PEMBAHASAN
A.
Pencegahan
Pasal 5
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah berkewajiban melakukan
pencegahan perusakan hutan.
Pasal 6
Pasal 7
Pengawasan
Pasal 8
Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban melakukan pemberantasan perusakan
hutan.
Pemberantasan perusakan hutan dilakukan dengan cara menindak
secara hukum pelaku perusakan hutan, baik langsung, tidak
langsung, maupun yang terkait lainnya.
Pasal 9
Pasal 10
Bagian Kedua
Pasal 11
Pasal 12
Pasal 13
200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di
daerah rawa;
130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang
terendah dari tepi pantai.
Pasal 15
Pasal 16
Pasal 17
Pasal 18
paksaan pemerintah;
pencabutan izin.
Pasal 20
Pasal 21
Pasal 22
Pasal 23
Pasal 24
Pasal 25
Pasal 26
Setiap orang dilarang merusak, memindahkan, atau menghilangkan pal batas luar kawasan
hutan, batas fungsi kawasan hutan, atau batas kawasan hutan yang berimpit dengan batas
negara yang mengakibatkan perubahan bentuk dan/atau luasan kawasan hutan.
Pasal 27
Setiap pejabat yang mengetahui terjadinya perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12,
13, 14, 15, 16, 17, dan 19 wajib melakukan tindakan sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 28
menerbitkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan di dalam
kawasan hutan yang tidak sesuai dengan kewenangannya;
menerbitkan izin pemanfaatan di dalam kawasan hutan dan/atau izin penggunaan kawasan
hutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
melindungi pelaku pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah;
ikut serta atau membantu kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan
secara tidak sah;
1. Sanksi Pidana
Sanksi pidana diatur pada Pasal 82 sampai dengan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2013 yang dirumuskan dengan metode fix model66 yakni menentukan minimum khusus
dan maksimum khusus sanksi pidananya. Sanksi minimum khusus paling ringan diatur pada
Pasal 84 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013, yaitu denda paling sedikit Rp
2.000.000.000,00 dan penjara paling singkat 2 tahun.
Korporasi yang membawa alat-alat67 yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau
membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf f dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Maksud pasal ini adalah untuk mencegah perbuatan yang mengarah kepada tindakan
memanfaatkan hutan tanpa izin. Sifat tindakan pencegahan ini yang mengakibatkan sanksi
minimum khusus diterapkan kepada korporasi. Sanksi maksimum khusus paling berat adalah
pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000.000 dan penjara paling lama seumur hidup,
yaitu:
Tindakan Pencucian Uang tidak mengakibatkan uang yang berasal dari sumber yang haram
menjadi sah atau diputihkan dan pencucian uang selalu identik dengan adanya tindak
pidana asal (predicate crime).71 Pencucian kayu menurut Pasal 19 huruf f Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2013 memuat unsur:(1) Mengubah status secara tidak sah; (2) Seolah-olah
menjadi kayu sah; (3) Untuk dijual kepada pihak ketiga. Frasa mengubah status secara tidak
sah menunjukkan bahwa tindak pidana asalnya adalah pembalakan liar dan/atau hasil
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah kemudian asal-usul kayu tersebut
disembunyikan dengan adanya kegiatan berikutnya, yaitu perdagangan kayu.
dijatuhkan menurut undang-undang tersebut adalah pidana penjara, pidana denda, dan pidana
perampasan benda yang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana dan dapat dilakukan
secara akumulasi. Penjelasan Pasal 78 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
menyebutkan bahwa selain pidana penjara dan denda kepada terpidana, pelanggaran terhadap
Pasal 50 Ayat (3) huruf d juga dapat dikenakan hukuman pidana tambahan untuk perbuatan
membakar hutan.75 Karakteristik manusia berbeda dengan korporasi (hanya dapat
melakukan delik-delik tertentu) untuk itu stelsel pidana yang dapat diterapkan juga berbeda.76
Sanksi yang dapat dijatuhkan kepada korporasi adalah pidana denda, pidana tambahan dan
tindakan tata tertib.77 Dengan demikian yang mungkin dikenakan terhadap korporasi menurut
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 adalah
pidana denda, pidana tambahan dan perampasan benda. Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1990 mengklasifikasikan ancaman sanksi pidana berdasarkan bentuk tindak pidana kejahatan
dengan Pelanggaran. Kualifikasi78 tersebut
berpengaruh terhadap berat ringannya sanksi. Pada tindak pidana pelanggaran juga
diperhatikan adanya unsur kelalaian atau tidak. Perumusan sanksi menggunakan frasa
dan seolah menunjukkan sifat kumulatif, padahal berdasarkan Pasal 10 KUHP kedua sanksi
ini adalah pidana pokok sehingga tidak mungkin dijatuhkan bersamaan. Perumusan sanksi
menggunakan maksimum khusus, yakni pidana penjara paling lama adalah 10 tahun dan
pidana denda paling banyak adalah Rp 200.000.000,00 sebagaimana diatur pada Pasal 40
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990. Perbuatan yang dimaksud, yaitu: (1) Pasal
19 Ayat (1): setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan
terhadap keutuhan suaka alam; (2) Pasal 33 Ayat (1): setiap orang dilarang melakukan
kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti79 taman
nasional.
Cella Wells membagi bentuk sanksi terhadap korporasi menjadi financial Sanction dan nonfinancial sanction. Financial Sanction berkaitan dengan motif ekonomi dari tindak pidana
korporasi.80 Hal ini sejalan dengan rumusan Pasal 109 Ayat (5) yang menyatakan bahwa
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda (financial
sanction). Sebagai pidana yang tertua di dunia setelah pidana mati,81 awalnya pembentuk
undang-undang menghendaki agar pidana denda itu hanya dijatuhkan bagi pelaku tindak
pidana ringan.82 Namun, saat ini tindak pidana korporasi tidak lagi dapat dikatakan sebagai
tindak pidana ringan.83
berpengaruh terhadap berat ringannya sanksi. Pada tindak pidana pelanggaran juga
diperhatikan adanya unsur kelalaian atau tidak. Perumusan sanksi menggunakan frasa
dan seolah menunjukkan sifat kumulatif, padahal berdasarkan Pasal 10 KUHP kedua sanksi
ini adalah pidana pokok sehingga tidak mungkin dijatuhkan bersamaan. Perumusan sanksi
menggunakan maksimum khusus, yakni pidana penjara paling lama adalah 10 tahun dan
pidana denda paling banyak adalah Rp 200.000.000,00 sebagaimana diatur pada Pasal 40
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990. Perbuatan yang dimaksud, yaitu: (1) Pasal
19 Ayat (1): setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan
terhadap keutuhan suaka alam; (2) Pasal 33 Ayat (1): setiap orang dilarang melakukan
kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti79 taman
nasional.
Cella Wells membagi bentuk sanksi terhadap korporasi menjadi financial Sanction dan nonfinancial sanction. Financial Sanction berkaitan dengan motif ekonomi dari tindak pidana
korporasi.80 Hal ini sejalan dengan rumusan Pasal 109 Ayat (5) yang menyatakan bahwa
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda (financial
sanction). Sebagai pidana yang tertua di dunia setelah pidana mati,81 awalnya pembentuk
undang-undang menghendaki agar pidana denda itu hanya dijatuhkan bagi pelaku tindak
pidana ringan.82 Namun, saat ini tindak pidana korporasi tidak lagi dapat dikatakan sebagai
tindak pidana ringan.83
Pidana denda (ekonomis) relevan dengan pendapat Barda Nawawi Arief bahwa dalam
mengoperasionalkan sanksi dalam tindak pidana ekonomi seyogyanya tidak semata-mata
diutamakan pada pemberatan pidana pokok, tetapi juga pada upaya mengefektifkan
pengoperasionalisasikan jenis-jenis sanksi pidana yang bersifat ekonomis dan administratif.84
Pidana denda objeknya adalah harta benda yang berbentuk uang (memiliki nilai ekonomis)
sehingga perkembangan ekonomi dan lalu lintas uang akan sangat berpengaruh pada
efektifitas pidana denda ini. Hal ini karena suatu jumlah yang telah ditetapkan dalam undangundang akan bersifat relatif karena inflasi sehingga sebenarnya perlu perumusan yang tidak
terlalu kaku dalam suatu undang-undang.85
Penggunaan analisis ekonomi atas hukum pidana (economic analysis of criminal law)
merupakan suatu wacana quo vadis yang diperbincangkan banyak kalangan. Menurut Posner
ada dua prinsip utama analisis ekonomi atas hukum, yaitu prinsip rasionalitas dan efisiensi.86
Jadi, pengancaman pidana denda menurut analisis ekonomi87atas hukum bukan terletak pada
tingginya ancaman pidana denda88 dan tidak dirumuskan secara eksplisit jumlah denda yang
harus dibayar oleh pelaku, tetapi cukup dengan mengkalilipatkan pidana denda sesuai dengan
keuntungan yang diperoleh pelaku. Semakin banyak keuntungan pelaku dari melakukan
tindak pidana semakin tinggi denda yang harus dibayar. Asumsinya, gradasi hukuman
melebihi gradasi keseriusan tindak pidana.89
Efektifitas pidana denda secara umum menurut Munir Fuady dipengaruhi oleh beberapa
kelemahan:90 (1) Korporasi akan menjadikan pengeluaran dana untuk denda ini sebagai pos
pengeluaran biasa (cost of business) dari korporasi tersebut; dan (2) Jika denda dianggap
sudah terlalu membebankan, korporasi dapat mengajukan dirinya untuk dipailitkan. Untuk itu
maka spesifikasi dan mekanisme penjatuhan pidana denda perlu diperhatikan dan dilakukan
dengan hati-hati karena seperti dikatakan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief, dalam
pelaksanaan pidana denda perlu mempertimbangkan:91 (1) sistem penetapan jumlah atau
besarnya pidana denda; (2) batas waktu pelaksanaan pembayaran denda; (3) tindakantindakan paksaan yang diharapkan dapat menjamin terlaksananya denda pembayaran denda
dalam hal terpidana tidak dapat membayar dalam batas waktu yang ditetapkan; (4)
pelaksanaan pidana denda dalam hal-hal khusus (misalnya, terhadap seorang anak yang
masih belum dewasa dan masih dalam tanggungan orang tua); (5) pedoman atau kriteria
untuk menjatuhkan pidana denda.
Tindakan berarti pemberian suatu hukuman yang sifatnya tidak menderitakan, tetapi
mendidik dan mengayomi, tujuannya mengamankan masyarakat dan memperbaiki
terpidana.92 Sanksi tindakan banyak tersebar di luar KUHP dan variatif, seperti pencabutan
surat izin mengemudi, latihan kerja, rehabilitasi dan sebagainya. Sanksi tindakan didominasi
oleh fungsi prevensi khusus walaupun dalam praktik tindakan sering juga menimbulkan
derita terhadap pihak yang terkena. Pada prinsipnya tindakan berwujud sebagai suatu
perlakuan (behandeling/treatment) yang dijatuhkan hakim dalam vonis di samping atau
sebagai pengganti pidana.93 Artinya, sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif, bukan reaktif
terhadap pelaku tindak pidana yang berbasis pada filsafat determinisme dalam ragam bentuk
sanksi yang dinamis (open system) dan spesifikasi non penderitaan atau perampasan
kemerdekaan, dengan tujuan untuk memulihkan keadaan tertentu bagi pelaku maupun korban
baik perseorangan, badan hukum.94
Frasa dijatuhi pidana tambahan berupa penutupan pada Pasal 109 Ayat (6)95 UndangUndang Nomor 18 Tahun 2013 seolah menunjukkan bahwa penutupan seluruh atau
sebagian korporasi merupakan bagian dari pidana tambahan. Perbedaan pendapat antara
pakar hukum pidana pun terjadi yakni apakah itu termasuk pidana tambahan ataukah
termasuk sanksi tindakan. Hal ini karena kedua jenis sanksi tersebut memiliki kedudukan
yang sama dalam sistem hukum pidana.96
Menurut Mahrus Ali penutupan korporasi merupakan sanksi tindakan yang sangat ampuh
untuk menanggulangi kejahatan korporasi khususnya di bidang lingkungan hidup karena di
dalamnya terdapat unsur kontrol eksternal dan ekses pamor di mata publik. Keduanya
mengandung dimensi penal dan non penal, yakni pengawasan dan rasa malu. Kontrol publik
berkaitan dengan teori reintegrative shaming, dimana masyarakat yang angka kejahatannya
tinggi dinilai berdasarkan efektif tidaknya warganya dalam mencela kejahatan. Prinsip ini
berkaitan dengan kualitas moral, yaitu efek rasa malu terkait dengan ketidaksetujuan sosial.97
Penutupan perusahaan dilakukan berdasarkan keputusan hakim setelah mempertimbangkan
banyak hal, seperti jangan sampai menimbulkan ekses yang lebih besar lagi misalnya:
karyawan perusahaan yang jadi tidak bekerja. Hal ini berkaitan dengan jangka waktu
penutupan perusahaan juga tidak ditentukan secara limitatif.
Frasa penutupan perusahaan ini juga diatur pada Pasal 47 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pernah98 sebagai tindakan tata tertib99.
Penutupan perusahaan menurut Muladi dan Dwidja Priyatno merupakan perluasan dari
pidana tambahan pencabutan hak yang berarti pencabutan hak/izin berusaha.100 Ini sejalan
dengan Penjelasan Pasal 91 Ayat (2) RKUHP Tahun 2012 bahwa terpidana korporasi dapat
dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan hak yang diperoleh korporasi, misalnya hak
untuk melakukan kegiatan dalam bidang usaha tertentu. Pasal 119 Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009 juga merumuskan penutupan perusahaan, tetapi tidak jelas apakah itu
pidana tambahan atau tindakan 101.
Secara teoritis antara pidana dan tindakan sulit untuk ditentukan dengan pasti karena pidana
dalam banyak hal juga bertujuan melindungi dan memperbaiki.102 Namun menurut M.
Sholehuddin dalam tataran formulatif masih terdapat ketidakjelasan dalam membedakan jenis
sanksi, khususnya pidana tambahan dengan sanksi tindakan sehingga bentuk-bentuk dari
sanksi tindakan sering ditempatkan sebagai sanksi pidana (tambahan), dan begitu pula
sebaliknya,103 padahal keduanya seharusnya didudukkan secara mandiri karena filsafat dan
tujuannya pun berbeda secara mendasar.104
Menurut Jan Remmelink pidana tambahan memang sering mempunyai karakter tindakan.
Misalnya pidana tambahan berupa pencabutan sejumlah hak tertentu dimana sebagian derita
yang langsung dirasakan terpidana dan sekaligus bertujuan melindungi masyarakat tertentu,
seperti pencabutan hak untuk menjadi anggota angkatan bersenjata atau melaksanakan hak
dipilih atau memilih. Pidana lebih menutup kemungkinan terpidana menjadi anggota
angkatan bersenjata atau lolos kualifikasi sebagai pemilih atau wakil rakyat daripada
mengenakan derita yang langsung dirasakan terpidana.105
Pasal 109 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tidak menyebutkan batasan waktu
penutupan perusahaan sehingga bisa saja untuk sementara atau bisa untuk selamanya.
Akibatnya, penafsiran penutupan perusahaan sebagai pidana tambahan dalam tataran
teoritis cukup lemah. Apabila disandingkan dengan pendapat Muladi dan Dwidja Priyatno
yang mengartikan penutupan perusahaan sebagai pencabutan hak, maka seperti dikatakan
oleh Mohammad Ekaputra bahwa pencabutan hak dalam arti pidana tambahan pada dasarnya
adalah untuk batas waktu tertentu dan tidak untuk selamanya.106
Konsekuensi dari keragaman pemahaman itu adalah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013
menganut sistem pidana dua jalur (double track system)107 apabila penutupan perusahaan
dianggap sebagai sanksi tindakan108 dan sebaliknya jika itu adalah pidana tambahan, maka
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tidak menganut sistem pidana dua jalur (double
track system).
Tafsir otentik korporasi menurut Pasal 1 angka 24 lebih luas dari pengertian
perusahaan yang dirumuskan di Pasal 109 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2013, sementara itu tidak ada tafsir otentik terhadap perusahaan. Akibatnya terjadi
inkonsistensi redaksi subjek tindak pidana perusakan hutan yang lebih lanjut memungkinkan
Pada bagian tertentu sanksi administratif serupa dengan hukum pidana, yakni memiliki tujuan
punitif109. Sanksi ini berkehendak untuk mengenakan derita atau azab kepada pelanggar
sehingga unsur kesalahan menjadi sangat penting. Sanksi administratif mempunyai fungsi
instrumental, yaitu pengendalian perbuatan terlarang, di samping itu sanksi administratif
terutama ditujukan kepada perlindungan kepentingan yang dijaga oleh ketentuan yang
dilanggar tersebut sehingga pada dasarnya bertujuan untuk mengakhiri secara langsung
perbuatan yang terlarang110 Sanksi administratif dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2013 adalah:
Selain dikenai sanksi pidana, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 huruf a, huruf b. huruf c, Pasal 17 Ayat (1) huruf b, huruf c, huruf e, dan Pasal 17
Ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf e yang dilakukan oleh badan hukum atau korporasi
dikenai sanksi administratif berupa:
Paksaan pemerintah111;
Uang paksa112 dan/atau
Pencabutan izin
Sanksi administratif bagi korporasi memang tidak dapat dikomparasikan dengan sanksi
pidana dari segi berat ringannya hukuman karena parameter yang digunakan keduanya juga
berbeda, namun menurut Jan Remmelink terlepas dari tujuan-tujuan yang hendak dicapainya,
sanksi administratif itu lebih ringan daripada sanksi pidana. Karena setidaknya dalam sanksi
administratif tidak akan ditemui pidana penjara dan kurungan (penahanan). Kendati demikian
keduanya memiliki denda (yang bersifat finansial), tetapi unsur pencelaan terhadap perbuatan
yang bersumber bagi lahirnya denda dari kedua sanksi tersebut juga tetap berbeda. Artinya
denda yang bersumber dari pidana merupakan perbuatan dengan unsur kriminalitas yang
lebih tinggi daripada pelanggaran norma administrasi.113
Pasal 18 Ayat (1) mendukung pernyataan Koesnadi Hardjasoemantri bahwa seseorang yang
tidak melakukan ketentuan sebagaimana tercantum dalam izin, dikenakan
sanksi administrasi yang diberikan oleh instansi yang berwenang.114 Izin merupakan
instrumen yuridis yang digunakan pemerintah untuk memengaruhi warga agar mengikuti cara
yang dianjurkannya guna mencapai suatu tujuan konkret. Keragaman peristiwa konkret
menyebabkan keragaman pula dari tujuan izin ini.115
Selain jenis-jenis sanksi di atas (pidana denda, tindakan dan sanksi administratif), menurut
Pasal 108 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 ada juga sanksi uang pengganti. Dasar
pengganti kerugian negara adalah karena kerusakan hutan akibat pembalakan liar ataupun
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. Namun, menjadi tidak rasional jika sanksi uang
pengganti diancamkan kepada korporasi karena menurut Pasal 108 Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2013 apabila uang pengganti tidak terpenuhi, maka terdakwa dapat dihukum
penjara. Artinya, dalam kondisi tertentu pidana badan dapat diterapkan terhadap korporasi,
namun tidaklah memungkinkan korporasi dijatuhi pidana penjara.