Anda di halaman 1dari 4

PENULISAN SEJARAH (HISTORIOGRAFI) INDONESIA

http://pussisunimed.wordpress.com/2010/02/05/penulisan-sejarah-historiografi-indonesia/

A. Beberapa Pengertian Umum Penulisan Sejarah (Historiografi)


Sejarah bukan semata-mata rangkaian fakta belaka, tetapi sejarah adalah sebuah cerita. Cerita
yang dimaksud adalah penghubungan antara kenyataan yang sudah menjadi kenyataan
peristiwa dengan suatu pengertian bulat dalam jiwa manusia atau pemberian tafsiran
/interpretasi kepada kejadian tersebut (R. Moh. Ali, 2005: 37). Dengan kata lain penulisan
sejarah merupakan representasi kesadaran penulis sejarah dalam masanya ( Sartono
Kartodirdjo, 1982: XIV ). Secara umum dalam metode sejarah, penulisan sejarah
(historiografi) merupakan fase atau langkah akhir dari beberapa fase yang biasanya harus
dilakukan oleh peneliti sejarah. Penulisan sejarah (historiografi) merupakan cara penulisan,
pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan (Dudung
Abdurrahman,1999:67).
Pengkisahan sejarah itu jelas sebagai suatu kenyataan subyektif, karena setiap orang atau
setiap generasi dapat mengarahkan sudut pandangannya terhadap apa yang telah terjadi itu
dengan berbagai interpretasi yang erat kaitannya dengan sikap hidup, pendekatan, atau
orientasinya. Oleh karena itu perbedaan pandangan terhadap peristiwa-peristiwa masa
lampau, yang pada dasarnya adalah obyektif dan absolut, pada gilirannya akan menjadi
kenyataan yang relatif.
Bagi penulis sejarah ataupun sejarawan akademis yang menganut relativisme historis, sikap
netral dalam pengkajian dan penulisan sejarah merupakan hal yang sulit direalisasikan.
Alasannya seperti yang dinyatakan Al-Sharqawi (dalamDudung Abdurrahman,1999:5) bahwa
pengetahuan sejarah itu pada dasarnya adalah mengalihkan fakta-fakta pada suatu bahasa
lain,menundukkannya pada bentuk-bentuk, kategori-kategori dan tuntutan khusus. Proses
pemilihan unsur-unsur tertentu mengenai perjuangan seorang tokoh, umpamanya dilakukan
penulis biografi dengan mendasarkan diri pada interpretasi historis atas peristiwa-peristiwa
yang dikehendakinya, lalu disusunlah kisah baru.
Demikianlah kecenderungan subyektivitas itu selalu mewarnai bentuk-bentuk penulisan
sejarah. Hal ini karena secara umum dapat dikatakan bahwa kerangka pengungkapan atau
penggambaran atas kenyataan sejarah itu ditentukan oleh penulis sejarah atau sejarawan
akademis, sedangkan kejadian sejarah sebagai aktualitas itu juga dipilih dengan dikonstruksi
menurut kecenderungan seorang penulis.
Selain alasan praktis diatas, ternyata dimungkinkan lebih banyak lagi faktor yang
menyebabkan terjadinya subyektivitas. Ibnu Khaldun (dalam Dudung Abdurrahman, 1999:6)
menyatakan bahwa:
Ada faktor yang dipandangnya sebagai kelemahan dalam penulisan sejarah (historiografi)
yaitu:1)sikap pemihakan sejarawan kepada mazhab-mazhab tertentu, 2) sejarawan terlalu
percaya kepada penukil berita sejarah, 3) sejarawan gagal menangkap maksud-maksud apa
yang dilihat dan didengar serta menurunkan laporan atas dasar persangkaan keliru, 4)
sejarawan memberikan asumsi yang tak beralasan terhadap sumber berita, 5) ketidaktahuan
sejarawan dalam mencocokkan keadaan dengan kejadian yang sebenarnya, 6) kecenderungan

sejarawan untuk mendekatkan diri kepada penguasa atau orang berpengaruh, dan 7)
sejarawan tidak mngetahui watak berbagai kondisi yang muncul dalam peradaban.
Bila ketujuh alasan tersebut atau sebagian dari padanya mewarnai karya sejarah dari suatu
generasi, maka generasi sejarawan yang lain juga akan terpengaruhi dengannya. Karena
setiap telaah historis, baik dari masa silam, masa kini, atau masa depan, selalu bersifat
subyektif (Ankersmit dalam Dudung Abdurrahman,1999:6).
Kepribadian sejarawan tidak dapat disangkal lagi merupakan faktor dominan yang dapat
menjuruskan penulisan sejarah menjadi subyektif, maka seluruh kesadaran sejarawan
sesungguhnya terselimuti oleh sitem kebudayaan. Sartono Kartodirdjo (1992:64)
mendefinisikannya:
Sebagai subyektivitas kultural, yakni sikap atau pandangan penulis sejarah itu berhubungan
dengan konteks kebudayaan masyarakatnya. Individu sejarawan sebagai anggota masyarakat
akan lebur dalam proses sosialisasi, sehingga seluruh pikiran, perasaan, dan kemauannya
terpola menurut struktur etis, estetis, dan filosofis yang berlaku dalam masyarakat.
Subyektivitas kultural itu tercakup pula subyektivitas waktu, karena kebudayaan tumbuh dan
berkembang dalam waktu tertentu.
Telah menjadi istilah umum di kalangan ahli sejarah, seorang sejarawan merupakan anak
zamannya dan bersama dengan orang sezaman, tetapi iapun menerima nilai-nilai yang dianut
pada zamannya itu (Ankersmit dalam Dudung Abdurrahman, 1999:7). Disinyalir
subyektivitas waktu akan terasa lebih sulit untuk diatasi.
Berdasarkan tinjauan mengenai subyektivitas sejarah diatas, dapat disebutkan bahwa setiap
hasil penulisan sejarah tidak seluruhnya relatif, karena dalam karya seperti itu dapat pula
diperoleh pula hal-hal yang absolut, yakni fakta-fakta yang tidak diragukan lagi
kesahihannya. Penunjukkan fakta keras atau fakta yang telah menjadi kebenaran umum dan
tidak diragukan lagi kebenarannya.
Bila kecenderungan pribadi pangkal terjadinya subyektivitas, sebenarnya tidak selalu
merupakan penghalang bagi obyektivitas, sebab sejarawanpun akan mampu mengetahui
perasaan-perasaan subyektif dalam dirinya dan ia akan selalu berusaha untuk berhati-hati
agar tidak terjerumus kedalam subyektivitas tersebut (Walsh dalam Dudung Abdurrahman,
1999: 8 ). Pengetahuan sejarah yang obyektif itu justru timbul bila terdapat beberapa
pendapat antara para sejarawan. Pernyataan mereka yang berbeda mengenai peristiwa sejarah
yang sama, belumlah merupakan perbedaan pendapat, sebab peristiwa sejarah bisa dilihat
dari berbagai perspektif.
Atas dasar pertimbangan diatas, nyatalah bahwa penafsiran terhadap peristiwa sejarah akan
beragam didalam historiografi, yang barangkali jumlahnya sebanyak kepala penulis sejarah
itu sendiri.
B. Sejarah Singkat Perkembangan Penulisan Sejarah (Historiografi) Indonesia
Sejarah dari penulisan sejarah (historiografi) akan dapat menyoroti isi filosofis teoretis dari
penelitian dan penulisan sejarah, membuka metode penggarapan bahan sejarah dan
persentasi, ide-ide yang mengikat fakta-fakta sebagai kesatuan yang bermakna,cara menilai

dan menginterpretasikan,dan yang sangat penting adalah pandangan hidup sipenulis


(sejarawan). Penulisan sejarah (historiografi) berbeda-beda menurut negerinya, masanya, dan
kepribadian dari sejarawan. Mempelajari sejarah dari penulisan sejarah (historiografi) itu
tidak mengutamakan segi-segi isi faktual dan proses sejarah, tetapi lebih memusatkan
perhatian terhadap pikiran-pikiran sejarah dalam hal kultural, sehingga mempertinggi
kemampuan kita membuat pandangan dan perbaikan serta penilaian artinya (Sartono
Kartodirdjo, 1982:15). Kemudian yang jelas juga adalah bahwa hal itu akan membuat
sejarawan lebih kritis terhadap dirinya sendiri dan lebih memberi kemungkinan untuk
mengobyektivitaskan penulisannya.Dengan senantiasa mengingat praktek sejarawan dalam
masa yang lampau kita dapat memandang perkembangan historiografi dengan cara pandang
yang benar dan tepat, sehingga akan dapat kita tentukan derajat kesadaran diri dari sejarawan.
Dalam perkembangan penulisan sejarah (historiografi) di Indonesia,beberapa corak
historiografi cukup menonjol, yaitu historiografi tradisional, historiografi kolonial dan
historiografi nasional. Historiografi tradisional cenderung masih didominasi oleh aspek
magis religius dan oknum pengkisahnya tidak selalu diketahui secara pasti, kisah sejarah
dalam masyarakat pada masa itu adalah milik kolektif. Hal ini membuktikan bahwa
historiografi adalah ekspresi kultural dan pantulan keprihatinan sosial masyarakat atau
kelompok sosial yang menghasilkannya (Taufik Abdullah, 1985: XXI ). Hal itu tidak berarti
mengingkari bahwa karya sejarah merupakan hasil rekonstruksi sejarawan. Penghayatan
kultural terhadap masyarakat menuntut masyarakat untuk membuat rekonstruksi kisah yang
dapat menjelaskan bagaimana dan mengapa mereka berada. Historiografi kolonial
menonjolkan peranan bangsa Belanda dan memberi tekanan pada aspek politis, ekonomis,
dan institusional. Hal ini merupakan perkembangan secara logis dari situasi kolonial dimana
penulisan sejarah terutama mewujudkan sejarah dari golongan yang dominan beserta
lembaga-lembaganya. Interpretasi dari jaman kolonial cenderung untuk membuat mitos dari
dominasi itu,dengan menyebut perang-perang kolonial sebagai usaha pasifikasi daerahdaerah, yang sesungguhnya mengadakan perlawanan penjajakan masyarakat serta
kebudayaannya. Sejarah perang kolonial menguraikan pelbagai operasi militer secara
mendetail, sedang bangsa Indonesia hanya disebut sebagai objek dari aksi militer Belanda,
tidak diterangkan organisasi intern dari pemberontakan siapa, dan termasuk golongan apakah
pemberontak itu, serta apakah yang sesungguhnya menjadi tujuannya. Ketiga corak
historiografi diatas dianggap belum bertitik tolak dari kepentingan ilmiah. Bukan proses
pengkisahan sejarah yang mencari kebenaran berdasarkan landasan metodologis yang dapat
dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Ketiganya didasarkan atas kepentingan legitimasi
kultural dan politik, yaitu pengkisahan yang kadang -kadang mengarah pada pembenaran.
Pembenaran terhadap identitas dan jati dirinya sebagai suatu komunitas. Ketiga corak
historiografi tersebut cenderung untuk menunjukkan unsur kejayaan dan kebesaran dari
struktur kekuasaan yang dominan ( Hariyono, 1995: 104 ).
Suatu periode baru dalam perkembangan historiografi Indonesia dimulai dengan timbulnya
studi sejarah yang kritis. Perkembangan metode sejarah ilmiah di Indonesia sebenarnya tidak
langsung terjadi dalam bidang sejarah sendiri. Untuk dapat melakukan kritik terhadap
sumber-sumber sejarah diperlukan ilmu bantu. Karya Husein Djajadiningrat, Critische
Beschouwingen Van De Sejarah Banten merupakan hasil studi yang menggunakan suatu
karya historiografi tradisional sebagai obyek sekaligus sebagai sumber sejarah. Beliau dapat
dicatat sebagai putra Indonesia pertama yang menggunakan prinsip-prinsip metode kritis
sejarah. Dan setelah proklamasi, terdapat upaya yang dominan untuk melihat sejarah dari
aspek nasional, memandang sejarah dari masyarakat Indonesia sendiri. Sebagai konsekuensi
dari pantulan kesadaran kultural, maka wajar bila historiografi yang berkembang adalah

sejarah ideologis. Suatu sejarah yang menanamkan suatu nilai-nilai terutama semangat
nasionalisme, heroisme, dan patriotisme. Dalam perkembangaannya historiografi Indonesia
modern, dimulai sekitar tahun 1957, waktu diselenggarakannya Seminar Sejarah Nasional
Indonesia pertama di Yogyakarta. Tahun itu dianggap sebagai sebagai titik tolak kesadaran
sejarah baru. Pada seminar tersebut membahas tiga hal yang dianggap sangat penting ketika
itu, hal tersebut antara lain fisafat sejarah nasional, periodisasi sejarah Indonesia, dan
pendidikan sejarah. Perdebatan berlanjut sampai pada tahun 1970. Banyak perubahan yang
terjadi pada tahun-tahun setelah 1970 tidak saja dalam arti pemikiran tentang bagaimana
seharusnya sejarah ditulis, tetapi juga kegiatan dalam arti yang kongkret, seperti diwujudkan
dalam perkembangan kelembagaan, ideologi, dan substansi sejarah (Kuntowijoyo, 2003: 2).
Secara kelembagaan, penulisan sejarah adalah tugas sejarawan akademik, kelompok yang
sebenarnya mempunyai tanggung jawab terbesar dalam perkembangan historiografi.
Alasannya, sejarawan akademis adalah mereka yang paling sadar tentang apa yang
dikerjakan, mempunyai pendapat yang penuh pertimbangan tentang yang ditulis, tetapi
kenyataannya mereka mungkin yang paling sedikit berproduksi.
Sejarawan akademislah satu-satunya kelompok yang dengan sadar menyebut diri mereka
sebagai sejarawan, dan mendapat pengakuan demikian. Mereka inilah yang diundang dalam
seminar-seminarsejarah, dan kegiatan lain yang mengandung tujuan sejarah. Kegiatan mereka
yang luas, bukan saja dalam penulisan, tetapi terlibat juga dalam pengajaran, penelitian, dan
pengabdian masyarakat.
Oleh:
Erond L. Damanik, M.Si
Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial
Lembaga Penelitian Universitas Negeri Medan
Disarikan dari Skripsi mahasiswa atasnama: Arby Syafri Tanjung, S.Pd
Alumni Jurusan Pendidikan Sejarah Unimed.

Anda mungkin juga menyukai