PEMBAHASAN
5.1 Tes HIV Sukarela pada Ibu Hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar
Khalipah Kabupaten Deli Serdang Tahun 2016
Hasil penelitian tentang tes HIV sukarela pada ibu hamil menunjukkan
bahwa dari 95 responden, hanya 29 orang (30,5%) yang telah mengikuti tes HIV
secara sukarela. Hal ini berarti perilaku kesehatan ibu hamil dalam upaya
pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak di wilayah kerja Puskesmas Bandar
Khalipah masih tergolong kurang baik.
Lawrence Green29 dalam teorinya menjelaskan bahwa perilaku kesehatan
individu
dipengaruhi
oleh
faktor
predisposisi
(karakteristik
demografi,
90
91
pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak. Hal ini berarti faktor predisposisi
memiliki peranan cukup penting dalam pembentukan perilaku kesehatan individu.
Semakin baik faktor predisposisi yang dimiliki oleh seseorang maka akan semakin
baik pula perilaku kesehatannya. Agar faktor pengetahuan, sikap, persepsi dan
keyakinan individu, kelompok dan masyarakat tentang pencegahan penularan HIV
dari ibu ke anak dapat menjadi lebih baik dan mampu mendukung pembentukan
perilaku kesehatan yang positif, diperlukan
Notoatmodjo15 menyebutkan bahwa promosi kesehatan adalah proses
untuk
meningkatkan
kemampuan
masyarakat
dalam
memelihara
dan
92
Visi dan misi promosi kesehatan dalam penelitian ini membutuhkan cara
pendekatan yang strategis agar dapat diwujudkan secara efektif dan efisien.
Strategi global promosi kesehatan menurut WHO tahun 1984 yang dapat
dikerjakan untuk mencapai visi dan misi terkait dengan penelitian ini adalah
advokasi (advocacy), dukungan sosial (social support), dan pemberdayaan
masyarakat (empowerment).15
Target layanan VCT atau konseling dan tes HIV sukarela pada ibu hamil di
wilayah kerja Puskesmas Bandar Khalipah akan sulit dicapai jika tidak
memperoleh dukungan dari Pemerintah Daerah selaku pembuat keputusan
(decision maker) atau penentu kebijakan (policy maker). Kebijakan-kebijakan
dalam bentuk peraturan, undang-undang, instruksi dan sebagainya akan mengikat
masyarakat dan instansi-instansi terkait dengan masalah kesehatan, dengan
demikian dapat menguntungkan bagi peningkatan kualitas pelayanan kesehatan
publik. Kebijakan Pemerintah Daerah yang dibutuhkan sesuai dengan hasil
penelitian ini adalah pengembangan sistem komunikasi untuk berbagi informasi
layanan VCT dari Polindes atau Klinik Bidan Praktik Mandiri (BPM) ke Klinik
VCT Puskesmas Bandar Khalipah dengan memanfaatkan teknologi komunikasi.
Sistem komunikasi ini diperlukan agar layanan VCT bagi ibu hamil tidak terputus
sampai di konseling tes HIV sukarela oleh bidan di Polindes atau Klinik BPM
saja. Sistem komunikasi layanan PPIA yang baik dapat memudahkan kegiatan
pelaporan, monitoring dan evaluasi program, meningkatkan akses tes HIV,
mempercepat rujukan dan meningkatkan dukungan (makanan, terapi dan
pemantauan kepatuhan minum obat) bagi ibu dan bayi dengan HIV positif.
93
Proses pembentukan perilaku kesehatan ibu hamil untuk tes HIV sukarela
membutuhkan dukungan sosial dalam bentuk panutan (role model) yang baik.
Menurut Notoatmodjo15, pada masyarakat paternalistik seperti di Indonesia,
TOMA dan TOGA merupakan panutan perilaku yang sangat signifikan. Apabila
TOMA dan TOGA sudah mempunyai perilaku yang sehat, maka akan mudah
ditiru oleh anggota masyarakat yang lain. Selain TOMA dan TOGA, kader
kesehatan juga memiliki peran penting dalam memberikan dukungan sosial
berbentuk panutan, informasi, motivasi dan pendampingan tes HIV sukarela bagi
ibu hamil. Untuk memperoleh dukungan sosial ini, Dinas Kesehatan Kabupaten
Deli Serdang perlu melaksanakan penyuluhan, seminar, lokakarya atau pelatihanpelatihan bagi para TOMA, TOGA dan kader kesehatan terkait PPIA, termasuk tes
HIV pada ibu hamil.
Perlunya dukungan sosial dari orang-orang di lingkungan sekitar untuk
pembentukan perilaku kesehatan yang baik didukung oleh hasil penelitian Dewi 36
tentang Pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap Perubahan Pengetahuan dan
Sikap dalam Pencegahan HIV dan AIDS pada Pekerja Seks Komersial di Kota
Semarang. Penelitian tersebut menunjukkan hasil bahwa pendidikan kesehatan
dengan metode PE (peer education / pendidikan teman sebaya) sangat efektif
untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap PSK. Dari hasil tersebut peneliti
menyarankan perlu adanya pembinaan, supervisi dan pelatihan secara kontinu
pada peer educator dan perekrutan peer educator baru sebagai ujung tombak
dalam upaya promotif dan preventif HIV/AIDS.
94
Strategi global promosi kesehatan menurut WHO tahun 1984 yang terakhir
adalah pemberdayaan masyarakat (empowerment), melalui berbagai kegiatan
seperti penyuluhan kesehatan, pengorganisasian dan pembangunan masyarakat
dalam bentuk koperasi dan pelatihan keterampilan. Banyaknya jumlah responden
yang memiliki persepsi negatif tentang tes HIV sukarela menunjukkan masih
rendahnya pemahaman ibu hamil tentang risiko penularan HIV dari ibu ke anak,
bahaya HIV bagi ibu dan anak, serta langkah-langkah pencegahan dan
penanganan penularan HIV dari ibu ke anak. Persepsi negatif tersebut diperkuat
oleh stigma buruk yang melekat pada HIV dan Orang hidup Dengan HIV dan
AIDS (ODHA).
Untuk mengubah persepsi negatif tentang tes HIV sukarela dan
mengurangi stigma buruk terkait HIV dan ODHA, Puskesmas Bandar Khalipah
perlu memikirkan teknik promosi kesehatan yang tepat dengan memanfaatkan
wadah kegiatan berbasis masyarakat seperti Posyandu, PKK, Kelas Ibu Hamil,
BKB (Bina Keluarga Balita) dan UPPKS (Usaha Peningkatan Pendapatan
Keluarga Sejahtera).
Hasil penelitian Kurniawati37 menunjukkan bahwa metode diskusi kelompok kecil
dengan fasilitator (tenaga kesehatan) memberi pengaruh yang lebih besar terhadap
peningkatan pengetahuan dan sikap ibu rumah tangga tentang HIV dan AIDS
dibandingkan metode penyuluhan biasa. Hasil penelitian tersebut membuktikan
pelaksanaan promosi kesehatan yang intensif, materi yang fokus, disertai
penerapan metode dan media yang tepat diharapkan dapat menumbuhkan persepsi
yang positif dan mengurangi stigma buruk terkait HIV dan ODHA, sehingga
95
dapat meningkatkan keikutsertaan ibu hamil dalam tes HIV sukarela di wilayah
kerja Puskesmas Bandar Khalipah.
5.2
yang memiliki persepsi negatif tentang tes HIV sukarela pada ibu hamil ada
sebanyak 57 orang (60,0%). Uji statistik chi square menunjukkan ada hubungan
yang signifikan antara persepsi dengan tes HIV sukarela pada ibu hamil dengan
p value 0,001 < 0,05, namun uji statistik regresi logistik berganda menunjukkan
hasil tidak terdapat pengaruh persepsi terhadap variabel tes HIV sukarela pada ibu
hamil dengan nilai Sig 0,125 > 0,05 dan exp (B) = 3,080. Hal tersebut berarti
ada variabel lain yang memberi pengaruh lebih besar terhadap tes HIV sukarela
pada ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas Bandar Khalipah.
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, peneliti dapat berasumsi
bahwa lemahnya dukungan sosial dari lingkungan dan orang-orang di sekeliling
responden merupakan salah satu faktor yang turut memengaruhi tes HIV sukarela
di samping faktor promosi kesehatan. Sebagian besar responden yang memiliki
persepsi positif tapi tidak mengikuti tes HIV sukarela mengaku takut melakukan
tes HIV karena tidak didukung oleh suami, walaupun mereka menyadari memiliki
risiko tertular HIV dari suami. Kekuatiran tersebut dapat dipahami karena di
samping tidak memperoleh dukungan dari suami dan keluarga, mereka juga tidak
mengetahui keberadaan instansi Pemerintah maupun lembaga-lembaga sosial di
96
97
negatif tentang tes HIV sukarela tetap membutuhkan perhatian khusus jika
Puskesmas Bandar Khalipah menginginkan terjadinya peningkatan cakupan
layanan VCT pada ibu hamil di wilayah kerjanya.
Menurut Toha22 persepsi pada hakekatnya adalah proses kognitif yang
dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya,
baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman.
Persepsi ibu hamil tentang tes HIV sukarela dapat terbentuk melalui pemaknaan
lewat penglihatan seperti melihat langsung proses pengambilan sampel darah pada
tes HIV, membaca poster, leaflet/brosur, artikel di majalah atau surat kabar, serta
menonton tayangan iklan, berita dan talk show di televisi yang berisikan informasi
kesehatan tentang PPIA atau tes HIV ibu hamil. Pemaknaan lewat pendengaran
dapat diperoleh dari mendengarkan informasi kesehatan di radio, mendengarkan
informasi dari tenaga kesehatan, maupun pengalaman atau opini dari orang-orang
di sekitarnya. Perasaan ibu hamil terhadap tes HIV sukarela akan terbentuk sesuai
dengan penghayatan mereka terhadap berbagai informasi yang diterima. Jika
informasi yang terserap lebih banyak yang bersifat negatif, maka besar
kemungkinan ibu hamil akan memiliki persepsi yang negatif juga tentang tes HIV
sukarela, demikian pula jika yang terjadi sebaliknya.
Notoatmodjo38 menyatakan, seseorang mau bertindak untuk mengobati
atau mencegah penyakitnya setelah ia lebih dahulu merasakan bahwa ia rentan
(susceptible) terhadap penyakit tersebut. Perilaku pencegahan terhadap HIV/AIDS
akan timbul jika seseorang merasa bahwa dirinya berisiko untuk terkena penyakit
tersebut. Kerentanan merupakan kondisi yang subjektif sehingga penerimaan
98
99
tingkat pendidikan ibu hamil maka semakin besar keseriusan/tingkat bahaya yang
dirasakan terhadap HIV sehingga dengan persepsi keseriusan/tingkat bahaya yang
dimiliki akan mendorong ibu hamil tersebut untuk memanfaatkan VCT. Sebagian
besar ibu hamil dalam penelitian ini memiliki latar belakang pendidikan tingkat
menengah yang dianggap mampu menelaah keseriusan/tingkat bahaya HIV bagi
dirinya, kehamilannya maupun janin dalam kandungannya. Hal ini sesuai dengan
fakta yang menunjukkan bahwa sebagian besar responden setuju bahwa HIV
adalah virus yang berbahaya, mematikan dan dapat menular kepada janin.
Salah satu alasan utama individu tidak mengubah perilaku kesehatan
mereka karena mereka berpikir melakukan hal tersebut akan menimbulkan
kesulitan, baik kesulitan secara psikologis atau fisik maupun sosial. Menurut
Notoatmodjo38, individu akan melakukan suatu tindakan tertentu apabila merasa
dirinya rentan untuk penyakit-penyakit yang dianggap serius. Tindakan ini
tergantung pada manfaat yang dirasakan dan rintangan-rintangan yang ditemukan
dalam mengambil tindakan tertentu. Hambatan paling besar menurut ibu hamil
pada penelitian ini adalah kekhawatiran akan dikucilkan jika hasil tesnya positif,
harus berulang datang ke Klinik VCT dan keraguan terhadap keamanan
kerahasiaan informasi.
Kekhawatiran ibu hamil dengan HIV akan dikucilkan masyarakat timbul
akibat stigma buruk yang melekat pada ODHA, seperti HIV dan AIDS adalah
penyakit sampah masyarakat (pelacur, homoseksual, pecandu narkoba, sering
bergonta-ganti pasangan seksual). Penelitian Fitri Indrawati39 di Klinik VCT
Bandungan Kabupaten Semarang tahun 2013 menunjukkan hasil bahwa stigma
100
101
merasakan manfaat terhadap suatu perilaku tertentu tetapi pada saat yang sama
mereka juga mungkin merasakan hambatan untuk melakukan perilaku tersebut.
Pada penelitian ini tampaknya hambatan lebih menentukan daripada manfaat
sebab persepsi manfaat yang dimiliki ibu hamil pada penelitian ini lemah karena
sebagian besar di antara mereka meragukan manfaat pemberian terapi ARV dapat
mencegah penularan HIV dari ibu ke janin dalam kandungannya, termasuk
manfaat terapi ARV untuk meningkatkan harapan hidup ODHA, sehingga merasa
tes HIV tidak terlalu penting.
Penelitian yang dilakukan oleh Purwaningsih42 tentang Analisis Faktor
Pemanfaatan Klinik VCT di Puskesmas Dupak Kota Surabaya Tahun 2010
menunjukkan bahwa di antara 23 orang kelompok risiko tinggi yang
memanfaatkan layanan Klinik VCT di Puskesmas Dupak terdapat 61% yang
memiliki persepsi kerentanan (perceived suscebtibilty) sangat kuat, 78% memiliki
persepsi keseriusan/tingkat keparahan (perceived seriousness) yang sangat kuat,
66% memiliki persepsi manfaat (perceived benefit) yang sangat kuat, 65%
memiliki persepsi hambatan (perceived barrier) yang sangat kuat, 82% memiliki
persepsi kemampuan diri (self efficacy) yang sangat kuat dan 52% memiliki
persepsi isyarat bertindak (cues to action factor) yang sangat kuat. Hal ini
membuktikan bahwa pemanfaatan Klinik VCT oleh kelompok risiko tinggi HIV
dipengaruhi oleh kekuatan persepsi yang mereka miliki.
Berbeda dengan hasil penelitian Ni Ketut Arniti43 yang dilakukan di
Puskesmas Kota Denpasar tahun 2014 ya n g menunjukkan bahwa sebagian
besar responden (67,5%) menerima tes HIV. Faktor yang ditemukan
102
berhubungan dengan penerimaan tes HIV oleh ibu hamil adalah faktor
dukungan suami atau keluarga, faktor persepsi keparahan penyakit HIV/AIDS
serta faktor pekerjaan. Sedangkan faktor usia, pendidikan, paritas, frekuensi
ANC, pengetahuan tentang HIV dan PPIA, persepsi kerentanan, persepsi
manfaat, persepsi halangan, dukungan petugas kesehatan dan dukungan teman
tidak berhubungan secara signifikan dengan penerimaan tes HIV oleh ibu
hamil. Alasan menerima tes adalah karena mengikuti anjuran petugas
kesehatan, ingin tahu status HIV-nya saja dan hanya sebagian kecil alasan untuk
melindungi anak. Alasan tidak menerima tes yang diungkapkan responden
adalah takut diambil darah, takut hasil yang akan diterima dan tidak
mendapat persetujuan untuk tes HIV dari suami.
Berdasarkan pembahasan hasil penelitian di atas, peneliti dapat
menyimpulkan bahwa sesuai dengan teori Lawrence Green, persepsi ibu hamil
memang berpengaruh secara signifikan terhadap tes HIV sukarela. Untuk
mengambil keputusan mengikuti tes HIV sukarela, ibu hamil membutuhkan
persepsi yang positif tentang tes HIV itu sendiri. Oleh sebab itu, pada saat
melakukan promosi kesehatan, tenaga kesehatan perlu memerhatikan faktor-faktor
yang memengaruhi pemaknaan terhadap informasi PPIA atau tes HIV pada ibu
hamil, seperti pengetahuan atau pengalaman, kebutuhan, emosi dan teknik
penyampaian informasi yang menarik. Dengan demikian diharapkan ibu hamil
dapat memiliki interpretasi yang tepat untuk menumbuhkan persepsi yang positif
dalam dirinya.
103
5.3 Pengaruh Pelayanan Kesehatan terhadap Tes HIV Sukarela pada Ibu
Hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalipah Kabupaten Deli
Serdang Tahun 2016
Hasil penelitian tentang variabel pelayanan kesehatan menunjukkan bahwa
sebagian besar responden memberi penilaian yang kurang baik, yaitu sebanyak 51
orang (53,7%). Uji statistik chi square menunjukkan ada hubungan yang
signifikan antara pelayanan kesehatan dengan tes HIV sukarela pada ibu hamil
p value 0,001 < 0,05, namun uji statistik
dengan
104
dan mendengar cerita bagaimana nasib perempuan yang terdiagnosa HIV positif.
Menurut mereka perempuan yang mengidap HIV positif cenderung akan
diceraikan suami, diusir dari keluarganya, dikucilkan masyarakat, sulit mencari
pekerjaan dan dibebani dengan tanggung jawab mengurus anaknya yang
mengidap HIV seorang diri.
Untuk meminimalkan pengaruh stigma buruk yang melekat pada HIV dan
ODHA terhadap keberhasilan Program PPIA dan tes HIV sukarela pada ibu hamil,
Puskesmas Bandar Khalipah perlu meningkatkan pemberdayaan tenaga kesehatan
di lapangan (bidan desa, BPM, PLKB), LSM, kader kesehatan, TOMA dan TOGA
untuk melaksanakan kegiatan KIE, pemberian dukungan, pendampingan dan
rujukan bagi ibu hamil dalam organisasi kemasyarakatan dan Kelompok
Dukungan Sebaya. Pemberian informasi oleh pihak-pihak yang memiliki
pengaruh sosial cukup besar diharapkan mampu meningkatkan kepercayaan,
penerimaan, kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap Program PPIA dan
VCT, sehingga stigma buruk terhadap HIV dan ODHA dapat diminimalkan.
Untuk itu kegiatan KIE sebaiknya tidak hanya ditujukan bagi ibu hamil, tapi juga
kepada suami, keluarga dan masyarakat luas.
Uji statistik Chi square menunjukkan hasil ada hubungan yang signifikan
antara variabel pelayanan kesehatan terhadap tes HIV sukarela pada ibu hamil.
Hal ini berarti walaupun pelayanan kesehatan bukan merupakan faktor yang
berpengaruh besar, namun mengingat hubungannya yang signifikan dengan tes
HIV sukarela pada ibu hamil, ditambah besarnya jumlah responden yang menilai
mutu pelayanan kesehatan masih kurang baik, tampaknya Puskesmas Bandar
105
106
107
berkaitan
dengan
pelayanan
kesehatan
yang
tidak
108
109
110
111
klien jika petugas kesehatan telah berhasil membina hubungan antar manusia yang
baik. Penelitian Nanik Setyawati47 berjudul Determinant of HIV Testing Behavior
among Pregnant Women yang dilakukan di Puskesmas Mantrijeron dan
Puskesmas Sleman tahun 2014 menunjukkan bahwa PITC (Provider Initiated
Testing and Counseling) atau Tes dan Konseling Inisiatif Petugas merupakan
variabel yang paling berpengaruh dalam perilaku tes HIV pada ibu hamil, yaitu
dengan nilai exp (B) sebesar 21,6. Hal ini berarti bahwa ibu hamil yang
mendapatkan inisiasi (konseling dan tawaran mengikuti tes HIV) dari pemberi
layanan kesehatan untuk melakukan tes HIV berpeluang untuk melakukan tes
HIV sebesar 21,6 kali lebih besar dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak
mendapatkan inisiasi dari pemberi layanan kesehatan.
Masih terkait dengan aspek hubungan antar manusia, ternyata sebagian
besar ibu hamil yang menjadi responden dalam penelitian ini meragukan
kemampuan tenaga kesehatan dalam menjaga rahasia semua informasi yang
mereka berikan, termasuk hasil tes HIV. Selain disebabkan ruang konseling yang
terbuka, responden juga pernah melihat dan atau mendengar tenaga kesehatan
menceritakan keadaan pasiennya kepada teman atau rekan sejawat mereka.
Penelitian tentang pemanfaatan Klinik VCT di Kota Medan pernah
dilakukan oleh Khairurrahmi48 pada tahun 2009 dengan hasil yang menunjukkan
bahwa variabel persepsi responden tentang mutu pelayanan kesehatan
memberikan pengaruh yang paling besar terhadap pemanfaatan Klinik VCT
dibandingkan variabel faktor predisposisi, dukungan keluarga dan persepsi tingkat
keparahan. Hal ini menegaskan bahwa keputusan seseorang untuk memanfaatkan
112
5.4 Pengaruh Promosi Kesehatan terhadap Tes HIV Sukarela pada Ibu
Hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalipah Kabupaten Deli
Serdang Tahun 2016
Hasil penelitian tentang variabel promosi kesehatan menunjukkan bahwa
lebih dari separuh responden menyatakan kualitas promosi kesehatan tentang tes
HIV sukarela pada ibu hamil di Puskesmas Bandar Khalipah masih tergolong
kurang baik, yaitu sebanyak 54 orang (58,9%). Uji statistik regresi logistik
berganda menunjukkan variabel promosi kesehatan memberi pengaruh yang
signifikan terhadap variabel tes HIV sukarela pada ibu hamil dengan nilai
exp (B) = 17,400. Hal ini menunjukkan bahwa ibu hamil yang memperoleh
promosi kesehatan kurang baik lebih berisiko tidak ikut tes HIV sukarela sebesar
113
17,400 kali lipat dibandingkan dengan ibu hamil yang memperoleh promosi
kesehatan dengan baik.
Notoatmodjo15 menjelaskan dalam arti pendidikan, promosi kesehatan secara
umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain,
baik individu, kelompok atau masyarakat, sehingga mereka melakukan apa yang
diharapkan oleh pelaku pendidikan atau promosi kesehatan. Dalam batasan ini
tersirat unsur input (sasaran promosi kesehatan), proses (upaya untuk
mempengaruhi orang lain) dan output (perilaku kesehatan yang diharapkan untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan yang kondusif). Pada penelitian ini yang
menjadi input atau sasaran promosi kesehatan adalah ibu hamil dan yang
merupakan output atau perilaku kesehatan yang diharapkan adalah tes HIV
sukarela. Sedangkan yang dimaksud dengan proses pada penelitian ini adalah
metode dan media promosi kesehatan, serta teknik komunikasi yang diterapkan
oleh tenaga kesehatan.
Kegiatan promosi kesehatan guna mencapai tujuan yakni perubahan
perilaku dipengaruhi oleh banyak faktor. Selain faktor metode, ada juga faktor
materi atau pesan, petugas yang melakukan, serta alat bantu/alat peraga atau
media yang dipakai. Agar mencapai hasil yang optimal, maka faktor-faktor
tersebut harus bekerja sama secara harmonis. Hal ini berarti bahwa untuk sasaran
tertentu harus menggunakan cara tertentu pula. Materi harus disesuaikan dengan
sasaran atau media. Petugas yang akan melakukan promosi kesehatan harus lebih
dahulu mengetahui karakteristik dan kebutuhan sasaran agar informasi yang
diberikan nantinya dapat diterima dan diserap dengan lebih baik oleh sasaran.15
114
115
layanan VCT bagi ibu hamil. Hal ini disebabkan wilayah kerja Puskesmas yang
luas, besarnya jumlah sasaran dan jumlah tenaga kesehatan di Puskesmas yang
kurang memadai. Oleh sebab itu, Puskesmas Bandar Khalipah perlu
meningkatkan kerjasama promosi kesehatan dengan para TOMA, TOGA, kader
kesehatan, bidan desa atau Bidan Praktik Mandiri (BPM).
Penyampaian informasi kesehatan oleh TOMA, TOGA, kader kesehatan,
bidan desa atau BPM tentunya akan lebih bervariasi dibandingkan dengan metode
penyuluhan yang biasa dilakukan oleh tenaga kesehatan di Puskesmas. Jumlah
sasaran yang lebih kecil akan meningkatkan motivasi, perhatian, konsentrasi,
partisipasi dan keinginan sasaran untuk berdiskusi, sehingga metode diskusi
kelompok, curah pendapat, snow balling dan simulasi akan lebih efektif dari pada
penyuluhan. Untuk itu perlu dilaksanakan pelatihan teknis KIE bagi para TOMA,
TOGA, kader kesehatan, serta bidan pemberi layanan KIA agar mereka dapat
melakukan promosi kesehatan dengan baik.
Selain meningkatkan kerjasama dengan berbagai pihak terkait, Puskesmas
Bandar Khalipah dapat memanfaatkan media sosial di internet sebagai wadah
penyampaian informasi kesehatan, khususnya PPIA dan VCT, mengingat
banyaknya jumlah responden yang menyatakan lebih suka mencari informasi di
facebook. Metode penyuluhan dan pembagian leaflet perlu tetap dilakukan,
namun informasi kesehatan yang disampaikan lewat media sosial lebih diminati,
lebih menarik dan mampu menjangkau masyarakat secara lebih luas dalam waktu
singkat.
116
117
pemilihan materi dan media, tenaga kesehatan juga perlu memerhatikan teknik
komunikasi dan penggunaan alat peraga/media penyuluhan.
Pembahasan hasil penelitian di atas secara jelas menegaskan bahwa
promosi kesehatan sangat memengaruhi perilaku kesehatan seseorang karena hasil
dari promosi kesehatan tersebut dapat meningkatkan pengetahuan yang nantinya
diharapkan akan membentuk persepsi, sikap dan motivasi yang baik ke arah
perubahan perilaku kesehatan yang diharapkan. Untuk itu, tenaga kesehatan perlu
memerhatikan berbagai faktor penting yang menentukan keberhasilan promosi
kesehatan, terutama pemilihan materi, metode dan media yang tepat berdasarkan
karakteristik dan kebutuhan sasaran.
118
119
120
(3) Pencatatan dan pelaporan layanan PPIA dan VCT yang baik agar
Puskesmas mampu melakukan tindak lanjut yang cepat dan tepat.
(4) Penyusunan materi promosi kesehatan diarahkan untuk mengubah
paradigma dan mengurangi stigma masyarakat terkait HIV dan ODHA
dengan penekanan pada topik bahaya HIV bagi ibu dan anak, langkahlangkah tes HIV, terapi dan dukungan bagi ibu dan bayi yang tertular HIV
(5) Penerapan metode promosi kesehatan yang lebih efektif, seperti FGD,
curah pendapat, simulasi, snow balling atau role play dalam kegiatan
Kelas Ibu Hamil.
(6) Pemanfaatan semaksimal mungkin media promosi kesehatan yang tersedia
atau melakukan pengembangan media promosi kesehatan dengan
memanfaatkan sumber daya lokal bersama kader kesehatan.
(7) Peningkatan kualitas konseling PPIA dan VCT pada ibu hamil dengan
menerapkan teknik komunikasi yang baik dan penjaminan kerahasiaan
informasi sehingga mampu meningkatkan motivasi ibu hamil untuk
mengikuti tes HIV sukarela.
Kristalisasi dari implikasi hasil penelitian yang telah diuraikan di atas
dapat disimpulkan dan dilihat pada skema berikut ini :
121
FAKTOR PREDISPOSISI
Persepsi :
1) Persepsi
Kerentanan
Tertular HIV
2) Persepsi Bahaya HIV
3) Persepsi
Manfaat
Mengikuti Tes HIV
4) Persepsi
Hambatan
Mengikuti Tes HIV
FAKTOR PEMUNGKIN
Pelayanan Kesehatan :
1) Akses ke fasilitas layanan
VCT (jarak, waktu, biaya)
2) Kenyamanan
3) Keamanan
kerahasiaan
informasi
(hasil
wawancara dan tes HIV)
4) Kejelasan informasi
5) Hubungan antar manusia
(sikap tenaga kesehatan)
FAKTOR PENGUAT
Promosi Kesehatan oleh
Tenaga Kesehatan :
1) Frekuensi
terpapar
informasi
kesehatan
PPIA/tes HIV ibu hamil
2) Kejelasan materi
3) Metode
4) Media / alat peraga
5) Teknik komunikasi yang
diterapkan
INTERVENSI
1) Materi promosi kesehatan
diarahkan
untuk
mengubah paradigma dan
mengurangi
stigma
masyarakat terkait HIV
dan ODHA
2) Materi promosi kesehatan
ditekankan pada topik
bahaya HIV bagi ibu dan
anak, langkah-langkah tes
HIV, terapi dan dukungan
bagi ibu dan bayi yang
tertular HIV
3) Penerapan metode yang
tepat
(FGD,
curah
pendapat, simulasi, snow
balling, role play, dll)
4) Melibatkan suami dan
keluarga dalam pelayanan
KIA komprehensif
5) Melibatkan pihak yang
berpengaruh
dalam
masyarakat, yaitu TOMA
dan
TOGA
untuk
mengurangi stigma negatif
terhadap HIV dan ODHA
6) Pembentukan kelompok
dukungan sebaya (peer
group)
oleh
kader
kesehatan sebagai wadah
pendidikan
kesehatan
sebaya (peer education)
INTERVENSI
1) Peningkatan frekuensi dan
kualitas layanan mobile
VCT
2) Penguatan
jejaring
internal dan eksternal
dalam
peningkatan
layanan
KIA
komprehensif dan VCT
3) Pelatihan teknis VCT bagi
bidan desa atau BPM agar
memiliki
kompetensi
untuk
melakukan
konseling dan tes HIV
sukarela
4) Pengawasan, pembinaan
dan fasilitasi dari Dinas
Kesehatan
Kabupaten
Deli Serdang terhadap
Polindes dan Klinik BPM
untuk perbaikan sarana
dan peningkatan kualitas
pelayanan
KIA
komprehensif
5) Pemanfaatan
teknologi
komunikasi dan informasi
dalam
monitoring,
pelaporan dan rujukan
kegiatan konseling tes
HIV oleh bidan desa atau
BPM kepada Puskesmas
Bandar Khalipah
INTERVENSI
1) Peningkatan
frekuensi
promosi kesehatan tentang
PPIA dan VCT
2) Pemberdayaan
TOMA,
TOGA, kader kesehatan,
bidan desa atau BPM
untuk
KIE
dalam
organisasi kemasyarakatan
(perwiritan, PKK, BKB,
UPPKS, Kelas Ibu Hamil,
dll)
3) Penerapan metode yang
tepat
(FGD,
curah
pendapat, simulasi, snow
balling, role play, dll)
4) Pemanfaatan media sosial
dan situs-situs internet
sebagai wadah promosi
kesehatan tentang PPIA
dan VCT
5) Pengadaan
dan
pendistribusian media/alat
peraga yang menarik di
Puskesmas, Polindes dan
Klinik BPM
6) Sosialisasi PPIA dan VCT
serta pelatihan KIE bagi
TOMA, TOGA, kader
kesehatan
7) Pelatihan konseling dan
penggunaan alat peraga
bagi tenaga kesehatan,
khususnya bidan
122
123