. Selain biaya
perjalanan, bagi ibu hamil yang bekerja sebagai karyawan dan pekerja lepas,
mereka juga terpaksa kehilangan insentif jika meninggalkan pekerjaan untuk

107

berkunjung ke Klinik VCT. Meskipun demikian, sebagian besar ibu hamil


menyatakan dapat menyesuaikan waktu luangnya dengan waktu pelayanan di
Klinik VCT karena sebagian besar ibu hamil yang menjadi responden adalah ibu
rumah tangga atau tidak bekerja.
Puskesmas Bandar Khalipah telah melaksanakan program mobile VCT
atau layanan VCT keliling untuk menjangkau sasaran ibu hamil yang bertempat
tinggal jauh dari Puskesmas. Namun mengingat wilayah kerja yang sangat luas
ditambah dengan wilayah kerja dari Puskesmas Pembantu di sekelilingnya, maka
upaya tersebut masih belum cukup. Oleh sebab itu Puskesmas perlu menambah
unit layanan VCT di komunitas dengan memberdayakan para bidan desa di
Polindes atau BPM. Apabila seluruh bidan desa atau BPM memiliki kompetensi
yang baik dalam melakukan konseling dan tes HIV sukarela, diharapkan akan
terjadi percepatan pencapaian target 100% ibu hamil mengikuti tes HIV pada
tahun 2017. Untuk itu Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang perlu
mengadakan pelatihan teknis konseling dan tes HIV bagi para bidan secara
berkala.
Kenyamanan

berkaitan

dengan

pelayanan

kesehatan

yang

tidak

berhubungan langsung dengan efektivitas klinis, tetapi dapat mempengaruhi


kepuasan pasien dan bersedianya untuk kembali ke fasilitas untuk memperoleh
pelayanan berikutnya. Kenyamanan juga penting karena dapat mempengaruhi
kepercayaan pasien dalam pelayanan kesehatan. Kenyamanan berkaitan dengan
penampilan fisik dari fasilitas, tenaga kesehatan, peralatan medis maupun non
medis, seperti kebersihan, suasana di ruang tunggu atau ruang konseling yang

108

menyenangkan dan keramahan tenaga kesehatan. Jaminan kesinambungan dan


peningkatan cakupan pelayanan kesehatan erat kaitannya dengan aspek
kenyamanan.26
Sebagian besar ibu hamil sebagai responden dalam penelitian ini
menyatakan bahwa kondisi ruang konseling di fasilitas pelayanan ANC membuat
mereka merasa kurang nyaman untuk bertanya, bercerita secara jujur dan terbuka
tentang faktor risiko HIV dan tes HIV. Hal itu disebabkan ruang konseling yang
terbuka, bergabung dengan ruang tunggu klien, sehingga percakapan antara tenaga
kesehatan dan ibu hamil dapat didengarkan oleh siapa saja yang kebetulan berada
di sekitar ruang konseling. Selain itu, beberapa ibu hamil menyatakan tenaga
kesehatan yang memberikan layanan konseling HIV dan PPIA (tes HIV sukarela)
kurang sabar dan terburu-buru dalam memberikan penjelasan karena banyaknya
jumlah pasien lain yang harus mereka tangani.
Kondisi yang kurang menguntungkan tersebut dapat disebabkan oleh
faktor tenaga kesehatan atau sarana dan prasarana di fasilitas kesehatan. Pusat
Teknologi Intervensi Kesehatan, Badan Litbangkes Kemenkes RI pernah
melakukan penelitian untuk mengetahui gambaran pelaksanaan layanan VCT dan
sarana prasarana Klinik VCT di Kota Bandung tahun 2013. 45 Hasilnya
menunjukkan secara umum pelaksanaan layanan VCT dan sarana prasarana
Klinik VCT sudah cukup baik. Layanan yang masih kurang baik yaitu dari segi
keterbatasan jumlah, bahasa dan waktu tunggu konselor. Jumlah konselor yang
terbatas menyebabkan antrian klien panjang sehingga waktu tunggu menjadi lebih

109

lama, sementara waktu konseling bertambah pendek. Hal ini menyebabkan


konselor terburu-buru sewaktu menyampaikan informasi dan terkesan tidak sabar.
Sarana dan prasarana yang belum memadai yaitu hanya ada satu pintu
ruang konseling, sehingga privacy klien kurang terjaga dengan baik. Selain itu
tidak ada fasilitas cuci tangan di ruang pengambilan darah yang dapat mengurangi
jaminan kebersihan pelayanan dan meningkatkan risiko infeksi. Tidak ada papan
informasi alur layanan VCT, fasilitas alat peraga yang belum lengkap dan tidak
ada kotak saran di ruang tunggu.
Layanan kesehatan yang bermutu harus mampu memberikan informasi
yang jelas tentang apa, siapa, kapan, di mana dan bagaimana layanan kesehatan
itu akan atau telah dilaksanakan.26 Informasi yang jelas terkait tes HIV sukarela
akan memudahkan ibu hamil untuk mengambil keputusan mengikuti tes. Dari
hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa sebagian besar ibu hamil menyatakan
informasi waktu dan tempat pelayanan tes HIV sudah cukup jelas disampaikan
oleh tenaga kesehatan, tapi tidak untuk manfaat dan prosedur pelaksanaan tes
HIV. Hal ini terbukti ketika peneliti menanyakan manfaat tes HIV, sebagian besar
responden menjawab manfaatnya hanya untuk mengetahui status HIV ibu hamil
saja dan tidak tahu apa tindakan yang harus dilakukan selanjutnya jika status HIV
ibu negatif atau positif. Mereka hanya diberitahu jika hasil tes HIV harus diulang
untuk memastikan hasilnya akurat, tapi tidak tahu kapan dan bagaimana teknik
pemeriksaannya.
Pemanfaatan Klinik VCT berhubungan dengan pengetahuan, keterampilan
konseling dan pemberian dukungan atau motivasi dari petugas kesehatan kepada

110

klien. Penelitian Syahrir46 tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan


pemanfaatan Klinik VCT di Puskesmas Kota Makassar tahun 2013 pada 133
sampel menunjukkan hasil bahwa pengetahuan, keterampilan konseling dan
dukungan petugas kesehatan berhubungan secara signifikan dengan pemanfaatan
Klinik VCT. Petugas kesehatan diharapkan lebih menguatkan materi penyuluhan
pada cara penularan HIV, tujuan, sasaran dan tahap pelaksanaan VCT. Selain itu
petugas kesehatan sebagai konselor perlu menciptakan suasana konseling yang
menyenangkan.
Selain dimensi akses/keterjangkauan, kenyamanan, keamanan, kejelasan
informasi atau ketepatan waktu pelayanan, aspek hubungan antar manusia atau
sikap petugas kesehatan juga turut memengaruhi mutu pelayanan kesehatan.
Hubungan antar manusia berkaitan dengan interaksi antara tenaga kesehatan
dengan pasien, manajer dan petugas, atau antara tim kesehatan dengan
masyarakat. Hubungan antar manusia yang baik menanamkan kepercayaan dan
kredibilitas dengan cara menghargai, menjaga rahasia, menghormati, responsif
dan memberi perhatian. Mendengarkan keluhan dan berkomunikasi secara efektif
juga penting. Hubungan antar manusia yang baik akan mempunyai andil yang
besar dalam konseling yang efektif. Hubungan antar manusia yang kurang baik
akan mengurangi efektivitas dari kompetensi teknis pelayanan kesehatan. Pasien
yang diperlakukan kurang baik cenderung mengabaikan saran dan nasihat tenaga
kesehatan.26
Saran dan nasihat merupakan bentuk dari inisiatif petugas kesehatan untuk
mendorong ibu hamil mengikuti tes HIV sukarela yang hanya akan diterima oleh

111

klien jika petugas kesehatan telah berhasil membina hubungan antar manusia yang
baik. Penelitian Nanik Setyawati47 berjudul Determinant of HIV Testing Behavior
among Pregnant Women yang dilakukan di Puskesmas Mantrijeron dan
Puskesmas Sleman tahun 2014 menunjukkan bahwa PITC (Provider Initiated
Testing and Counseling) atau Tes dan Konseling Inisiatif Petugas merupakan
variabel yang paling berpengaruh dalam perilaku tes HIV pada ibu hamil, yaitu
dengan nilai exp (B) sebesar 21,6. Hal ini berarti bahwa ibu hamil yang
mendapatkan inisiasi (konseling dan tawaran mengikuti tes HIV) dari pemberi
layanan kesehatan untuk melakukan tes HIV berpeluang untuk melakukan tes
HIV sebesar 21,6 kali lebih besar dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak
mendapatkan inisiasi dari pemberi layanan kesehatan.
Masih terkait dengan aspek hubungan antar manusia, ternyata sebagian
besar ibu hamil yang menjadi responden dalam penelitian ini meragukan
kemampuan tenaga kesehatan dalam menjaga rahasia semua informasi yang
mereka berikan, termasuk hasil tes HIV. Selain disebabkan ruang konseling yang
terbuka, responden juga pernah melihat dan atau mendengar tenaga kesehatan
menceritakan keadaan pasiennya kepada teman atau rekan sejawat mereka.
Penelitian tentang pemanfaatan Klinik VCT di Kota Medan pernah
dilakukan oleh Khairurrahmi48 pada tahun 2009 dengan hasil yang menunjukkan
bahwa variabel persepsi responden tentang mutu pelayanan kesehatan
memberikan pengaruh yang paling besar terhadap pemanfaatan Klinik VCT
dibandingkan variabel faktor predisposisi, dukungan keluarga dan persepsi tingkat
keparahan. Hal ini menegaskan bahwa keputusan seseorang untuk memanfaatkan

112

fasilitas layanan kesehatan sangat dipengaruhi oleh tingkat keyakinan dan


kepercayaannnya terhadap kemampuan fasilitas layanan kesehatan tersebut dalam
memenuhi kebutuhan dan mengatasi permasalahan yang dihadapinya.
Kesimpulan yang dapat ditarik oleh peneliti dari pembahasan hasil
penelitian di atas adalah sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Lawrence Green
dalam teori perilakunya, mutu pelayanan kesehatan merupakan faktor pemungkin
yang mempengaruhi perilaku kesehatan. Pelayanan kesehatan yang terjangkau,
kenyamanan, kejelasan informasi dan hubungan antar manusia yang baik di
Klinik VCT dan fasilitas kesehatan penyedia layanan ANC dan konseling PPIA
atau tes HIV sukarela dapat meningkatkan motivasi ibu hamil untuk mengikuti tes
HIV sukarela. Untuk itu tenaga kesehatan perlu senantiasa menjaga dan
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan agar target PPIA, dalam hal ini tes HIV
sukarela pada ibu hamil dapat segera tercapai.

5.4 Pengaruh Promosi Kesehatan terhadap Tes HIV Sukarela pada Ibu
Hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalipah Kabupaten Deli
Serdang Tahun 2016
Hasil penelitian tentang variabel promosi kesehatan menunjukkan bahwa
lebih dari separuh responden menyatakan kualitas promosi kesehatan tentang tes
HIV sukarela pada ibu hamil di Puskesmas Bandar Khalipah masih tergolong
kurang baik, yaitu sebanyak 54 orang (58,9%). Uji statistik regresi logistik
berganda menunjukkan variabel promosi kesehatan memberi pengaruh yang
signifikan terhadap variabel tes HIV sukarela pada ibu hamil dengan nilai
exp (B) = 17,400. Hal ini menunjukkan bahwa ibu hamil yang memperoleh
promosi kesehatan kurang baik lebih berisiko tidak ikut tes HIV sukarela sebesar

113

17,400 kali lipat dibandingkan dengan ibu hamil yang memperoleh promosi
kesehatan dengan baik.
Notoatmodjo15 menjelaskan dalam arti pendidikan, promosi kesehatan secara
umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain,
baik individu, kelompok atau masyarakat, sehingga mereka melakukan apa yang
diharapkan oleh pelaku pendidikan atau promosi kesehatan. Dalam batasan ini
tersirat unsur input (sasaran promosi kesehatan), proses (upaya untuk
mempengaruhi orang lain) dan output (perilaku kesehatan yang diharapkan untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan yang kondusif). Pada penelitian ini yang
menjadi input atau sasaran promosi kesehatan adalah ibu hamil dan yang
merupakan output atau perilaku kesehatan yang diharapkan adalah tes HIV
sukarela. Sedangkan yang dimaksud dengan proses pada penelitian ini adalah
metode dan media promosi kesehatan, serta teknik komunikasi yang diterapkan
oleh tenaga kesehatan.
Kegiatan promosi kesehatan guna mencapai tujuan yakni perubahan
perilaku dipengaruhi oleh banyak faktor. Selain faktor metode, ada juga faktor
materi atau pesan, petugas yang melakukan, serta alat bantu/alat peraga atau
media yang dipakai. Agar mencapai hasil yang optimal, maka faktor-faktor
tersebut harus bekerja sama secara harmonis. Hal ini berarti bahwa untuk sasaran
tertentu harus menggunakan cara tertentu pula. Materi harus disesuaikan dengan
sasaran atau media. Petugas yang akan melakukan promosi kesehatan harus lebih
dahulu mengetahui karakteristik dan kebutuhan sasaran agar informasi yang
diberikan nantinya dapat diterima dan diserap dengan lebih baik oleh sasaran.15

114

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ibu hamil belum


pernah mengikuti penyuluhan, melihat billboard atau memperoleh leaflet/brosur
berisi pesan tentang PPIA atau tes HIV sukarela. Penggunaan alat peraga/media
promosi kesehatan juga sangat terbatas, sebagian besar ibu hamil menyatakan
tenaga kesehatan hanya melakukan metode ceramah dibantu poster atau lembar
balik, padahal mereka lebih suka jika informasi disampaikan dalam bentuk film
atau slide show karena lebih menarik, lebih mudah diingat dan dimengerti. Ketika
ditanya tentang sumber informasi yang paling diminati, mereka menjawab
televisi, facebook dan tenaga kesehatan.
Penelitian Saraswati49 pada 127 ibu rumah tangga tentang pengaruh promosi
kesehatan terhadap pengetahuan dan partisipasi wanita dalam deteksi dini kanker
serviks di Mojosongo tahun 2009 menunjukkan hasil bahwa terdapat peningkatan
pengetahuan dan partisipasi yang lebih besar pada ibu rumah tangga yang
diberikan promosi kesehatan lewat pemutaran film dibandingkan dengan
pembagian leaflet. Hal ini sesuai dengan teori Elgar Dale15 tentang intensitas alat
peraga, di mana tulisan memiliki intensitas yang lebih rendah dibandingkan
dengan film. Informasi yang disampaikan dalam bentuk animasi bergerak,
bersuara, berwarna-warni dalam alur cerita yang menarik akan meningkatkan rasa
ketertarikan, daya tangkap dan daya ingat penerima pesan.
Metode promosi kesehatan terkait PPIA dan tes HIV pada ibu hamil yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan di Puskesmas Bandar Khalipah selama ini baru
sebatas penyuluhan, konseling, serta pembagian leaflet. Hasil dari penerapan
metode promosi kesehatan tersebut ternyata belum mampu meningkatkan cakupan

115

layanan VCT bagi ibu hamil. Hal ini disebabkan wilayah kerja Puskesmas yang
luas, besarnya jumlah sasaran dan jumlah tenaga kesehatan di Puskesmas yang
kurang memadai. Oleh sebab itu, Puskesmas Bandar Khalipah perlu
meningkatkan kerjasama promosi kesehatan dengan para TOMA, TOGA, kader
kesehatan, bidan desa atau Bidan Praktik Mandiri (BPM).
Penyampaian informasi kesehatan oleh TOMA, TOGA, kader kesehatan,
bidan desa atau BPM tentunya akan lebih bervariasi dibandingkan dengan metode
penyuluhan yang biasa dilakukan oleh tenaga kesehatan di Puskesmas. Jumlah
sasaran yang lebih kecil akan meningkatkan motivasi, perhatian, konsentrasi,
partisipasi dan keinginan sasaran untuk berdiskusi, sehingga metode diskusi
kelompok, curah pendapat, snow balling dan simulasi akan lebih efektif dari pada
penyuluhan. Untuk itu perlu dilaksanakan pelatihan teknis KIE bagi para TOMA,
TOGA, kader kesehatan, serta bidan pemberi layanan KIA agar mereka dapat
melakukan promosi kesehatan dengan baik.
Selain meningkatkan kerjasama dengan berbagai pihak terkait, Puskesmas
Bandar Khalipah dapat memanfaatkan media sosial di internet sebagai wadah
penyampaian informasi kesehatan, khususnya PPIA dan VCT, mengingat
banyaknya jumlah responden yang menyatakan lebih suka mencari informasi di
facebook. Metode penyuluhan dan pembagian leaflet perlu tetap dilakukan,
namun informasi kesehatan yang disampaikan lewat media sosial lebih diminati,
lebih menarik dan mampu menjangkau masyarakat secara lebih luas dalam waktu
singkat.

116

Menurut Notoatmodjo15, selain pemilihan metode dan media promosi


kesehatan, petugas kesehatan juga perlu memerhatikan teknik komunikasi dan
cara menggunakan alat peraga/media promosi kesehatan. Senyum, perhatian,
kontak mata, gaya bicara, humor dan memberi kesempatan klien untuk bercerita,
bertanya dan menyentuh atau mencoba alat peraga akan meningkatkan
ketertarikan, rasa ingin tahu, kepercayaan diri klien dan kredibilitas petugas di
mata klien.
Sebagian besar ibu hamil yang menjadi responden menyatakan tenaga
kesehatan sudah menunjukkan sikap yang simpatik saat melakukan promosi
kesehatan, tapi hampir separuh di antara responden menyatakan tidak diberi
kesempatan bertanya dan sebagian besar tidak menerima jawaban yang
memuaskan dari pertanyaan mereka mengenai tes HIV sukarela pada ibu hamil.
Hal tersebut menjadi alasan responden yang merasa motivasinya untuk mengikuti
tes HIV sukarela tidak meningkat setelah mendapat promosi kesehatan dari tenaga
kesehatan.
Motivasi atau minat ibu hamil untuk mengikuti tes HIV sukarela memang
dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya metode promosi kesehatan.
Penelitian Rahmi Abubakar50 tentang pengaruh penyuluhan kesehatan terhadap
minat tes HIV pada ibu di Kelurahan Kricak Kota Yogyakarta tahun 2015
menunjukkan hasil bahwa penyuluhan kesehatan memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap minat tes HIV. Hal ini berarti semakin baik metode
penyuluhan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, maka akan semakin tinggi
motivasi atau minat ibu hamil untuk mengikuti tes HIV sukarela. Untuk itu, selain

117

pemilihan materi dan media, tenaga kesehatan juga perlu memerhatikan teknik
komunikasi dan penggunaan alat peraga/media penyuluhan.
Pembahasan hasil penelitian di atas secara jelas menegaskan bahwa
promosi kesehatan sangat memengaruhi perilaku kesehatan seseorang karena hasil
dari promosi kesehatan tersebut dapat meningkatkan pengetahuan yang nantinya
diharapkan akan membentuk persepsi, sikap dan motivasi yang baik ke arah
perubahan perilaku kesehatan yang diharapkan. Untuk itu, tenaga kesehatan perlu
memerhatikan berbagai faktor penting yang menentukan keberhasilan promosi
kesehatan, terutama pemilihan materi, metode dan media yang tepat berdasarkan
karakteristik dan kebutuhan sasaran.

5.5 Implikasi Penelitian


Hasil penelitian menunjukkan jumlah responden yang telah mengikuti tes
HIV sukarela hanya 29 orang (30,53%), di mana persepsi, pelayanan dan promosi
kesehatan menurut sebagian besar responden adalah kurang baik. Uji statistik
regresi logistik berganda memberikan hasil ada hubungan yang signifikan antara
variabel persepsi, pelayanan dan promosi kesehatan dengan tes HIV sukarela pada
ibu hamil, di mana hanya variabel promosi kesehatan yang berpengaruh secara
signifikan terhadap tes HIV sukarela pada ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas
Bandar Khalipah.
Kondisi di atas menjelaskan bahwa untuk mencapai target PPIA tahun
2017, Puskesmas Bandar Khalipah perlu melakukan upaya untuk memperbaiki
persepsi ibu hamil tentang pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak, pelayanan
dan promosi kesehatan terkait tes HIV sukarela agar semua ibu hamil di wilayah
kerjanya bersedia mengikuti tes HIV.

118

Berdasarkan hasil penelitian dan fakta yang ditemukan di lapangan, maka


peneliti dapat menyimpulkan beberapa implikasi terhadap berbagai pihak yang
terkait dengan penelitian ini, yakni sebagai berikut :
1) Implikasi pada Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang, perlu dilaksanakan :
(1) Pengawasan, pembinaan dan fasilitasi terhadap Puskesmas, Polindes dan
Klinik BPM untuk perbaikan sarana dan peningkatan kualitas pelayanan
KIA komprehensif.
(2) Peningkatan frekuensi iklan PPIA atau tes HIV sukarela pada ibu hamil di
sosial media (internet) dengan pertimbangan mampu menjangkau sasaran
yang lebih luas dalam waktu lebih singkat.
(3) Pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi dalam kegiatan
monitoring, pelaporan dan rujukan kegiatan konseling tes HIV oleh bidan
desa atau BPM kepada Puskesmas yang memiliki fasilitas layanan VCT.
(4) Menjamin ketersediaan alat tes HIV, obat dan perbekalan kesehatan yang
diperlukan di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat primer untuk tes HIV
pada ibu hamil dan fasilitas rujukan.
(5) Pengadaan dan pendistribusian media/alat peraga yang menarik di
Puskesmas, Polindes dan Klinik BPM
(6) Melaksanakan lebih banyak pelatihan teknis untuk meningkatkan jumlah
tenaga kesehatan yang berkompeten melaksanakan konseling dan tes HIV,
disertai dengan penambahan jumlah fasilitas Klinik VCT atau mobile VCT,
sehingga jangkauan pelayanan VCT, khususnya bagi ibu hamil dapat
diperluas agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat di daerah terpencil.
(7) Sosialisasi PPIA dan VCT serta pelatihan KIE bagi TOMA, TOGA dan
kader kesehatan.
2) Implikasi pada Puskesmas Bandar Khalipah Kabupaten Deli Serdang, perlu
dilaksanakan :
(1) Peningkatan frekuensi dan kualitas layanan mobile VCT.

119

(2) Peningkatan koordinasi, komunikasi, monitoring dan evaluasi pelayanan


KIA komprehensif dalam PPIA dengan tenaga kesehatan, khususnya bidan
yang menyediakan layanan KIA komprehensif di Polindes atau Klinik
BPM di wilayah kerja Puskesmas Bandar Khalipah.
(3) Peningkatan pemberdayaan masyarakat yaitu TOMA, TOGA dan kader
kesehatan dalam penyampaian informasi tentang PPIA dan VCT serta
mobilisasi masyarakat dalam berbagai wadah organisasi kemasyarakatan.
(4) Pembentukan Kelompok Dukungan Sebaya sebagai wadah peer education,
pemberian dukungan, pendampingan dan rujukan bagi ibu hamil dalam
komunitas masyarakat.
3) Implikasi pada tenaga kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Bandar Khalipah,
perlu dilaksanakan :
(1) Peningkatan kualitas pelayanan KIA yang komprehensif, dimulai dengan
peningkatan kualitas pelayanan ANC yang terpadu dan sesuai standar.
Selama ini pedoman pelaksanaan PPIA belum dilaksanakan dengan
sungguh-sungguh, sehingga terkesan PPIA hanya terfokus kepada
perempuan tanpa melibatkan suami/pasangan secara maksimal. Akibatnya
banyak perempuan merasa tersudutkan ketika divonis positif mengidap
HIV, kehamilan, persalinan dan perawatan anak seolah-olah menjadi
tanggung jawab ibu semata.
(2) Meningkatkan keterlibatan suami dan keluarga ibu hamil dalam
memberikan pelayanan KIA komprehensif, seperti menciptakan pelayanan
yang bersahabat bagi pria, pemberian konseling PPIA dan VCT
berpasangan dengan metode yang tepat untuk mendorong dialog terbuka
antara isteri dan suami atau keluarga tentang PPIA dan VCT.

120

(3) Pencatatan dan pelaporan layanan PPIA dan VCT yang baik agar
Puskesmas mampu melakukan tindak lanjut yang cepat dan tepat.
(4) Penyusunan materi promosi kesehatan diarahkan untuk mengubah
paradigma dan mengurangi stigma masyarakat terkait HIV dan ODHA
dengan penekanan pada topik bahaya HIV bagi ibu dan anak, langkahlangkah tes HIV, terapi dan dukungan bagi ibu dan bayi yang tertular HIV
(5) Penerapan metode promosi kesehatan yang lebih efektif, seperti FGD,
curah pendapat, simulasi, snow balling atau role play dalam kegiatan
Kelas Ibu Hamil.
(6) Pemanfaatan semaksimal mungkin media promosi kesehatan yang tersedia
atau melakukan pengembangan media promosi kesehatan dengan
memanfaatkan sumber daya lokal bersama kader kesehatan.
(7) Peningkatan kualitas konseling PPIA dan VCT pada ibu hamil dengan
menerapkan teknik komunikasi yang baik dan penjaminan kerahasiaan
informasi sehingga mampu meningkatkan motivasi ibu hamil untuk
mengikuti tes HIV sukarela.
Kristalisasi dari implikasi hasil penelitian yang telah diuraikan di atas
dapat disimpulkan dan dilihat pada skema berikut ini :

TES HIV SUKARELA PADA IBU HAMIL

121

FAKTOR PREDISPOSISI
Persepsi :
1) Persepsi
Kerentanan
Tertular HIV
2) Persepsi Bahaya HIV
3) Persepsi
Manfaat
Mengikuti Tes HIV
4) Persepsi
Hambatan
Mengikuti Tes HIV

FAKTOR PEMUNGKIN
Pelayanan Kesehatan :
1) Akses ke fasilitas layanan
VCT (jarak, waktu, biaya)
2) Kenyamanan
3) Keamanan
kerahasiaan
informasi
(hasil
wawancara dan tes HIV)
4) Kejelasan informasi
5) Hubungan antar manusia
(sikap tenaga kesehatan)

FAKTOR PENGUAT
Promosi Kesehatan oleh
Tenaga Kesehatan :
1) Frekuensi
terpapar
informasi
kesehatan
PPIA/tes HIV ibu hamil
2) Kejelasan materi
3) Metode
4) Media / alat peraga
5) Teknik komunikasi yang
diterapkan

INTERVENSI
1) Materi promosi kesehatan
diarahkan
untuk
mengubah paradigma dan
mengurangi
stigma
masyarakat terkait HIV
dan ODHA
2) Materi promosi kesehatan
ditekankan pada topik
bahaya HIV bagi ibu dan
anak, langkah-langkah tes
HIV, terapi dan dukungan
bagi ibu dan bayi yang
tertular HIV
3) Penerapan metode yang
tepat
(FGD,
curah
pendapat, simulasi, snow
balling, role play, dll)
4) Melibatkan suami dan
keluarga dalam pelayanan
KIA komprehensif
5) Melibatkan pihak yang
berpengaruh
dalam
masyarakat, yaitu TOMA
dan
TOGA
untuk
mengurangi stigma negatif
terhadap HIV dan ODHA
6) Pembentukan kelompok
dukungan sebaya (peer
group)
oleh
kader
kesehatan sebagai wadah
pendidikan
kesehatan
sebaya (peer education)

INTERVENSI
1) Peningkatan frekuensi dan
kualitas layanan mobile
VCT
2) Penguatan
jejaring
internal dan eksternal
dalam
peningkatan
layanan
KIA
komprehensif dan VCT
3) Pelatihan teknis VCT bagi
bidan desa atau BPM agar
memiliki
kompetensi
untuk
melakukan
konseling dan tes HIV
sukarela
4) Pengawasan, pembinaan
dan fasilitasi dari Dinas
Kesehatan
Kabupaten
Deli Serdang terhadap
Polindes dan Klinik BPM
untuk perbaikan sarana
dan peningkatan kualitas
pelayanan
KIA
komprehensif
5) Pemanfaatan
teknologi
komunikasi dan informasi
dalam
monitoring,
pelaporan dan rujukan
kegiatan konseling tes
HIV oleh bidan desa atau
BPM kepada Puskesmas
Bandar Khalipah

INTERVENSI
1) Peningkatan
frekuensi
promosi kesehatan tentang
PPIA dan VCT
2) Pemberdayaan
TOMA,
TOGA, kader kesehatan,
bidan desa atau BPM
untuk
KIE
dalam
organisasi kemasyarakatan
(perwiritan, PKK, BKB,
UPPKS, Kelas Ibu Hamil,
dll)
3) Penerapan metode yang
tepat
(FGD,
curah
pendapat, simulasi, snow
balling, role play, dll)
4) Pemanfaatan media sosial
dan situs-situs internet
sebagai wadah promosi
kesehatan tentang PPIA
dan VCT
5) Pengadaan
dan
pendistribusian media/alat
peraga yang menarik di
Puskesmas, Polindes dan
Klinik BPM
6) Sosialisasi PPIA dan VCT
serta pelatihan KIE bagi
TOMA, TOGA, kader
kesehatan
7) Pelatihan konseling dan
penggunaan alat peraga
bagi tenaga kesehatan,
khususnya bidan

Gambar 5.1 Skema Rancangan Intervensi Hasil Penelitian

122

5.6 Keterbatasan Penelitian


Penelitian tentang pengaruh persepsi, pelayanan dan promosi kesehatan
terhadap tes HIV sukarela pada ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas Bandar
Khalipah Kabupaten Deli Serdang tahun 2016 mempunyai keterbatasan sebagai
berikut:
1) Berdasarkan teori masih ada variabel independen lain yang berhubungan
dengan variabel dependen namun tidak diteliti pada penelitian ini.
2) Penelitian ini menerapkan metode penelitian kuantitatif, dimana isian
kuesioner peneliti tidak mampu menjawab secara mendalam apa yang
sesungguhnya menjadi penyebab atau akar permasalahan dari kurang baiknya
persepsi, pelayanan, promosi kesehatan dan rendahnya cakupan pelayanan
VCT bagi ibu hamil.
Walaupun dalam penelitian ini terdapat beberapa kelemahan, tidak berarti
hal tersebut mengurangi makna temuan dari penelitian ini. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjadi referensi bagi penelitian terkait perilaku ibu hamil
dalam pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak selanjutnya, di mana
keterbatasan-keterbatasan yang ada dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk
menentukan variabel, metode dan lokasi penelitian.

123

Anda mungkin juga menyukai