Anda di halaman 1dari 2

Kritik Soekarno terhadap Sistem Pendidikan Kolonia

Pada tahun 1921, seorang pemuda bumiputera masuk Sekolah Teknik di Bandung, Jawa
Barat. Ia bercita-cita menjadi seorang insinyur. Saat itu, di sekolah Teknik itu hanya ada
11 orang bumiputera. Sukarno, nama pemuda itu, adalah salah-satunya.
Tahun itu, pergerakan politik sedang pasang. Aksi dan mogok menjalar kemana-mana.
Nasionalisme menjadi api yang membakar semangat kaum muda. Termasuk pemuda yang
bernama Sukarno. Terlebih, Sukarno muda sudah mencicipi pikiran radikal semenjak ngekos di
rumah HOS Tjokroaminoto.
Tidak mengherankan, di kampus Teknik itu, Sukarno sangat kritis. Ia membangun kelompok
diskusi kritis bernama Algemeene Studie Club. Sukarno muda menjelma sebagai aktivis
mahasiswa. Saking kritisnya, di ruang kuliah, Sukarno sering mengeritik dosen pengajarnya.
Yang menarik, Sukarno mengeritik lembaga pendidikan kolonial, khususnya Sekolah Teknik,
sebagai sarana mewujudkan kepentingan kolonial, terutama untuk melayani ekspansi dan
eksploitasi kapital kolonial.
Pengetahuan yang kupelajari adalah pengetahuan teknik kapitalis, ujar Sukarno dalam
biografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Dia mencontohkan pada ilmu tentang irigasi. Kata Sukarno, ilmu irigasi yang dipelajarinya
bukan tentang bagaimana mengairi sawah rakyat, melainkan untuk pengairan perkebunan tebu
dan tembakau milik kapitalis.
Irigasi dipelajari tidak untuk memberi makan rakyat banyak yang kelaparan, akan tetapi untuk
membikin gendut pemilik perkebunan, gerutu Sukarno.
Begitu juga dalam soal pembuatan jalan raya: jalan tidak dibuat untuk menembus hutan atau
antar pulau sehingga melancarkan mobilitas penduduk dan barang-barang. Jalan-jalan yang
dibuat untuk melayani transportasi logistik dan hasil produksi kapitalis.
Sukarno melanjutkan, selain menyediakan pengetahuan untuk melayani ekspansi kapital,
Sekolah Teknik kolonial juga bertugas menyediakan sebanyak-banyaknya insinyur dan tenaga
pengawas untuk keperluan proyek infrastruktur Belanda. Maklum, mendatangkan insinyur dan
tenaga pengawas dari Belanda membutuhkan biaya besar. Itu tidak sesuai dengan logika yang
dianut kapital: biaya produksi sekecil-kecilnya untuk keuntungan sebesar-besarnya.
Tahun 1926, setelah 5 tahun berjibaku di bangku kuliah, Sukarno berhasil lulus. Dia resmi
menyandang gelar terhormat bagi kaum terdidik jaman itu: Insinyur.
Jumlah insinyur jaman itu masih langka. Tentu saja, dengan gelar insinyur yang disandangnya,
Sukarno bisa memilih-milih pekerjaan dengan gaji tinggi. Pintu untuk menjadi elit-kaya sangat
terbuka bagi Sukarno. Tawaran kerja datang bertalu-talu.

Namun, panggilan Ibu Pertiwi lebih kuat menarik Sukarno untuk memilih jalan lain: pergerakan.
Kendati jalan ini sudah pasti membawa Sukarno dan keluarganya pada kesulitan ekonomi.
Saya tidak yakin dikemudian hari akan menjadi pembangun rumah. Tujuan saya ialah untuk
menjadi pembangun dari suatu bangsa, demikian tekad Sukarno.
Setelah lulus dan memilih jalan pergerakan, kesulitan ekonomi berulangkali datang melilit
keluarga Sukarno. Kadang Sukarno dan istrinya, Inggit Garnasih, tidak punya uang sama sekali.
Untuk menutupi sedikit lubang kesulitan itu, Sukarno kadang mencari pekerjaan sampingan.
Dia pernah menjadi pengajar di sekolah Yayasan Ksatrian, sekolah kebangsaan yang didirikan
nasionalis radikal, Dr. Deuwes Dekker alias Setiabudi. Di sekolah itu Sukarno menjadi guru
sejarah. Ia mengajar sekitar 30 murid di kelasnya. Salah satu muridnya adalah anak HOS
Tjokroaminoto, Anwar Tjokroaminoto.
Sukarno punya metode mengajar yang tidak lazim. Bagi Soekarno, yang paling penting dalam
mengajar adalah membangkitkan semangat dan imajinasi anak-anak didiknya.
Kalau umumunya belajar sejarah adalah menghafal peristiwa, tahun, tanggal, tempat, dan nama
tokoh, maka Sukarno punya cara yang berbeda. Sukarno justru menekankan bagaimana si anak
didik bisa memahami sebuah kejadian sejarah.
Aku lebih berpegang pada pengertian sejarah daripada mengajarkan namanama, tahun dan
tempat, kata Sukarno.
Sukarno menggunakan teknik bercerita. Dia menjelaskan bagaimana sebuah peristiwa terjadi.
Tentu
saja, dengan bahasa yang mudah dipahami oleh anak didiknya. Sukarno seakan menghadirkan
sejarah itu dihadapan anak didiknya: menghadirkan dialog, berpidato dan lain sebagainya. Tidak
jarang, Sukarno tampil dengan gaya drama.
Lantaran gaya mengajarnya itu, pengawas Belanda menuding Sukarno lebih menyerupai
propagandis ketimbang pengajar. Akibatnya, karir Sukarno sebagai guru berakhir singkat.
Rudi Hartono

Anda mungkin juga menyukai