http://pussisunimed.wordpress.com/2010/02/05/penulisan-sejarah-historiografi-indonesia/
sejarawan untuk mendekatkan diri kepada penguasa atau orang berpengaruh, dan 7)
sejarawan tidak mngetahui watak berbagai kondisi yang muncul dalam peradaban.
Bila ketujuh alasan tersebut atau sebagian dari padanya mewarnai karya sejarah dari suatu
generasi, maka generasi sejarawan yang lain juga akan terpengaruhi dengannya. Karena
setiap telaah historis, baik dari masa silam, masa kini, atau masa depan, selalu bersifat
subyektif (Ankersmit dalam Dudung Abdurrahman,1999:6).
Kepribadian sejarawan tidak dapat disangkal lagi merupakan faktor dominan yang dapat
menjuruskan penulisan sejarah menjadi subyektif, maka seluruh kesadaran sejarawan
sesungguhnya terselimuti oleh sitem kebudayaan. Sartono Kartodirdjo (1992:64)
mendefinisikannya:
Sebagai subyektivitas kultural, yakni sikap atau pandangan penulis sejarah itu berhubungan
dengan konteks kebudayaan masyarakatnya. Individu sejarawan sebagai anggota masyarakat
akan lebur dalam proses sosialisasi, sehingga seluruh pikiran, perasaan, dan kemauannya
terpola menurut struktur etis, estetis, dan filosofis yang berlaku dalam masyarakat.
Subyektivitas kultural itu tercakup pula subyektivitas waktu, karena kebudayaan tumbuh dan
berkembang dalam waktu tertentu.
Telah menjadi istilah umum di kalangan ahli sejarah, seorang sejarawan merupakan anak
zamannya dan bersama dengan orang sezaman, tetapi iapun menerima nilai-nilai yang dianut
pada zamannya itu (Ankersmit dalam Dudung Abdurrahman, 1999:7). Disinyalir
subyektivitas waktu akan terasa lebih sulit untuk diatasi.
Berdasarkan tinjauan mengenai subyektivitas sejarah diatas, dapat disebutkan bahwa setiap
hasil penulisan sejarah tidak seluruhnya relatif, karena dalam karya seperti itu dapat pula
diperoleh pula hal-hal yang absolut, yakni fakta-fakta yang tidak diragukan lagi
kesahihannya. Penunjukkan fakta keras atau fakta yang telah menjadi kebenaran umum dan
tidak diragukan lagi kebenarannya.
Bila kecenderungan pribadi pangkal terjadinya subyektivitas, sebenarnya tidak selalu
merupakan penghalang bagi obyektivitas, sebab sejarawanpun akan mampu mengetahui
perasaan-perasaan subyektif dalam dirinya dan ia akan selalu berusaha untuk berhati-hati
agar tidak terjerumus kedalam subyektivitas tersebut (Walsh dalam Dudung Abdurrahman,
1999: 8 ). Pengetahuan sejarah yang obyektif itu justru timbul bila terdapat beberapa
pendapat antara para sejarawan. Pernyataan mereka yang berbeda mengenai peristiwa sejarah
yang sama, belumlah merupakan perbedaan pendapat, sebab peristiwa sejarah bisa dilihat
dari berbagai perspektif.
Atas dasar pertimbangan diatas, nyatalah bahwa penafsiran terhadap peristiwa sejarah akan
beragam didalam historiografi, yang barangkali jumlahnya sebanyak kepala penulis sejarah
itu sendiri.
B. Sejarah Singkat Perkembangan Penulisan Sejarah (Historiografi) Indonesia
Sejarah dari penulisan sejarah (historiografi) akan dapat menyoroti isi filosofis teoretis dari
penelitian dan penulisan sejarah, membuka metode penggarapan bahan sejarah dan
persentasi, ide-ide yang mengikat fakta-fakta sebagai kesatuan yang bermakna,cara menilai
sejarah ideologis. Suatu sejarah yang menanamkan suatu nilai-nilai terutama semangat
nasionalisme, heroisme, dan patriotisme. Dalam perkembangaannya historiografi Indonesia
modern, dimulai sekitar tahun 1957, waktu diselenggarakannya Seminar Sejarah Nasional
Indonesia pertama di Yogyakarta. Tahun itu dianggap sebagai sebagai titik tolak kesadaran
sejarah baru. Pada seminar tersebut membahas tiga hal yang dianggap sangat penting ketika
itu, hal tersebut antara lain fisafat sejarah nasional, periodisasi sejarah Indonesia, dan
pendidikan sejarah. Perdebatan berlanjut sampai pada tahun 1970. Banyak perubahan yang
terjadi pada tahun-tahun setelah 1970 tidak saja dalam arti pemikiran tentang bagaimana
seharusnya sejarah ditulis, tetapi juga kegiatan dalam arti yang kongkret, seperti diwujudkan
dalam perkembangan kelembagaan, ideologi, dan substansi sejarah (Kuntowijoyo, 2003: 2).
Secara kelembagaan, penulisan sejarah adalah tugas sejarawan akademik, kelompok yang
sebenarnya mempunyai tanggung jawab terbesar dalam perkembangan historiografi.
Alasannya, sejarawan akademis adalah mereka yang paling sadar tentang apa yang
dikerjakan, mempunyai pendapat yang penuh pertimbangan tentang yang ditulis, tetapi
kenyataannya mereka mungkin yang paling sedikit berproduksi.
Sejarawan akademislah satu-satunya kelompok yang dengan sadar menyebut diri mereka
sebagai sejarawan, dan mendapat pengakuan demikian. Mereka inilah yang diundang dalam
seminar-seminarsejarah, dan kegiatan lain yang mengandung tujuan sejarah. Kegiatan mereka
yang luas, bukan saja dalam penulisan, tetapi terlibat juga dalam pengajaran, penelitian, dan
pengabdian masyarakat.
Oleh:
Erond L. Damanik, M.Si
Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial
Lembaga Penelitian Universitas Negeri Medan
Disarikan dari Skripsi mahasiswa atasnama: Arby Syafri Tanjung, S.Pd
Alumni Jurusan Pendidikan Sejarah Unimed.