Anda di halaman 1dari 35

PORTOFOLIO ILMU ORTHOPAEDI

CEDERA OTAK BERAT

Oleh:
dr. Dewi Arin Setiowati

Pendamping:
dr. Jekti Wibowo

PROGRAM DOKTER INTERNSIP


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH NGANJUK
JAWA TIMUR
2016
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan karnia-Nya yang telah diberikan sehingga penyusun dapat
menyelesaikan portofolio Ilmu Penyakit Orthopaedi.
Portofolio ini disusun untuk memenuhi kewajiban dalam menjalani masa
internsip di bagian Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Nganjuk.
Pada kesempatan ini penyusun mengucapkan banyak terimakasih kepada
para pemberi materi, petugas - petugas RSUD Nganjuk, serta pihak - pihak lain
yang telah banyak membantu penyusunan portofolio ini.
Penyusun menyadari bahwa portofolio ini masih banyak kekurangan, oleh
karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik demi memperbaiki kekurangan
dan kekeliruan yang ada.
Harapan penyusun semoga portofolio ini bermanfaat bagi rekan - rekan
doketr khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Nganjuk, 26 Juli 2016

Penyusun
(dr. Dewi Arin Setiowati)

DAFTAR ISI

Kata pengantar...................................................................................................2
Daftar isi.............................................................................................................3
Bab I...................................................................................................................4
Pendahuluan.......................................................................................................4
Bab II.................................................................................................................6
Status Penderita..................................................................................................6
Identitas Penderita..............................................................................................6
Anamnesis..........................................................................................................6
Pemeriksaan Fisik..............................................................................................7
Pemeriksaan Penunjang.....................................................................................9
Resume...............................................................................................................11
Diagnosis............................................................................................................12
Differential Diagnosis........................................................................................12
Penatalaksanaan.................................................................................................12
Bab III................................................................................................................14
Pembahasan Penyakit.........................................................................................14
Definisi...............................................................................................................14
Klasifikasi..........................................................................................................14
Pemeriksaan Klinis............................................................................................21

Pemeriksaan Penunjang.....................................................................................24
Prinsip Penatalaksanaan.....................................................................................25
Komplikasi.........................................................................................................31
Daftar Pustaka....................................................................................................33

BAB I
PENDAHULUAN

Distribusi kasus cedera kepala / cedera otak terutama melibatkan


kelompok usia produktif, yaitu antara 15 44 tahun, dengan usia rata rata
sekitar tiga puluh tahun, dan lebih didominasi oleh kaum laki laki dibandingkan
kaum perempuan. Adapun penyebab yang tersering adalah kecelakaan lalu lintas (
49 % ) dan kemudian disusul dengan jatuh (terutama pada kelompok usia anak
anak).
Pada kehidupan sehari hari cedera kepala adalah tantangan umum bagi
kalangan medis untuk menghadapinya, di mana tampaknya keberlangsungan
proses patofisiologis yang diungkapkan dengan segala terobosan investigasi
diagnosik medis mutakhir cenderung bukanlah sesuatu yang sederhana. Berbagai
istilah lama seperti kromosio dan kontusio kini sudah ditingalkan dan klasifikasi
cedera kepala lebih mengarah dalam aplikasi penanganan klinis dalam mencapai
keberhasilan penanganan yang maksimal.
Cedera pada kepala dapat melibatkan seluruh struktur lapisan, mulai dari
lapisan kulit kepala atau tingkat yang paling ringan, tulang tengkorak , durameter,
vaskuler otak, sampai jaringan otak sendiri. Baik berupa luka tertutup, maupun
trauma tembus. Dengan pemahaman landasan biomekanisme-patofisiologi
terperinci dari masing masing proses di atas, yang dihadapkan dengan prosedur
penanganan cepat dan akurat, diharapkan dapat menekan morbilitas dan
mortalitasnya.
Jenis beban mekanik yang menimpa kepala sangat bervariasi dan rumit.
Pada garis besarnya dikelompokkan atas dua tipe yaitu beban statik dan beban
dinamik. Beban statik timbul perlahan lahan yang dalam hal ini tenaga tekanan
diterapkan pada kepala secara bertahap, hal ini bisa terjadi bila kepala mengalami
gencetan atau efek tekanan yang lambat dan berlangsung dalam periode waktu

yang lebih dari 200 mili detik. Dapat mengakibatkan terjadinya keretakan tulang,
fraktur multiple, atau kominutiva tengkorak atau dasar tulang tengkorak. Biasanya
koma atau defisit neurologik yang khas belum muncul, kecuali bila deformasi
tengkorak hebat sekali sehingga menimbulkan kompresi dan distorsi jaringan
otak, serta selanjutnya mengalami kerusakan yang fatal.
Mekanisme ruda paksa yang lebih umum adalah akibat beban dinamik,
dimana peristiwa ini berlangsung dalam waktu yang lebih singkat ( kurang dari
200 mili detik). Beban ini dibagi menjadi beban guncangan dan beban benturan.
Komplikasi kejadian ini dapat berupa hematoma intrakranial, yang dapat
menjadikan penderita cedera kepala derajat ringan dalam waktu yang singkat
masuk dalam suatu keadan yang gawat dan mengancam jiwanya.
Disatu pihak memang hanya sebagian saja kasus cedera kepala yang
datang kerumah sakit berlanjut menjadi hematom, tetapi dilain pihak frekuensi
hematom ini terdapat pada 75 % kasus yang datang sadar dan keluar meninggal .

BAB II
STATUS PENDERITA
A.

IDENTITAS PENDERITA
Nama

: Ny.S

Umur

: 56 tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

Alamat

: Tanjung anom

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Tanggal periksa

: 25 Juni 2016

No. Rekam Medis

: 159xxxxx

B.

ANAMNESIS
: sendiri

1.Keluhan Utama

: orang lain
: Penurunan Kesadaran

2. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien mengalami penurunan kesadaran di ruang bougenville pasca
KLL 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien sempat pingsan sesaat
ketika KLL, namun ketika di IGD RSUD Nganjuk pasien sadar baik (GCS
456). Pusing +, mual muntah +2x. Pasien naik sepeda motor dibonceng
dan tidak memakai helm. Ketika akan belok ke kanan pasien ditabrak dari
belakang. RA+.
3.

Riwayat Penyakit Dahulu :


HT+,DM-

4.

Riwayat Penyakit Keluarga:


Tidak ada keluarga yang pernah sakit seperti ini.

5.

Riwayat Pengobatan:
Belum sempat diobati di lain tempat.

C.

PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Pasien tidak sadar, kesadaran menurun GCS 125, status gizi kesan
baik.
2. Tanda Vital
Tensi

: 190/100 mmHg

Nadi

: 92 x / menit

Pernafasan

: 18 x /menit

Suhu

: 36,9 oC

BB

: 50 kg

3. Kulit
Turgor baik, ikterik (-), sianosis (-), venektasi (-), petechie (-), spider
nevi (-).
4. Kepala
Bentuk mesocephal, luka (-), rambut tidak mudah dicabut, atrofi m.
temporalis (-), makula (-), papula (-), nodula (-), mimik wajah (dbn).
Hematom regio parietal sinistra 5x5cm.
5. Mata
Conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).

Pupil isokor diameter

3mm/3mm RC +/+
6. Hidung
Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-)., snoring +
7. Mulut
Bibir pucat (-), bibir cianosis (-), gusi berdarah (-).

8. Telinga
Nyeri tekan mastoid (-), sekret (-), pendengaran berkurang (-).
9. Tenggorokan
Tonsil membesar (-), pharing hiperemis (-). Sekret (-)
10. Leher
JVP tidak meningkat, trakea ditengah, pembesaran kelenjar tiroid (-),
pembesaran kelenjar limfe (-), lesi pada kulit (-)
11. Thoraks
Normochest, simetris, pernapasan thoracoabdominal, retraksi (-),
spider nevi (-), pulsasi infrasternalis (-), sela iga melebar (-).
Cor :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tak kuat angkat
Perkusi : batas kanan atas

: ICS II PSL Dextra

batas kanan bawah

: ICS IV PSL Dextra

batas kiri bawah

:ICS VI MCLSinistra

batas kiri atas

: ICS II PSL Sinistra

Auskultasi: Bunyi jantung III intensitas normal, reguler, bising


jantung (-)
Pulmo :
Inspeksi

: pergerakan dada kanan sama dengan kiri

Palpasi

: fremitus raba kiri sama dengan kanan

Perkusi

: sonor/sonor

Auskultasi

: suara dasar vesikuler, suara tambahan (ronchi -/-,


wheezing -/-)

12. Abdomen
Inspeksi

: Normal

Palpasi

: supel, nyeri epigastrium (-), undulansi (-)

Perkusi

: timpani, shifting dullness (-)

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

13. Ektremitas
Palmar eritema (-/-)
akral hangat
Oedem
+ +
- + +
- 14. Sistem genetalia: dalam batas normal.
15. Status Neurologis
MMT: SDE
RP: BABINSKI:-/CHADDOCK:-/HOFFMANN:-/TROMNER:-/RF:BPR +2/+2
TPR +2/+2
KPR+2/+2
APR+2/+2
PEMERIKSAAN PENUNJANG

10

11

D.

RESUME

Subyektif :

Pasien mengalami penurunan kesadaran di ruang bougenville pasca


KLL 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien sempat pingsan sesaat
ketika KLL, namun ketika di IGD RSUD Nganjuk pasien sadar baik
(GCS 456). Pusing +, mual muntah +2x. Pasien naik sepeda motor
dibonceng dan tidak memakai helm. Ketika akan belok ke kanan
pasien ditabrak dari belakang. RA+. HT+.

Obyektif :
Pemeriksaan fisik yang mendukung didapatkan pada pasien ini:
-

Tensi

Hematom regio parietal sinistra 5x5cm.

Snoring +

: 190/100 mmHg, GCS 125

Pemeriksaan penunjang yang mendukung didapatkan pada pasien ini:


EDH regio frontoparietal dextra + Edema cerebri + contusio cerebri +
SAH
E.

DIAGNOSIS
COB+EDH+SAH+HT Stage 2

F.

DIFFERENTIAL DIAGNOSA
CVA

G.

PENATALAKSANAAN
1. Non Medika mentosa
-

Menjelaskan pada pasien dan keluarga bahwa terdapat cedera otak berat
dan perdarahan otak

Menjelaskan bahwa pasien perlu dirujuk

Menjelaskan pentingnya observasi intensif untuk memantau kegawatan


pasien.

12

2. Medikamentosa
Advis dr.Heru S, Sp.B
-

O2 nasal kanul 3-4lpm

Head up 30 derajat

Inf.PZ 10tpm

Inj. Ketorolac 2x30 mg

Inj. Piracetam 3x3g

Inj.Citicholin 3x250mg

Inj.Ceftriaxone 2x1g

Inj. Asam tranexamat 3x500mg

Inj. Vit.K2x1

Inj. Ondansentron 2x4mg

Inj.Ranitidin 2x50mg

Pasang kateter

CT Scan CITO bila ada perdarahan otak rujuk

13

BAB III
PEMBAHASAN PENYAKIT
3.1 Definisi
Cedera kranioserebral adalah cedera kepala dimana terjadi kerusakan
kompleks pada kulit kepala, tulang tengkorak, selaput pembungkus otak dan
jaringan otak yang disebabkan oleh kematian fisik dari luar.
3.2 Klasifikai
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis
dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan :
(1). Mekanisme
(2). Beratnya.
(3). Morfologi
(1). Mekanisme Cedera Kepala
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala
tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan
dengan kecelakaan mobil/motor, jatuh atau pukulan benda tumpul. Cedera kepala
tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan. Adanya penetrasi selaput dura
menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus atau cedera tumpul.

14

(2). Beratnya Cedera


GCS (Glasgow Coma Scale) digunakan untuk menilai secara kuantitatif
kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita
cedera kepala. Nilai GCS juga dipergunakan dalam menilai tingkat kesadaran
penderita akibat berbagai penyebab lain. Perbedaan antara penderita cedera
kepala

berat,

sedang,

ringan

cukup

jelas

apabila

dinilai

dengan

menggunakan GCS.
Ringan

: GCS 14-15

Sedang

: GCS 9-13

Berat

: GCS 3-8
Berdasarkan derajat kesadaran cedera kepala

Kategori

SKG

Gambaran klinis

Ringan
Sedang

13 15
9 12

Pingsan <10 menit, komplikasi / defisit neurologis (-)


Pingsan >10 menit s/d <6 jam, komplikasi / defisit
neurologis (+)

Berat

3-8

Pingsan >6 jam, komplikasi /defisit neurologis (+)

Hal penting dalam penilaian GCS adalah menggunakan nilai respon


motorik pada sisi yang terbaik, namun dicatat respon pada kedua sisinya.
Tabel GCS

Jenis pemeriksaan

Nilai

Respon buka mata (E)


Spontan
Terhadap suara
Terhadap nyeri
Tidak ada
Respon motorik terbaik (M)
Ikut perintah
Melokalisir nyeri
Flexi normal (menarik anggota yang dirangsang)
Flexi abnormal (dekortikasi)
Ekstensi abnormal (deserebrasi)
Tidak ada
Respon verbal (V)

15

4
3
2
1
6
5
4
3
2
1

Berorientasi baik
Berbicara mengacau (bingung)
Kata-kata tidak teratur
Suara tidak jelas
Tidak ada

5
4
3
2
1

(3). Morfologi Cedera


CT-SCAN secara dramatis merubah klasifikasi dari cedera kepala dan
penatalaksaannya Bedasarkan morfologinya Cedera kepala dapat dibagi atas:

A. FRAKTUR KRANIUM
Dapat terjadi pada atap (kalvarium) dan dasar tengkorak (basis cranii).
1. Fraktur batok tengkorak/ kalvarium :
Terdiri dari : Fraktur linier/stelatum; depresi/nondepresi;
kominutiva; terbuka/tertutup.
2. Fraktur basis tengkorak :
Fraktur longitudinal, transversa dan sirkuler, dengan/tanpa kebocoran cairan
serebrospinal.
Fraktur basis kranii terdiri dari :
A. Fraktur basis kranii anterior
Gejala : Brill Hematoma, Rhinorrhea
B. Fraktur basis kranii media
Gejala : Otorrhea, Battle sign (ekimosis retroaurikuler)
C. Fraktur basis kranii posterior
Gejala : Brittle sign = combat sign
Fraktur pada basis Cranii sering menyebabkan paresis nervus VII (fasialis) yang
dapat terjadi segera atau timbul beberapa hari kemudian.

16

B. LESI INTRAKRANIAL

Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi fokal dan lesi difus walupun kedua jenis lesi
ini sering terjadi secara bersamaan. Termasuk dalam lesi fokal yaitu perdarahan
epidural, perdarahan subdural dan kontusio (perdarahan intracerebral). Lesi difus
umumnya menunjukkan gambaran CT-SCAN yang normal namun keadaan klinis
neurologist penderita sangat buruk bahkan penderita dapat berada dalam kodisi
koma. Lesi difus dikelompokkan menurut komosio ringan, komosio klasik dan
cedera Aksonal Difus (Difus Aksonal Injury).

1. LESI FOKAL
-Perdarahan Epidural (epidural hematom/EDH)
Hematoma epidural terjadi pecah/robeknya arteri-arteri meningea yang
terletak pada ruang epidural. Arteri-arteri meningea tersebut terletak antara
dumater dan tabula interna dari tulang tengkorak. Paling sering disebabkan karena
robeknya arteri meningea media yang terletak pada lobus temporalis (fossa
media). Tetapi hematoma epidural bisa juga disebabkan karena robeknya sinus
venosus pada regio parietooksipital dan pada fosa posterior. Pada pemeriksaan
CT-scan hematoma epidural berbentuk bikonveks atu menyerupai lensa cembung.
Gejala klinik pada EDH berupa : (Trias symptom)

Adanya lucid interval (kesadaran mula-mula baik lalu seiring dengan


bertambahnya volume darah maka kesadaran penderita menurun)

Hemiplegi

Pupil anisokor pada sisi perdarahan

17

Disamping itu juga terdapat gejala nyeri kepala hebat, tanda-tanda TIK
meningkat dan adanya ganguan neurologis seperti : penurunan kesadaran, afasia
sensorik motorik, refleks patologis.
Pemeriksaan :
-Funduskopi : papil edema
-Lumbal pungsi : LCS jernih, TIK meningkat
-Foto rontgen kepala
-Angiografi serebral tampak pergeseran A. Serebri anterior dan daerah
avaskuler (posisi AP) dan pergeseran A. Serebri Media (posisi lateral).
-CT Scan

Gambar 1. EDH pada CT-Scan


-Perdarahan Subdural (Subdural Hematom/SDH)
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural. Terjadi
pada ruang subdural yaitu ruang yang dibentuk oleh duramater dan arachnoid
akibat dari pecahnya pembuluh pembuluh vena yang berjalan pada permukaan
otak (korteks cerebri) dan sinus venosus (bridging veins). Namun SDH ini bisa
terjadi akibat dari laserasi pada pembuluh arteri dipermukaan otak. Perdarahan
subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak. Adanya darah di
ruang subdural ini diketahui dari pemeriksaan skening otak dengan gambaran
seperti bulan sabit. Dan prognosisnya lebih berat dibandingkan dengan EDH.
Perdarahan subdural dibagi menjadi tiga kelompok :

18

a. Akut (24 jam) :


1. Adanya kerusakan langsung jaringan otak
2. Pasien langsung pingsan.
3. Gejala seperti epidural hematom
4. Insiden kematian tinggi (80%)
b. Sub akut (1-10 hari )
5. Gejala klinis timbul lambat
c. Kronis ( > 10 hari)
6. Biasanya oleh karena cedera kepala ringan.
7. Gejala timbul setelah beberapa minggu atau bulan, seperti: pusing, sakit kepala,
kesadaran menurun, tampak bingung dan hemiparesis.

Gambar 2. SDH pad CT-Scan

-KONTUSIO SEREBRI
Kontusio serebri yang terdapat langsung (coup) atau contrecoup
dapat terbatas pada korteks superfisial atau dapat juga disertai perdarahan
ke dalam otak yang berada dibawahnya. Kehilangan kesadaran dalam

19

waktu > 10 menit akibat otak membentang batang otak terlampau kuat,
dan terdapat defisit neurologis, seperti Refleks babinski, kelumpuhan
U.M.N, parese saraf cranial, sering timbul kejang. Tekanan darah menjadi
rendah dan nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah sampai
syok. Nafas sukar dan dalam, lebih dalam lagi dan cepat sampai ngorok,
akibat adanya asidosis, waspada akan bahaya kematian. Asidosis
menyebabkan kerusakan blood brain barier, dan timbullah edema otak.
LCS berdarah dan tekanannya meningkat. Karena pusat vegetatif ikut
terlibat, maka timbul rasa mual, muntah dan gangguan pernafasan.
Penderita dengan kontusio bisa memperlihatkan sindrom metabolik lain,
sebagai manifestasi ikut terkenanya hipotalamus. Kontusio cerebri dalam
waktu beberapa jam atau hari dapat mengalami evolusi membentuk
perdarahan intracerebral (ICH) yang ditandai dengan:

Perdarahan kecil-kecil didalam korteks serebral

Penurunan kesadaran yang lama

Kejang fokal

Gejala klinis yang sesuai fungsi otak yang terkena

2. LESI DIFUS

-Komosio Cerebri Ringan


Adalah cedera dimana kesadaran tetap tidak tidak terganggu namun terjadi
disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini
sering terjadi namun karena ringan kerap tidak diperhatikan. Bentuk yang paling
ringan adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia. Sindrom ini bisa
pulih kembali tanpa gejala sisa.

20

-Komosio Cerebri Klasik


Adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau hilangnya
kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan lamanya
amnesia ini merupakan ukuran beratnya cedera. Hilangnya kesadaran biasanya
berlangsung beberapa waktu lamanya dan bersifat reversible. Dalam definisi
klasik penderita akan kembali sadar dalam waktu 6 jam. Pada beberapa penderita
dapat timbul defisit neurologis untuk beberapa waktu. Defisit neurologis tersebut
bisa beupa kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia dan depresi. Gejala ini
disebut sindroma pasca komosio
-Cedera Aksonal Difus (Diffuse Aksonal Injury)
Adalah keadaan dimana penderita mengalami koma pasca cedera yang
berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan
iskemia. Merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera akselerasi dan
deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala.
Biasanya penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma dalam
beberapa waktu. Penderita sering menunjukkan gejala dekortikasi atau deserebrasi
dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat. Penderita sering
menunjukkan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan
hiperpireksia.

3.3 Pemeriksaan Klinis


Pemeriksaan klinis merupakan pemeriksaan yang paling
komprehensif dalam evaluasi diagnostik penderita cedera kepala,
yaitu dengan pemeriksaan-pemeriksaan serial yang cepat, tepat
dan noninvasif diharapkan dapat menunjukkan progresivitas atau
kemunduran proses penyakit atau gangguan tersebut.
Pemeriksaan korban cedera kepala yang kesadarannya
baik

mencakup

pemeriksaan

21

neurologis

yang

lengkap,

sedangkan

pada

penderita

yang

kesadarannya

menurun

pemeriksaan yang diutamakan adalah yang dapat memberikan


pedoman dalam penanganan di UGD, yaitu:

Tingkat kesadaran

Kekuatan fungsi motorik

Ukuran pupil dan responsnya terhadap cahaya

Gerakan bola mata (refleks okulo-sefalik dan vestibuler)


Tingkat
kualitatif

kesadaran

(dengan

dinilai

dengan

urutan komposmentis,

dua

cara,

yaitu

apatis, somnolen,

delirium, sopor, soporo-koma dan koma) dan kuantitatif, yaitu


dengan skala Glasgow (GCS). Skala ini merupakan gradasi
sederhana dari arousal dan kapasitas fungsionil korteks serebral
berdasarkan respons verbal, motorik

dan mata

penderita.

Sedangkan fungsionil batang otak (komponen kesadaran lainnya)


dinilai dari respons pupil dan gerakan bola mata.
Penilaian kesadaran dengan GCS ini punya beberapa
keuntungan yaitu (1) untuk diagnosa pertama kali masuk RS, (2)
dapat

dipergunakan

untuk

monitoring

kondisi

(perburukan/perbaikan) penderita dan (3) penilaian ini standar


dan sangat mudah untuk digunakan baik oleh tenaga medis
maupun paramedis.
Pupil dinilai ukuran serta responsnya terhadap rangsangan
cahaya, yang merupakan pemeriksaan awal terpenting dalam
menangani cedera kepala. Salah satu gejala dini dari herniasi
lobus temporal adalah dilatasi dan perlambatan respons cahaya
pupil. Dalam hal ini adanya kompresi maupun distorsi saraf
okulomotorius waktu kejadian herniasi tentorial-unkus akan
mengganggu fungsi akson parasimpatis yang menghantarkan
sinyal eferen untuk konstriksi pupil. Miosis pupil bilateral dapat
muncul pada awal herniasi sefalik sentral akibat kedua jaras

22

simpatis pupilomotor yang berasal dari hipotalamus terganggu


sehingga tonus parasimpatisnya menjadi lebih dominan dan
menimbulkan konstriksi pupil. Selanjutnya akan terjadi dilatasi
pupil

dan

paralisis

respons

cahaya.

Hippus

adalah

suatu

fenomena yang terdiri dari dilatasi dan konstriksi pupil spontan


pada pasien-pasien dengan corak respirasi Cheyne Stokes, yang
menandakan integritas fungsional jaras simpatis-parasimpatis
pupil (bukan merupakan indikator gangguan fungsi). Disrupsi
lengkung aferen refleks cahaya pupil dideteksi dengan tes
penyinaran

indirek

dengan

asumsi

intaknya

saraf

otak

II

(optikus). Dilatasi pupil paradoksal (defek aferen pupil) dikenal


dengan istilah pupil Marcus-Gunn. Pupil yang kecil (bilateral)
dapat tampak pada pasien-pasien yang menggunakan obat-obat
seperti opium, morfin dan sebagainya. Miosis yang timbul pada
kasus-kasus dengan lesi pons merupakan akibat inaktivasi
strukturil

atau

fisiologis

jaras

simpatis

yang

turun

dari

hipotalamus melalui sistem aktivasi retikuler ke medula spinalis.


Pupil Horner unilateral kadang-kadang tampak pada kasus
dengan lesi di batang otak, tetapi pada kasus-kasus trauma perlu
dipikirkan tentang kemungkinan putusnya jaras simpatis eferen
pada daerah apeks paru, leher bagian bawah atau carotid sheath
ipsilateral. Cedera saraf okulomotor traumatika adalah suatu
diagnosis

menetapnya dilatasi pupil pada penderita cedera

kepala, walaupun kesadarannya sudah pulih. Pupil yang midriasis


(6 mm) kadang dapat terjadi akibat trauma langsung pada
mata, biasanya unilateral dan tidak disertai paresis okuler. Pupil
yang dilatasi bilateral dan fixed pada penderita cedera kepala
merupakan akibat dari perfusi serebral yang tidak adekuat
seperti hipotensi akibat kehilangan darah, atau gangguan aliran
darah serebral karena peningkatan TIK.

23

Fungsi motorik biasanya hanya merupakan pelengkap


saja mengingat kadang sulit mendapat penilaian akurat dari
penderita-penderita dengan kesadaran yang menurun. Masingmasing ekstremitas digradasi kekuatannya dengan skala sebagai
berikut:

Skor

Kontraksi
otot

Gerakan
sendi

Melawan
gaya
gravitasi

5
4
3
2
1
0

(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(-)

(+)
(+)
(+)
(+)
(-)
(-)

(+)
(+)
(+)
(-)
(-)
(-)

Jenis
tahanan
yang dapat
dilawan
Penuh
Ringan
(-)
(-)
(-)
(-)

Gerakan bola mata merupakan indeks penting untuk


penilaian aktivitas fungsional batang otak (formasio retikularis).
Penderita yang sadar penuh dan mempunyai gerakan bola mata
yang baik menandakan intaknya sistem motorik okuler di batang
otak. Pada keadaan kesadaran yang menurun, gerakan bola
mata volunter menghilang, sehingga untuk menilai gerakannya
ditentukan dari refleks okulosefalik dan okulovestibuler.

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Foto polos tengkorak
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengevaluasi penderita
cedera kepala. Akhir-akhir ini menjadi kontroversial, mengingat
bahwa

hanya

sedikit

informasi

yang

didapat

yang

dapat

mengubah alternatif pengobatan yang diberikan. Namun di sisi


lain tampaknya keterbatasan fasilitas mengarahkan pemeriksaan
ini sebagai suatu penunjang rutin pada kasus-kasus cedera

24

kepala ringan. Dengan proyeksi rutin A-P dan lateral, diharapkan


dapat diperoleh informasi tentang lokasi dan tipe fraktur dan
kadang juga terlihat pergeseran kelenjar pineal.
Angiografi serebral
Pemeriksaan ini merupakan prosedur invasif dan cenderung lebih
bermanfaat untuk memperkirakan diagnosis adanya hematom
intrakranial beserta penanganan, khususnya jika belum tersedia
sarana CT Scan otak. Prinsipnya adalah menunjukkan adanya
pergeseran pembuluh-pembuluh darah serebral besar dan lokasi
hematom.

Massa

supratentorial

biasanya

menampilkan

pergeseran a.serebri anterior dan v.serebri interna. Walaupun


pergeseran ini tidak dapat membedakan edema atau hematom,
namun dapat membantu menentukan lokasinya.
CT Scan otak
Pemeriksaan ini merupakan metode diagnostik standar
terpilh bagi kasus-kasus cedera kepala mengingat tidak invasif
dan menampilkan secara jelas lokasi dan adanya perdarahan
intrakranial, edema, kontusi, udara, benda asing intrakranial
serta pergeseran struktur tengkorak.
Edema tampak sebagai zona hipodens dibandingkan massa
putih otak. Kadang dijumpai adanya efek massa terhadap
ventrikel yang berdekatan dan direfleksikan sebagai kompresi,
distorsi atau pergeseran sistem ventrikel. Edema ini dapat
berupa edema fokal, multifokal atau difus.
Kontusi

serebri

tampak

sebagai

area

hiperdens

nonhomogen bercampur dengan hipodens. Batasnya biasanya


tidak tegas dan bila ada efek massa biasanya minimal.
Hematom epidural mempunyai ciri gambaran khas berupa
bentuk bikonveks atau lentikular (ada perlekatan erat antara
dura dengan tabula interna tulang sehingga hematom ini

25

menjadi terbatas).
Hematom subdural cenderung lebih difus dibandingkan
hematom epidural dan tampil dalam batas konkav sesuai dengan
permukaan otak.
Hematom intraserebral traumatika biasanya berlokasi di
frontal dan lobus temporal anterior (dapat juga terjadi di lokasi
lain). Kebanyakan hematom berkembang segera setelah cedera,
tetapi ada juga yang baru timbul kemudian (sampai 1 minggu).
Tampil sebagai lesi hiperdens dikelilingi oleh zona hipodens
(edema).
Perdarahan intraventrikular sering kali dikaitkan dengan
perdarahan parenkimal. Perderahan ini relatif cepat menjadi
isodens dan kemudian menghilang dalam 1 minggu.
Hidrosefalus obstruktif dapat terjadi akibat hematom fosa
posterior yang menimbulkan obstruksi saluran ventrikel.
Infark iskhemik tampak sebagai daerah hipodens dan
biasanya terdeteksi dalam 24 jam pertama setelah onzet.

3.5 Prinsip Penatalaksanaan


Tujuan utama pelaksanaan cedera kranioserebral ialah untuk menghilangkan,
mencegah atau meminimalkan kerusakan otak karena proses sekunder.
Pedoman resusitasi dan penilaian awal
1. Menilai jalan nafas ( A= Airway )
2. Menilai pernapasan ( B= Breathing )
3. Menilai sirkulasi ( C= Circulation )
4. Obati kejang, mula-mula berikan diazepam 10 mg IV perlahan-lahan dan dapat
diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan
fenitoin 15 mg/kgBB IV perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50
mg/menit.
5. Menilai tingkat keparahan :

26

a.Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah)


- GCS 14-15 (sadar penuh, atentif dan orientatif)
- Tidak ada kehilangan kesadaran
- Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
- Pasien dapat menderita abrasi, laserasi atau hematoma kulit
kepala
b.Cedera kepala sedang
- GCS 9-13 (konfusi, letargi atau stupor)
- Adanya penurunan kesadaran (konkusi)
- Amnesia pasca trauma
- Muntah
- Tanda kemungkinan fraktur kranium (Battle sign, mata rabun,
hemotimpanum, otore atau rinore)
- Kejang
c. Cedera kepala berat (kelompok resiko berat)
- GCS 3-8 (koma)
- Penurunan derajat kesadaran secara progresif
- Tanda neurologis fokal
- Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium

Pedoman penatalaksanaan
1. Pada semua pasien cedera kepala dan atau leher, lakukan foto tulang
belakang servikal (AP, lateral), colar servikal baru dilepas setelah
dipastikan bahwa seluruh tulang servikal C1-C7 normal.
2. Pada semua pasien CKS dan CKB, lakukan prosedur berikut :
a.

Pasang jalur intravena dengan larutan NaCl 0,9% atau RL

27

b. Lakukan pemeriksaan : Ht, darah perifer lengkap, trombosit,kimia darah: glukosa,


ureum dan kreatinin, masa protrombin atau tromboplastin parsial dan skrining
toksikologi dan kadar alcohol bila perlu.
3. Lakukan CT Scan dengan jendela tulang, CT Scan lebih sensitive untuk
mendeteksi fraktur. Pasien dengan CKR, CKS, CKB, harus dievaluasi
adanya: Hematoma epidural, darah dalam subarachnoid dan intraventrikel,
kontusio dan perdarahan jaringan otak, edema serebri, obliterasi system
perimesensefalik, pergeseran garis tengah dan fraktur kranium, cairan
dalam sinus dan pneumosefalus.
4. Pada pasien yang koma (GCS<8) atau pasien dengan tanda-tanda herniasi,
lakukan tindakan berikut:
a.

Elevasi kepala 30

b.

Hiperventilasi, dengan kecepatan 16-20 kali/menit

c.

Berikan manitol 20% 1g/kg IV dalam 20-30 menit. Dosis ulangan dapat

diberikan 4-6 jam kemudian yaitu sebesar dosis semula setiap 6 jam sampai
maksimal 48 jam pertama.
d.

Pasang kateter Foley

e.

Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi (hematoma yang besar,

hematoma subdural, cedera kepala terbuka dan fraktur impresi >1 diploe).
Penatalaksanaan khusus
1. Cedera kepala ringan (GCS: 14-15)
Lakukan pemeriksaan fisik umum, perawatan luka, buat foto kepala, istirahat
baring dengan mobilisasi bertahap sesuai dengan kondisi pasien, disertai terapi
simptomatis. Observasi minimal 24 jam di rumah sakit untuk menilai
kemungkinan adanya hematoma intrakranial misalnya ada riwayat lucid interval,
sakit kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun, gejala-gejala lateralisasi (pupil

28

anisokor, refleks patologis positif), jika diperlukan buat CT Scan. Penderita tidak
perlu dirawat jika :
a. Orientasi (waktu dan tempat) baik.
b. Tidak ada gejala fokalneurologik
c. Tidak ada muntah atau sakit kepala
d. Tidak ada fraktur tulang kepala
e. Ada yang bisa mengawasi dengan baik dirumah selama 24 jam pertama.
f. Tempat tinggal dalam kota

2. Cedera kepala sedang (GCS : 9-13)


Pasien dalam keadaan ini mungkin mengalami gangguan kardiopulmonal, jika ada
gangguan tersebut :
a. Segera lakukan penilaian ABC yaitu, bersihkan jalan nafas, perbaiki
pernafasan, dan sirkulasi, tindakan resusitasi jantung paru jika diperlukan.
b. Periksa kesadaran, pupil, gangguan fokal neurologis, cedera organ lain,
jika ada jejas di leher pasang fiksasi leher.
c. Foto kepala, bila perlu foto organ tubuh lain yang mencurigakan.
d. CT Scan jika diduga adanya hematoma intrakranial.
e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil dan defisit neurologis.

29

3. Cedera kepala berat (GCS : 3-8)


Pasien cedera kepala berat biasanya disertai oleh cedera multiple, disamping
kelainan serebral ditemukan juga kelainan sistemik yang menggunakan sistem
kardiopulmoner.
Sehingga tindakan pertama yang perlu dilakukan ialah menilai ABC. Setelah
penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan segera pada pasien ini apakah
terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera (hematoma intrakranial yang
besar).

Setelah keadaan ABC dilaksanakan lakukan pemeriksaan fisik dan


neurologis ulang (tanda-tanda vital, tingkat kesadaran, reaksi pupil, defisit
fokal serebral, dll), catatan ini merupakan titik awal untuk follow up
selanjutnya, yang dilakukan dengan cermat dan awasi hal-hal tersebut
dalam waktu-waktu tertentu. Jika tidak ada bukti peningkatan TIK,
parameter ventilasi harus diatur sampai pCO2 40 mmHg dan pO2 90-100
mmHg.

Monitor tekanan darah, karena autoregulasi sering terganggu pada cedera


kepala akut, maka tekanan arteri rata-rata harus dipertahankan untuk
menghindari hipotensi atau hipertensi. Hipotensi (<70 mmHg)dapat
menyebabkan iskemia otak, sedangkan hipertensi (>130 mmHg) dapat
meneksaserbasi serebri.

Penatalaksanaan tekanan intra kranial (TIK) meninggi,dilakukan sejak


awal yaitu :

a. Menjaga suhu tubuh tetap normal ( < 37,5 0). Dapat diberikan kombinasi
acetaminophen, selimut dingin, dan lavage air es.
b. Tinggikan kepala 300, aksis tubuh netral.
c. Hiperventilasi ringan pertahankan Pa CO2 28-32 mmHg.

30

d. Keseimbangan cairan dan elektrolit dengan cairan isotonis.


e. Jaga CPP > 70 mmHg.
f. Profilaktik antikonvulsan, minimal sampai minggu pertama setelah cedera
kepala, misalnya pada cedera kepala dengan resiko kejang tinggi, seperti
impresi fraktur, hematoma intrakranial, diberikan phenitoin dengan dosis
15-20 mg/Kg BB bolus iv, pelan-pelan 50 mg/menit. Dilanjutkan 200-500
mg per hari iv atau per oral.
Jika usaha-usaha tersebut diatas belum berhasil, lakukan terapi primer, yaitu :
1. Drainase cairan serebrospinal.
2. Tetapi sedativa (narkotika, benzodiazepine).
3. Terapi blokade neuromuskular.
Lakukan terapi sekunder jika usaha terapi primer belum berhasil yaitu :
1. Bolus mannitol, berikan 0,25 g/kg.BB, pemberian mannitol per hari
maksimal 200 gram, dan serum osmolaritas 310 mOsm/Kg, jika ada
gagal ginjal dosis diberikan lebih rendah.
2. Naikkan CPP.
Lakukan terapi tersier, jika usaha terapi sekunder tidak berhasil yaitu : terapi
supresiv metabolik dengan pemberian barbiturat dosis tinggi atau propofol.
Cara pemberian barbiturat (fenobarbital) : bolus 10 mg/Kg BB iv selama
30 menit,

dilanjutkan 3 jam, lalu pertahankan pada kadar 3-4 mg%, dengan

dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol < 20 mmHg selama 24-48
jam, dosis

diturunkan bertahap selama 3 hari.

Cairan dan elektrolit.

31

Terapi cairan pada saat awal cedera kepala dibatasi untuk mencegah
bertambahnya edema serebri, kecuali jika ada tanda-tanda shok hemorgik. Jumlah
cairan diberikan

1500-2000 ml/hari berikan cairan yang mengandung

glukosa oleh karena

hiperglikemi

Keseimbangan cairan tercapai jika

dapat

menambah

edema

serebri.

tekanan darah stabil normal, denyut jantung

normal dan volume urine normal 30

ml/jam.

Pemberian cairan harus disesuaikan pada keadaan tertentu misalnya pada


pemberian

diuretik, diabetes insipidus, SIADH, perlu di pantau kadar

elektrolit, gula darah, ureum, kreatinin dan osmolalitas darah.

Nutrisi
Kebutuhan energi pada cedera kepala meningkat rata-rata 40%, protein

diberikan 1,5- 2 g/KgBB/hari, lipid 10-40% dari kebutuhan kalori/hari, zice 12


mg/hari, kadar gula

darah dipertahankan < 200 mg/hari. Zice diperlukan untuk

proses penyembuhan luka,

sintesis protein, mempertahankan endotel vaskuler

dan status imunitas, juga sangat

vital untuk fungsi normal otak pemberian

nutrisi peroral mulai diberikan pada hari ke 2 dengan memasang pipa nasogastrik
sebanyak 2000-3000 kalori.

Neuroproteksi

Adanya selang waktu antara terjadinya trauma dengan timbulnya kerusakan


jaringan. Dapat diberikan neuroprotektan misalnya sitikolin dengan dosis 1-1,5
g/hari iv.

Profilaksis ulkus peptikum akibat stress ulcer, dengan ranitidine 50 mg IV


setiap 8 jam atau yang lain.

Antibiotik

Profilaksis trombosis vena dalam, dengan heparin 5000 unit subkutan


setiap 12 jam dapat diberikan 72 jam setelah cedera.

32

CT Scan lanjutan untuk menilai perdarahan yang progresif atau yang


timbul belakangan. Namun biaya menjadi kendala.

3.6 KOMPLIKASI
1. Infeksi : profilaksis antibiotika diberikan bila ada fraktur terbuka, fraktur
basis kranii, luka luar yang memberikan resiko tinggi untuk terjadinya
infeksi.
2. Kebocoran LCS, terjadi pada 2-6% pasien dengan cedera kepala
tertutup.kebocoran ini berhenti spontan dengan elevasi kepala setelah
beberapa hari pada 85% pasien. Otore atau rinore yang menetap atau
meningitis berulang merupakan indikasi untuk operasi reparative.
3. Kejang : dapat timbul segera (dalam 24 jam pertama), early epilepsy
(minggu pertama) atau late epilepsy (setelah satu minggu). Lebih sering
timbul pada anak-anak pada orang dewasa jarang terjadi kecuali jika ada
fraktur impresi, atau hematoma intrakranial. Kejang dini menunjukkan
resiko yang meningkat untuk kejang lanjut, dan pasien ini harus
dipertahankan dengan antikonvulsan. Insiden keseluruhan epilepsy
pascatrauma lanjut (berulang, tanpa provokasi) setelah cedera kepala
tertutup adalah 5%, resiko mendekati 20% pada penderita perdarahan
intraserebral atau impresi fraktur.

Pengobatan :
Kejang pertama : fenitoin 200 mg oral, dilanjutkan 3-4 x 100 mg per hari. Status
epileptikus : diazepam 10 mg iv dapat diulang dalam 15 menit. Bila cenderung
berulang 50-100 mg/500 ml NaCl 0,9%. Jika tidak berhasil ganti obat lain yaitu
fenitoin dengan dosis 18 mg/KgBB iv pelan-pelan paling cepat 50 mg/menit.
Dilanjutkan dengan 200-500 mg/hari iv atau oral
4. Perdarahan lambung : insiden 10-14% berikan terapi antasida atau
bersama dengan H2 reseptor bloker.
5. Diabetes insipidus : karena rusaknya kelenjar hipofise sehingga tidak
terjadi sekresi hormon antidiuretik timbul poliuria, hipernatremi, dehidrasi.
Terapi pitressin (arginine vasopressin) 5-10 u iv/im/se tiap 4-6 jam atau
desmopressin aseta (DDAVP) se atau iv 2-4 g tiap 12 jam. Ini diberikan
untuk menjaga volume urine < 200 ml/jam. Beri cairan hipotonik 0,25%
atau 0,45% NaCl tergantung beratnya hipernatremia.

33

DAFTAR PUSTAKA
Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua, Harsono,
Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, 314
Mardjono M. Sidharta P., Mekanisme Trauma Susunan Saraf, Neurologi Kilinis
Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2003, 254-259 dari
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/108/jtptunimus-gdl-sitifatima-53952-07.bab-r.pdf

34

35

Anda mungkin juga menyukai