Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Epistaksis atau

mimisan adalah perdarahan pada hidung, dalam

bahasa Yunani epistaksis yaitu yang mengalir keluar tetes demi tetes adalah
permasalahan dalam kesehatan manusia dari zaman dahulu. Pada abad dahulu,
Hippocrates mengemukakan bahwa menjepit hidung dapat menghentikan
perdarahan pada hidung dan sampai kini teknik terebut masih digunakan.
Epistaksis banyak dijumpai di kehidupan sehari-hari dan merupakan gejala
dari manifestasi penyakit lain. Kebanyakan epistaksis bersifat ringan dan
berhenti sendiri tetapi epistaksis yang berat dalam kasus yang jarang dapat
menyebabkan perdarahan hebat dan bahkan kematian sehingga termasuk
kedalam kedaruratan bagian Telinga Hidung Tenggorok (THT) dan harus
segera ditangani1,2.
Epistaksis sendiri telah dilaporkan terjadi pada 60% populasi di dunia
dimana terdapat 2 puncak usia yaitu pada usia kurang dari 10 tahun dan lebih
dari 50 tahun. Selain itu epistaksis lebih sering terjadi pada laki-laki daripada
perempuan3.
Epistaksis atau perdarahan dapat diklasifikasikan menjadi epistaksis
anterior dan posterior. Cavum nasi sendiri kaya akan pembuluh darah yang
berasal dari arteri karotis interna maupun arteri karotis eksterna yang
beranastomosis menjadi pleksus anterior dan posterior. Banyak faktor etiologi
yang menyebabkan epistaksis karena epistaksis sendiri bukan merupakan
suatu diagnosa melainkan gejala klinis. Penyebab epistaksis dibedakan
menjadi lokal dan sitemik4.

Sebagian besar kasus epistaksis dapat didiagnosa dengan riwayat


anamnesa yang menyeluruh serta pemeriksaan fisik. Pasien perlu dimintai
keterengan mengenai riwayat perdarahan hidung sebelumnya, frekuensi
epistaksis, keaadan awal epistaksis, faktor pencetus epistaksis, riwayat
pengobatan, riwayat keluarga, riwayat psikososial serta faktor lingkungan dan
riwayat penyakit yang mendasarinya. Pemeriksaan fisik yang lengkap
meliputi pemeriksaan fisik secara umum dan dan khususnya pemeriksaan
hidung

melalui

pemeriksaan

rinoskopi

anterior

maupun

posterior.

Pemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosa yang


mendasarinya3.
Penatalaksanaan epistaksis tergantung dari letak epistaksis itu
sendiri apakah berasal dari anterior ataupun posterior. Secara umum
penanganan epistaksis yaitu dengan mengidentifikasi sumber perdarahan
dengan menggunakan sumber cahaya yang tersedia seperti lampu kepala
ataupun yang lain. Apabila lokasi epistaksis diketahui, dilakukan kauterisasi
kimia maupun elektro. Jika gagal maka dilakukan identifikasi lebih lanjut
mengenai sumber perdarahan. penatalaksanaan awal epistaksis sendiri dimulai
dengan memberikan tampon anterior pada cavum nasi untuk epistaksis
anterior dan dapat juga dilakukan pemasangan tampon posterior (Bellocq)
untuk epistaksis posterior, selanjutnya embolisasi ataupun ligasi arteri
dilakukan untuk sumber perdarahan yang sulit dicari5.

BAB II
EPISTAKSIS
II.1. Anatomi Hidung
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas kebawah:
1.pangkal hidung (bridge of nose), 2.batang hidung (dorsum nasi), 3.puncak hidung
(apex nasi), 4.ala nasi, 5.kolumela, 6.lubang hidung (nares anterior).

Gambar 1. Kerangka Hidung

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi melebarkan dan menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1.tulang hidung (os nasal), 2.prosesus
frontalis os maksila dan 3.prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang
rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah
hidung, yaitu 1.sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2.sepasang kartilago
nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor dan 3.tepi
anterior kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri.
Pintu atau lubang masuk kavum nasi di bagian depan disebut nares anterior dan
3

lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi
dengan nasofaring.
Dinding medial hidung disebut sebagai septum nasi. Septum di bentuk oleh
tulang dan tulang rawan. Bagian tulangnya adalah 1.lamina prependikularis, 2.vomer,
3.krista nasalis os maksila dan 4.krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawannya
adalah 1.kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan 2.kolumela.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan terletak paling
bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil
lagi ialah konka superior sendangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka
suprema ini biasanya rudimenter.

Gambar 2. Anatomi Cavum Nasi

Konka Inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari
labirin etmoid.
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Ada 3 meatus yaitu meatus inferior, medius, dan superior. Meatus
inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral

rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.
Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus medius terdapat muara dari sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid
anterior. Meatus superior terletak diantara konka superior dan konka media. Pada
meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila
dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh
lamina kribiformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina
kribiformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubanglubang (kribosa=saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Pada
bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.
Vaskularisasi Hidung
Pendarahan pada hidung terutama berasal dari arteri karotis eksterna dan arteri
karotis interna. Cabang pendarahan untuk hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu
arteri etmoidalis anterior - arteri etmoidalis posterior yang merupakan cabang dari
arteri oftalmika berasal dari arteri karotis interna, dan arteri sfenopalatina yang
berasal dari arteri karotis eksterna. Arteri etmoidalis anterior memperdarahi septum
bagian superior anterior dan dinding lateral hidung. Arteri etmoidalis posterior
memperdarahi septum bagian superior posterior. Arteri sfenopalatina terbagi menjadi
arteri nasalis posterolateral yang menuju ke dinding lateral hidung dan arteri septi
posterior yang menyebar pada septum nasi.
Bagian bawah rongga

hidung

mendapat

pendarahan dari cabang

arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri
sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina
dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan
hidung mendapat pendarahan dari aretri karotis eksterna yang bercabang menjadi
arteri fasialis dan bercabang menjadi arteri labialis superior.

Pada

bagian

depan

septum

terdapat

anastomosis

dari

cabang-cabang

arteri sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior, arteri labialis superior dan arteri
palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach (Littles area) yang letaknya
superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis. Sedangkan di bagian posterior terdapat anastomosis yang berasal dari
arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior yang membentuk suatu pleksus
yang disebut pleksus Woodruffs yang biasanya menyebabkan epistaksis posterior
Vena-vena

hidung

mempunyai

nama

yang

sama

dan

berjalan

berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung


bermuara ke vena oftalmika superior yang berhubungan dengan sinus kavernosus.

Gambar 3. Vaskularisasi Hidung

Innervasi Hidung
Bagian depan dan atas ronga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus
etmoidalis anteior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari
nervus oftalmikus (N. V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besarnya mendapat
persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatina.
Gangglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini
6

menerima serabut saraf sensoris dari nervus maksila (N. V2), serabut parasimpatis
dari nervus petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari nerus petrosus
profundus. Gangglion sfenopalatina terletak di belakan dan sedikit di atas ujung
posterior konka media.
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina
kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel- sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
II.2. Definisi
Epistaksis atau mimisan adalah perdarahan yang berasal dari hidung.
Berdasarkan tempat asal perdarahan, epistaksis dibedakan menjadi epistaksis anterior
dan epistaksis posterior.
1. Epistaksis anterior berasal dari pleksus Kiesselbach yang terdiri dari
ujung-ujung a. Etmoidalis anterior, a. Sfenopalatina, a. Palatina mayor,
dan a. Labialis superior.
2. Epistaksis posterior berasal dari pleksus Woodruffs yaitu terdiri dari a.
Etmoidalis posterior dan a. Sfenopalatina.
II.3. Epidemiologi
Prevalensi dari epistaksis sendiri adalah 60% dari populasi dunia setidaknya
pernah mengalami epistaksis minimal 1 kali dalam hidupnya dan sekitar 6% dari
populasi tersebut yang membutuhkan tindakan medis untuk mengontrol dan
menghentikan perdarahan. Insidensi epistakis bervariasi sesuai umur dan terdapat dua
puncak yaitu pada anak-anak serta dewasa muda dan orang tua (45-65 tahun). Suatu
riset menyatakan bahwa epistaksis terdapat dalam stereotipikal pada grup tertentu
seperti orang tua perempuan dan anak laki-laki. Rasio laki-laki : perempuan yaitu
1.38 : 1.0. Epistaksis anterior lebih sering terjadi sekitar 80% daripada epistaksis
posterior. Epistaksis sering terjadi pada satu sisi hidung (unilateral) dibandingkan
kedua sisi hidung (bilateral) yaitu 87,5%.

II.4. Etiologi
Epistaksis merupakan gejala klinis, sehingga perlu diidentifikasi faktor-faktor
yang mendasarinya. Etiologi dari epistaksis secara umum dapat dibedakan menjadi
penyebab lokal dan sistemik yaitu sebagai berikut :
1. Lokal
1) Trauma (paling sering)
Fraktur contohnya fraktur nasalis atau fasialis
Trauma mekanik oleh jari tangan
Benda asing
Iatrogenik: operasi hidung / sinus / orbital / tengkorak
2)
3)
4)
5)

Perubahan tekanan udara


Hidung kering.
Deformitas dan perforasi pada septum.
Kimiawi
Penyalahgunaan kokain
Obat semprot hidung (steroid dan dekongestan)
Amonia
Lainnya: gasolin, fosfor, garam kromium, asam sulfat, dan lain-lain.

6) Tumor
Benigna: polip hidung, papiloma, juvenile nasal angiofibroma, septal
angioma.
Maligna: karsinoma sel skuamosa.
7) Inflamasi
Rinitis: alergi dan non-alergi.
Rinosinusitis: bakteri, virus, jamur.
2. Sistemik
1) Koagulopati
Antikoagulan: kumadin, heparin, warfarin
NSAID dan aspirin
Hemofilia

Penyakit Von Willebrandt


Defek trombosit
Diabetes Melitus
Kehamilan
Sirosis hepatis dan alkoholisme
Penyakit Scurvy
Demam Berdarah Dengue
2) Kelainan granulomatosa
Penyakit Wegeners
Sarkoidosis
Sifilis
Tuberkulosis
Rhinoscleroma
Systemic Lupus Erythematosis (SLE)
Periarteritis nodosa
3) Intoksikasi: timbal, cobalt, fosfor, arsen.
4) Vaskular
Hipertensi
Onset Sirkadian
Aterosklerosis
Penyakit Osler-Weber-Rendu atau Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia
(HHT)
3. Idiopatik
1) Lokal
a

Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung,
benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai akibat
trauma yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu lintas. Trauma
karena sering mengorek hidung dapat menyebabkan ulserasi dan perdarahan di

mukosa bagian septum anterior. Selain itu epistaksis juga bisa terjadi akibat adanya
benda asing tajam atau trauma pembedahan.
Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam.
Perdarahan dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang
berhadapan bila konka itu sedang mengalami pembengkakan. Bagian anterior septum
nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan
yang cenderung mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan
usaha melepaskan dengan jari menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta
berulang menyebabkan erosi membrana mukosa septum dan kemudian perdarahan.
Benda asing yang berada di hidung dapat menyebabkan trauma lokal,
misalnya pada pipa nasogastrik dan pipa nasotrakea yang menyebakan trauma pada
mukosa hidung.
Trauma hidung dan wajah sering menyebabkan epistaksis. Jika perdarahan
disebabkan karena laserasi minimal dari mukosa biasanya perdarahan yang terjadi
sedikit tetapi trauma wajah yang berat dapat menyebabkan perdarahan yang banyak.

Gambar 4. Epistaksis

10

b Infeksi lokal
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rhinitis
atau sinusitis.
Infeksi akan menyebabkan inflamasi yang akan merusak mukosa. Inflamasi
akan menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah setempat sehingga
memudahkan terjadinya perdarahan di hidung.
c

Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan
intermiten,

kadang-kadang

ditandai

dengan

mukus

yang

bernoda

darah,

Hemangioma, angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat. Karena pada tumor


terjadi pertumbuhan sel yang abnormal dan pembentukan pembuluh darah yang baru
(neovaskularisasi) yang bersifat rapuh sehingga memudahkan terjadinya perdarahan.

Gambar 5. Epistaksis pada neoplasma

d Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan
telangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic telangiectasia/Osler's disease). Juga
sering terjadi pada Von Willendbrand disease. Telengiectasis hemorrhagic hereditary
adalah kelainan bentuk pembuluh darah dimana terjadi pelebaran kapiler yang
bersifat rapuh sehingga memudah kan terjadinya perdarahan.

11

Gambar 6. Oslers Disease

Jika ada cedara jaringan, terjadi kerusakan pembuluh darah dan akan
menyebabkan kebocoran darah melalui lubang pada dinding pembuluh darah.
Pembuluh dapat rusak dekat permukaan seperti saat terpotong. Atau dapat rusak di
bagian dalam tubuh sehingga terjadi memar atau perdarahan dalam.
e

Pengaruh lingkungan
Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa. Epistaksis
sering terjadi pada udara yang kering dan saat musim dingin yang disebabkan oleh
dehumidifikasi mukosa nasal selain itu bisa di sebabkan oleh zat-zat kimia yang
bersifat korosif yang dapat menyebabkan kekeringan mukosa sehingga pembuluh
darah gampang pecah.

Deviasi dan Perforasi septum


Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari
septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Deviasi dan perforasi
pada septum dapat menyebabkan terganggungnya turbulensi udara yang dapat
menyebabkan terbentuknya krusta. Pembuluh darah mengalami ruptur bahkan oleh
trauma yang sangat ringan seperti mengosok-gosok hidung.
12

2) Sistemik
a

Kelainan darah
Beberapa kelainan darah yang dapat menyebabkan epistaksis adalah
trombositopenia, hemofilia dan leukemia.
Trombosit adalah fragmen sitoplasma megakariosit yang tidak berinti dan
dibentuk di sumsum tulang. Trombosit berfungsi untuk pembekuan darah bila terjadi
trauma. Trombosit pada pembuluh darah yang rusak akan melepaskan serotonin dan
tromboksan A (prostaglandin), hal ini menyebabkan otot polos dinding pembuluh
darah berkonstriksi. Pada awalnya akan mengurangi darah yang hilang. Kemudian
trombosit membengkak, menjadi lengket, dan menempel pada serabut kolagen
dinding pembuluh darah yang rusak dan membentuk plug trombosit.
Trombosit juga akan melepas ADP untuk mengaktivasi trombosit lain,
sehingga

mengakibatkan

agregasi

trombosit

untuk

memperkuat

plug.

Trombositopenia adalah keadaan dimana jumlah trombosit kurang dari 150.000/ l.


Trombositopenia akan memperlama waktu koagulasi dan memperbesar resiko
terjadinya perdarahan dalam pembuluh darah kecil di seluruh tubuh sehingga dapat
terjadi epistaksis pada keadaan trombositopenia.
Hemofilia adalah penyakit gangguan koagulasi herediter yang diturunkan
secara X-linked resesif. Gangguan terjadi pada jalur intrinsik mekanisme hemostasis
herediter, dimana terjadi defisiensi atau defek dari faktor pembekuan VIII (hemofilia
A) atau IX (hemofilia B). Darah pada penderita hemofilia tidak dapat membeku
dengan sendirinya secara normal. Proses pembekuan darah berjalan amat lambat. Hal
ini dapat menyebabkan terjadinya epistaksis.
Leukemia adalah jenis penyakit kanker yang menyerang sel-sel darah putih
yang diproduksi oleh .sumsum tulang (bone marrow). Sumsum tulang atau bone
marrow ini dalam tubuh manusia memproduksi tiga tipe sel darah diantaranya sel

13

darah putih (berfungsi sebagai daya tahan tubuh melawan infeksi), sel darah merah
(berfungsi membawa oksigen kedalam tubuh) dan trombosit (bagian kecil sel darah
yang membantu proses pembekuan darah). Pada Leukemia terjadi peningkatan
pembentukan sel leukosit sehingga menyebabkan penekanan atau gangguan
pembentukan sel-sel darah yang lain di sumsum tulang termasuk trombosit. Sehingga
terjadi keadaan trombositpenia yang menyebabkan perdarahan mudah terjadi.
Obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin dan fenilbutazon dapat pula
mempredisposisi epistaksis berulang.

Aspirin mempunyai efek antiplatelet yaitu

dengan menginhibisi produksi tromboksan, yang pada keadaan normal akan mengikat
molekul-molekul trombosit untuk membuat suatu sumbatan pada dinding pembuluh
darah yang rusak. Aspirin dapat menyebabkan peoses pembekuan darah menjadi lebih
lama sehingga dapat terjadi perdarahan. Oleh karena itu,aspirin dapat menyebabkan
epistaksis.
b Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis, sirosis
hepatis, diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi
biasanya hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik.
1

Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140
mmHG dan tekanan darah diastolic lebih dari 90 mmhg. Epistaksis sering
terjadi pada tekanan darah tinggi karena kerapuhan pembuluh darah yang di
sebabkan oleh penyakit hipertensi yang kronis terjadilah kontraksi pembuluh
darah terus menerus yang mengakibatkan mudah pecahnya pembuluh darah
yang tipis.

14

Arteriosklerosis
Pada arteriosklerosis terjadi kekakuan pembuluh darah. Jika terjadi
keadaan tekanan darah meningkat, pembuluh darah tidak bisa mengompensasi
dengan vasodilatasi, menyebabkan ruptur dari pembuluh darah.

Sirosis hepatis
Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang
berkaitan dengan koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen,
protrombin, faktor V, VII, IX, X dan vitamin K. Pada sirosis hepatis fungsi
sintesis protein-protein dan vitamin yang dibutuhkan untuk pembekuan darah
terganggu sehingga mudah terjadinya perdarahan. Sehingga epistaksis bisa
terjadi pada penderita sirosis hepatis.

Diabetes mellitus
Terjadi peningkatan gula darah yang meyebabkan kerusakan
mikroangiopati dan makroangiopati. Kadar gula darah yang tinggi dapat
menyebabkan sel endotelial pada pembuluh darah mengambil glukosa lebih
dari normal sehingga terbentuklah lebih banyak glikoprotein pada
permukaannya dan hal ini juga menyebabkan basal membran semakin
menebal dan lemah. Dinding pembuluh darah menjadi lebih tebal tapi lemah
sehingga mudah terjadi perdarahan. Sehingga epistaksis dapat terjadi pada
pasien diabetes mellitus.

Infeksi akut Demam berdarah


Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi
selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan
mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah.
Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit
terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran
trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga

15

trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan
oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi
trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan
terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata),
ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga terjadi
penurunan faktor pembekuan. Oleh karena itu epistaksis sering terjadi pada kasus
demam berdarah.
d Gangguan hormonal
Pada saat hamil terjadi peningkatan estrogen dan progestron yang tinggi di
pembuluh darah yang menuju ke semua membran mukosa di tubuh termasuk di
hidung yang menyebabkan mukosa bengkak dan rapuh dan akhirnya terjadinya
epistaksis.
e

Alkoholisme
Alkohol dapat menyebabkan sel darah merah menggumpal sehingga
menyebabkan terjadinya sumbatan pada pembuluh darah. Hal ini menyebabkan
terjadinya hipoksia dan kematian sel. Selain itu hal ini menyebabkan peningkatan
tekanan intravascular yang dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh darah sehingga
dapat terjadi epistaksis.

II.5. Patofisiologi
Secara anatomis, pendarahan hidung berasal dari arteri karotis interba yang
mempercabangkan arteri etmoidalis anterior dan posterior, keduanya menyuplai
bagian superior hidung. Suplai vakular hidung lainnya berasal dari arteru karotis
eksterna dan cabang-cabang utamanya. Arteri sfenopalatina membawa darah untuk
separuh bawah dinding lateral dan bagian posterior septum. Semua pembuluh darah
ini saling berhubungan melalui anastomosis. Suatu pleksus vaskular bernama pleksus
Kiesselbach atau little area terdapat di sepanjang bagian anterior septum

16

kartilaginosa. Karena ciri vaskularnya yaitu mukosa yang melapisi area ini tipis dan
rapuh serta kenyataan bahwa daerah ini merupakan objek trauma fisik dari
lingkungan berulang maka merupakan lokasi epistaksis yang tersering. Semua
perdarahan di hidung disebabkan oleh lepasnya lapisan mukosa hidung yang
mengandung banyak pembuluh darah kecil. Lepasnya mukosa akan disertai luka pada
pembuluh darah yang akan menyebabkan perdarahan.
Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-kadang
sukar ditanggulangi. Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari
bagian anterior dan posterior.
1

Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan sumber


perdarahan paling sering dijumpai anak-anak. Dapat juga berasal dari arteri
ethmoid anterior. Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat
dikendalikan dengan tindakan sederhana.

Gambar 7. Epistaksis Anterior

Epistaksis

posterior,

berasal

dari

pleksus

Woodruffs

yaitu

arteri

sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior. Perdarahan cenderung lebih berat


dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat menyebabkan anemia, hipovolemi
dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular.

17

Gambar 8. Epistaksis Posterior

II.6. Diagnosis
II.6.1. Anamnesis
Perdarahan pada pasien bisa terletak anterior atau berasal dari depan
hidung maupun posterior yang berasal dari belakang hidung. Pada epistaksis
anterior, perdarahan keluar sepenuhnya dari nares anterior pasien sedangkan
pada epistaksis posterior, perdarahan keluar melalui nasofaring atau mulut dan
bisa melalui lubang hidung pasien. Perdarahan pada epistaksis posterior
biasanya lebih berat dan lebih sulit untuk dikontrol serta terganggunya
hemodinamik pasien disertai etiologi yang mendasarinya. Pasien dengan
kelainan koagulasi darah biasanya datang dengan riwayat epistaksis berulang,
mudah memar, gusi berdarah selain itu hematemesis muncul apabila darah
tertelan oleh pasien ke mulut.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada saat anamnesis pasien epistaksis
adalah perlu ditanyakan tentang seberapa berat epistaksis, frekuensi, lateralisasi
epistaksisnya apakah satu hidung tau kedua hidung, durasi, serta riwayat

18

perdarahan hidung sebelumnya, faktor pencetus dan keadaan pasien secara


umum.
Kebanyakan kasus epistaksis timbul sekunder trauma yang disebabkan
oleh mengorek hidung menahun atau mengorek krusta yang telah terbentuk
akibat pengeringan mukosa hidung berlebihan. Penting mendapatkan riwayat
trauma terperinci. Riwayat pengobatan sebelumnya seperti pemakaian aspirin,
NSAID, obat anti koagulasi (heparin, warfarin, kumadin) serta kebiasaan
merokok dan penyalahgunaan alkohol harus dicari. Selain itu, perlu ditanyakan
faktor-faktor yang mendasari terjadinya epistaksis seperti riwayat hipertensi,
riwayat diabetes melitus, riwayat kehamilan, riwayat koagulopati, riwayat
penyakit kongenital, riwayat infeksi, riwayat penyakit hepatis sehingga didapat
diagnosis untuk gejala epistaksis tersebut.
II.6.2. Pemeriksaan
Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala,
speculum hidung dan alat penghisap (bila ada) dan pinset bayonet, kapas, kain
kassa. Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam
posisi dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja harus cukup
sesuai untuk mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung.
Pemeriksaan fisik pertama diawali dengan keadaan umum pasien dan
pemeriksaan tanda vital yaitu suhu, nadi, tekanan darah dan respirasi diikuti
dengan pemeriksaan kepala sampai ekstremitas. Setelah itu dilakukan
pemeriksaan lokalis di hidung.
Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap
dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah
yang sudah membeku; sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung
diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan.
Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan
anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang
19

ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa


sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat
berhenti untuk .

Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung

dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.


Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari
hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda
dengan pasien dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah
menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan berupa.
a

Rinoskopi anterior : Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari


anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding
lateral hidung dan konkha inferior harus diperiksa dengan cermat.

Gambar 9. Rhinoskopi Anterior

Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien
dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan
neoplasma

Pengukuran tekanan darah


Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena
hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.

20

21

Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI


Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau
infeksi.

Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan penyakit


lainnya.

Gambar 10. Tampilan Endoskopi Epistaksis Posterior tampak lokasi perdarahan di posterior meatus
media kiri (panah putih) yang kemudian di elektrokauterisasi dan di tampon dengan Merocel.

Skrining terhadap faktor koagulopati.


Pemeriksaan lab darah tepi, waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial,
jumlah trombosit dan waktu perdarahan serta faktor-faktor pembekuan darah
jika diperlukan.

II.7. Tata Laksana


Prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu: memperbaiki keadaan
umum disertai tekanan darah, denyut nadi, dan pernafasan, mencari sumber
pendarahan, menghentikan pendarahan, mencari faktor penyebab untuk mencegah
berulangnya pendarahan, dan mencegah komplikasi. Tindakan yang dapat dilakukan
antara lain:

22

Gambar 11. Alur Penatalaksanaan Epistaksis

a) Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk


kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok.
b) Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, pendarahan dapat
dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping
hidung ditekan ke arah septum selama 10-15 menit (metode Trotter).

23

Gambar 12. Metode Trotter

c) Tentukan sumber pendarahan dengan memasang tampon anterior yang telah


dibasahi dengan adrenalin 1/5000-1/10000 dan pantokain/lidokain 2%, serta
bantuan alat penghisap untuk membersihkan bekuan darah.

Gambar 13. Peralatan untuk Tampon Anterior

Gambar 14. Pemasangan Tampon Anterior

24

d) Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas,
dilakukan kaustik dengan larutan nitras argenti 20%-30%, asam trikloroasetat
10% atau dengan elektrokauter. Sebelum kaustik diberikan analgesia topikal
terlebih dahulu dan sesudahnya diberikan krim antibiotik.

Gambar 15. Elektrokauterisasi dengan Endoskopi

e) Bila dengan kaustik pendarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan


pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa sebanyak 2-4 buah
yang diberi pelumas vaselin atau salep antibiotika. Pemakaian pelumas
diperlukan agar tampon mudah dimasukkan dan tidak menimbulkan
pendarahan baru saat dimasukkan atau dicabut. Dapat juga dipakai tampon rol
yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita dengan lebar kurang cm,
diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak rongga hidung.
Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal perdarahan dan dapat
dipertahankan selama 1-2 hari, setelah 1-2 hari, harus diambil untuk
mencegah infeksi hidung. Bila pendarahan masih belum berhenti, dipasang
tampon baru.
f) Pendarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau
tampon Bellocq, dibuat dari kasa dengan ukuran lebih kurang 3x2x2 cm dan
mempunyai 3 buah benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi
yang lainnya. Tampon harus menutup koana (nares posterior).

25

Teknik Pemasangan Tampon Bellocq


Untuk memasang tampon Bellocq, dimasukkan kateter karet melalui
nares anterior sampai tampak di orofaring dan kemudian ditarik ke luar
melalui mulut. Ujung kateter kemudian diikat pada dua buah benang yang
terdapat pada satu sisi tampon Bellocq dan kemudian kateter ditarik keluar
dari hidung. Benang yang telah keluar melalui hidung kemudian ditarik,
sedang jari telunjuk tangan yang lain membantu mendorong tampon ini ke
arah nasofaring. Jika masih terjadi pendarahan dapat dibantu dengan
pemasangan tampon anterior, kemudian diikat pada sebuah kain kasa yang
diletakkan di tempat lubang hidung sehingga tampon posterior terfiksasi.
Sehelai benang lagi pada sisi lain tampon Bellocq dikeluarkan melalui mulut
(tidak boleh terlalu kencang ditarik) dan diletakkan pada pipi. Benang ini
berguna untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Setiap
pasien dengan tampon Bellocq harus dirawat

Gambar 16. Teknik Pemasangan Tampon Hidung Posterior

Apabila usaha pengobatan di atas gagal menghentikan pendarahan, dapat


dilakukan ligasi arteri. Pemilihan pembuluh darah yang diligasi tergantung dari lokasi
epistaksis. Secara umum, semakin dekat ligasi terhadap lokasi pendarahan, semakin
efektif prosedur yang dilakukan. Ligasi biasanya dilakukan pada arteri karotis
eksternal, atau maksilaris interna, atau etmoidalis. Ligasi arteri karotis eksternal
dilakukan melalui insisi horizontal yang dilakukan di antara tulang hyoid dan batas
26

superior kartilago tiroid. Ligasi arteri maksilaris interna memiliki angka kesuksesan
yang lebih tinggi daripada ligasi arteri karotis eksterna karena letak intervensinya
yang lebih jauh, biasanya diakses secara transantral melalui pendekatan CaldwellLuc. Bila pendarahan terjadi di lokasi yang lebih tinggi/atap nasal, lebih baik
dilakukan ligasi arteri etmoidalis anterior dan atau posterior melalui insisi
etmoidektomi eksternal.

Gambar 17. Ligasi arteri etmoidalis anterior (a) dan posterior (b)

Pendarahan dari sistem arteri karotis eksterna dapat juga dikontrol dengan
embolisasi, sebagai modalitas utama pada kandidat yang kurang baik untuk dibedah
ataupun pengobatan sekunder pada mereka dengan operasi yang gagal. Sebelum
embolisasi, dilakukan dulu angiografi untuk memeriksa kehadiran hubungan antara
sistem arteri karotis interna dan eksterna. Embolisasi selektif pada arteri maksilaris
interna dan kadang-kadang pada arteri fasialis. Angiografi pasca embolisasi dilakukan
untuk menilai derajat oklusi.
Terapi Farmakologis
Terapi farmakologi hanya berperan sebagai pengobatan suportif dalam menangani
pasien dengan epistaksis.

27

1. Vasokonstriktor topikal
Obat tersebut bekerja pada reseptor alfa adrenergik pada mukosa nasal
yang menyebabkan vasokonstriksi.
Oxymetazoline 0.05% (Afrin) dioleskan langsung pada membran
mukosa nasal, dimana akan menstimulasi reseptor alfa adrenergik dan
menyebabkan vasokonstriksi. Dekongesti terjadi tanpa perubahan drastis pada
tekanan darah, distribusi vaskular, atau stimulasi jantung. Oxymetazoline
dapat dikombinasi dengan lidokain 4% untuk memberikan efek anestesi dan
vasokonstriksi nasal yang efektif. Dosis 2 tetes atau semprotan per kavum nasi
sebanyak 2 kali sehari, dosis maksimum adalah 2 kali dosis anjuran per 24
jam dan durasi maksimum adalah 3-5 hari untuk mencegah terjadinya rinitis
medikamentosa.
2. Anestesi topikal
Ketika obat anestesi diberikan bersamaan dengan obat vasokonstriktor,
maka

efek

anestesinya

akan

diperpanjang

dan

meningkatkan

efek

vasokinstriksi.
Lidokain 4% (xylocaine) mengurangi permeabilitas ion natrium di
membran neuronal, sehingga menghambat depolarisasi dan menghambat
transmisi impuls saraf. Dosis 1-3 mL setiap pemberian, dosis maksimum 3
mg/kg, tidak boleh diberikan dengan interval kurang dari 2 jam.
3. Salep antibiotik
Salep antibiotik digunakan untuk mencegah infeksi lokal dan
memberikan kelembapan lokal.
Salep mupirocin 2% (bactroban nasal) menghambat pertumbuhan
bakteri dengan mengambat RNA dan sintesis protein. dioleskan pada area
yang terkena dua kali sehari selama 5 hari.
4. Agen kauterisasi
Agen kauterisasi menggumpalkan protein sehingga mengurangi
pendarahan. Silver nitrat (AgNO3) menggumpalkan protein dan membuang
jaringan granulasi juga mempunyai efek anti-bakteri. Kapas yang telah
dililitkan pada aplikator dicelupkan ke dalam larutan lalu dioleskan pada area
yang terkena 2-3 kali per minggu selama 2-3 minggu.

28

II.8. Komplikasi
Dapat

terjadi

langsung

akibat

epistaksis sendiri

atau

akibat

usaha

penanggulangannya. Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis


(karena ostium sinus tersumbat), air mata yang berdarah (bloody tears) karena darah
mengalir secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis dan septikemia. Akibat
pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media, haemotympanum, serta
laserasi palatum mole dan sudut bibir bila benang yang dikeluarkan melalui mulut
terlalu kencang ditarik.
Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia. Tekanan
darah yang turun mendadak dapat menimbulkan iskemia otak, insufisiensi koroner
dan infark miokard dan akhirnya kematian. Harus segera dilakukan pemberian infus
atau transfusi darah.
II.9. Pencegahan
Tindakan pencegahan berikut harus disampaikan kepada pasien:
1. Menggunakan semprotan nasal garam fisiologis, terutama pada lingkungan yang
2.
3.
4.
5.
6.
7.

panas dan kering untuk menjaga kelembapan mukosa nasal.


Menghindari bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras
Bersin dengan mulut terbuka
Tidak menggunakan manipulasi jari pada nasal
Menghindari makanan panas dan pedas
Menghindari mandi dengan air panas
Menghindari aspirin dan NSAIDs lainnya

Berikut adalah instruksi sederhana untuk perawatan epistaksis oleh diri sendiri yang
harus diberitahukan:
1.
2.
3.
4.

Memberikan tekanan oleh jari untuk 5-10 menit


Menggunakan kantong es
Bernafas dalam dan tenang
Menggunakan vasokonstriktor topikal

II.10. Prognosis

29

Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada
pasien hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering
kambuh dan prognosisnya buruk.

30

BAB III
Kesimpulan
Epistaksis adalah perdarahan yang terjadi pada hidung atau dalam
bahasa awam disebut mimisan. Epistaksis bukan merupakan diagnosis tetapi
suatu gejala klinis yang patut dicari faktor etiologi yang mendasarinya.
Setidaknya 60% dari populasi dunia pernah mengalami epistaksis minimal
satu kali dalam hidupnya dan laki-laki lebih sering terkena epistaksis
dibandingkan perempuan selain itu epistaksis anterior lebih sering terjadi
dengan insidensi 80%. Gejala dari epistaksis sendiri adalah keluarnya darah
dari lubang hidung depan yang merupakan tanda epistaksis anterior ataupun
keluarnya darah dari nasofaring atau mulut yang merupakan tanda dari
epistaksis posterior.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis yaitu derajat keparahan
perdarahan, durasi, frekuensi, lateralisasi, riwayat perdarahan sebelumnya,
riwayat penggunaan obat-obatan, riwayat penyakit yang mendasarinya seperti
hipertensi, DM, aterosklerosis. Pemeriksaan fisik menggunakan rinoskopi
anterior

maupun

posterior

untuk

mendapatkan

sumber

perdarahan.

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk melihat faktor etiologi dilakukan


pemeriksaan darah tepi, PT, aPTT, rontgen sinus, CT-Scan, MRI serta
pemeriksaan lainnya untuk mendapatkan etiologi yang berkaitan.
Prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu dengan
memperbaiki keadaan umum disertai tekanan darah, denyut nadi, dan
pernafasan, mencari sumber pendarahan, menghentikan pendarahan, mencari
faktor penyebab untuk mencegah berulangnya pendarahan, dan mencegah
komplikasi

31

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA, et al. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Ed 6.
2. Bertrand B, et al. 2005. Guidelines to the Management of Epistaxis. In:
http://orl-nko.be/onewebmedia/Guidelines_2005_05.pdf

diunduh

pada

Desember 2016.
3. Corry J, Kucik LT, & Clenney T. 2005. Mangement of Epistaxis. Journal of
American

Family

Physician,

vol.

72,

no.

2.

In

http://www.aafp.org/afp/2005/0115/p305.pdf diunduh pada 5 Desember 2016.


4.Tikka T. 2016. The Aetiology and Management of Epistaxis. Otolaryngology
Online Journal, vol. 6, issue. 2. In: http://www.jorl.net/otolaryngology/theaetiology-and-management-of-epistaxis.pdf diunduh pada 6 Desember 2016.
5. Pope LER, Hobbs CGL. 2006. Epistaxis an Update on Current Management.
Postgrad

Medical

Journal,

vol.

81.

In:

www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1743269/pdf/v081p00309.pdf
diunduh pada 5 Desember 2016.
6. Putz R, Pabst R. 2006. Sobotta Atlas Anatomi Manusia. Jilid 1 dan 2. Jakarta
: EGC.
7. Swift AC. 2012. Epistaxis. The Otorhinolaryngologist vol. 5, no. 3. In:
http://www.theotorhinolaryngologist.co.uk/new/images/pdf/v5_n3/epistaxis.pdf
diunduh pada 5 Desember 2016.
8. Tanto C et al. 2014. Kapita Selekta Kedokteran essentials of medicine ed. IV
jilid II. Jakarta : Media Aesculapius.
9. Viehweg TL, Roberson JB, & Hudson JW. 2006. Epistaxis : Diagnosis and
Treatment. American Association of Oral and Maxillofacial Surgeon, vol. 64.
In:http://www.hkmacme.org/course/2009BW09-05-00/GM%20CS_Sep.pdf
diunduh pada 5 Desember 2016.
10. Varshney S & Saxena RK. 2005. Epistaxis : A Retrospective Clinical Study.
Indian Journal of Otolaryngology and Head and Neck Surgery, vol. 57, no. 2.

32

In: http://medind.nic.in/ibd/t05/i2/ibdt05i2p125g.pdf diunduh pada 5 Desember


2016.
11. Schlosser RJ. 2009. Epistaxis. New England Journal Of Medicine [serial
online]. In: http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/8/784 diakses pada 5
Desember 2016.
12. Evans JA. 2007. Epistaxis: Treatment & Medication. eMedicines
Specialities Available from: http://emedicine.medscape.com/article/764719treatment.
13. Kim JS et al. 2015. Common Bleeding Sites of Posterior Epistaxis : Nasal
Endoscopic Studies. Korean Journal of Otorhinolaryngology Head and Neck
Surgery.

In:https://synapse.koreamed.org/DOIx.php?id=10.3342/kjorl-

hns.2015.58.1.32&vmode=PUBREADER.
14. Kelompok Studi PERHATI-KL. 2003-2007. Guideline Penyakit THT-KL di
Indonesia.

33

Anda mungkin juga menyukai