Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Kebutuhan daging di Indonesia sedang meningkat, namun tidak diimbangi dengan
pertumbuhan produsen penyuplai daging menjadi permasalahan yang cukup serius pada
pemenuhan pangan di Indonesia. Kendala yang dihadapi dalam proses produksi adalah
formulasi pakan yang berubah-ubah karena kualitas bahan pakan yang tidak sama,
pendistribusian bahan pakan yang terhambat, sulitnya mencari bakalan yang siap digemukkan,
sulitnya adaptasi pakan dan kandang baru. Permasalahan ini dapat teratasi bila didukung oleh
sistem manajemen yang baik.
Pemenuhan kebutuhan daging saat ini masih mengandalkan peternakan sapi potong.
Namun, sistem peternakan tradisional sapi lokal belum mampu memenuhi kebutuhan dalam
negeri karena populasi dan tingkat produktivitas yang rendah. Pada peternakan ini, manajemen
produksi, pakan, dan seleksi induk masih buruk, sehingga menuntut perbaikan peternakan
tradisional menjadi peternakan modern.
Stabilitas ketersediaan daging sapi sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat yang meningkat. Selainitu kontinyuitas ketersediaan daging sapi juga bertujuan
untuk menekan harga daging sapi dipasaran agar dapat dijangkau oleh seluruh elemen
masyarakat. Keadaan tersebut harus dimanfaatkan peternak sapi potong untuk meningkatkan
hasil produksinya. Perbaikan tata laksana pemeliharaan merupakan salah satu cara untuk
meningkatkan hasil produksi pada usaha penggemukan sapi potong. Tata laksana pemeliharaan
merupakan kegiatan yang dilakukan pada suatu peternakan meliputi, tata laksana pemberian
pakan, tata laksana perkandangan dan sanitasi, serta tatalaksana penjagaan kesehatan.
Produksi daging identik dengan pertumbuhan jaringan pada ternak muda
yangbertumbuh. Protein, karbohidrat dan lemak berakumulasi pada jaringan-jaringan dengan
lajuyang sama dengan perbedaan antara laju sintesis dan katabolismenya. Pada keadaan
normal,laju akumulasi lebih sedikit dibandingkan laju sintesis ataupun laju katabolismenya.
Komponen-komponen organik pada susu dan telur berakumulasi pada laju yang sama
denganlaju sintesisnya karena produk-produk tersebut merupakan produk sel yang
langsungdiekskresikan oleh sel yang bersangkutan dan tidak mengalami proses katabolik.
Tenaga yang dibutuhkan untuk mengendalikan rangkaian proses sintesis tersebut berasal dari
energi yang dibebaskan oleh proses oksidatif dalam sel-sel (Kartadiasastra, 1997)
1

1.2.Tujuan Dan Manfaat


Tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Menambah pengetahuan dan keterampilan mengenai mahasiswa mengenai manajeman
ternak potong (recording, perkandangan, pakan,reproduksi, pengendalian penyakit,
pengelolaan limbah).
2. Mendorong mahasiswa agar dapat mengembangkan wawasan yang lebih luas dalam
usaha ternak potong.

Manfaat dari praktikum ini adalah sebagai berikut:


1. Mahasiswa
ternak

memiliki

potong

pengetahuan

meliputi

tata

dan

laksana

keterampilan
perkandangan,

mengenai

manajeman

pakan,

reproduksi,

pengendalian penyakit, dan pengelolaan limbah.


2. Mahasiswa memilikiwawasan yang lebih luas dalam usaha ternak potong.

1.3. Metode praktikum


Metode yang digunakan selama praktikum yaitu dengan cara wawancara dan observasi
1.4. Waktu dan lokasi praktikum
Waktu yang diambil ketika paktikum yaitu pada siang hari ,di peternakan milik pak buang yang
beralamat di jalan Padang RT 03 RW 01 Tegalweru, Malang

BAB II
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
2.1. Identifikasi Rumah Tangga Responden
A. Nama Responden

: Pak Buang

B. Umur

: 48 Tahun

C. Alamat

: Jalan Padang RT 3 RW 1 Tegal Weru, Malang

D. Lama Beternak

: 10 Tahun

E. Pendidikan Terkhir

: SMP

2.2. Penguasaan Ternak Sapi Potong


A. Tabel jumlah ternak sapi keseluruhan

JANTAN

DEWASA

MUDA

PEDET

>24

12-24

0-12

BULAN

BULAN

BULAN

KETERANGAN

Induk yang melahirkan tahun


ini = 0 ekor

BETINA

B. Jumlah ternak yang mati dalam kurunwaktu 1 tahun:

Sapi dewasa : 0 ekor

Sapi muda : 0 ekor

Pedet

: 0 ekor

Tangggal lahir = -

2.3.Mutasi ternak
Uraian

Jumlah sapi

Jantan

betina

Anak

Muda

Dewasa

Anak

Muda

Dewasa

masuk
Jumlah sapi
keluar

Mutasi (Output) atau kemampuan suatu wilayah menghasilkan sapi potong, merupakan
jumlah sapi muda sisa pengganti ditambah sapi dewasa afkir. Sisa sapi muda merupakan selisih
antara nilai natural increase (pertambahan alami) dengan kebutuhan ternak pengganti. Natural
increase merupakan selisih antara kelahiran dengan kematian, maka dari itu teori pemuliaan
ternak digunakan dalam estimasi outputsapi potong dari suatu wilayah berdasarkan sifat
produksi dan reproduksinya (SUMADI etal., 2004).
Output suatu wilayah dapat dihitung berdasarkan produktivitas sapi potong yang ada.
Persentase sapi betina yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH) dapat digunakan untuk
uji silang dengan kebutuhan ternak pengganti. Kemampuan berproduksi sapi potong dapat
digambarkan dengan pertumbuhan, persentase karkas dan sifat-sifat reproduksinya.
Dari hasil pengamatan kelompok kami diketuai bahwa tidak ada jumlah ternak sapi
yang masuk baik anak, muda ataupun dewasa, sedangkan diketahui terdapat ternak yang keluar
yaitu 1 ekor ternak anak sapi dan untuk sapi muda serta dewasa tidak ada yang keluar.
2.4 Sistem pemeliharaan
2.4.1 Perkandangan
Dari praktikum yang dilakukan didapatkan hasil bahwa ternak pak buang ditempatkan
pada kandang dengan ukuran 5 x 2 meter yang terbuat dari kayu dan atap berupa genteng.hal
ini sesuai dengan pendapat Rianto danpurbowati bahwa Pekandangan merupakan suatu lahan
khusus untuk peternakan, serta sarana penunjang seperti kandang ternak, gudang, mess,
peralatan kandang, kantor dan sebagai penunjang produktivitas ternak (Rianto dan Purbowati,
2009).dan didukung oleh pendapat Siregar (2008) dan AAK(1991) bahwaUkuran panjang dan
lebar kandang pemeliharaan untuk satu ekor sapi dewasa adalah: panjang dan lebar 2,10 m x
4

1,45 m untuk sapi lokal dan 2,10 m x 1,50 m untuk sapi-sapi impor dan sapi perah jantan
(Siregar, 2008).
Kandang merupakan suatu bangunan yang digunakan untuk tempat tinggal ternak atas
sebagian atau sepanjang hidupnya. Kandang harus dirancang untuk memenuhi persyaratan
kesehatan dan kenyamanan ternak, enak serta nyaman untuk operator, efisien untuk tenaga
kerja dan pemakaian alat-alat, serta disesuaikan dengan peraturan kesehatan ternak (Rianto dan
Purbowati, 2009). Pembuatan kandang harus sesuai dengan kebutuhan ternak dantujuan usaha
peterankan. Sehubungan dengan kebutuhan hidup ternak dipelukan faktor-faktor yang perlu
diperhatikan seperti iklim setempat, kontruksi dan bahan bangunan (AAK, 1991).
2.4.2.Pakan
Dari praktikum yang kami lakukan pakan yang diberikan pada ternak sapi potong milik
pak buang adalah hijauan berupa rumput gajah dan jerami padi sebanyak 70 kg untuk 2 ekor
ternak yang didapatkan dengan cara di aritkan .untuk konsentrat pak buabg tidak
menggunakannya karena harga konsentrat yang mahal.
Padahal Pakan merupakan salah satu unsur yang sangat enting dalam menunjang
kesehatan, pertumbuhan dan reproduksi ternak. Kebutuhan pakan akan meningkat selama
ternak masih dalam masa pertumbuhan berat tubuh dan masa kebuntingan. Secara umum,
jumlah kebutuhan hijaun adalah 10 % dari berat tubuh ternak dan diberikan dua kali dari jumlah
makanan hijaun yang diperlukan. Hal ini tidak sesuai dengan Hal ini tidak sesuai dengan
Darmono bahwa Pakan ternak untuk penggmukkan sapi potong merupakan faktor yang
penting

untuk meningkatkan produksinya. Pakan yang baik adalah pakan yang

mengandung protein, karbohidrat, lemak, vitamin, mineral . Protein adalah unsur utama dalam
pemeliharaan tubuh dan pertumbuhan. Karbohidrat berguna sebagai sumber energi yang akan
digunakan untuk proses metabolisme, lemak sebagai sumber energi yang membawa vitamin
yang larut daam lemak (Vitamin A,D,E,K). Vitamin Berfungsi untuk pembentukan organ dan
meningkatkan kekebalan tubuh, sedangkan mineral untuk membentuk jaringan tulang dan
urat untuk memproduksi dan mengganti mineral dalam tubuh yang hilang (Darmono,1993).
Pada umumnya setiap sapi membutuhkan makanan berupa hijauan. Sapidalam masa
pertumbuhan, sedang menyusui dan supaya tidak jenuh memerlukan pakan yang memadai dari
segi kualitas maupun kuantitasnya. Pemberian pakan dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu
penggembalaan (pasture fattening), kereman (dry lot fattening) dan kombinasi cara pertama
5

dan kedua. Penggembalaan dilakukan dengan melepas sapi-sapi di padang rumput, yang
biasanya dilakukan di daerah yang mempunyai tempat penggembalaan cukup luas dan
memerlukan waktu sekitar 5-7 jam per hari.
Berdasarkan praktikum yang dilakukan menunjukkan bahwa penggemukan dengan
mengandalkan pakan berupa hijauan saja, kurang memberikan hasil yang optimal dan
membutuhkan waktu yang lama. Salah satu cara mempercepat penggemukan adalah dengan
pakan kombinasi antara hijauan dan konsentrat. Konsentrat yang digunakan adalah ampas bir,
ampas tahu, ampas tebu, bekatul, kulit biji kedelai, kulit nenas dan buatan pabrik pakan.
Konsentrat diberikan lebih dahulu untuk memberi pakan mikrobia rumen, sehingga ketika
pakan hijauan masuk rumen, mikrobia rumen telah siap dan aktif mencerna hijauan. Kebutuhan
pakan (dalam berat kering) tiap ekor adalah 2,5% berat badannya. Hijauan yang digunakan
adalah jerami padi, daun tebu, daun jagung, alang-alang dan rumput-rumputan liar sebagai
pakan berkualitas rendah dan rumput gajah, setaria kolonjono sebagai pakan berkualitas
tinggi.(Agus, 2012)

2.5 Data reproduksi


Umur pertama kali ternak dikawinkan pada lokasi praktrikum yaitu pada umur 3 tahun
. Sapi betina umumnya beranak pertama kali pada umur 15 bulan dengan lama kebuntingan 9
bulan. Bila pakannya cukup memadai maka 3-4 bulan setelah melahirkan induk sapi biasanya
sudah dapat dikawinkan lagi. Sebagian petani melaporkan jarak beranak selama 14 bulan.
Namun umumnya ditemui bahwa usia kebuntingan induk sekitar dua bulan pada saat anak
sudah berumur setahun. Dengan demikian jarak beranak menjadi 21 bulan. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat reproduksi sapi hanya mencapai 60%. Apabila dikelola dengan
baik maka jarak beranak dapat dipersingkat lagi, terutama dengan penyediaan pakan yang
memadai bagi kebutuhan induk dan bagi produksi susunya.
Dari praktikum yang dilakukan didapatkan hasil bahwa sapi di peternakan pak buang
dikawinkan denngan cara IB( inseminasi Buatan) hal ini bertujuan untuk memperbesar peluang
kehamilan .Hal ini sesuai dengan Blakely dan Bade Pada peternakan pak buang sistem
perkawinannya yakni perkawinan buatan yakni IB (Inseminasi Buatan). Perkawinan buatan
sering dikenal dengan Inseminasi Buatan (IB) atau Artificial Insemination (AI) yaitu dengan
cara memasukkan sperma kedalam saluran reproduksi betina dengan menggunakan peralatan
khusus (Blakely dan Bade, 1998).
6

Tanda-tanda birahi akan tampak 30 - 60 hari sesudah beranak. Perkawinan yang


dilakukan dengan tidak memperhatikan musim kawin, akan mengurangi nilai keberhasilan.
Kegagalan perkawinan akan nambah panjang jarak antara satu kelahiran dan kelahiran
berikutnya. Apabila melihat jarak antara 2 kelahiran dan lama kebuntingan masing-masing 450
- 580 hari dan 310 - 317 hari, maka terkesan bahwa sapi tersebut tidak bunting cukup lama.
Sapi perah tempat pak Buang pertama kali dikawinkan pada umur 16-18 bulan.
Perkawinannya dilakukan dengan menggunakan inseminasi buatan (IB) dan perkawinan alami.
Umur kawin sudah sesuai dengan pendapat Bearden dan Fuquay (l997) sapi dari bangsa perah
seharusnya mencapai berat kawin pertama pada umur 15 bulan sehingga saat beranak kira-kira
umur 24 bulan, sebaiknya sapi perah dikawinkan pertama kali ketika berat badannya 272
kilogram.
Pelaksanaan IB dilakukan oleh petugas Inseminasi dengan sistem aktif artinya
inseminator menjalankan tugas jika ada peternak yang melaporkan sapinya menunjukkan
gejala birahi. Alasan peternak melakukan perkawinan dengan sistem IB adalah karena semen
pejantan yang dipelihara kurang bagus dan tingkat keberhasilannya rendah. IB bertujuan
untuk

mendapatkan keturunan yang mempunyai produksi tinggi dan lebih efektif

dibandingkan dengan perkawinan alami. Keberhasilan bunting dipengaruhi oleh kualitas


semen yang secara langsung dipengaruhi oleh proses penanganan dan penyimpanannya
(Bearden dan Fuquay , 1997).
Birahi ternyata bertepatan dengan perkembangan maksimum folikel-folikel ovarium.
Manifestasi psikologis birahi ditimbulkan oleh hormon seks betina, yaitu estrogen yang
dihasilkan oleh folikel-folikel ovarium. Pada sapi betina seringkali terjadi birahi tenang semua
fenomena histologis dan fisiologis yang normal dapat teramati, termasuk ovulasi tetapi respon
untuk perkawinan tidak tampak, untuk beberapa individu, kebutuhan estrogen mungkin lebih
besar dibanding yang lainnya dan birahi tenang mungkin disebabkan oleh kegagalan dalam
mensekresi estrogen dalam jumlah yang cukup besar untuk menimbulkan respon perkawinan.
Tanda-tanda sapi birahi antara lain vulva nampak lebih merah dari biasanya, bibir vulva
nampak agak bengkak dan hangat, sapi nampak gelisah, ekornya seringkali diangkat bila sapi
ada dipadang rumput sapi yang sedang birahi tidak suka merumput, kunci untuk menentukan
yang mana diantara sapi-sapi yang saling menaiki tersebut birahi adalah sapi betina yang tetap
tinggal diam saja apabila dinaiki dan apabila didalam kandang nafsu makannya jelas berkurang,
pada sapi dewasa laktasi tidak jarang produksi susunya turun (Soetarno, 2003).

Di peternakan Bapak buang seekor sapi perah memerlukan 1 sampai 3 kali IB agar
menjadi bunting. Setelah 2 bulan di IB kemudian dilakukan deteksi kebuntingan oleh peternak
atau inseminator.

Peternak mendeteksi kebuntingan dengan melihat apakah sapi yang

diinseminasi birahi lagi atau tidak, jika sapi tersebut tidak lagi birahi selama dua bulan setelah
inseminasi maka peternak menyimpulkan bahwa sapi tersebut bunting. Palpasi rectal pada sapi
dilakukan dengan meraba uterus melalui rektum rectal untuk mengetahui perkembangan fetus
bila terjadi kebutingan. Metode ini dilakukan pada masa awal kebuntingan hasilnya, cukup
akurat dan dapat diketahui segera (Hafez, 1993). Sapi dikawinkan kembali 30 - 60 hari setelah
beranak sehingga calving intervalnya antara 300 330 hari. Sedangkan untuk masa laktasi
dihitung mulai dari hari ke empat sampai dengan hari ke 309 setelah beranak.

Siklus birahi
Estrus merupakan fase dimana seekor betina mau menerima pejantan untuk mengawini.

Fase estrus dibagi menjadi 4 diantaranya yaitu proestrus, estrus, metestrus dan diestrus. Pada
fase estrus terjadi tanda tanda pada fisik, hormon serta psikologi dari ternak tersebut. Menurut
Irkham Widiyono dkk (2011) menyatakan pada sapi dilaporkan terjadi perubahan sitologi
selama siklus estrus. Selain itu, pada sapi betina juga terjadi perubahan tingkah laku, suhu
tubuh, dan sifat fisik cairan alat kelamin seiring dengan perubahan status hormon reproduksi
selama siklus estrus.
Dari hasil pengamatan praktikum yang dilakukan, kedua ternak tidak menandakan
adanya tanda tanda birahi dikarenakan menurut pemilik kedua sapi tersebut sedang bunting.
Ternak lebih tenang jika dibandingkan dengan ternak yang sedang birahi, hal tersebut
dikarenakan aktivitas hormone yang berbeda saat masa kebuntingan. Pada fase estrus, hormone
FSH, LH, Estrogen lebih mendominasi sedangkan hormone progesterone rendah. Pada awal
kebuntingan hormone estrogen sedikit kemudian kadarnya mulai naik pada saat umur
kebuntintingan mulai tua. Pada usia kebuntingan 4 bulan akhir sapi akan mengekskresikan 10
X lipat hormon esterogen didalam air seninya dibanding sesudah melahirkan.
Sang pemilik mengawinkan ternaknya dengan metode inseminasi buatan (IB). Beliau
memanggil inseminator saat ternak mulai menunjukan tanda tanda birahi seperti vulvanya
berwarna merah, bengkak dan mengeluarkan lendir putih. Menurut Dicky M dikman dkk
(2010) menyatakan Deteksi birahi merupakan faktor penting dalam praktek manajemen
reproduksi. Birahi adalah periode dimana betina mau menerima pejantan. Tanda-tanda birahi
8

diantaranya : betina berdiam diri ketika dinaiki pejantan, ekor diangkat, aktif, vulva bengkak
dan lendir bening. Waktu kawin yang tepat dapat diprediksi setelah tanda-tanda birahi muncul

Lama bunting
Hasil praktikum yang dilakukan di lapang, pemilik menyatakan lama kebuntingan pada

ternaknya berkisar kurang lebih 9 bulan. Pemilik tidak mempunyai cacatan reproduksi ternak
yang diterapkan di peternakan beliau. Menurut Gatot Prasojo dkk (2008) menyatakan Lama
kebuntingan pada sapi Bali sekitar 280 294 hari. Lama kebuntingan tersebut dipengaruhi oleh
jenis kelamin, iklim, kondisi makanan dan umur induk. pertumbuhan dan perkembangan fetus
juga dipengaruhi oleh faktor genetik (spesies, bangsa, ukuran tubuh dan genotip), faktor
lingkungan (induk dan plasenta) serta faktor hormona. kisaran bobot lahir sapi Bali adalah 13
18 kg atau 9 20 kg. Bobot lahir anak ditentukan oleh bangsa induk, jenis kelamin anak,
lama bunting induk, umur atau paritas induk dan makanan induk sewaktu mengandung

Days open
Pemilik memberi kesempatan pada ternak yang baru lahir untuk menyusui anaknya

selama 3 5 bulan. Beliau memberi pakan kosentrat berupa ampas tahu ditujukan agar sapi
dapat memproduksi susu yang cukup untuk anaknya. Menurut A. Anggreani dkk (2010)
menyatakan Masa kosong misalnya direkomendasikan untuk sapi dara laktasi selama 90 hari
dan sapi induk laktasi 60 90 hari. Hal ini untuk menjaga agar sapi betina bisa menghasilkan
produksi susu cukup tinggi pada akhir laktasi, dengan masa laktasi yang diharapkan
berlangsung selama 305 hari. Pada kenyataannya, semakin pendek masa kosong akan
menurunkan produksi susu pada laktasi berjalan dikarenakan regresi kelenjar ambing dan
kompetisi penggunaan nutrisi untuk mendukung berkembangnya fetu. Sapi dara laktasi
konsepsi sebelum 60 hari menurunkan produksi susu kumulatif per tahun baik pada laktasi
berjalan dan berikutnya, sedangkan masa kosong 110 130 hari memberi produksi susu
optimal. Sebaliknya, masa kosong yang terlalu panjang menurunkan produksi susu selama
hidup produktif induk, karena menurunkan frekuensi kelahiran sebagai awal proses dimulai
kembali laktasi

Umur beranak pertama


Pada praktikum yang telah dilaksanakan, pemilik tidak peduli pada umur berapa ternak

harus dikawinkan dan kapan ternak harus beranak. Karena menurut beliau, sangat senang
apabila ternak yang beliau miliki bunting lebih cepat setelah pembelian. Selain itu peternak
9

tidak mempunyai cacatan reproduksi pada ternak yang dimiliki. Menurut Gilang Albion (2012)
menyatakan Sapi-sapi yang beranak pertama pada umur 2 tahun belum mencapai kematangan
tubuh. Sapi-sapi tersebut masih membutuhkan nutrisi bukan hanya untuk pertumbuhan tapi
juga untuk beranak sehingga akan mempengaruhi laktasi. bobot badan rata-rata sapi dara ketika
pertama kali beranak sekitar 504 kg dan berumur 28,2 bulan.
Umur dikeluarkan dalam pembiakan
Pada praktikum yang telah dilaksanakan, pemilik tidak peduli pada umur berapa ternak
harus dikawinkan dan kapan ternak harus beranak. Karena menurut beliau, sangat senang
apabila ternak yang beliau miliki bunting lebih cepat setelah pembelian. Selain itu peternak
tidak mempunyai cacatan perkawinan pada ternak yang dimiliki. Menurut Gilang Albion
(2012) menyatakan Rata-rata umur pertama kali sapi dara dikawinkan melalui inseminasi pada
umur 601 hari atau 21 bulan, sehingga didapatkan umur beranak pertama 28,8 bulan pada
Holstein Ontario. Jika nutrisi yang diberikan pada sapi berimbang dan mencukupi maka sapisapi dara dapat diinseminasi antara umur 13-15 bulan. Berhasil tidaknya perkawinan pada sapi
perah yang menghasilkan kebuntingan ditentukan oleh faktor kesuburan pejantan, kesuburan
betina induk dan tatalaksana perkawinan. Standar umur kawin pertama di Jepang adalah pada
umur 15-16 bulan dengan bobot badan 350 400 kg sehingga dicapai umur beranak pertama
25 bulan.
2.6 Data individu ternak (Statistik Vital)
Parameter tubuh adalah nilai-nilai yang dapat diukur dari bagian tubuh ternak termasuk
ukuran-ukuran yang dapat diukur bagian tubuh ternak sapi, antara lain ukuran kepala, tinggi,
panjang, lebar, dalam dan lingkar. Indikator penilaian produktivitas dapat dilihat berdasarkan
parameter tubuh ternak tersrbut. Parameter tubuh yang sering digunakan dalam menilai
produktivitas antara lain lingkar dada, tinggi badan dan panjang badan ( Sitanggang dkk, 2009)
Perubahan ukuran tubuh ternak dapat dijadikan sebagai indikator pertumbuhan ternak.
Perubahan pada ukuran tubuh ternak ini menunjukkan apakah ternak mengalami pertumbuhan
atau tidak. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengukur tubuh dari ternak ini,
yaitu dengan mengukur lingkar dada. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, sapi yang
ada di peternakan yang kami kunjungi memiliki lingkar dada yang berbeda beda setiap sapi.
Pada sapi pertama mempunyai lingkar dada sebesar 228 cm, sedangkan pada sapi kedua
mempunyai lingkar dada sebesar 206 cm, hal ini dapat terlihat dari bobot badan sapi yang
10

berbeda, semakin besar bobot badan yang dimiliki sapi maka semakin besar pula lingkar dada
yang dimiliki oleh ternak tersebut. Menurut Awaluddin dan Panjaitan (2010) lingkar dada
merupakan salah satu dimensi tubuh yang dapat digunakan sebagai indikator mengukur
pertumbuhan dan perkembangan ternak. Pengukuran lingkar dada diukur pada tulang rusuk
paling depan persis pada belakang kaki depan.
Rataan panjang badan hasil pengukuran untuk sapi yang mempunyai berat badan kurus
sebesar 150cm dan yang berukuran sedang sebesar 182cm. ukuran tubuh sangat berpengaruh
terhadap panjang badan. Hal yang sama pula pada lingkar dada, dimana ukuran tubuh ternak
berpengaruh terhadap lingkar dada bahwa dengan semakin besar ukuran tubuh ternak akan
menghasilkan lingkar dada yang besar. rata-rata ukuran panjang badan dan lingkar dada dalam
praktikum di lapang berbeda jauh dengan penelitian yang dilakukan oleh Jaelani dkk (2013)
yaitu sebesar 125,6 cm dan dengan lingkar dada sebesar 181,4 cm.

Jenis kelamin
Di lapangan dari terlihat bahwa ukuran tubuh sapi jantan berbeda dengan sapi betina.

Faktor faktor yang mempengaruhi bobot badan ternak adalah genetic, lingkungan, jenis
kelamin, pakan, manajemen dan lingkungan. Sapi jantan pada keadaan normal akan tumbuh
lebih besar daripada sapi betina. Karena dilihat dari berbagai macam aspek seperti genetik,
pakan, manajemen dan lingkungan, sapi bali ini mendapatkan perlakuan yang sama.
Sehingga dapat dikatakan bahwa factor yang mempengaruhi perbedaan ukuran tubuh
sapi ini adalah faktor jenis kelamin. Hal ini sama seperti yang duingkapkan (Murtidjo,:
2001) bahwa Ternak jantan tumbuh lebih cepat dari pada ternak betina, sehingga pada umur
yang sama, ternak jantan mempunyai tubuh dan daging yang lebih besar dari pada ternak
betina.

Penentuan BCS (Body Conditions Score)


Body Condition Scoring (BCS) atau skor kondisi tubuhmerupakan metode yang

digunakan untuk menilai tingkat kegemukan seekor ternak sapi potong. Dengan melihat skor
kondisi maka dapat diketahui baik buruknya manajemen pemeliharaan yang telah dilakukan
oleh peternak. menyatakan BCS merupakan metode penilaian secara subjektif melalui teknik
peanglihatan dan perabaan untukmenduga cadangan lemak tubuh. . Diagram penilaian
BCS menggunakan angka skala 1 sampai 5. BCS (1= sangat kurus, 2=kurus, 3=sedang,
4=gemuk, 5=sangat gemuk) hal ini sesuai dengan pendapat (Gafar, 2007) .

11

Berdasarkan pengamatan dari ke 2 sapi yang dilihat berdasarkan diagram BCS berkisar
anatara BCS 2, dan 3dimana BCS 2 adalah kurus, BCS 3 adalah sedang. Tetapi rata-rata
memenuhi syarat BCS karena jarak anatara tulang rusuk (ribs) masih terlihat, tulang pangkal
ekor masih terlihat hanya ditutupi sedikit jaringan lemak. Menentukan menimbang berat badan
induk sapi perah sangat perlu dilakukankarena dengan menggunakan salah satu cara ini kita
dapat mengetahui berat sapi yang dipelihara.

Umur ternak
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada saat praktikum di ketahui peternak

memiliki 2 ekor sapi betina produktif dimana umur ternak tersebu tberkisarantara 3 dan 5 tahun,
pendugaan umur pasti keduasapi yang dimilik ioleh peternak tidak benar-benar valid karena
peternak sendiri tidak menerapkan system recording yang jelas dan hanya menduga umur
ternaknya dari jumlah pedet yang telah di hasilkan oleh satu ekor sapi, hal ini tidak sesuai
dengan penjelasan literature yang menyatakan peternak seharusnya amemiiki catatan recording
untuk mempermudah dalam proses pendataan kedepannya.
Rekording ternak merupakan proses pencatatan semua kegiatan dan kejadian yang
dilakukan pada suatu usaha peternakan. Kegiatan ini perludilakukan karena sangat mendukung
upaya perbaikan dalam rangka meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha peternakan.
Kegiatan pencatatan (rekording) ini dapat meliputi aspek peternaknya, aspek organisasi dan
semua kejadian yang dialami dalam usaha peternakan dan performans ternak yang
bersangkutan. Variabel yang biasa dicatat dalam rekording ternak adalah identitas sapi (umur,
keturunan, dll), performans produksi (khusus pada sapi perah ditambah dengan data produksi
susu), performans reproduksi dan kesehatan ternak (Hardjosubroto, 1994 dalam Hakim, L.dkk,
2010).
Hal utama yang paling membantu dalam penentuan umur yaitu dengan ketersediaan
catatan atau recording dari ternak itu sendiri. Misalnya tanggal lahir, dikawinkan, beranak
pertama kali dan seterusnya. Waktu kelahiran, catatan ini penting, untuk mengetahui umur
ternak yang dilahirkan secara tepat dan akurat, Dengan adanya pencatatan tersebut, peternak
dapat memperoleh keuntungan seperti: peternak dapat membuat beberapa perencanaan
diantaranya menentukan waktu mengawinkan setelah beranak agar jarak beranak dapat
diperpendek, mengamati jika ada induk berahi kembali setelah dikawinkan.

12

Berat badan
Berdasar kan hasil wawancara di lapang oleh peternak sapi potong, kami menanyakan

tentang pendugaan bobot badan ternak yang dimiliki oleh peternak, karena pada lokasi peternak
tidak pernah menimbang bobot dari ternaknya dan tidak punya alat timbang sapi maka peternak
mulai menduga bobot sapi yang dimilikinya, karena menurut peternak beliau biasa untuk
menduga bobot sapi sebagai acuan pembelian di pasar hewan dengan hanya melihat tanpa
bantuan pita ukur untuk mengukur panjang dada dan lain-lain,dan menurut peternak bobot yang
dimiliki oleh kedua sapinya adalah kurang lebih 350 kg, hal ini tentusaja hanya sekedar
pendugaan tanpa menggunakan rumus,sebaiknya untuk lebih valid dalam pendugaan bobot
digunakan rumus schoort.
Dari hasil pelaksanaan kegiatan praktikum, maka di dapatkan hasil pendugaan berat
badan sapi bali dengan menggunakan pita ukur yang disesuaikan dengan standar yang
ada. Dalam pengukuran, disarankan berdiri dengan jarak 2 meter dari sapi yang akan
diukur. Selanjutnya, memulai pengukuran dari depan kemudian mengitari sisi sebelah kiri dan
kanan mengelilingi seluruh tubuh hewan. Pengukuran ternak sapi yang kami lakukan adalah
pada daerah-daerah tertentu saja seperti panjang badan, tinggi hip, tinggi gumba, lebar dada,
dan dalam dada. Pada perhitungan selanjutnya dilakukan perhitungan bobot badan sapi dengan
menggunakan rumus Schoort sesuai pendapat Hasnudi, 1997.

13

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan dan saran untuk lokasi praktikum

Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa peternakan milik

pak buang memiliki manajemen yang kurang baik dari mulai sisitem pemberian pakan ,belum
adanya penyuluhan tentang pengolahaan pakan juga membuat pak buang kesulitan dalam
mencari pakan di musim kemarau , sistem pencatatan atau rechording data yang jelas ,namun
pak buang masih merawat ternaknya dengan baik dan mau belajar dari siapa saja mengenai
ilmu seputar dunia ternak.

Saran
Perlu adanya binaan dari pemerintah ,kelompok tani maupun mahasiswa yang ingin

mengabdi pada masyarakat

3.2 Kesimpulan dan saran untuk kegiatan praktikum

Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa kegiatan

praktikum berupa survei ke peternakan rakyat dengan mengambil data-data yang nantinya akan
di analisis.

Saran
Untuk praktikum semoga lebih meningkat lagi akan lebih bagus jika praktikan di

arahkan untuk survey ke peternakan dengan sekala besar dari laboratorium maupun fakultas.

14

DAFTAR PUSTAKA

AAK. 2008. Petunjuk Beternak Sapi Potong dan Kerja. Cetakan ke-2. Kanisius, Yogyakarta
Awaluddin., dan Panjaitan, T. 2010. Pengukuran Ternak Sapi Potong. Balai Pengkaji
Teknologi Pertanian. Lombok Barat
Blakely, J. Dan D.H. Blade. 2009. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Jaelani. A ., Syarif D.M., dan Yanti M. 2013. Komparasi Pendugaan Berat Badan Sapi
Jantan Dengan Metode Winter, Schoorl, dan Penggunaan Pita Ukur Dalton. Media
Sains Volume 5 Nomor 1.
Sitanggang. H.I.M., Murti T.W., dan Hartatik.T., 2009. Profil Peternak dan Karakteristik
Ternak Kerbau Rawa Lokal yang Jadi Pilihan Peternak Di Kabupaten Samosir
Sumatera Utara. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Siregar, S. 2007. Sapi Perah Jenis Tehnik Pemeliharaan dan Analisis Usaha. PT. Penebar
Swadaya, Jakarta. Hal 107-121.
Soedono, A. 2010. Pedoman Beternak Sapi Perah. Edisi Kedua. Direktorat Jenderal
Peternakan Departemen Pertanian, Jakarta. Hal 7, 35, 48.
Soetarno, T. 2007. Ilmu Produksi Ternak Perah. Laboratorium Ternak Perah Fakultas
Peternakan Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.
Sugeng. 2009. Sapi Perah Daerah Tropis. Erlangga :Jakarta
Sariubang, M., A. Ella, D. Pasambe Dan S. Bahar. 2006. Pengaruh bangsapejantan terhadap
produktivitas sapi potong hasil inseminasi buatan. Pros. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan

dan

Veteriner.

Bogor,

17

18

September

2001.Puslitbang

Peternakan, Bogor. hlm. 59 63.


Sutawi. 2009. Studi pemberdayaan ekonomi rakyat melalui penggemukan sapi potong impor.
J. Ilmiah Peternakan dan Perikanan. Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas
Muhamdiyah Malang: 265 272.

15

Anda mungkin juga menyukai