Anda di halaman 1dari 21

BAB II

PEMBAHASAN
A.

Penanganan Tindak Pidana Penebangan Hutan Yang Dilakukan


oleh Korporasi
Hutan merupakan salah satu bagian tidak terlepaskan oleh kehidupan manusia, begitu
juga yang terjadi di Indonesia hasil hutan sangatlah beragam dan besar. Diharapkan
pemanfaatan hasil hutan dapat dipergunakan untuk kesejahteraan dari segi ekonomi maupun
social masyarkat. Hasil hutan yang salah satunya adalah kayu merupakan kekayaan alam
yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar dan UU Pokok Agraria sebagaimana
disebutkan bahwa Bumi dan Air dan Kekayaan Alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara dan dpergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pengakuan perlindungan tersebut didukung oleh berbagai peraturan dan perundangundanganyang berlaku.
Dalam pemanfaatan hasil hutan (kayu ) banyak dilakukan oleh korporasi, korporasi yang
pada dasarnya adalah memiliki sifat ekonomi yang didalamnya mengandung
perhitunganuntung rugi. Dengan sifat yang dimiliki perusahaan yang hanya mengejar
keuntungan tersebut berdampak buruk bagi pengelolaan hasil hutan. Pada dasarnya
penannganan pengelolaan hutan yang dilakukan korporasi sudah diatur dalam (UU No.18
Tahun 2013 Tentang pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan UU No.
41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan )
Penanganan yang dilakukan adalah mencakup pencegahan dan pemberantasan dua hal ini
merupakan penangan yang dilakukan oleh pemerintah untuk menangani tindak pidana yang
dilakukan oleh subjek hukum baik individu maupun perorangan
a.

Pencegahan
Pasal 5
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah berkewajiban melakukan
pencegahan perusakan hutan.

Pasal 6

Dalam rangka pencegahan perusakan hutan, Pemerintah membuat


kebijakan berupa:

koordinasi lintas sektor dalam pencegahan dan pemberantasan


perusakan hutan;

pemenuhan kebutuhan sumber daya aparatur pengamanan hutan;

insentif bagi para pihak yang berjasa dalam menjaga kelestarian


hutan;

peta penunjukan kawasan hutan dan/atau koordinat geografis


sebagai dasar yuridis batas kawasan hutan; dan

pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pencegahan dan


pemberantasan perusakan hutan.

Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan


kewenangannya menetapkan sumber kayu alternatif dengan
mendorong pengembangan hutan tanaman yang produktif dan
teknologi pengolahan.

Selain membuat kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),


upaya pencegahan perusakan hutan dilakukan melalui
penghilangan kesempatan dengan meningkatkan peran serta
masyarakat.

Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan sumber kayu


alternatif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
Peraturan Menteri.

Pasal 7

Pencegahan perusakan hutan dilakukan oleh masyarakat, badan


hukum, dan/atau korporasi yang memperoleh izin pemanfaatan
hutan.
b.

Pengawasan

Pasal 8
Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban melakukan pemberantasan perusakan
hutan.
Pemberantasan perusakan hutan dilakukan dengan cara menindak
secara hukum pelaku perusakan hutan, baik langsung, tidak
langsung, maupun yang terkait lainnya.

Tindakan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2)


meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
di sidang pengadilan.

Pasal 9

Penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang


pengadilan dalam perkara tindak pidana perusakan hutan
dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

Pasal 10

Perkara perusakan hutan harus didahulukan dari perkara lain


untuk diajukan ke sidang pengadilan guna penyelesaian
secepatnya.

Bagian Kedua

Ketentuan Perbuatan Perusakan Hutan

Pasal 11

Perbuatan perusakan hutan sebagaimana dimaksud dalam


Undang-Undang ini meliputi kegiatan pembalakan liar dan/atau
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang dilakukan
secara terorganisasi.

Perbuatan perusakan hutan secara terorganisasi merupakan


kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur,
yang terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih, dan yang bertindak
secara bersama-sama pada waktu tertentu dengan tujuan
melakukan perusakan hutan.

Kelompok terstruktur sebagaimana dimaksud pada ayat

tidak termasuk kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di


dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan
perladangan tradisional dan/atau melakukan penebangan kayu di
luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan
sendiri dan tidak untuk tujuan komersial.
Masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar
kawasan hutan yang melakukan penebangan kayu di luar kawasan
hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri dan
tidak untuk tujuan komersial harus mendapat izin dari pejabat
yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Ketentuan mengenai penebangan kayu di luar kawasan hutan


konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri dan tidak
untuk tujuan komersial diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 12

Setiap orang dilarang:

melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak


sesuai dengan izin pemanfaatan hutan;

melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa


memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang;

melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak


sah;

memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai,


dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin;

mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang


tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil
hutan;

membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang,


memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa
izin pejabat yang berwenang;

membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim


atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan
di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;

memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil


pembalakan liar;
mengedarkan kayu hasil pembalakan liar melalui darat, perairan,
atau udara;

menyelundupkan kayu yang berasal dari atau masuk ke wilayah


Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui sungai, darat, laut,
atau udara;

menerima, membeli, menjual, menerima tukar, menerima titipan,


dan/atau memiliki hasil hutan yang diketahui berasal dari
pembalakan liar;

membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil hutan kayu yang


berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara
tidak sah; dan/atau

menerima, menjual, menerima tukar, menerima titipan,


menyimpan, dan/atau memiliki hasil hutan kayu yang berasal dari
kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah.

Pasal 13

Penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c merupakan
penebangan pohon yang dilakukan dalam kawasan hutan dengan
radius atau jarak sampai dengan:

500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;

200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di
daerah rawa;

100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai;

50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai;

2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; dan/atau

130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang
terendah dari tepi pantai.

Penebangan pohon yang dilakukan dalam kawasan hutan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikecualikan untuk
kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat
dihindari dengan mendapat izin khusus dari Menteri.
Pasal 14

Setiap orang dilarang:

memalsukan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu; dan/atau

menggunakan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu yang


palsu.

Pasal 15

Setiap orang dilarang melakukan penyalahgunaan dokumen


angkutan hasil hutan kayu yang diterbitkan oleh pejabat yang
berwenang.

Pasal 16

Setiap orang yang melakukan pengangkutan kayu hasil hutan


wajib memiliki dokumen yang merupakan surat keterangan
sahnya hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Pasal 17

Setiap orang dilarang:

membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lain yang lazim atau


patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan
penambangan dan/atau mengangkut hasil tambang di dalam
kawasan hutan tanpa izin Menteri;

melakukan kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa


izin Menteri;

mengangkut dan/atau menerima titipan hasil tambang yang


berasal dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa
izin;

menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil


tambang yang berasal dari kegiatan penambangan di dalam
kawasan hutan tanpa izin; dan/atau

membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil tambang dari


kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin.

Setiap orang dilarang:

membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim


atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan
perkebunan dan/atau mengangkut hasil kebun di dalam kawasan
hutan tanpa izin Menteri;

melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin Menteri di dalam


kawasan hutan;

mengangkut dan/atau menerima titipan hasil perkebunan yang


berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa
izin;

menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil


perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam
kawasan hutan tanpa izin; dan/atau

membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil kebun dari


perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam
kawasan hutan tanpa izin.

Pasal 18

Selain dikenai sanksi pidana, pelanggaran terhadap ketentuan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, huruf b, huruf c,
Pasal 17 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf e, dan Pasal 17 ayat (2)
huruf b, huruf c, dan huruf e yang dilakukan oleh badan hukum
atau korporasi dikenai sanksi administratif berupa:

paksaan pemerintah;

uang paksa; dan/atau

pencabutan izin.

Ketentuan mengenai mekanisme dan tata cara penerapan sanksi


administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Setiap orang yang berada di dalam atau di luar wilayah Indonesia
dilarang:

menyuruh, mengorganisasi, atau menggerakkan pembalakan liar


dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah;

ikut serta melakukan atau membantu terjadinya pembalakan liar


dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah;

melakukan permufakatan jahat untuk melakukan pembalakan liar


dan/ atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah;

mendanai pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan


secara tidak sah secara langsung atau tidak langsung;

menggunakan dana yang diduga berasal dari hasil pembalakan


liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah;

mengubah status kayu hasil pembalakan liar dan/ atau hasil


penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, seolah-olah menjadi
kayu yang sah, atau hasil penggunaan kawasan hutan yang sah
untuk dijual kepada pihak ketiga, baik di dalam maupun di luar
negeri;

memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dengan mengubah


bentuk, ukuran, termasuk pemanfaatan limbahnya;

menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan,


menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar
negeri, dan/atau menukarkan uang atau surat berharga lainnya
serta harta kekayaan lainnya yang diketahuinya atau patut diduga
merupakan hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan
kawasan hutan secara tidak sah; dan/atau

menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta yang


diketahui atau patut diduga berasal dari hasil pembalakan liar

dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah


sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.

Pasal 20

Setiap orang dilarang mencegah, merintangi, dan/atau


menggagalkan secara langsung maupun tidak langsung upaya
pemberantasan pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan
secara tidak sah.

Pasal 21

Setiap orang dilarang memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar


dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang berasal
dari hutan konservasi.

Pasal 22

Setiap orang dilarang menghalang-halangi dan/atau


menggagalkan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, atau
pemeriksaan di sidang pengadilan tindak pidana pembalakan liar
dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.

Pasal 23

Setiap orang dilarang melakukan intimidasi dan/atau ancaman


terhadap keselamatan petugas yang melakukan pencegahan dan
pemberantasan pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan
secara tidak sah.

Pasal 24

Setiap orang dilarang:

memalsukan surat izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau


penggunaan kawasan hutan;

menggunakan surat izin palsu pemanfaatan hasil hutan kayu


dan/atau penggunaan kawasan hutan; dan/atau

memindahtangankan atau menjual izin yang dikeluarkan oleh


pejabat yang berwenang kecuali dengan persetujuan Menteri.

Pasal 25

Setiap orang dilarang merusak sarana dan prasarana pelindungan


hutan.

Pasal 26

Setiap orang dilarang merusak, memindahkan, atau menghilangkan pal batas luar kawasan
hutan, batas fungsi kawasan hutan, atau batas kawasan hutan yang berimpit dengan batas
negara yang mengakibatkan perubahan bentuk dan/atau luasan kawasan hutan.

Pasal 27

Setiap pejabat yang mengetahui terjadinya perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12,
13, 14, 15, 16, 17, dan 19 wajib melakukan tindakan sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 28

Setiap pejabat dilarang:

menerbitkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan di dalam
kawasan hutan yang tidak sesuai dengan kewenangannya;

menerbitkan izin pemanfaatan di dalam kawasan hutan dan/atau izin penggunaan kawasan
hutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

melindungi pelaku pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah;

ikut serta atau membantu kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan
secara tidak sah;

melakukan permufakatan untuk terjadinya pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan


hutan secara tidak sah;

menerbitkan surat keterangan sahnya hasil hutan tanpa hak;

dengan sengaja melakukan pembiaran dalam melaksanakan tugas; dan/atau

lalai dalam melaksanakan tugas.

B. Sanksi Pidana Korporasi dalam tindak pidana penebangan hutan


Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 201365, secara garis besar terdapat tiga
jenis sanksi yang dapat diterapkan terhadap korporasi yaitu:

1. Sanksi Pidana

Sanksi pidana diatur pada Pasal 82 sampai dengan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2013 yang dirumuskan dengan metode fix model66 yakni menentukan minimum khusus
dan maksimum khusus sanksi pidananya. Sanksi minimum khusus paling ringan diatur pada
Pasal 84 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013, yaitu denda paling sedikit Rp
2.000.000.000,00 dan penjara paling singkat 2 tahun.

Korporasi yang membawa alat-alat67 yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau
membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf f dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Maksud pasal ini adalah untuk mencegah perbuatan yang mengarah kepada tindakan
memanfaatkan hutan tanpa izin. Sifat tindakan pencegahan ini yang mengakibatkan sanksi
minimum khusus diterapkan kepada korporasi. Sanksi maksimum khusus paling berat adalah
pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000.000 dan penjara paling lama seumur hidup,
yaitu:

a. Pasal 94 Ayat (2)68


Tendensinya lebih kepada tindakan atau yang berhubungan dengan pembalakan liar, namun
ada yang menarik (pada huruf d) yakni terkait dengan pengubahan status kayu pada Pasal 94
Ayat (2) huruf d konsepnya hampir sama dengan konsep pencucian uang. Hal ini karena
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 pada Pasal 66 Ayat (1) juga ada menyebut istilah
pencucian kayu (logging loundry)69, hanya saja tidak ada satu frasa pun yang menyatakan
apa yang dimaksud dengan pencucian kayu.

Makna seolah-olah menjadi sah70 dapat dipersepsikan sebagai tindakan pencucian.

Tindakan Pencucian Uang tidak mengakibatkan uang yang berasal dari sumber yang haram
menjadi sah atau diputihkan dan pencucian uang selalu identik dengan adanya tindak
pidana asal (predicate crime).71 Pencucian kayu menurut Pasal 19 huruf f Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2013 memuat unsur:(1) Mengubah status secara tidak sah; (2) Seolah-olah
menjadi kayu sah; (3) Untuk dijual kepada pihak ketiga. Frasa mengubah status secara tidak
sah menunjukkan bahwa tindak pidana asalnya adalah pembalakan liar dan/atau hasil
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah kemudian asal-usul kayu tersebut
disembunyikan dengan adanya kegiatan berikutnya, yaitu perdagangan kayu.

Pencucian uang sebagai extraordinary crime diantaranya karena pengaruhnya terhadap


perekonomian secara umum dan kedudukannya terhadap tindak pidana lainnya.72 Artinya,
pemikiran inilah yang menjadi dasar pengancaman perbuatan pencucian kayu dengan pidana
maksimum khusus tertinggi.

Pasal 95 Ayat (3)73


Pasal 95 Ayat (3) tersebut merupakan perbuatan yang berkenaan dengan pembalakan liar dan
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang dalam kondisi tertentu dapat berhubungan
dengan pencucian kayu.

c. Pasal 99 Ayat (3)74


Pasal 99 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 hanyalah terkait dengan
penggunaan dana yang berasal dari kegiatan penggunaan kawasan hutan secara yang tidak
sah. Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013, Pasal 78 Ayat (14) UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tidak
merumuskan Tindak Pidana Perusakan Hutan secara terperinci dan terpisah (redaksinya
sanksi hanya untuk korporasi diperberat 1/3 dari manusia). Jenis pidana yang dapat

dijatuhkan menurut undang-undang tersebut adalah pidana penjara, pidana denda, dan pidana
perampasan benda yang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana dan dapat dilakukan
secara akumulasi. Penjelasan Pasal 78 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
menyebutkan bahwa selain pidana penjara dan denda kepada terpidana, pelanggaran terhadap
Pasal 50 Ayat (3) huruf d juga dapat dikenakan hukuman pidana tambahan untuk perbuatan
membakar hutan.75 Karakteristik manusia berbeda dengan korporasi (hanya dapat
melakukan delik-delik tertentu) untuk itu stelsel pidana yang dapat diterapkan juga berbeda.76
Sanksi yang dapat dijatuhkan kepada korporasi adalah pidana denda, pidana tambahan dan
tindakan tata tertib.77 Dengan demikian yang mungkin dikenakan terhadap korporasi menurut
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 adalah
pidana denda, pidana tambahan dan perampasan benda. Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1990 mengklasifikasikan ancaman sanksi pidana berdasarkan bentuk tindak pidana kejahatan
dengan Pelanggaran. Kualifikasi78 tersebut
berpengaruh terhadap berat ringannya sanksi. Pada tindak pidana pelanggaran juga
diperhatikan adanya unsur kelalaian atau tidak. Perumusan sanksi menggunakan frasa
dan seolah menunjukkan sifat kumulatif, padahal berdasarkan Pasal 10 KUHP kedua sanksi
ini adalah pidana pokok sehingga tidak mungkin dijatuhkan bersamaan. Perumusan sanksi
menggunakan maksimum khusus, yakni pidana penjara paling lama adalah 10 tahun dan
pidana denda paling banyak adalah Rp 200.000.000,00 sebagaimana diatur pada Pasal 40
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990. Perbuatan yang dimaksud, yaitu: (1) Pasal

19 Ayat (1): setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan
terhadap keutuhan suaka alam; (2) Pasal 33 Ayat (1): setiap orang dilarang melakukan
kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti79 taman
nasional.

Cella Wells membagi bentuk sanksi terhadap korporasi menjadi financial Sanction dan nonfinancial sanction. Financial Sanction berkaitan dengan motif ekonomi dari tindak pidana
korporasi.80 Hal ini sejalan dengan rumusan Pasal 109 Ayat (5) yang menyatakan bahwa
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda (financial
sanction). Sebagai pidana yang tertua di dunia setelah pidana mati,81 awalnya pembentuk
undang-undang menghendaki agar pidana denda itu hanya dijatuhkan bagi pelaku tindak
pidana ringan.82 Namun, saat ini tindak pidana korporasi tidak lagi dapat dikatakan sebagai
tindak pidana ringan.83
berpengaruh terhadap berat ringannya sanksi. Pada tindak pidana pelanggaran juga
diperhatikan adanya unsur kelalaian atau tidak. Perumusan sanksi menggunakan frasa
dan seolah menunjukkan sifat kumulatif, padahal berdasarkan Pasal 10 KUHP kedua sanksi
ini adalah pidana pokok sehingga tidak mungkin dijatuhkan bersamaan. Perumusan sanksi
menggunakan maksimum khusus, yakni pidana penjara paling lama adalah 10 tahun dan

pidana denda paling banyak adalah Rp 200.000.000,00 sebagaimana diatur pada Pasal 40
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990. Perbuatan yang dimaksud, yaitu: (1) Pasal

19 Ayat (1): setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan
terhadap keutuhan suaka alam; (2) Pasal 33 Ayat (1): setiap orang dilarang melakukan
kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti79 taman
nasional.

Cella Wells membagi bentuk sanksi terhadap korporasi menjadi financial Sanction dan nonfinancial sanction. Financial Sanction berkaitan dengan motif ekonomi dari tindak pidana
korporasi.80 Hal ini sejalan dengan rumusan Pasal 109 Ayat (5) yang menyatakan bahwa
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda (financial
sanction). Sebagai pidana yang tertua di dunia setelah pidana mati,81 awalnya pembentuk
undang-undang menghendaki agar pidana denda itu hanya dijatuhkan bagi pelaku tindak
pidana ringan.82 Namun, saat ini tindak pidana korporasi tidak lagi dapat dikatakan sebagai
tindak pidana ringan.83
Pidana denda (ekonomis) relevan dengan pendapat Barda Nawawi Arief bahwa dalam
mengoperasionalkan sanksi dalam tindak pidana ekonomi seyogyanya tidak semata-mata
diutamakan pada pemberatan pidana pokok, tetapi juga pada upaya mengefektifkan
pengoperasionalisasikan jenis-jenis sanksi pidana yang bersifat ekonomis dan administratif.84
Pidana denda objeknya adalah harta benda yang berbentuk uang (memiliki nilai ekonomis)
sehingga perkembangan ekonomi dan lalu lintas uang akan sangat berpengaruh pada
efektifitas pidana denda ini. Hal ini karena suatu jumlah yang telah ditetapkan dalam undangundang akan bersifat relatif karena inflasi sehingga sebenarnya perlu perumusan yang tidak
terlalu kaku dalam suatu undang-undang.85

Penggunaan analisis ekonomi atas hukum pidana (economic analysis of criminal law)
merupakan suatu wacana quo vadis yang diperbincangkan banyak kalangan. Menurut Posner
ada dua prinsip utama analisis ekonomi atas hukum, yaitu prinsip rasionalitas dan efisiensi.86
Jadi, pengancaman pidana denda menurut analisis ekonomi87atas hukum bukan terletak pada
tingginya ancaman pidana denda88 dan tidak dirumuskan secara eksplisit jumlah denda yang
harus dibayar oleh pelaku, tetapi cukup dengan mengkalilipatkan pidana denda sesuai dengan
keuntungan yang diperoleh pelaku. Semakin banyak keuntungan pelaku dari melakukan
tindak pidana semakin tinggi denda yang harus dibayar. Asumsinya, gradasi hukuman
melebihi gradasi keseriusan tindak pidana.89

Efektifitas pidana denda secara umum menurut Munir Fuady dipengaruhi oleh beberapa
kelemahan:90 (1) Korporasi akan menjadikan pengeluaran dana untuk denda ini sebagai pos

pengeluaran biasa (cost of business) dari korporasi tersebut; dan (2) Jika denda dianggap
sudah terlalu membebankan, korporasi dapat mengajukan dirinya untuk dipailitkan. Untuk itu
maka spesifikasi dan mekanisme penjatuhan pidana denda perlu diperhatikan dan dilakukan
dengan hati-hati karena seperti dikatakan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief, dalam
pelaksanaan pidana denda perlu mempertimbangkan:91 (1) sistem penetapan jumlah atau
besarnya pidana denda; (2) batas waktu pelaksanaan pembayaran denda; (3) tindakantindakan paksaan yang diharapkan dapat menjamin terlaksananya denda pembayaran denda
dalam hal terpidana tidak dapat membayar dalam batas waktu yang ditetapkan; (4)
pelaksanaan pidana denda dalam hal-hal khusus (misalnya, terhadap seorang anak yang
masih belum dewasa dan masih dalam tanggungan orang tua); (5) pedoman atau kriteria
untuk menjatuhkan pidana denda.

2. Sanksi Tindakan (Maatregel)

Tindakan berarti pemberian suatu hukuman yang sifatnya tidak menderitakan, tetapi
mendidik dan mengayomi, tujuannya mengamankan masyarakat dan memperbaiki
terpidana.92 Sanksi tindakan banyak tersebar di luar KUHP dan variatif, seperti pencabutan
surat izin mengemudi, latihan kerja, rehabilitasi dan sebagainya. Sanksi tindakan didominasi
oleh fungsi prevensi khusus walaupun dalam praktik tindakan sering juga menimbulkan
derita terhadap pihak yang terkena. Pada prinsipnya tindakan berwujud sebagai suatu
perlakuan (behandeling/treatment) yang dijatuhkan hakim dalam vonis di samping atau
sebagai pengganti pidana.93 Artinya, sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif, bukan reaktif
terhadap pelaku tindak pidana yang berbasis pada filsafat determinisme dalam ragam bentuk
sanksi yang dinamis (open system) dan spesifikasi non penderitaan atau perampasan
kemerdekaan, dengan tujuan untuk memulihkan keadaan tertentu bagi pelaku maupun korban
baik perseorangan, badan hukum.94

Frasa dijatuhi pidana tambahan berupa penutupan pada Pasal 109 Ayat (6)95 UndangUndang Nomor 18 Tahun 2013 seolah menunjukkan bahwa penutupan seluruh atau
sebagian korporasi merupakan bagian dari pidana tambahan. Perbedaan pendapat antara
pakar hukum pidana pun terjadi yakni apakah itu termasuk pidana tambahan ataukah
termasuk sanksi tindakan. Hal ini karena kedua jenis sanksi tersebut memiliki kedudukan
yang sama dalam sistem hukum pidana.96

Menurut Mahrus Ali penutupan korporasi merupakan sanksi tindakan yang sangat ampuh
untuk menanggulangi kejahatan korporasi khususnya di bidang lingkungan hidup karena di
dalamnya terdapat unsur kontrol eksternal dan ekses pamor di mata publik. Keduanya
mengandung dimensi penal dan non penal, yakni pengawasan dan rasa malu. Kontrol publik

berkaitan dengan teori reintegrative shaming, dimana masyarakat yang angka kejahatannya
tinggi dinilai berdasarkan efektif tidaknya warganya dalam mencela kejahatan. Prinsip ini
berkaitan dengan kualitas moral, yaitu efek rasa malu terkait dengan ketidaksetujuan sosial.97
Penutupan perusahaan dilakukan berdasarkan keputusan hakim setelah mempertimbangkan
banyak hal, seperti jangan sampai menimbulkan ekses yang lebih besar lagi misalnya:
karyawan perusahaan yang jadi tidak bekerja. Hal ini berkaitan dengan jangka waktu
penutupan perusahaan juga tidak ditentukan secara limitatif.

Frasa penutupan perusahaan ini juga diatur pada Pasal 47 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pernah98 sebagai tindakan tata tertib99.
Penutupan perusahaan menurut Muladi dan Dwidja Priyatno merupakan perluasan dari
pidana tambahan pencabutan hak yang berarti pencabutan hak/izin berusaha.100 Ini sejalan
dengan Penjelasan Pasal 91 Ayat (2) RKUHP Tahun 2012 bahwa terpidana korporasi dapat
dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan hak yang diperoleh korporasi, misalnya hak
untuk melakukan kegiatan dalam bidang usaha tertentu. Pasal 119 Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009 juga merumuskan penutupan perusahaan, tetapi tidak jelas apakah itu
pidana tambahan atau tindakan 101.

Secara teoritis antara pidana dan tindakan sulit untuk ditentukan dengan pasti karena pidana
dalam banyak hal juga bertujuan melindungi dan memperbaiki.102 Namun menurut M.
Sholehuddin dalam tataran formulatif masih terdapat ketidakjelasan dalam membedakan jenis
sanksi, khususnya pidana tambahan dengan sanksi tindakan sehingga bentuk-bentuk dari
sanksi tindakan sering ditempatkan sebagai sanksi pidana (tambahan), dan begitu pula
sebaliknya,103 padahal keduanya seharusnya didudukkan secara mandiri karena filsafat dan
tujuannya pun berbeda secara mendasar.104

Menurut Jan Remmelink pidana tambahan memang sering mempunyai karakter tindakan.
Misalnya pidana tambahan berupa pencabutan sejumlah hak tertentu dimana sebagian derita
yang langsung dirasakan terpidana dan sekaligus bertujuan melindungi masyarakat tertentu,
seperti pencabutan hak untuk menjadi anggota angkatan bersenjata atau melaksanakan hak
dipilih atau memilih. Pidana lebih menutup kemungkinan terpidana menjadi anggota
angkatan bersenjata atau lolos kualifikasi sebagai pemilih atau wakil rakyat daripada
mengenakan derita yang langsung dirasakan terpidana.105

Pasal 109 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tidak menyebutkan batasan waktu
penutupan perusahaan sehingga bisa saja untuk sementara atau bisa untuk selamanya.
Akibatnya, penafsiran penutupan perusahaan sebagai pidana tambahan dalam tataran
teoritis cukup lemah. Apabila disandingkan dengan pendapat Muladi dan Dwidja Priyatno

yang mengartikan penutupan perusahaan sebagai pencabutan hak, maka seperti dikatakan
oleh Mohammad Ekaputra bahwa pencabutan hak dalam arti pidana tambahan pada dasarnya
adalah untuk batas waktu tertentu dan tidak untuk selamanya.106

Konsekuensi dari keragaman pemahaman itu adalah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013
menganut sistem pidana dua jalur (double track system)107 apabila penutupan perusahaan
dianggap sebagai sanksi tindakan108 dan sebaliknya jika itu adalah pidana tambahan, maka
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tidak menganut sistem pidana dua jalur (double
track system).

Tafsir otentik korporasi menurut Pasal 1 angka 24 lebih luas dari pengertian

perusahaan yang dirumuskan di Pasal 109 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2013, sementara itu tidak ada tafsir otentik terhadap perusahaan. Akibatnya terjadi
inkonsistensi redaksi subjek tindak pidana perusakan hutan yang lebih lanjut memungkinkan

korporasi (selain perusahaan, misalnya Organisasi Kemasyarakatan) yang tidak dapat


dimintai pertanggungjawaban sebagai subjek tindak pidana perusakan hutan.
3. Sanksi Administratif

Pada bagian tertentu sanksi administratif serupa dengan hukum pidana, yakni memiliki tujuan
punitif109. Sanksi ini berkehendak untuk mengenakan derita atau azab kepada pelanggar
sehingga unsur kesalahan menjadi sangat penting. Sanksi administratif mempunyai fungsi
instrumental, yaitu pengendalian perbuatan terlarang, di samping itu sanksi administratif
terutama ditujukan kepada perlindungan kepentingan yang dijaga oleh ketentuan yang
dilanggar tersebut sehingga pada dasarnya bertujuan untuk mengakhiri secara langsung
perbuatan yang terlarang110 Sanksi administratif dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2013 adalah:

Pasal 18 Ayat (1)

Selain dikenai sanksi pidana, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 huruf a, huruf b. huruf c, Pasal 17 Ayat (1) huruf b, huruf c, huruf e, dan Pasal 17
Ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf e yang dilakukan oleh badan hukum atau korporasi
dikenai sanksi administratif berupa:

Paksaan pemerintah111;
Uang paksa112 dan/atau
Pencabutan izin

Sanksi administratif bagi korporasi memang tidak dapat dikomparasikan dengan sanksi
pidana dari segi berat ringannya hukuman karena parameter yang digunakan keduanya juga
berbeda, namun menurut Jan Remmelink terlepas dari tujuan-tujuan yang hendak dicapainya,
sanksi administratif itu lebih ringan daripada sanksi pidana. Karena setidaknya dalam sanksi
administratif tidak akan ditemui pidana penjara dan kurungan (penahanan). Kendati demikian
keduanya memiliki denda (yang bersifat finansial), tetapi unsur pencelaan terhadap perbuatan
yang bersumber bagi lahirnya denda dari kedua sanksi tersebut juga tetap berbeda. Artinya
denda yang bersumber dari pidana merupakan perbuatan dengan unsur kriminalitas yang
lebih tinggi daripada pelanggaran norma administrasi.113

Pasal 18 Ayat (1) mendukung pernyataan Koesnadi Hardjasoemantri bahwa seseorang yang
tidak melakukan ketentuan sebagaimana tercantum dalam izin, dikenakan
sanksi administrasi yang diberikan oleh instansi yang berwenang.114 Izin merupakan
instrumen yuridis yang digunakan pemerintah untuk memengaruhi warga agar mengikuti cara
yang dianjurkannya guna mencapai suatu tujuan konkret. Keragaman peristiwa konkret
menyebabkan keragaman pula dari tujuan izin ini.115

Selain jenis-jenis sanksi di atas (pidana denda, tindakan dan sanksi administratif), menurut
Pasal 108 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 ada juga sanksi uang pengganti. Dasar
pengganti kerugian negara adalah karena kerusakan hutan akibat pembalakan liar ataupun
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. Namun, menjadi tidak rasional jika sanksi uang
pengganti diancamkan kepada korporasi karena menurut Pasal 108 Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2013 apabila uang pengganti tidak terpenuhi, maka terdakwa dapat dihukum
penjara. Artinya, dalam kondisi tertentu pidana badan dapat diterapkan terhadap korporasi,
namun tidaklah memungkinkan korporasi dijatuhi pidana penjara.

Anda mungkin juga menyukai