Tifoid
Tifoid
PENDAHULUAN
diperkirakan 2,5 6 % atau 50.000 orang per tahun. Kasus demam tifoid sangat sering
ditemukan pada keadaan lingkungan yang padat penduduk, status ekonomi masyarakat yang
tergolong rendah, tingkat pendidikan yang rendah, serta kualitas higienis pribadi yang kurang
baik atau cenderung jelek. Keadaan ini dapat mengakibatkan pengobatan yang diberikan
tidak adekuat.
Kasus demam tifoid di wilayah kerja Puskesmas Tanralili masih merupakan
permasalahan yang jelas. Hal ini terlihat dengan adanya pembuktian hasil laboratorium
dengan titer O > 320.
I.3 TUJUAN
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui definisi, etiologi, patofisiologi,
gambaran klinis, diagnosis, terapi, komplikasi, prognosis, serta pencegahan dari demam
tifoid agar tidak terjadi komplikasi yang lebih lanjut.
I.4 MANFAAT
a. Bagi Masyarakat
Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai penyebab, gejala, tanda, akibat
yang dapat ditimbulkan, dan pencegahan penyakit demam tifoid.
b. Bagi Puskesmas
Pelaksanaan kegiatan ini akan sangat bermanfaat bagi puskesmas, karena merupakan
salah satu kegiatan promosi kesehatan guna mencegah terjadinya penyakit demam
tifoid.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 DEFINISI DAN ETIOLOGI
Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella enterica
serovar typhi (S. typhi). Insidens penyakit ini sering dijumpai di negara-negara Asia dan
dapat ditularkan melalui makanan atau air yang terkontaminasi.
Manusia adalah satu-satunya penjamu yang alamiah dan merupakan reservoir untuk
Salmonella typhi. Bakteri tersebut dapat bertahan hidup selama berhari-hari di air tanah, air
kolam, atau air laut dan selama berbulan-bulan dalam telur yang sudah terkontaminasi atau
tiram yang dibekukan. Pada daerah endemik, infeksi paling banyak terjadi pada musim
kemarau atau permulaan musim hujan. Dosis yang infeksius adalah 103-106 organisme yang
tertelan secara oral. Infeksi dapat ditularkan melalui makanan atau air yang terkontaminasi
oleh feses. Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang berusia
3-19 tahun.
II.2 PATOFISIOLOGI
Bakteri Salmonella typhi bersama makanan atau minuman masuk ke dalam tubuh
melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH<2) banyak bakteri
yang mati. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus, dan di usus halus tepatnya
di ileum dan yeyenum akan menembus dinding usus. Bakteri mencapai folikel limfe usus
halus, ikuti aliran ke kelenjar limfe mesentrika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik
sampai ke jaringan reticuloendothelial system (RES) di organ hati dan limpa. Salmonella
tyhpi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear di dalam folikel limfe,
kelenjar limfe mesenterika, hati, dan limfe. Bakteremia primer terjadi pada tahap ini dan
biasanya tidak didapatkan gejala dan kultur darah biasanya masih memberikan hasil yang
negatif. Periode inkubasi ini terjadi selama 7-14 hari. Setelah periode replikasi, kuman akan
disebarkan kembali ke dalam sistem peredaran darah dan menyebabkan bakteremia sekunder
sekaligus menandai berakhirnya periode inkubasi. Bakteremia sekunder menimbulkan gejala
klinis seperti demam, sakit kepala, dan nyeri abdomen. Bakteremia dapat menetap selama
beberapa minggu bila tidak diobati dengan antibiotik. Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas
di hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan Peyers patches di mukosa ileum
terminal. Ulserasi pada Peyers patches dapat terjadi melalui proses inflamasi yang mengakibatkan nekrosis dan iskemia. Komplikasi perdarahan dan perforasi usus dapat menyusul
ulserasi. Kekambuhan dapat terjadi bila kuman masih menetap dalam organ-organ sistem
3
II.4 DIAGNOSIS
Diagnosis dini demam tifoid dan pemberian terapi yang tepat bermanfaat untuk
mendapatkan hasil yang cepat dan optimal sehingga dapat mencegah terjadinya komplikasi.
Pengetahuan mengenai gambaran klinis penyakit sangat penting untuk membantu
4
mendeteksi dini penyakit ini. Pada kasus-kasus tertentu, dibutuhkan pemeriksaan tambahan
dari laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis.
Kultur darah merupakan gold standard metode diagnostik dan hasilnya positif pada
60-80% dari pasien, bila darah yang tersedia cukup (darah yang diperlukan 15 mL untuk
pasien dewasa). Untuk daerah endemik dimana sering terjadi penggunaan antibiotik yang
tinggi, sensitivitas kultur darah rendah (hanya 10-20% kuman saja yang terdeteksi). Peran
pemeriksaan Widal (untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen Salmonella typhi) masih
kontroversial. Biasanya antibodi antigen O dijumpai pada hari 6-8 dan antibodi terhadap
antigen H dijumpai pada hari 10-12 setelah sakit. Pada orang yang telah sembuh, antibodi O
masih tetap dapat dijumpai setelah 4-6 bulan dan antibodi H setelah 10-12 bulan. Karena itu,
Widal bukanlah pemeriksaan untuk menentukan kesembuhan penyakit. Diagnosis
didasarkan atas kenaikan titer sebanyak 4 kali pada dua pengambilan berselang beberapa
hari atau bila klinis disertai hasil pemeriksaan titer Widal di atas rata-rata titer orang sehat
setempat. Pemeriksaan Tubex dapat mendeteksi antibodi IgM. Hasil pemeriksaan yang
positif menunjukkan adanya infeksi terhadap Salmonella.
Pemeriksaan lain adalah dengan Typhidot yang dapat mendeteksi IgM dan IgG.
Terdeteksinya IgM menunjukkan fase akut demam tifoid, sedangkan terdeteksinya IgG dan
IgM menunjukkan demam tifoid akut pada fase pertengahan. Antibodi IgG dapat menetap
selama 2 tahun setelah infeksi, Oleh karena itu, tidak dapat untuk membedakan antara kasus
akut dan kasus dalam masa penyembuhan. Yang lebih baru lagi adalah Typhidot M yang
hanya digunakan untuk mendeteksi IgM saja. Typhidot M memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan Typhidot. Pemeriksaan ini dapat menggantikan
Widal, tetapi tetap harus disertai gambaran klinis sesuai yang telah dikemukakan
sebelumnya.
II.5 PENATALAKSANAAN
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam dan gejala,
mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Yang juga tidak kalah penting adalah
eradikasi
total
bakeri
untuk
mencegah
kekambuhan
dan
keadaan
carrier.
5
Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolat Salmonella typhi setempat.
Munculnya galur Salmonella typhi yang resisten terhadap banyak antibiotik (kelompok
MDR) dapat mengurangi pilihan antibiotik yang akan diberikan. Terapi antibiotik yang
diberikan untuk demam tifoid tanpa komplikasi berdasarkan WHO tahun 2003 dapat dilihat
pada tabel berikut.
hari,
dan
angka
kekambuhan
dan
fecal
carrier
kurang dari 2%. Fluoroquinolone memiliki penetrasi ke jaringan yang sangat baik, dapat
membunuh S. typhi intraseluler di dalam monosit/ makrofag, serta mencapai kadar yang
tinggi dalam kandung empedu dibandingkan antibiotik lain. Berbagai studi telah dilakukan
untuk menilai efektivitas fluoroquinolon yang bekerja dengan menghambat sintesis DNA
dan pertumbuhan bakteri Pseudomonas, Streptococci, MRSA, Staphilokokkus epidermidis,
dan banyak organisme gram negatif.
II.6 KOMPLIKASI
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu :
Komplikasi Intraintestinal
a. Perdarahan Usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak
membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami
syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan
sebanyak 5 ml/kgBB/jam.
b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu
ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita demam tifoid dengan
7
perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang
kemudian meyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan
darah turun, dan bahkan sampai syok.
Komplikasi ekstraintestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis), miokarditis,
trombosis dan tromboflebitis.
b. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi intravaskuler
diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
c. Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis
d. Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis
e. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis
f. Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis
g. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis, polineuritis
perifer, psikosis, dan sindrom katatonia.
II.7 PROGNOSIS
Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan
tubuh, jumlah dan virulensi Salmonela, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Angka
kematian pada anak-anak 2,6%, dan pada orang dewasa 7,4%, rata-rata 5,7%.
II.8 PENCEGAHAN
Strategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu menyediakan makanan dan
minuman yang tidak terkontaminasi, higiene perorangan terutama menyangkut kebersihan
tangan dan lingkungan, sanitasi yang baik, dan tersedianya air bersih sehari-hari. Selain
strategi tersebut, dikembangkan pula vaksinasi terutama untuk para pendatang dari negara
maju ke daerah yang endemik demam tifoid. Vaksin-vaksin yang sudah ada yaitu:
Vaksin Vi Polysaccharide
Vaksin ini diberikan pada anak dengan usia di atas 2 tahun dengan dinjeksikan
secara subkutan atau intra-muskuler. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan
8
BAB III
STATUS PASIEN
: 3 Juli 2014
Keluar PKM
: 3 Juli 2014
I.IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. R
Umur
: 34 Tahun
: Islam
Status
: Sudah Menikah
Alamat
II.
ANAMNESIS
Keluhan Utama
: Demam
Anamnesa Terpimpin : dialami sejak 7 hari yang lalu, tidak terus-menerus dan dirasakan
terutama pada malam hari, kadang- kadang menggigil (+). Nyeri kepala (-), pusing (-), batuk (-),
sesak (-), nyeri perut (+), mual (+), muntah (-), lemah otot (+)
BAK : lancar, warna kekuningan, kesan biasa
BAB : belum BAB sejak 2 hari yang lalu.
10
III.
Riwayat penyakit sebelumnya (-), pasien baru mengalami keluhan seperti ini.
Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga (-)
Riwayat pengobatan sebelumnya (-)
PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALIS
STATUS VITALIS
Tekanan Darah
: 120/80 mmHg
Nadi
Pernafasan
Suhu
: 38 C
STATUS LOKALIS
Kepala
-
Bentuk
: Bulat, simetris
Rambut
Mata
Telinga: Bentuk normal, simetris, liang sempit, serumen (-/-), pus (-/-)
Hidung
Mulut
: Bibir kering, lidah kotor (+), tonsil T1-T1 tenang, faring tidak hiperemis
Leher
-
Bentuk
Trakhea
KGB
JVP
: Simetris
: Di tengah
: Tidak membesar
: Tidak meningkat
Paru-Paru
11
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Cor
-
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
-
Inspeksi
Auskutasi
Palpasi
Perkusi
Ekstremitas
-
IV.
Atas : Akral hangat, edem (-), NVD dalam batas normal, ROM dalam batas normal
Bawah : Akral hangat, edem (-), NVD dalam batas normal, ROM dalam batas normal
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah rutin:
- WBC 8,6.103/uL
- Hb 11,8 gr/dl
- PLT 287.103 gr/dl
Tes Widal:
- Titer O 1/320
- Titer H 1/40
- Titer AH 1/160
- Titer BH 1/40
V.
DIAGNOSIS
12
Demam tifoid
VI.
-
RENCANA TERAPI
Tirah baring total
Diet tinggi kalori tinggi protein
Metoclopramide 3x1 (ac)
Ciprofloxacin 500 mg 2x1
Paracetamol 500 mg 3x1
Bcomp 1x1
VII. PROGNOSIS
Dubia ad bonam
BAB IV
PEMBAHASAN
Saat itu telah dilakukan pemeriksaan darah rutin dan didapatkan kadar hemoglobin,
leukosit, dan trombosit dalam batas normal. Dari tes Widal didapatkan hasil titer Salmonella
typhi O 1/320. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
laboratorium pasien ini didiagnosis dengan Demam Tifoid.
Setelah menegakkan diagnosis, maka intervensi selanjutnya yakni pengobatan dan
edukasi mengenai pola hidup sehat. Pengobatan yang diberikan berupa antibiotik
ciprofloxacin, antipiretik paracetamol, antiemetik metocloperamid, vitamin B kompleks dan
menyarankan pasien untuk beristirahat total dan mengkonsumsi makanan sehat dan bergizi.
14
BAB V
KESIMPULAN
V.1 KESIMPULAN
Insidens demam tifoid masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang
terutama yang terutama terletak di daerah tropis, termasuk di Indonesia. Penyakit demam
enterik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi ini sering ditemukan pada keadaan
lingkungan yang padat penduduk, status sosioekonomi masyarakat yang tergolong rendah,
tingkat pendidikan yang rendah serta kualitas kebersihan pribadi yang kurang baik sehingga
mengakibatkan pengobatan yang diberikan tidak adekuat.
Selain itu, tingginya angka kejadian demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan
rumah tangga, yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak
adanya sabun untuk mencuci tangan, menggunakan piring yang sama untuk makan, dan
tidak tersedianya tempat buang air besar dalam rumah.
Oleh karena itu, strategi pencegahan yang dapat diterapkan adalah dengan
membiasakan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dimulai dari lingkungan rumah.
Contoh kegiatan PHBS yang dapat dilakukan di rumah antara lain selalu menyediakan
makanan dan minuman yang tidak terkontaminasi, tidak jajan sembarangan, menjaga
higiene perorangan terutama menyangkut kebersihan tangan dan lingkungan, sanitasi yang
baik, dan tersedianya air bersih sehari-hari.
Penegakan diagnosis demam tifoid berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
laboratorium yang dini disertai pemberian terapi yang tepat mencegah terjadinya
komplikasi, kekambuhan, pembawa kuman, dan kematian.
V.2 SARAN
Diharapkan mini project dan laporan kasus ini dapat menambah wawasan pengetahuan
bagi pembaca maupun audience sehingga dapat mengetahui gejala, penanganan awal yang
tepat pada pasien, serta mengetahui langkah- langkah pencegahan yang dapat dilakukan agar
terhindar dari penyakit demam tifoid dengan melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat .
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo, Aru. W., dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi IV. Jakarta :
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
2. Corwin, Elizabeth J., 2005. Patofisiologi, Edisi I. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
3.
16