Referat Epistaksis Mahdi
Referat Epistaksis Mahdi
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Epistaksis atau
bahasa Yunani epistaksis yaitu yang mengalir keluar tetes demi tetes adalah
permasalahan dalam kesehatan manusia dari zaman dahulu. Pada abad dahulu,
Hippocrates mengemukakan bahwa menjepit hidung dapat menghentikan
perdarahan pada hidung dan sampai kini teknik terebut masih digunakan.
Epistaksis banyak dijumpai di kehidupan sehari-hari dan merupakan gejala
dari manifestasi penyakit lain. Kebanyakan epistaksis bersifat ringan dan
berhenti sendiri tetapi epistaksis yang berat dalam kasus yang jarang dapat
menyebabkan perdarahan hebat dan bahkan kematian sehingga termasuk
kedalam kedaruratan bagian Telinga Hidung Tenggorok (THT) dan harus
segera ditangani1,2.
Epistaksis sendiri telah dilaporkan terjadi pada 60% populasi di dunia
dimana terdapat 2 puncak usia yaitu pada usia kurang dari 10 tahun dan lebih
dari 50 tahun. Selain itu epistaksis lebih sering terjadi pada laki-laki daripada
perempuan3.
Epistaksis atau perdarahan dapat diklasifikasikan menjadi epistaksis
anterior dan posterior. Cavum nasi sendiri kaya akan pembuluh darah yang
berasal dari arteri karotis interna maupun arteri karotis eksterna yang
beranastomosis menjadi pleksus anterior dan posterior. Banyak faktor etiologi
yang menyebabkan epistaksis karena epistaksis sendiri bukan merupakan
suatu diagnosa melainkan gejala klinis. Penyebab epistaksis dibedakan
menjadi lokal dan sitemik4.
melalui
pemeriksaan
rinoskopi
anterior
maupun
posterior.
BAB II
EPISTAKSIS
II.1. Anatomi Hidung
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas kebawah:
1.pangkal hidung (bridge of nose), 2.batang hidung (dorsum nasi), 3.puncak hidung
(apex nasi), 4.ala nasi, 5.kolumela, 6.lubang hidung (nares anterior).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi melebarkan dan menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1.tulang hidung (os nasal), 2.prosesus
frontalis os maksila dan 3.prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang
rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah
hidung, yaitu 1.sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2.sepasang kartilago
nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor dan 3.tepi
anterior kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri.
Pintu atau lubang masuk kavum nasi di bagian depan disebut nares anterior dan
3
lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi
dengan nasofaring.
Dinding medial hidung disebut sebagai septum nasi. Septum di bentuk oleh
tulang dan tulang rawan. Bagian tulangnya adalah 1.lamina prependikularis, 2.vomer,
3.krista nasalis os maksila dan 4.krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawannya
adalah 1.kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan 2.kolumela.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan terletak paling
bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil
lagi ialah konka superior sendangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka
suprema ini biasanya rudimenter.
Konka Inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari
labirin etmoid.
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Ada 3 meatus yaitu meatus inferior, medius, dan superior. Meatus
inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral
rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.
Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus medius terdapat muara dari sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid
anterior. Meatus superior terletak diantara konka superior dan konka media. Pada
meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila
dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh
lamina kribiformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina
kribiformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubanglubang (kribosa=saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Pada
bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.
Vaskularisasi Hidung
Pendarahan pada hidung terutama berasal dari arteri karotis eksterna dan arteri
karotis interna. Cabang pendarahan untuk hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu
arteri etmoidalis anterior - arteri etmoidalis posterior yang merupakan cabang dari
arteri oftalmika berasal dari arteri karotis interna, dan arteri sfenopalatina yang
berasal dari arteri karotis eksterna. Arteri etmoidalis anterior memperdarahi septum
bagian superior anterior dan dinding lateral hidung. Arteri etmoidalis posterior
memperdarahi septum bagian superior posterior. Arteri sfenopalatina terbagi menjadi
arteri nasalis posterolateral yang menuju ke dinding lateral hidung dan arteri septi
posterior yang menyebar pada septum nasi.
Bagian bawah rongga
hidung
mendapat
arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri
sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina
dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan
hidung mendapat pendarahan dari aretri karotis eksterna yang bercabang menjadi
arteri fasialis dan bercabang menjadi arteri labialis superior.
Pada
bagian
depan
septum
terdapat
anastomosis
dari
cabang-cabang
arteri sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior, arteri labialis superior dan arteri
palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach (Littles area) yang letaknya
superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis. Sedangkan di bagian posterior terdapat anastomosis yang berasal dari
arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior yang membentuk suatu pleksus
yang disebut pleksus Woodruffs yang biasanya menyebabkan epistaksis posterior
Vena-vena
hidung
mempunyai
nama
yang
sama
dan
berjalan
Innervasi Hidung
Bagian depan dan atas ronga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus
etmoidalis anteior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari
nervus oftalmikus (N. V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besarnya mendapat
persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatina.
Gangglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini
6
menerima serabut saraf sensoris dari nervus maksila (N. V2), serabut parasimpatis
dari nervus petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari nerus petrosus
profundus. Gangglion sfenopalatina terletak di belakan dan sedikit di atas ujung
posterior konka media.
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina
kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel- sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
II.2. Definisi
Epistaksis atau mimisan adalah perdarahan yang berasal dari hidung.
Berdasarkan tempat asal perdarahan, epistaksis dibedakan menjadi epistaksis anterior
dan epistaksis posterior.
1. Epistaksis anterior berasal dari pleksus Kiesselbach yang terdiri dari
ujung-ujung a. Etmoidalis anterior, a. Sfenopalatina, a. Palatina mayor,
dan a. Labialis superior.
2. Epistaksis posterior berasal dari pleksus Woodruffs yaitu terdiri dari a.
Etmoidalis posterior dan a. Sfenopalatina.
II.3. Epidemiologi
Prevalensi dari epistaksis sendiri adalah 60% dari populasi dunia setidaknya
pernah mengalami epistaksis minimal 1 kali dalam hidupnya dan sekitar 6% dari
populasi tersebut yang membutuhkan tindakan medis untuk mengontrol dan
menghentikan perdarahan. Insidensi epistakis bervariasi sesuai umur dan terdapat dua
puncak yaitu pada anak-anak serta dewasa muda dan orang tua (45-65 tahun). Suatu
riset menyatakan bahwa epistaksis terdapat dalam stereotipikal pada grup tertentu
seperti orang tua perempuan dan anak laki-laki. Rasio laki-laki : perempuan yaitu
1.38 : 1.0. Epistaksis anterior lebih sering terjadi sekitar 80% daripada epistaksis
posterior. Epistaksis sering terjadi pada satu sisi hidung (unilateral) dibandingkan
kedua sisi hidung (bilateral) yaitu 87,5%.
II.4. Etiologi
Epistaksis merupakan gejala klinis, sehingga perlu diidentifikasi faktor-faktor
yang mendasarinya. Etiologi dari epistaksis secara umum dapat dibedakan menjadi
penyebab lokal dan sistemik yaitu sebagai berikut :
1. Lokal
1) Trauma (paling sering)
Fraktur contohnya fraktur nasalis atau fasialis
Trauma mekanik oleh jari tangan
Benda asing
Iatrogenik: operasi hidung / sinus / orbital / tengkorak
2)
3)
4)
5)
6) Tumor
Benigna: polip hidung, papiloma, juvenile nasal angiofibroma, septal
angioma.
Maligna: karsinoma sel skuamosa.
7) Inflamasi
Rinitis: alergi dan non-alergi.
Rinosinusitis: bakteri, virus, jamur.
2. Sistemik
1) Koagulopati
Antikoagulan: kumadin, heparin, warfarin
NSAID dan aspirin
Hemofilia
Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung,
benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai akibat
trauma yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu lintas. Trauma
karena sering mengorek hidung dapat menyebabkan ulserasi dan perdarahan di
mukosa bagian septum anterior. Selain itu epistaksis juga bisa terjadi akibat adanya
benda asing tajam atau trauma pembedahan.
Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam.
Perdarahan dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang
berhadapan bila konka itu sedang mengalami pembengkakan. Bagian anterior septum
nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan
yang cenderung mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan
usaha melepaskan dengan jari menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta
berulang menyebabkan erosi membrana mukosa septum dan kemudian perdarahan.
Benda asing yang berada di hidung dapat menyebabkan trauma lokal,
misalnya pada pipa nasogastrik dan pipa nasotrakea yang menyebakan trauma pada
mukosa hidung.
Trauma hidung dan wajah sering menyebabkan epistaksis. Jika perdarahan
disebabkan karena laserasi minimal dari mukosa biasanya perdarahan yang terjadi
sedikit tetapi trauma wajah yang berat dapat menyebabkan perdarahan yang banyak.
Gambar 4. Epistaksis
10
b Infeksi lokal
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rhinitis
atau sinusitis.
Infeksi akan menyebabkan inflamasi yang akan merusak mukosa. Inflamasi
akan menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah setempat sehingga
memudahkan terjadinya perdarahan di hidung.
c
Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan
intermiten,
kadang-kadang
ditandai
dengan
mukus
yang
bernoda
darah,
d Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan
telangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic telangiectasia/Osler's disease). Juga
sering terjadi pada Von Willendbrand disease. Telengiectasis hemorrhagic hereditary
adalah kelainan bentuk pembuluh darah dimana terjadi pelebaran kapiler yang
bersifat rapuh sehingga memudah kan terjadinya perdarahan.
11
Jika ada cedara jaringan, terjadi kerusakan pembuluh darah dan akan
menyebabkan kebocoran darah melalui lubang pada dinding pembuluh darah.
Pembuluh dapat rusak dekat permukaan seperti saat terpotong. Atau dapat rusak di
bagian dalam tubuh sehingga terjadi memar atau perdarahan dalam.
e
Pengaruh lingkungan
Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa. Epistaksis
sering terjadi pada udara yang kering dan saat musim dingin yang disebabkan oleh
dehumidifikasi mukosa nasal selain itu bisa di sebabkan oleh zat-zat kimia yang
bersifat korosif yang dapat menyebabkan kekeringan mukosa sehingga pembuluh
darah gampang pecah.
2) Sistemik
a
Kelainan darah
Beberapa kelainan darah yang dapat menyebabkan epistaksis adalah
trombositopenia, hemofilia dan leukemia.
Trombosit adalah fragmen sitoplasma megakariosit yang tidak berinti dan
dibentuk di sumsum tulang. Trombosit berfungsi untuk pembekuan darah bila terjadi
trauma. Trombosit pada pembuluh darah yang rusak akan melepaskan serotonin dan
tromboksan A (prostaglandin), hal ini menyebabkan otot polos dinding pembuluh
darah berkonstriksi. Pada awalnya akan mengurangi darah yang hilang. Kemudian
trombosit membengkak, menjadi lengket, dan menempel pada serabut kolagen
dinding pembuluh darah yang rusak dan membentuk plug trombosit.
Trombosit juga akan melepas ADP untuk mengaktivasi trombosit lain,
sehingga
mengakibatkan
agregasi
trombosit
untuk
memperkuat
plug.
13
darah putih (berfungsi sebagai daya tahan tubuh melawan infeksi), sel darah merah
(berfungsi membawa oksigen kedalam tubuh) dan trombosit (bagian kecil sel darah
yang membantu proses pembekuan darah). Pada Leukemia terjadi peningkatan
pembentukan sel leukosit sehingga menyebabkan penekanan atau gangguan
pembentukan sel-sel darah yang lain di sumsum tulang termasuk trombosit. Sehingga
terjadi keadaan trombositpenia yang menyebabkan perdarahan mudah terjadi.
Obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin dan fenilbutazon dapat pula
mempredisposisi epistaksis berulang.
dengan menginhibisi produksi tromboksan, yang pada keadaan normal akan mengikat
molekul-molekul trombosit untuk membuat suatu sumbatan pada dinding pembuluh
darah yang rusak. Aspirin dapat menyebabkan peoses pembekuan darah menjadi lebih
lama sehingga dapat terjadi perdarahan. Oleh karena itu,aspirin dapat menyebabkan
epistaksis.
b Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis, sirosis
hepatis, diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi
biasanya hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik.
1
Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140
mmHG dan tekanan darah diastolic lebih dari 90 mmhg. Epistaksis sering
terjadi pada tekanan darah tinggi karena kerapuhan pembuluh darah yang di
sebabkan oleh penyakit hipertensi yang kronis terjadilah kontraksi pembuluh
darah terus menerus yang mengakibatkan mudah pecahnya pembuluh darah
yang tipis.
14
Arteriosklerosis
Pada arteriosklerosis terjadi kekakuan pembuluh darah. Jika terjadi
keadaan tekanan darah meningkat, pembuluh darah tidak bisa mengompensasi
dengan vasodilatasi, menyebabkan ruptur dari pembuluh darah.
Sirosis hepatis
Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang
berkaitan dengan koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen,
protrombin, faktor V, VII, IX, X dan vitamin K. Pada sirosis hepatis fungsi
sintesis protein-protein dan vitamin yang dibutuhkan untuk pembekuan darah
terganggu sehingga mudah terjadinya perdarahan. Sehingga epistaksis bisa
terjadi pada penderita sirosis hepatis.
Diabetes mellitus
Terjadi peningkatan gula darah yang meyebabkan kerusakan
mikroangiopati dan makroangiopati. Kadar gula darah yang tinggi dapat
menyebabkan sel endotelial pada pembuluh darah mengambil glukosa lebih
dari normal sehingga terbentuklah lebih banyak glikoprotein pada
permukaannya dan hal ini juga menyebabkan basal membran semakin
menebal dan lemah. Dinding pembuluh darah menjadi lebih tebal tapi lemah
sehingga mudah terjadi perdarahan. Sehingga epistaksis dapat terjadi pada
pasien diabetes mellitus.
15
trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan
oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi
trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan
terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata),
ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga terjadi
penurunan faktor pembekuan. Oleh karena itu epistaksis sering terjadi pada kasus
demam berdarah.
d Gangguan hormonal
Pada saat hamil terjadi peningkatan estrogen dan progestron yang tinggi di
pembuluh darah yang menuju ke semua membran mukosa di tubuh termasuk di
hidung yang menyebabkan mukosa bengkak dan rapuh dan akhirnya terjadinya
epistaksis.
e
Alkoholisme
Alkohol dapat menyebabkan sel darah merah menggumpal sehingga
menyebabkan terjadinya sumbatan pada pembuluh darah. Hal ini menyebabkan
terjadinya hipoksia dan kematian sel. Selain itu hal ini menyebabkan peningkatan
tekanan intravascular yang dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh darah sehingga
dapat terjadi epistaksis.
II.5. Patofisiologi
Secara anatomis, pendarahan hidung berasal dari arteri karotis interba yang
mempercabangkan arteri etmoidalis anterior dan posterior, keduanya menyuplai
bagian superior hidung. Suplai vakular hidung lainnya berasal dari arteru karotis
eksterna dan cabang-cabang utamanya. Arteri sfenopalatina membawa darah untuk
separuh bawah dinding lateral dan bagian posterior septum. Semua pembuluh darah
ini saling berhubungan melalui anastomosis. Suatu pleksus vaskular bernama pleksus
Kiesselbach atau little area terdapat di sepanjang bagian anterior septum
16
kartilaginosa. Karena ciri vaskularnya yaitu mukosa yang melapisi area ini tipis dan
rapuh serta kenyataan bahwa daerah ini merupakan objek trauma fisik dari
lingkungan berulang maka merupakan lokasi epistaksis yang tersering. Semua
perdarahan di hidung disebabkan oleh lepasnya lapisan mukosa hidung yang
mengandung banyak pembuluh darah kecil. Lepasnya mukosa akan disertai luka pada
pembuluh darah yang akan menyebabkan perdarahan.
Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-kadang
sukar ditanggulangi. Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari
bagian anterior dan posterior.
1
Epistaksis
posterior,
berasal
dari
pleksus
Woodruffs
yaitu
arteri
17
II.6. Diagnosis
II.6.1. Anamnesis
Perdarahan pada pasien bisa terletak anterior atau berasal dari depan
hidung maupun posterior yang berasal dari belakang hidung. Pada epistaksis
anterior, perdarahan keluar sepenuhnya dari nares anterior pasien sedangkan
pada epistaksis posterior, perdarahan keluar melalui nasofaring atau mulut dan
bisa melalui lubang hidung pasien. Perdarahan pada epistaksis posterior
biasanya lebih berat dan lebih sulit untuk dikontrol serta terganggunya
hemodinamik pasien disertai etiologi yang mendasarinya. Pasien dengan
kelainan koagulasi darah biasanya datang dengan riwayat epistaksis berulang,
mudah memar, gusi berdarah selain itu hematemesis muncul apabila darah
tertelan oleh pasien ke mulut.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada saat anamnesis pasien epistaksis
adalah perlu ditanyakan tentang seberapa berat epistaksis, frekuensi, lateralisasi
epistaksisnya apakah satu hidung tau kedua hidung, durasi, serta riwayat
18
Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien
dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan
neoplasma
20
21
Gambar 10. Tampilan Endoskopi Epistaksis Posterior tampak lokasi perdarahan di posterior meatus
media kiri (panah putih) yang kemudian di elektrokauterisasi dan di tampon dengan Merocel.
22
23
24
d) Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas,
dilakukan kaustik dengan larutan nitras argenti 20%-30%, asam trikloroasetat
10% atau dengan elektrokauter. Sebelum kaustik diberikan analgesia topikal
terlebih dahulu dan sesudahnya diberikan krim antibiotik.
25
superior kartilago tiroid. Ligasi arteri maksilaris interna memiliki angka kesuksesan
yang lebih tinggi daripada ligasi arteri karotis eksterna karena letak intervensinya
yang lebih jauh, biasanya diakses secara transantral melalui pendekatan CaldwellLuc. Bila pendarahan terjadi di lokasi yang lebih tinggi/atap nasal, lebih baik
dilakukan ligasi arteri etmoidalis anterior dan atau posterior melalui insisi
etmoidektomi eksternal.
Gambar 17. Ligasi arteri etmoidalis anterior (a) dan posterior (b)
Pendarahan dari sistem arteri karotis eksterna dapat juga dikontrol dengan
embolisasi, sebagai modalitas utama pada kandidat yang kurang baik untuk dibedah
ataupun pengobatan sekunder pada mereka dengan operasi yang gagal. Sebelum
embolisasi, dilakukan dulu angiografi untuk memeriksa kehadiran hubungan antara
sistem arteri karotis interna dan eksterna. Embolisasi selektif pada arteri maksilaris
interna dan kadang-kadang pada arteri fasialis. Angiografi pasca embolisasi dilakukan
untuk menilai derajat oklusi.
Terapi Farmakologis
Terapi farmakologi hanya berperan sebagai pengobatan suportif dalam menangani
pasien dengan epistaksis.
27
1. Vasokonstriktor topikal
Obat tersebut bekerja pada reseptor alfa adrenergik pada mukosa nasal
yang menyebabkan vasokonstriksi.
Oxymetazoline 0.05% (Afrin) dioleskan langsung pada membran
mukosa nasal, dimana akan menstimulasi reseptor alfa adrenergik dan
menyebabkan vasokonstriksi. Dekongesti terjadi tanpa perubahan drastis pada
tekanan darah, distribusi vaskular, atau stimulasi jantung. Oxymetazoline
dapat dikombinasi dengan lidokain 4% untuk memberikan efek anestesi dan
vasokonstriksi nasal yang efektif. Dosis 2 tetes atau semprotan per kavum nasi
sebanyak 2 kali sehari, dosis maksimum adalah 2 kali dosis anjuran per 24
jam dan durasi maksimum adalah 3-5 hari untuk mencegah terjadinya rinitis
medikamentosa.
2. Anestesi topikal
Ketika obat anestesi diberikan bersamaan dengan obat vasokonstriktor,
maka
efek
anestesinya
akan
diperpanjang
dan
meningkatkan
efek
vasokinstriksi.
Lidokain 4% (xylocaine) mengurangi permeabilitas ion natrium di
membran neuronal, sehingga menghambat depolarisasi dan menghambat
transmisi impuls saraf. Dosis 1-3 mL setiap pemberian, dosis maksimum 3
mg/kg, tidak boleh diberikan dengan interval kurang dari 2 jam.
3. Salep antibiotik
Salep antibiotik digunakan untuk mencegah infeksi lokal dan
memberikan kelembapan lokal.
Salep mupirocin 2% (bactroban nasal) menghambat pertumbuhan
bakteri dengan mengambat RNA dan sintesis protein. dioleskan pada area
yang terkena dua kali sehari selama 5 hari.
4. Agen kauterisasi
Agen kauterisasi menggumpalkan protein sehingga mengurangi
pendarahan. Silver nitrat (AgNO3) menggumpalkan protein dan membuang
jaringan granulasi juga mempunyai efek anti-bakteri. Kapas yang telah
dililitkan pada aplikator dicelupkan ke dalam larutan lalu dioleskan pada area
yang terkena 2-3 kali per minggu selama 2-3 minggu.
28
II.8. Komplikasi
Dapat
terjadi
langsung
akibat
epistaksis sendiri
atau
akibat
usaha
Berikut adalah instruksi sederhana untuk perawatan epistaksis oleh diri sendiri yang
harus diberitahukan:
1.
2.
3.
4.
II.10. Prognosis
29
Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada
pasien hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering
kambuh dan prognosisnya buruk.
30
BAB III
Kesimpulan
Epistaksis adalah perdarahan yang terjadi pada hidung atau dalam
bahasa awam disebut mimisan. Epistaksis bukan merupakan diagnosis tetapi
suatu gejala klinis yang patut dicari faktor etiologi yang mendasarinya.
Setidaknya 60% dari populasi dunia pernah mengalami epistaksis minimal
satu kali dalam hidupnya dan laki-laki lebih sering terkena epistaksis
dibandingkan perempuan selain itu epistaksis anterior lebih sering terjadi
dengan insidensi 80%. Gejala dari epistaksis sendiri adalah keluarnya darah
dari lubang hidung depan yang merupakan tanda epistaksis anterior ataupun
keluarnya darah dari nasofaring atau mulut yang merupakan tanda dari
epistaksis posterior.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis yaitu derajat keparahan
perdarahan, durasi, frekuensi, lateralisasi, riwayat perdarahan sebelumnya,
riwayat penggunaan obat-obatan, riwayat penyakit yang mendasarinya seperti
hipertensi, DM, aterosklerosis. Pemeriksaan fisik menggunakan rinoskopi
anterior
maupun
posterior
untuk
mendapatkan
sumber
perdarahan.
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi EA, et al. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Ed 6.
2. Bertrand B, et al. 2005. Guidelines to the Management of Epistaxis. In:
http://orl-nko.be/onewebmedia/Guidelines_2005_05.pdf
diunduh
pada
Desember 2016.
3. Corry J, Kucik LT, & Clenney T. 2005. Mangement of Epistaxis. Journal of
American
Family
Physician,
vol.
72,
no.
2.
In
Medical
Journal,
vol.
81.
In:
www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1743269/pdf/v081p00309.pdf
diunduh pada 5 Desember 2016.
6. Putz R, Pabst R. 2006. Sobotta Atlas Anatomi Manusia. Jilid 1 dan 2. Jakarta
: EGC.
7. Swift AC. 2012. Epistaxis. The Otorhinolaryngologist vol. 5, no. 3. In:
http://www.theotorhinolaryngologist.co.uk/new/images/pdf/v5_n3/epistaxis.pdf
diunduh pada 5 Desember 2016.
8. Tanto C et al. 2014. Kapita Selekta Kedokteran essentials of medicine ed. IV
jilid II. Jakarta : Media Aesculapius.
9. Viehweg TL, Roberson JB, & Hudson JW. 2006. Epistaxis : Diagnosis and
Treatment. American Association of Oral and Maxillofacial Surgeon, vol. 64.
In:http://www.hkmacme.org/course/2009BW09-05-00/GM%20CS_Sep.pdf
diunduh pada 5 Desember 2016.
10. Varshney S & Saxena RK. 2005. Epistaxis : A Retrospective Clinical Study.
Indian Journal of Otolaryngology and Head and Neck Surgery, vol. 57, no. 2.
32
In:https://synapse.koreamed.org/DOIx.php?id=10.3342/kjorl-
hns.2015.58.1.32&vmode=PUBREADER.
14. Kelompok Studi PERHATI-KL. 2003-2007. Guideline Penyakit THT-KL di
Indonesia.
33