Anda di halaman 1dari 29

1.

PENDAHULUAN
Perkembangan epidemik HIV-AIDS di dunia telah menjadi masalah global termasuk di
Indonesia. Laporan baru terus meningkat setiap tahunnya, namun sulit untuk mengetahui jumlah
infeksi HIV yang sebenarnya ada. Untuk memahami epidemic yang terjadi di Indonesia, maka
perlu dilakukan perhitungan estimasi jumlah populasi kunci terdampak HIV AIDS. Estimasi
jumlah populasi kunci dan orang dengan HIV (ODHA) telah dilakukan merupakan kunci untuk
memahami potensi epidemic dalam suatu area, memperikarakan dari suatu penyakit, dan
menyusun prioritas yang sesuai dalam merespon epidemik HIV/AIDS. 1-2
Dalam waktu tiap 25 menit di Indonesia, terdapat satu orang baru terinfeksi HIV. Satu
dari setiap lima orang yang terinfeksi di bawah usia 25 tahun. Proyeksi Kementerian Kesehatan
Indonesia menunjukkan bahwa tanpa percepatan program penanggulangan HIV, lebih dari
setengah juta orang di Indonesia akan positif HIV pada tahun 2014. Epidemi tersebut dipicu
terutama oleh penularan seksual dan penggunaan narkoba suntik. Tanah Papua (Provinsi Papua
dan Papua Barat), Jakarta dan Bali menduduki tempat teratas untuk tingkat kasus HIV baru per
100.000 orang (Gambar 1). Jakarta memiliki jumlah kasus baru tertinggi (4.012 pada tahun
2011)1. (unicef)

Kementerian Kesehatan telah memproyeksikan peningkatan infeksi pada anak-anak,


seiring dengan meningkatnya infeksi HIV baru pada perempuan. Temuan awal studi terakhir
yang dilakukan oleh UNICEF dan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional menunjukkan
kesulitan yang dihadapi oleh anakanak yang terkena dampak dan terinfeksi HIV/AIDS. Akses
mereka ke pelayanan pendidikan dan kesehatan mengalami keterbatasan karena diskriminasi,
kesulitan keuangan keluarga karena penyakit, kesehatan anak yang buruk dan kebutuhan untuk
merawat orang tua yang sakit. Perkiraan jumlah anak yang terinfeksi setiap tahun diproyeksikan
meningkat dari 1.070 pada tahun 2008 menjadi 1.590 pada tahun 2014 (unicef)1-2

Di seluruh Indonesia, sekitar 1 persen anak laki-laki dan 4 persen anak perempuan
dilaporkan telah melakukan hubungan seksual sebelum usia 13 tahun, beberapa bahkan ketika
berusia di bawah 10 tahun (Gambar 3). Ketika mereka berusia 17 tahun, kira-kira sepertiga
populasiorang muda sudah akan melakukan hubungan seksual minimal satu kali. Di Tanah
Papua, 13 persen remaja yang bersekolah dan 19 persen remaja yang tidak bersekolah (usia 1618 tahun) dinyatakan aktif secara seksual. Dari kelompok (unicef)1-2
Gambar 2. Prosentasi orang muda belum menikah usia 10-24 tahun menurut usia pertama
kali melakukan hubungan seksual

2. EPIDEMIOLOGI2
1. Statistik HIV global

18.2 juta (16.1-19.0 juta) penduduk global menerima terapi antiretroviral (juni
2016)
36.7 juta (34.0-39.8 juta) penduduk global menderita HIV (akhir 2015)
2.1 juta (1.8 -2.4 juta) merupakan penduduk dengan infeksi baru (akhir 2015)
1.1 juta (940.000-1.3juta) oenduduk meninggal terkair dengan AIDS (tahun 2015)
78 juta (69.5 juta 87.6 juta) pednduduk telah terinfeksi oleh HIV sejak wabah
pertama kali (akhir 2015)
35 juta (29.6-40.8) penduduk telah meninggal oleh penyakit terkait AIDS sejak
wabah pertama kali (akhir 2015) (unaids)

Tabel. 2 Data Global HIV

Table 3. data Regional HIV aids 2015

2. Statistik di Indonesia
Sejak tahun 2008, Indonesia mulai menggunakan perangkat lunak Asian Epidemic
Model (AEM) sebagai alat bantu untuk memproyeksikan dampak epidemi HIV dengan
menentukan faktor yang paling mempengaruhi terjadinya infeksi HIV. Selain AEM,
perangkat lunak Spectrum juga digunakan. Di dalam perangkat lunak Spectrum
terdapat modul untuk membuat estimasi dan proyeksi demografi dan epidemi HIV dan
AIDS.
Tabel 4 data estimasi ODHA menurut populasi kunci dari tahun 2012-2016

Tabel 5. Data estimasi dan proyeksi kasus baru menurut populasi kunci

Di Indonesia sendiri, Menurut Ditjen PP & PL Kemenkes RI, pada tahun 2014 Jumlah HIV &
AIDS yang dilaporkan adalah 7,335 kasus, sehingga secara kumulatif HIV & AIDS dari tahun
1987 s.d. September 2014, adalah 150,296 kasus.4
Selanjutnya, menurut, Ditjen PP & PL Kemenkes RI, jumlah HIV & AIDS yang dilaporkan 1
Januari sampai 31 Maret 2016 yaitu HIV sebanyak 32,711 kasus dan AIDS sebanyak 7,864,
sehingga secara kumulatif HIV & AIDS dari tahun 1987 s.d. Maret 2016 adalah 191,073 kasus
dengan jumlah kasus AIDS sebanyak 77,940. Hal tersebut menunjukkan bahwa dari tahun 2014
sampai Maret 2016 terus bertambah.5
Tabel 1.1 Jumlah Kumulatif Berdasarkan Jenis Kelamin

Sumber : Ditjen PP & PL Kemenkes RI, Update terakhir Maret 2016 5


Tabel 1.2 JumlahKumulatifBerdasarkanFaktorResiko

Sumber : Ditjen PP & PL Kemenkes RI, Update terakhir Maret 2016 5


3. PATOFISIOLOGI
HIV menyerang

sel-sel

dengan

reseptor

CD4+,

terutama

limfosit

dan

monosit/makrofag, namun juga menginfeksi sel lainya, seperti megakariosit, epidermal


langerhans, dendrit perifer, dendrit folikuler, mukosa rektal, mukosa saluran cerna, sel serviks,
mikroglia, astrosit, sel trofoblas, limfosit CD8+, sel retina dan epitel ginjal.2
HIV memiliki struktur gp 120 yang akan berikatan dengan reseptor CD4+. Ikatan tersebut
diperkuat oleh ikatan dengan koreseptor sel inang, yaitu reseptor kemokin CCR5 dan reseptor
CXCR4. Ikatan dengan koreseptor dibutuhkan untuk penggabungan virus dengan membran sel

agar virus dapat masuk ke dalam sel inang. Setelah berikatan dengan kuat, terjadilah fusi
membran virus dan seluruh komponen HIV akan masuk kedalam sitoplasma sel inang kecuali
selubungnya.2
Di dalam sel inang, ssRNA virus akan mengalami proses transkripsi dengan perantara enzim
reverse transcriptase hingga terbentuk seuntai cDNA. Setelah itu, DNA yang terbentuk akan
pindah dari sitoplasma ke dalam inti sel inang dan menyisip ke dalam DNA sel inang dengan
bantuan enzim integrase, yang disebut juga provirus. Provirus tinggal dalam keadaan laten atau
dalam keadaan replikasi yang sangat lambat, tergantung pada aktivitas dan diferensiasi sel inang
yang terinfeksi. Sampai suatu saat, terjadilah suatu stimulasi yang dapat memicu terjadinya
replikasi virus dengan kecepatan tinggi, seperti pengaruh beberapa sitokin proinflamatorik (IL-1,
IL-3, IL-6, TNF- dan , TGF-, IFN- dan , IFN-, -macrophage colony stimulating factor.2
Provirus yang terintegrasi dalam DNA sel target akan ikut proses transkripsi sel inang. Hasil
transkripsi tersebut memiliki dua peran, yaitu sebagai RNA genom yang nantinya tergabung
dalam virion, dan sebagai mRNA yang menyandi protein-protein virus. RNA genom dan proteinprotein virus tersebut akan menjadi virus HIV yang baru.
Pada individu dewasa, masa jendela infeksi HIV sekitar 3 bulan. Seiring pertambahan replikasi
virus dan perjalanan penyakit, jumlah sel limfosit CD4+ akan terus menurun. Umumnya, jarak
sel limfosit CD4+ akan terus menurun. Umumnya, jarak antara infeksi HIV dan timbulnya gejala
klinis pada AIDS berkisar antara 5-10 tahun.2

Gambar tersebut adalah siklus dari virus HIV 6. Infeksi primer HIV dapat memicu gejala infeksi
akut yang tidak spesifik, seperti demam, nyeri kepala, faringitis dan nyeri tenggorokan,
limfadenopati, dan ruam kulit. Fase akut tersebut dilanjutkan dengan priode laten yang
asimptomatis, tetapi pada fase inilah terjadi penurunan jumlah sel limfosit CD4+ selama
bertahun-tahun hingga terjadi manifestasi klinis AIDS akibat defisiensi imun (berupa infeksi
oportunistik). Berbagai manifestasi klinis lain dapat timbul akibat reaksi autoimun, reaksi
hipersensitivitas, dan potensi keganasan.2
4. GEJALA KLINIS
Dari semua orang yang terinfeksi HIV, lebih dari separuh akan menunjukkan gejala
infeksi primer yang timbul beberapa hari setelah infeksi dan berlangsung selama 2-6 minggu.
Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam,
diare, atau batuk dan gejala-gejala ini akan membaik dengan atau tanpa pengobatan7.
Perjalanan penyakit infeksi HIV dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu 1) infeksi akut, 2) infeksi
kronik (asimtomatik dan simtomatik), dan 3) AIDS. Sekitar 60-70% infeksi HIV akan mencapai
stadium AIDS dalam waktu rata-rata 10-11 tahun (typical progressor), 10-20% sangat progresif

dan berkembang menjadi AIDS dalam waktu kurang dari 5 tahun (rapid progressor). Sebagian
kecil lainnya antara 5-15% infeksi HIV berjalan sangat lambat, masih belum mencapai AIDS
dalam waktu lebih dari 15 tahun (slow progressor) dan sekitar 1% infeksi dikenal sebagai bagian
dari slow progressor yang disebut Long-term Non Progressor (LTNP). Progresi penyakit
ditentukan oleh tiga hal, yakni aktivitas virus (viral load), jumlah CD4 penderita, dan respon
host terhadap virus7.
Tabel 2.1 GejalaKlinisInfeksi Primer HIV
Kelompok
Umum

Mukokutan
Limfadenopati
Neurologi

Salurancerna

Gejala
Demam
Nyeriotot
Nyerisendi
Rasa lemah
Ruamkulit
Ulkus di mulut
Nyerikepala
Nyeribelakangmata
Fotofobia
Depresi
Meningitis
Anoreksia
Nausea
Diare
Jamur di mulut

Kekerapan (%)
90
54
70
12
74
32
12
32
12

WHO membagi HIV/AIDS menjadiempat stadium klinisyakni stadium I (asimtomatik),


stadium II (sakitringan), stadium III (sakitsedang), dan stadium IV (sakitberatatau
AIDS).Bersama dengan hasil pemeriksaan jumlah sel T CD4, stadium klinis ini dapat dijadikan
sebagai panduan untuk memulai terapi profilaksis infeksi oportunistik dan memulai atau
mengubah terapi ARV7.
AIDS merupakan manifestasilanjutan HIV.Selama stadium individu bias saja merasa
sehat dan tidak curiga bahwa mereka penderita penyakit.Pada stadium lanjut, system imun

individu tidak mampu lagi menghadapi infeksi Opportunistik dan mereka terusmenerus
menderita penyakit minor dan mayor Karen tubuhnya tidak mampu memberikan pelayanan7.
Angka infeksi pada bayi sekitar 1 dalam 6 bayi.Pada awa lterinfeksi, memang tidak
memperlihatkan gejala-gejala khusus.Namun beberapa minggu kemudian orang tua yang
terinfeksi HIV akan terserang penyakit ringansehari-hari seperti flu dan diare. Penderita AIDS
dari luar tampaksehat.Pada tahunke 3-4 penderita tidak memperlihatkan gejala yang
khas.Sesudah tahun ke 5-6 mulai timbul diare berulang, penurunan berat badan secara
mendadak, sering sariawan di mulut dan terjadi pembengkakan didaerah kelenjar getah bening.
Jika diuraikan tanpa penanganan medis, gejala PMS akanberakibat fatal7.
Infeksi HIV memberikangambaranklinik yang tidakspesifikdengan spectrum yang lebar,
mulaidariinfeksitanpagejala (asimtomatif) pada stadium awalsampaidengangejala-gejala yang
beratpada stadium yang lebihlanjut.Perjalananpenyakitlambatdangejala-gejala AIDS rata-rata
barutimbul 10 tahunsesudahinfeksi, bahkandapatlebih lama lagi7.
Faktor-faktor

yang

mempengaruhiberkembangnya

HIV

menjadi

AIDS

belumdiketahuijelas.Diperkirakaninfeksi HIV yang berulang ulang dan pemaparan terhadap


infeksi-infeksi lain mempengaruhi perkembangan kearah AIDS. Menurunnya hitungan sel CDA
di bawah 200/ml menunjukkan perkembangan yang semakin buruk.Keadaan yang buruk juga
ditunjukkan oleh peningkatan B2 mikro globulin dan juga peningkatan I9A7.
Perjalananklinikinfeksi HIV telahditemukanbeberapaklasifikasiyaitu7 :
a Infeksi Akut : CD4 : 750 1000
Gejala infeksi akut biasanya timbul sedudah masa inkubasi selama 1-3 bulan. Gejala yang timbul
umumnya seperti influenza, demam, atralgia, anereksia, malaise, gejala kulit (bercak-bercak
merah, urtikarta), gejala syaraf (sakit kepada, nyeri retrobulber, gangguan kognitif danapektif),
gangguan gas trointestinal (nausea, diare). Pada fase ini penyakit tersebut sangat menular karena
terjadi viremia. Gejala tersebut diatas merupakan reaksi tubuh terhadap masuknya unis yang
berlangsung kira-kira 1-2 minggu.
b Infeksi Kronis Asimtomatik : CD4 > 500/ml
Setelah infeksi akut berlalu maka selama bertahun-tahun kemudian, umumnya sekitar 5 tahun,
keadaan penderita tampak baik saja, meskipun sebenarnya terjadi replikasi virus secara lambat di
dalam tubuh. Beberapa penderita mengalami pembengkakan kelenjar lomfe menyeluruh, disebut
limfa denopatio (LEP), meskipun ini bukanlah hal yang bersifat prognostik dan tidak

terpengaruh bagi hidup penderita. Saat ini sudah mulai terjadi penurunan jumlah sel CD4 sebagai
petunjuk menurunnya kekebalan tubuh penderita, tetapi masih pada tingkat 500/ml.
c Infeksi Kronis Simtomatik
Fase ini dimulai rata-rata sesudah 5 tahun terkena infeksi HIV. Berbagai gejala penyakit ringan
atau lebih berat timbul pada fase ini, tergantung pada tingkat imunitas pemderita; yaitu :
1 Penurunan Imunitas sedang : CD4 200 500
Pada awal sub-fase ini timbul penyakit-penyakit yang lebih ringan misalnya reaktivasi dari
herpes zoster atau herpes simpleks. Namun dapat sembuh total atau hanya dengan pengobatan
biasa. Keganasan juga dapat timbul pada fase yang lebih lanjut dari sub-fase ini dan dapat
berlanjut ke sub fase berikutnya, demikian juga yang disebut AIDS-Related (ARC).
2 Penurunan Imunitas berat : CD4 < 200
Pada sub fase ini terjadi infeksi oportunistik berat yang sering mengancam jiwa penderita.
Keganasan juga timbul pada sub fase ini, meskipun sering pada fase yang lebih awal. Viremia
terjadi untuk kedua kalinya dan telah dikatakan tubuh sudah dalam kehilangan kekebalannya.
Sindromklinis stadium simptomatik yang utama:

Limfadenopati Generalisata yang menetap


Gejala konstutional: Demam yang menetap > 1 bulan, penurunan BB involunter >

10% dari nilai basal, dan diare >1 bulan tanpa penyebab jelas
Kelainan neurologis: Ensefalopati HIV, limfoma SSP primer, meningitis aseptik,

mielopati, neuropati perifer, miopati.


Penyakit infeksiosa sekunder: pneumonia, Candida albicans,M. Tuberculosis,

Cryptococcus neoformans, Toxxoplasma gondii, Virus Herpes simpleks


Neoplasma Sekunder: Sarkoma Kaposi (kulit dan viseral), neoplasma limfoid
Kelainan lain: Sindrom spesifik organ sebagai manifestasi prmer penderita TB
atau komplikasi

Tabel yang tertera pada halaman selanjutnya akan memperlihatkan infeksi-infeksi oportunistik
yang lazim terjadi pada orang-orang dengan HIV/AIDS7:

Untuk memastikan apakah seseorang


kem terinfeksi virus HIV, ia harus
memeriksakan darahnya dengan tes
khusus

dan

berkonsultasi

dengan

dokter. Jika dia positif mengidap AIDS,


maka akan timbul gejala-gejala yang
disebut dengan ARC (AIDS Relative
Complex) Adapun gejala-gejala yang
biasa nampak pada penderita AIDS
adalah7:
a

Dicurigai AIDS

pada

orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala mayor dan satu gejala minor dan
tidak ada sebab-sebab imunosupresi yang lain seperti kanker, malnutrisi berat atau

pemakaian kortikosteroid yang lama.


Gejala Mayor
- Penurunan berat badan lebih dari 10%
- Diare kronik lebih dari satu bulan
- Demam lebih dari satu bulan
Gejala Minor
- Batuk lebih dari satu bulan
- Dermatitis preuritik umum
- Herpes zoster recurrens
- Kandidiasis orofaring
- Limfadenopati generalisata
- Herpes simplek diseminata yang kronik progresif
Dicurigai AIDS pada anak. Bila terdapat paling sedikit dua gejala mayor dan dua
gejala minor, dan tidak terdapat sebab sebab imunosupresi yang lain seperti
kanker, malnutrisi berat, pemakaian kortikosteroid yang lama atau etiologi lain.
Gejala Mayor
- Penurunan berat badan atau pertumbuhan yang lambat dan abnormal
- Diare kronik lebih dari 1bulan
- Demam lebih dari1bulan
Gejala minor
- Limfadenopati generalisata
- Kandidiasis oro-faring
- Infeksi umum yang berulang
- Batuk persisten
- Dermatitis

5. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Tes laboratorium diagnostik HIV harus dilakukan secara lengkap. Pengujian asam
nukleat HIV (NAT) untuk mendeteksi RNA HIV atau DNA HIV dianjurkan untuk
menetapkan diagnosis infeksi pada bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV-1. Dokter
harus menggunakan tes antibodi HIV dengan konfirmasi Western blot atau uji
imunofluoresensi secara tidak langsung untuk menetapkan diagnosis infeksi HIV kronis. Tes
skrining antibodi HIV termasuk enzim immunoassay (ELISA/EIA), chemiluminescent
immunoassay (CIAS), dan Rapid tes.8
Pasien dengan hasil tes antibodi HIV negatif, harus melakukan pengulangan tes selanjutnya
pada 3 bulan kemudian.Bagi individu yang pada tes HIV mempunyai hasil negatif pada 3
bulan tetapi terus terlibat dalam perilaku risiko tinggi, maka dokter harus mendiskusikan
strategi harm reduction yang berorientasi pada tujuan, termasuk rujukan untuk layanan
konseling, dan pengulangan tes HIV setidaknya setiap 3 bulan.Dokter harus mengevaluasi
pasien infeksi HIV akut, terutama ketika mereka datang dengan demam, flu, atau seperti
penyakit yang tidak dapat dijelaskan. Termasuk mereka yang datang dengan kriteria dibawah
ini:8
1. Mereka yang melaporkan telah melakukan kontak seksual dengan pasangan yang
diketahui terinfeksi HIV atau pasangan yang tidak diketahui status HIVnya
terdahulu.
2. Pria yang melaporkan memiliki hubungan seksual yang tidak aman dengan pria
lain.
3. Mereka yang pernah melakukan penggunaan jarum suntik secara bergantian.
4. Mereka yang datang dengan infeksi menular seksual yang baru di diagnosa.
5. Mereka yang datang dengan meningitis aseptik.
6. Pasien hamil atau menyusui.
Jika diduga infeksi HIV akut, maka dilakukan tes skrining serologis HIV yaitu tes HIV
RNA plasma assay. Tes RNA plasma assay dilakukan jika tes skrining serologis adalah
negatif. Dilakukan tes kombinasi generasi keempat yang merupakan tes skrining
serologis, jika:8
1. Deteksi HIV RNA atau tidak adanya antibodi HIV harus dianggap sebagai hasil positif
awal, tes HIV RNA dari spesimen baru harus diulang segera untuk mengkonfirmasi
adanya HIV RNA.
2. Tes HIV RNA harus diulang untuk menyingkirkan hasil positif palsu ketika hasil
kuantitatif memberikan hasil yang rendah (<5.000 kopi / mL) dari tes HIV RNA
dilaporkan tidak adanya bukti serologis infeksi HIV.

Tes HIV serologis harus diulang 2 sampai 3 minggu setelah diagnosis.Tes HIV RNA
dilakukan untuk mengkonfirmasi infeksi.Namun, dokter tidak harus menunggu hasil tes
serologis untuk konfirmasi adanya infeksi HIV dan untuk memulai terapi ARV. Ketika
wanita hamil didiagnosis dengan infeksi HIV akut melalui tes HIV RNA disarankan
untuk segera memberikan terapi ARV.8
Ketika dicurigai infeksi HIV akut, segera lakukan tes viral load HIV, diikuti oleh tes
antibodi. Kemudian dilakukan konfirmasi 3 sampai 6 minggu. Kebanyakan tes HIV RNA
akan mendeteksi infeksi HIV akut 7 sampai 14 hari setelah terpapar HIV.8
1. Tes Antibodi
Deteksi antibodi HIV adalah metode yang paling umum untuk mendiagnosis infeksi HIV
pada orang dewasa dan anak-anak yang berusia > 18 bulan.Antibodi ini biasanya
terdeteksi dalam waktu 3 sampai 6 minggu setelah infeksi, dan hampir semua individu
serokonversi terjadi pada minggu ke-12.Namun, dalam kasus yang jarang terjadi,
antibodi mungkin tidak terdeteksi selama berbulan-bulan. Jika keadaan ini terjadi, maka
tes harus ditindaklanjuti dengan tes antibodi HIV pada 3 bulan kemudian untuk
mengidentifikasi infeksi HIV pada individu dengan eksposur baru.8
Pengujian serologis saat ini dilakukan dengan alat tes skrining yang sangat sensitif
yaitu, ELISA / EIA, CIA, atau Rapid tes dan spesimen positif awal ditindaklanjuti
dengan uji konfirmasi yang sangat spesifik yaitu, Western Blot.Tes antibodi juga
dapat dilakukan pada cairan oral dan sampel urin. Istilah "reaktif," "tidak reaktif,"
dan "tak tentu" digunakan untuk menggambarkan hasil pemeriksaan dari tes
konfirmasi.8
a) Rapid Tes
Merupakan tes serologik yang cepat untuk mendeteksi IgG antibodi terhadap HIV1.Prinsip pengujian berdasarkan aglutinasi partikel, imunodot (dipstik), imunofiltrasi
atau imunokromatografi. ELISA tidak dapat digunakan untuk mengkonfirmasi hasil
rapid tes dan semua hasil rapid tes reaktif harus dikonfirmasi dengan Western blot
atau IFA.8
b) Western Blot
Digunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil serologi rapidtes sebagai
hasil yang benar-benar positif. Uji Western blot menemukan keberadaan antibodi
yang melawan protein HIV-1 spesifik (struktural dan enzimatik). Western blot

dilakukan hanya sebagai konfirmasi pada hasil skrining berulang (ELISA atau rapid
tes).Hasil negative Western blot menunjukkan bahwa hasil positif ELISA atau rapid
tes dinyatakan sebagai hasil positif palsudan pasien tidak mempunyai antibodi HIV-1.
Hasil Western blot positif menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1 pada individu
c)

dengan usia lebih dari 18 bulan.8


Penurunan Sistem Imun
Progresi infeksi HIV ditandai dengan penurunan CD4+ T limfosit, sebagianbesar sel
target HIV pada manusia. Kecepatan penurunan CD4 telah terbukti dapatdipakai
sebagai petunjuk perkembangan penyakit AIDS. Jumlah CD4 menurunsecara
bertahap selama perjalanan penyakit. Kecepatan penurunannya dari waktuke waktu
rata-rata 100 sel/tahun.8
2. Tes Identifikasi Virus
a) DNAPolymerase Chain Reaction (PCR DNA)
Pemeriksaan PCR DNA digunakan hanya untuk mendeteksi infeksi pada bayi yang lahir
dari ibu yang terinfeksi HIV-1.Semua PCR DNA dengan hasil positif harus dikonfirmasi
dengan tes PCR DNA kedua pada spesimen terpisah. Tes PCR DNA merupakan cara
yang paling terkenal untuk amplifikasi asam nukleat. Prosedur kualitatif ini sangat
sensitif karena dapat mendeteksi antara 1 dan 10 salinan provirus DNA HIV-1 per
sampel. Karena sensitivitas yang sangat tinggi dalam pengujian ini, sejumlah kecil
masalah noise dalam lingkungan atau kontaminasi selama proses di laboratorium dapat
menyebabkan amplifikasi produk yang dapat menghasilkan reaksi positif palsu. Semua
hasil awal PCR DNA yang bernilai positif memerlukan konfirmasi dengan tes PCR DNA
kedua pada spesimen terpisah. Saat ini, penggunaan diagnostik PCR DNA HIV-1 hanya
direkomendasikan untuk mendeteksi infeksi pada bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi
HIV-1.8
b) Tes HIV RNA Plasma
Merupakan tes viral load HIV yang harus digunakan bersamaan dengan tes antibodi
HIV-1, tes ini berguna untuk mendiagnosis infeksi HIV akut atau primer. Riwayat alami
terinfeksi HIV akut dapat beraneka ragam sehingga antibodi mungkin tidak terbentuk
pada saat timbulnya gejala (2 sampai 6 minggu setelah paparan). Tes antibodi dari pasien
ini akan sering memberikan hasil negatif lemah atau positif lemah pada pemeriksaan
ELISA dan negatif pada pemeriksaan Western Blot. Namun, tingkat viral load yang

sangat tinggi selama infeksi akut, biasanya mulai dari 100.000 sampai lebih dari 10 juta
kopi / mL, dan terdeteksi sekitar 2 minggu sebelum serokonversi.8
6. PENATALAKSANAAN
HIV/AIDS sampai saat ini belum dapat disembuhkan secara total.Namun dengan obat anti HIV
(antiretroviral) bermanfaat menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV.
Pengobatan orang dengan HIV/AIDS terdiri atas beberapa jenis yaitu:
a. Menekan replikasi virus dengan obat antiretroviral (ARV)
b. Pengobatan untuk berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi
HIV/AIDS
c.

Pengobatan suportif yaitu makanan yang memiliki nilai gizi baik dan dukungan
psikososial dan agama.8,9

TERAPI ANTIRETROVIRAL
Berbagai pengobatan telah diterapkan untuk penyembuhan AIDS. Yang banyak dipraktikkan
sampai saat ini adalah pengobatan dengan obat kimia (chemotherapy).Obat-obat ini biasanya
adalah inhibitor enzim yang diperlukan untuk replikasi virus, seperti inhibitor reverse
transcriptase dan protease. 8,9
Zidovudin-lebih dikenal dengan AZT-adalah obat AIDS yang pertama kali digunakan. Obat yang
merupakan inhibitor enzim reverse transciptase ini mulai digunakan sejak tahun 1987. Setelah itu
dikembangkan inhibitor protease seperti indinavir, ritonavir, dan nelfinavir.Sampai saat ini Food
and Drug Administration (FDA) Amerika telah mengizinkan penggunaan sekitar 20 jenis obatobatan. 8,9
Pada umumnya, pemakaian obat-obat ini adalah dengan kombinasi satu sama lainnya karena
pemakaian obat tunggal tidak menyembuhkan dan bisa memicu munculnya virus yang resisten
terhadap obat tersebut. 8,9
Inisiasi ARV pada pasien remaja dan dewasa menurut WHO 2014:9
i.

Seluruh individu dengan infeksi HIV derajat berat (severe) atau tahap lanjut (stadium

ii.
iii.

klinis 3-4)
Seluruh individu terinfeksi HIV dengan hitung CD4+ 350 sel/mm3
Seluruh individu dengan hitung CD4+ >350 sel/mm 3 dan 500 sel/mm3 tanpa melihat
stadium klinis WHO

iv.

Tanpa melihat stadium WHO:


Pasien HIV dengan penyakit TB aktif
Pasien HIV dengan koinfeksi hepatitis B dengan penyakit hati kronis
Perempuan HIV yang sedang hamil atau menyusui
Pada pasien yang memiliki pasangan serodiscordant (berbeda dengan status HIV, satu
orang positif dan pasangan negative) dapat dipertimbangkan untuk pemberian ARV

untuk mengurangi transmisi pada pasangan yang belum terinfeksi.


Obat ARV dibagi menjadi 5 golongan :
Golongan Obat
Nucleoside
reverse

Efek Obat
Menghambat perubahan genetic HIV

transcriptase

dari bentuk RNA menjadi bentuk

inhibitor

(NRTI)

DNA

Non-nucleoside
transcriptase

reverse

Menghambat perubahan genetic HIV

inhibitor

dari bentuk RNA menjadi DNA

(NNRTI)

dengan langkah lain

Protease inhibitor (PI)

Menghambat pematangan virus

Entry inhibitor

Mencegah pengikatan HIV pada sel

Integrase inhibitor

Mencegah pemaduan kode gentik


HIV dengan kode genetic pada sel

Nama Obat
Lamivudine (3TC)
Abacavir (ABC)
Zidovudine (AZT/ZDV)
Stavudine (D4T)
Didanosine (DDI)
Emtricabine (FTC)
Tenofovir (TDF)
Delaviridine (DLV)
Evavirens (EFV)
Etravirine (ETV)
Nevirapine (NVP)
Rilpivirine (RPV)
Atazanavir (ATV)
Darunavir (DRV)
Fosamprenavir (FPV)
Indinavir (IDV)
Opinavir (LPV)
Nelfinavir (NFV)
Ritonavir (RTV)
Saquinavir (SQV)
Tipranavir (TPV)
Enfuvirtide (T-20)
Maraviroc (MVC)
Raltegravir (RGV)
Elvitegravir (EGV)

Pemilihan Obat ARV Lini Pertama


Paduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama adalah: 2 NRTI + 1 NNRTI
Mulailah terapi antiretroviral dengan salah satu dari paduan di bawah ini:
AZT + 3TC + NVP
AZT + 3TC + EFV

(Zidovudine + Lamivudine + Nevirapine)


(Zidovudine + Lamivudine + Efavirenz)

TDF + 3TC (atau FTC) + NVP

(Tenofovir + Lamivudine (atau Emtricitabine) +

TDF + 3TC (atau FTC) + EFV

Nevirapine)
(Tenofovir + Lamivudine (atau Emtricitabine) +
Efavirenz)

ARV yang tidak dianjurkan


Paduan ARV
Mono atau dual

terapi

pengobatan infeksi HIV kronis


d4T + AZT
d4T + ddI

Alasan tidak dianjurkan


untuk Cepat menimbulkan resisten
Antagonis (menurunkan khasiat kedua obat)
Toksisitas tumpang tindih (pankreatitis,
hepatitis dan lipoatrofi)

3TC + FTC

Pernah dilaporkan kematian pada ibu hamil


Bisa saling menggantikan tapi tidak boleh

TDF + 3TC + ABC atau

digunakan secara bersamaan


Paduan tersebut meningkatkan mutasi K65R

TDF + 3TC + ddI

dan terkait dengan seringnya kegagalan virologi

secara dini
TDF + ddI + NNRTI manapun
Seringnya kegagalan virologi secara dini
Perbedaan Antara Pedoman Nasional Terapi ARV Tahun 2007 dan 2011 (Kemenkes, 2011)10:

Sindrom Pulih Imun (SPI - immune reconstitution syndrome = IRIS)


Sindrom Pulih Imun (SPI) atau Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome (IRIS) adalah
perburukan kondisi klinis sebagai akibat respons inflamasi berlebihan pada saat pemulihan
respons imun setelah pemberian terapi antiretroviral.Sindrom pulih imun mempunyai manifestasi
dalam bentuk penyakit infeksi maupun non infeksi.Manifestasi tersering pada umumnya adalah
berupa inflamasi dari penyakit infeksi.Sindrom pulih imun infeksi ini didefinisikan sebagai
timbulnya manifestasi klinis atau perburukan infeksi yang ada sebagai akibat perbaikan respons
imun spesifik patogen pada ODHA yang berespons baik terhadap ARV.

Mekanisme SPI belum diketahui dengan jelas, diperkirakan hal ini merupakan respon imun
berlebihan dari pulihnya sistem imun terhadap rangsangan antigen tertentu setelah pemberian
ARV. 9,10
Insidens sindrom pulih imun secara keseluruhan berdasarkan meta analisis adalah 16.1%.
Namun, insidens ini juga berbeda pada tiap tempat, tergantung pada rendahnya derajat sistem
imun dan prevalensi infeksi oportunistik dan koinfeksi dengan patogen lain. 9,10
Pada saat ini dikenal dua jenis SPI yang sering tumpang tindih, yaitu sindrom pulih imun
unmasking (unmasking IRD) dan sindrom pulih imun paradoksikal.Jenis unmasking terjadi pada
pasien yang tidak terdiagnosis dan tidak mendapat terapi untuk infeksi oportunistiknya dan
langsung mendapatkan terapi ARV-nya.Pada jenis paradoksikal, pasien telah mendapatkan ARV,
terjadi perburukan klinis dari penyakit infeksinya tersebut. 9,10
Manifestasi klinis yang muncul sangat bervariasi dan tergantung dari bahan infeksi atau noninfeksi yang terlibat, sehingga diagnosis menjadi tidak mudah.Pada waktu menegakkan diagnosis
SPI perlu dicantumkan penyakit infeksi atau non infeksi yang menjadi penyebabnya (misal IRIS
TB, IRIS Toxoplasmosis). 9,10
International Network Study of HIV-associated IRIS (INSHI) membuat konsensus untuk kriteria
diagnosis sindrom pulih imun sebagai berikut. 9,10
1.

Menunjukkan respons terhadap terapi ARV dengan:


a. mendapat terapi ARV
b. penurunan viral load > 1 log kopi/ml (jika tersedia)

2.

Perburukan gejala klinis infeksi atau timbul reaksi inflamasi yang terkait dengan inisiasi terapi

3.

ARV
Gejala klinis tersebut bukan disebabkan oleh:
a. Gejala klinis dari infeksi yang diketahui sebelumnya yang telah berhasil disembuhkan
(Expected clinical course of a previously recognized and successfully treated infection)
b. Efek samping obat atau toksisitas
c. Kegagalan terapi
d. Ketidakpatuhan menggunakan ARV
Beberapa faktor risiko terjadinya SPI adalah jumlah CD4 yang rendah saat memulai terapi ARV,
jumlah virus RNA HIV yang tinggi saat memulai terapi ARV, banyak dan beratnya infeksi

oportunistik, penurunan jumlah virus RNA HIV yang cepat selama terapi ARV, belum pernah
mendapat ARV saat diagnosis infeksi oportunistik, dan pendeknya jarak waktu antara memulai
terapi infeksi oportunistik dan memulai terapi ARV. 9,10
Tatalaksana SPI meliputi pengobatan patogen penyebab untuk menurunkan jumlah antigen dan
meneruskan terapi ARV.Terapi antiinflamasi seperti obat antiiflamasi non steroid dan steroid
dapat diberikan. Dosis dan lamanya pemberian kortikosteroid belum pasti, berkisar antara 0,5- 1
mg/kg/hari prednisolon9,10
Kegagalan terapi menurut kriteria WHO 9,10
1. Kegagalan klinis:
Munculnya IO dari kelompok stadium 4 setelah minimal 6 bulan dalam terapi ARV.Beberapa
penyakit yang termasuk dalam stadium klinis 3 (TB paru, infeksi bakteri berat) dapat merupakan
petunjuk kegagalan terapi.
2. Kegagalan Imunologis
Definisi dari kegagalan imunologis adalah gagal mencapai dan mempertahankan jumlah CD4
yang adekuat, walaupun telah terjadi penurunan/ penekanan jumlah virus.
3. Kegagalan Virologis:
Disebut gagal virologis jika:

viral load tetap > 5.000 copies/ml (lihat gambar.4), atau


viral load menjadi terdeteksi lagi setelah sebelumnya tidak terdeteksi.

Kriteria klinis untuk gagal terapi yang timbul dalam 6 bulan pertama pengobatan tidak dapat
dijadikan dasar untuk mengatakan gagal terapi. Perlu dilihat kemungkinan penyebab lain
timbulnya keadaan klinis tersebut, misal IRIS. 9,10
Alur pemindahan lini pertama ke lini kedua9,10
Dicurigai kegagalan klinis atau
imunologis
Pemeriksaan viral load
VL > 5000 kopi/ml

Penatalaksanaan kepatuhan

Pemeriksaan ulang VL

VL >5000 kopi/ml

VL <5000 kopi/ml

Jangan pindah ke
lini kedua

Pindah ke lini
kedua

Terapi Antiretroviral Lini Kedua9,10

Rekomendasi paduan lini kedua adalah: 2 NRTI + boosted-PI


Boosted PI adalah satu obat dari golongan Protease Inhibitor (PI) yang sudah ditambahi
(boost) dengan Ritonavir sehingga obat tersebut akan ditulis dengan kode ..../r (misal

LPV/r = Lopinavir/ritonavir)
Penambahan (booster) dengan ritonavir ini dimaksudkan untuk mengurangi dosis dari
obat PI-nya karena kalau tanpa ritonavir maka dosis yang diperlukan menjadi tinggi

sekali.
Paduan lini kedua yang direkomendasikan dan disediakan secara gratis oleh pemerintah

adalah: TDF atau AZT + 3TC + LPV/r


Apabila pada lini pertama menggunakan d4T atau AZT maka gunakan TDF + (3TC atau

FTC) sebagai dasar NRTI pada paduan lini kedua


Apabila pada lini pertama menggunakan TDF maka gunakan AZT + 3TC sebagai dasar
NRTI sebagai dasar NRTI pada paduan lini kedua. 9,10

Pilihan terapi ARV lini kedua9,10


Populasi Target dan ARV yang digunakan
Dewasa

Pilihan

paduan

ARV

pengganti

direkomendasikan
(termasuk Bila menggunakan TDF +3TC atau FTC + LPV/r

perempuan hamil)

AZT sebagai lini


pertama

yang

Bila menggunakan TDF sebagai lini pertama


Ko-infeksi TB/HIV

AZT + 3TC + LPV/r


Mengingat rifampisin tidak dapat digunakan
bersamaan

dengan

LPV/r,

dianjurkanmenggunakan paduan OAT tanpa


rifampisin. Jika rifampisin perlu diberikan
maka pilihan lain adalah menggunakan LPV/r
dengan dosis 800 mg/200 mg dua kali sehari).
Perlu

evaluasi

fungsi

hati

ketat

jika

menggunakan Rifampisin dan dosis ganda


LPV/r
AZT + TDF + 3TC (FTC) + LPV/r

Ko-infeksi HIV/HBV

(TDF + (3TC atau FTC)) tetap digunakan


meski sudah gagal di lini pertama karena
pertimbangan

efek

anti-HBV

dan

untuk

mengurangi risiko flare

EFEK SAMPING TERAPI ARV9,10


Obat
Zidovudin

Efek samping
Supressi sum sum tulang

Substitusi
Jika digunakan pada terapi lini pertama,

Anemia makrositi atau neutropenia

TDF (atau d4T jika tidka ada pilihan lain)

Intoleransi

Jika digunakan pada terapi lini kedua, d4T

gastrointertinal,

sakit

kepala, insomnia, asthenia


Pigmentasi kulit dan kuku
Asidosis
Stavudin

hepatic
Pancreatitis,
asidosis

Lamivudin

laktat

dengan

steatosis

neuropati

perifer,

laktat

denga

AZT dan TDF

steatosis

hepatitis (jarang), lipotrofi


Toksisitas renda

Asidosis laktat dengan steatoses


Abacavir

hepatitis (jarang)
Reaksi hipersensitivitas (dapat fatal),
Demam,

ruam

kelelahan,

muntah, tidak napsu makan

mul

AZT atau TDF

Gangguan

pernapasan

(sakit

tenggorok, batuk)
Asidosis
Tenofovir

laktat

dengan

steatosis

hepatitis (jarang)
Asthenia, sakit kepala, diare, mual

Jika digunakan pada lini pertama AZR (atau

muntah,

d4t jika tiada pilihan)

sering

buang

angin,

insufisiensi ginjal, sindroma fanconi

Jika digunakan pada lini kedua,

Osteomalasia

Secara pendekatan kesehatan masyarakat,

Penurunan densittas tulang

makan tidak ada pilihan lain jika pasien

Hepatitis eksaserbasi akut berat pada

telah gagal

pasein HIV dengan koinfeksi

AZT/d4t pada terapi lini pertama,

Hepatitis B yang menghentikan TDF

Jika kemungkinan dipertimbangkan merujik


ke tingkat perawatan yang lebih tinggi

Emtricitabine
Nevarapin

Ritonavir
Lopinavir

Ditoleransi dengan baik


Reaksi hipersensitivitas

dimana terapi individual tersedia.


EFV

Sindroma steven-johnson

Bpi jika tidak toleransi terhadap kedua

Ruam

NNRTI

Toksisitas hepar

Tiga NNRTI jika tidak ada pilihan lain.

Hiperlipidemia
Hiperlipidemia
Intoleransi gastrointertinal,
pancreatitis,

mual,

Jika digunakan pada lini kedua.


Jika digunakna pada lini kedua.

hiperglikemial,

pemindahan lemak dan abnormalitas


Efavirenz

lipid
Reaksi

hipersensitivitas

sindroma

NVP

steven-johnson

Bpi jika tidak toleran terhadap kedia NRTI

Ruam

Tiga NRTI jika tidak ada pilihan lain.

Toksisitas hepar
Toksisitas sisterm saraf pusat yang
berat dan persisten (depresi dan
pusing)
Hiperlipidemia
Ginekomastia (pada laki-laki)
Kemungkinan efek teratogenik (pada
kehamilan trimester pertama atau

wanita

yang

tidak

mengganggu

kontrasepsi yang adekuat)

7. EDUKASI
1. Safety first(mencegah penularan dengan proteksi diri dari ODHA)
2. Kepatuhan minum obat
3. Dukungan dari keluarga, teman, dan meciptakan lingkungan yang kondusif.
8. KOMPLIKASI
INFEKSI OPORTUNISTIK (IO)
Organisme penyebab IO adalah organisme yang merupakan flora normal, maupun organisme
patogen yang terdapat secara laten dalam tubuh yang kemudian mengalami reaktivasi. Spektrum
IO pada defisiensi imun akibat HIV secara umum mempunyai pola tertentu dibandingkan IO
pada defisiensi imun lainnya.Namun ada gambaran IO yang spesifik untuk beberapa daerah
tertentu.Semakin menurun jumlah limfosit CD4 semakin berat manifestasi IO dan semakin sulit
mengobati, bahkan sering mengakibatkan kematian.Pengobatan dengan antiretroviral (ARV)
dapat menekan replikasi HIV, sehingga jumlah limfosit CD4 relatif stabil dalam jangka waktu
panjang, dan keadaan ini mencegah timbulnya infeksi oportunistik. Organisme yang sering
menyebabkan IO terdapat di lingkungan hidup kita yang terdekat, seperti air, tanah, atau
organisme tersebut memang berada dalam tubuh kita pada keadaan normal, atau tinggal secara
laten lalu mengalami reaktivasi.8,10

Profilaksis untuk Infeksi Oportunistik


Pencegahan infeksi oportunistik dengan kotrimoksasol diberikan sebagai profilaksis
primer (untuk mencegah infeksi yang belum pernah dialami) maupun profilaksis sekunder (untuk
mencegah berulangnya suatu infeksi).9

Bila tidak tersedia pemeriksaan hitung CD4+, kotrimoksasol diberikan pada semua
pasien segera setelah dinyatakan HIV positif. Dosis 1x960 mg/hari dosis tunggal.
Terapi kotrimoksasol dihentikan setelah 2 tahun penggunaan bila mendapat ARV.9

Bila tersedia pemeriksaan hitung CD4+, kotrimoksasol diberikan pada semua pasien
HIV dengan CD4+ <200 sel/mm3. Dosis 1x960 mg/hari dosis tunggal. Terapi

kotrimoksasol dihentikan bila sel CD4+ meningkat >200 sel/mm3 pada pemeriksaan
dua kali interval 6 bulan berturut-turut jika mendapatkan ARV.9

Kotrimoksasol untuk pencegahan sekunder diberikan setelah terapi PCP atau


Toxoplasmosis selesai dan diberikan selama 1 tahun.9

Apabila pada ODHA dengan IO, obat IO diberikan terlebih dahulu selama 2 minggu
kemudian terapi ARV dapat dimulai.10

Diagnosis Klinis dan Tatalaksana Infeksi Oportunistik (Kemenkes, 2011)10


No
1.

Infeksi
Oportunistik
Pneumoniaa
Pneumocystis
jiroveci (PCP)

Tampilan
Klinis
Batuk kering
Sesak nafas
Demam
Keringat
malam
Subakut
sampai 1 2
bulan

2.

Kandidasis

Kandidiasis
oral:
Bercak putih
di selaput
mukosa
disertai
eritema di
rongga mulut

Diagnosis
Kelainan
pada foto
toraks
dengan
infiltrat
intersisial
bilateral

Tampilan
klinis yang
khas pada
pemeriksaan
fisik
Pada sediaan
KOH
mikroskopis
ditemukan
pseudohifa

Terapi
Terapi pilihan:
Kotrimoksasol (TMP 15 mg +
SMZ 75 mg/kg/ hari) dibagi
dalam 4 dosis atau
Kotrimoksasol 480 mg, 2 tablet
4 kali sehari untuk BB < 40 kg
dan 3 tablet 4 kali sehari untuk
BB > 40 kg selama 21 hari
Terapi alternatif
Klindamisin 600 mg IV atau 450
mg oral 3 kali sehari +
primakuin 15 mg oral sekali
sehari selama 21 hari bila pasien
alergi terhadap sulfa
Untuk pasien yang parah
dianjurkan pemberian
prednisolon 40 mg, 2 kali sehari,
dengan penurunan dosis secara
bertahap hingga 7 10 hari,
tergantung dari respon terhadap
terapi.
Tablet Nistatin 100.000 IU,
dihisap setiap 4 jam selama 7
hari
atau
Suspensi Nistatin 3-5 cc
dikumur 3 kali sehari selama 7
hari

Kandidiasis
esofageal:
Disfagi
Disertai rasa
nyeri terbakar
di dada

3.

Kriptokokosis

4.

Toksoplasmosis
serebral

Nyeri kepala
belakang,
tanda
meningeal,
fotofobia,
kaku kuduk
atau tekanan
intrakranial
meningkat
Demam
Perubahan
kesadaran
Penyakit yang
diseminasi
memberi kan
tanda lesi
papulonekrotik
menyerupai
moluskum
kontagi-osum
disertai
demam dan
infiltrat di paru
Sakit kepala
Pusing
Demam
Defisit
nerologis fokal
Kejang

Tampilan
klinis khas
dan
memberikan
respon baik
setelah di
terapi
Bila
memungkink
an dapat
dilakukan
endoskopi
Peningkatan
tekanan
intrakranial
pada punksi
lumbal
Protein di
cairan
serebrospinal
Dapat
ditemukan
organisme
dalam
CSP atau lesi
kulit dengan
sediaan
pengecatan
tinta India di
bawah
mikroskop

Flukonasol 200 mg per sehari


selama 14 hari atau
Itrakonasol 400 mg per sehari
selama 14 hari atau
Ketokonasol 200 mg per sehari
selama 14 hari

Defisit
nerologis
fokal
CT scan
kepala
Respon
terhadap
terapi
presumtif
dapat
menyokong
diagnosis

Terapi pilihan
Pirimetamin dosis awal: 100
mg, diikuti dengan 50 mg
perhari + klindamisin 4 X 600
mg
Asam folinat 15 mg setiap 2 hari
bila tersedia
Terapi selama 6 minggu
Terapi rumatan
Pirimetamin 25 mg / hari +
klindamisin600mg

Terapi pilihan
Amfoterisin B IV (0,7 mg/ kg/
hari) selama 2 minggu diikuti
dengan flukonasol 400 mg
perhari selama 8-10 minggu.
Hati- hati akan efek samping
nefrotoksik
amfoterisin.
Terapi alternatif
Flukonasol 400-800 mg per hari
selama 8 12 minggu
Terapi rumatan:
itrakonasol 200 mg/hari atau
flukonasol 200 mg/ hari

5.

Herpes simpleks

6.

Herpes zoster

7.

Tuberkulosis

8.

Mycobacterium
Avium Complex
(MAC)

Sekelompok
vesikel berair
biasanya di
daerah genital
atau sekitar
mulut
Dapat menjadi
sistemik
seperti
esofagitis,
ensefalitis
Sekelompok
vesikel berair
terasa sangat
nyeri di
sepanjang
dermatom.
Dapat
menyerang
mata
TB Paru
Batuk, demam,
berat badan
berkurang,
cepat lelah

Demam
berulang kali,
berat badan
menurun,
cepat lelah

Gambaran
klinis khas

Biasanya sembuh sendiri dan


tidak perlu terapi
Perawatan lesi, dengan gentian
violet atau larutan klorheksidin
Bila ada indikasi dapat diberi
asiklovir 5 X 200 atau 3 X 400
mg selama 7 hari.

Gambaran
klinis khas

Perawatan lesi, dengan gentian


violet atau larutan klorheksidin
Asiklovir 5 X 800 mg selama 7
hari, diberikan dalam 72 jam
sejak timbulnya erupsi vesikel.
Famsiklovir dan valasiklovir
sebagai alternatif

Pemeriksaan
dahak SPS
untuk
mencari BTA
Foto toraks:
Gambaran
paru yang
klasik:
Kavitasi di
lobus atas
Gambaran
paru yang
atipik:
Infiltrat
intersisial
bilateral
Efusi pleura:
periksa BTA
pada punksi
pleura
Isolasi
organisme
dari darah
atau tempat
lain
Anemia yang
tidak

Terapi sesuai Pedoman Nasional


Penanggulangan Tuberkulosis

Terapi pilihan
Azitromisin 1 X 500 mg atau
Klaritromisin 2 X 500 mgi +
etambutol 15 mg/kg/ hari. Bila
infeksi berat dapat ditambah
obat ketiga seperti levofloxacin
1 X 500 mg (atau Ciprofloxacin

diketahui
sebabnya

9.

Kriptosporidiosi
s

Diare kronis
Kram perut
dan muntah
Nyri perut
kanan atas

Sediaan feses
dengan
pengecatan
BTA

2 X 500 mg)
Keadaan akan membaik dengan
terapi ARV
Terapi rumatan
Klaritromisin 2 X 500 mg atau
azitromisin 1 X 500 mg +
etambutol 15 mg/kg/ hari
Terapi ARV

VIII. PROGNOSIS
HIV/AIDS sampai saat ini belum dapat disembuhkan secara total.Namun dengan obat
anti HIV (antiretroviral) bermanfaat menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi
HIV.
Faktor-faktor berikut mempengaruhi harapan hidup orang dengan HIV :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Jumlah CD4. Hal ini memberikan panduan kasar untuk ketahanan sistem kekebalan tubuh
Viral load. Jumlah virus HIV dalam darah
Usia
Stadium klinis HIV sebelum pengobatan HIV dimulai
Infeksi virus hepatitis B atau virus hepatitis C
Penggunaan narkoba suntikan
Kondisi kesehatan lainnya, yang tidak terkait dengan HIV, memiliki peran penting, terutama
karena usia orang. Ini termasuk kondisi seperti penyakit jantung, kanker dan penyakit hati.

DAFTAR PUSTAKA

1 Beadle, S. and Temongmere, G.A. (2012): A Brief Review of Youth Policy &
Programs in Papua & West Papua, Indonesia.Indonesia, Jayapura: UNICEF
2
3

(Joint United Nations Programme on HIV/AIDS(UNAIDS) 2016)


Djoerban Z, Djauzi S. 2014. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku Ajar IlmuPenyakitDalam. 6th ed. Jakarta:

PusatPenerbitanDepartemenIlmuPenyakitDalam FKUI.
Picker LJ. Immunopathogenesis of Acute AIDS virus Infection. Curr Opin Immunol

5
6

2006;18:399-405. [PubMed:16753288]
Global Health Observatory data for HIV/AIDS, WHO
NAIDS-WHO. Report on the global HIV/AIDS epidemic 2010: executive summary.

Geneva. 2010.
Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2016. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia Dilapor s/d

Maret 2016.
Fauci, et al. 2012. Harrisons Principal of Internal Medicine, 18th edition. The McGraw-

Hill Companies, Inc.


Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar
IlmuPenyakitDalam. 6th ed. Jakarta: PusatPenerbitanDepartemenIlmuPenyakitDalam

FKUI.
10 Samsuridjal D. Gejala-gejala infeksi HIV/AIDS. Dalam kumpulan Artikel dan Makalah
untuk Pelatihan Penatalaksanaan HIV/AIDS di RS provinsi sumatera Utara. Medan:
2002.
11 Marcelena R, dan Rengganis I. Infeksi HIV/AIDS. Dalam: Tanto C, dkk. Kapita Selekta
Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius. 2014
12 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan
Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa. Jakarta: Bakti Husada. 2011.

Anda mungkin juga menyukai